Fikroh.com – Sebelum kami membahas siapa saja wanita dan laki-laki yang terkategori sebagai mahram bagi seseorang, kami ingin katakan bahwa ada kesalahan lafadz dalam bahasa sehari-hari kita mengenai ini.
Banyak orang yang masih menggunakan lafadz “muhrim”.
“Mohon maaf, bukan muhrim!”.
Padahal, muhrim adalah sebutan bagi orang yang berihram, dan bukan sebutan bagi “mereka yang haram kita nikahi”.
Lafadz yang betul dalam bahasa Arab adalah muharrom, atau mahrom; bukan muhrim.
Kemudian, istilah mahram atau muharrom ini memiliki makna :
الَّذِي يَحْرُمُ التَّزَوُّجُ بِهِ لِرَحِمِهِ وَقَرَابَتِهِ
“Mereka yang haram untuk dinikahi sebab memiliki hubungan rahim [nasab/darah] dan kekerabatan.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 36/209)
Jadi, ada beberapa sebab yang membuat seorang laki-laki tidak dapat menikahi perempuan tertentu.
Karena haram dinikahi inilah, Allaah Ta’aala membuat status hukumnya berbeda dengan perempuan ajnabiy [perempuan asing/yang boleh dinikahi]. Misal : berduaan antara laki-laki dan perempuan. Status hukumnya menjadi haram, bila laki-laki itu bukan mahram dari si perempuan. Namun jika laki-laki itu mahrom bagi si perempuan, maka hukumnya boleh. (Catatan : Mengenai pembahasan masalah ini, akan dijelaskan kemudian)
Atau, berkenaan dengan batal tidaknya wudhu seseorang jika menyentuh lawan jenis. Jika yang disentuh adalah mahrom bagi orang itu, maka menyentuhnya tidak menyebabkan batal wudhu.
Dan begitu banyak aturan di dalam syari’at berkenaan dengan status kemahroman ini.
Status kemahroman ini terbagi ke dalam dua bagian :
1). Haram dinikahi selamanya, karena sebab pengharamannya tidak akan pernah hilang (Mahram Mu’abbad). Misal : ibu dan anak perempuan kandung.
2). Haram dinikahi dengan kadar waktu, dan sebab pengharamannya bisa jadi dapat hilang sehingga status hukumnya yang tadinya haram dinikahi, jadi boleh dinikahi [Mahram Mu’aqqot]. Misal : Saudara perempuan dari istri sah.
Mereka termasuk mahrom mua’qqot karena selama seorang laki-laki berstatus sebagai suami dari seorang perempuan, laki laki tersebut diharamkan menikahi lagi saudari kandung dari perempuan tadi [tidak boleh mempoligami seorang perempuan dengan saudari nya]. Akan tetapi, jika statusnya bukan lagi suami istri, maka boleh bagi ia menikahi saudari mantan istrinya itu. Karena itulah, disebut sebagai mahrom mu’aqqot [haram dinikahi sementara waktu].
Mereka yang statusnya sebagai mahrom [haram dinikahi], tertera dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Diantaranya :
Surat An-Nisa ayat 22 :
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Dan janganlah kalian menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi ayah kalian…” (QS. An-Nisa : 22)
Surat An-Nisa ayat 23. Allaah ‘Azza wa Jalla berfirman :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ..
“Diharamkan atas kalian menikahi : (1) Ibu-ibu kalian; (2). Anak-anak perempuan kalian, (3). Saudara-saudara perempuan kalian; (4). Saudara-saudara perempuan ayah kalian; (5). Saudara-saudara perempuan ibu kalian; (6). Anak-anak perempuan dari saudara kalian yang laki laki [keponakan]; (7). Anak-anak perempuan dari saudara kalian yang perempuan; (8). Ibu-ibu yang menyusui kalian [ibu susu]; (9). Saudara-saudara perempuan sepersusuan kalian; (10). Ibu-ibu dari istri kalian [mertua]; (11). Anak-anak perempuan dari istri kalian [anak tiri] yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum bercampur dengan istri kalian itu [dan sudah dicerai], maka tidak berdosa bagi kalian [menikahi anak tiri dari perempuan itu]. Dan [diharamkan atas kalian] (12). Istri-istri anak kandung [menantu kalian]; dan diharamkan mengumpulkan [dalam pernikahan] dua perempuan bersaudara…” (QS. An-Nisa [4]: 23)
Dalam hadits, terdapat larangan menikahi perempuan dan bibinya sekaligus.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda :
لاَ يُجْمَعُ بَيْنَ المَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا، وَلاَ بَيْنَ المَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
“Tidak diperkenankan menggabungkan perempuan dengan bibi dari pihak ayahnya [dalam pernikahan], begitu juga tidak boleh antara perempuan dengan bibi dari pihak ibunya”. (Muttafaq ‘Alayh)
Rasul shallallaahu ‘alayhi wasallam juga bersabda :
إِنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا يَحْرُمُ مِنَ الوِلاَدَةِ
“Sesungguhnya persusuan menjadikan sebab kemahroman seperti halnya kemahroman sebab kelahiran [nasab]”. (Muttafaq ‘Alayh)
Dari apa yang telah kita sampaikan diatas akhirnya kita mengetahui bahwa yang terkategori mahrom mu-abbad [selama nya] itu ialah :
(1). Bagi laki-laki : Ibu Tiri, sedangkan bagi perempuan : Anak Laki-Laki Tiri. Hal ini berdasar ayat,
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Dan janganlah kalian menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi ayah kalian…” (QS. An-Nisa [4] : 22)
Ini berlaku bagi anak tiri, dan ke bawah [anak dari anak tiri, cucu dari anak tiri dan seterusnya].
Ini berlaku setelah akad nikah sah antara bapak kandung dan ibu tiri ini terwujud. Tidak disyaratkan bahwa ibu tiri ini menjadi haram jika telah digauli oleh bapak kandung. Sekedar terjadi nya akad dan sah nya pernikahan, maka otomatis statusnya berubah menjadi mahrom mu-abbad bagi seorang laki-laki.
(2). Bagi laki-laki : Ibu Kandung. Bagi perempuan : Anak Laki-Laki Kandung.
Allaah ‘Azza wa Jalla berfirman :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ …
“Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian…” (QS. An-Nisa [4] : 23)
Ini juga berlaku bagi cucu kandung, cicit kandung, dan kebawah.
(3). Bagi laki-laki : Anak Perempuan Kandung. Bagi perempuan : Bapak Kandung.
وَبَنَاتُكُمْ …
“…dan anak-anak perempuan kalian…” (QS. An-Nisa :23)
Berlaku juga bagi kakek kandung, kakek buyut kandung, dan ke atas.
(4). Bagi laki-laki : Saudara Kandung Perempuan. Bagi perempuan : Saudara Kandung Laki-Laki.
وَأَخَوَاتُكُمْ …
“…dan saudari-saudari kalian…” (QS. An-Nisa :23)
(5). Bagi laki-laki : Bibi Kandung, baik dari Ayah maupun Ibu. Bagi perempuan : Keponakan Kandung baik dari Saudara Laki-Laki maupun Perempuan.
وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ …
“dan bibi-bibi kalian dari Ayah, dan bibi-bibi kalian dari Ibu…” (QS. An-Nisa : 23)
Termasuk anak keponakan, cucu keponakan, dan kebawah.
(6). Bagi laki-laki : Keponakan Perempuan baik dari Saudara Laki-Laki maupun Perempuan. Bagi perempuan : Paman Kandung baik dari Ayah atau Ibu.
وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ…
“…dan keponakan-keponakan baik dari saudara laki-laki maupun saudara perempuan…” (QS. An-Nisa : 23)
(7). Bagi laki-laki : Ibu Susu dan Saudari Sepersusuan. Bagi perempuan : Anak Susu dan Saudara Sepersusuan.
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ…
“…ibu-ibu yang menyusui kalian [ibu susu]; dan saudara-saudara perempuan sepersusuan kalian…” (QS. An-Nisa :23)
Adapun perinciannya sebagai berikut :
– Ibu Susu adalah Perempuan pemilik ASI, yang disusukan pada anak dengan usia 2 tahun dan ke bawah. Susuannya tersebut sebanyak minimal lima kali susuan/lima kali tegukan. Meski sudah mengkonsumsi makanan selain ASI, selama masih usia 2 tahun dan kebawah, maka persusuan nya dianggap bisa mewujudkan kemahroman.
Jika anak tersebut berusia lebih dari 2 tahun, atau susuannya tidak sampai pada lima kali susuan, maka status perempuan itu bukan lah ibu susu bagi anak tersebut. (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 18/212-214; Al-Bayan fi Madzhab Al-Imam As-Syafi’I, 11/144-145).
Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ menulis :
انتزع الفقهاء من قوله تعالى (والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين) أن الرضاعة المحرمة -بكسر الراء المشددة- الجارية مجرى النسب إنما هن ما كان في الحولين
“Para ahli fikih mengambil kesimpulan dari firman Allah Ta’ala (…dan hendaknya para ibu menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh.. QS. Al-Baqoroh : 233) bahwa : persusuan yang muharrimah -dengan ra’ kasrah dan tasydid- alias yang menjadikan sebab kemahroman, yang membuat statusnya selayaknya hubungan nasab/darah, yaitu persusuan yang terjadi pada usia dua tahun.”
Pendapat ini juga dikuatkan dengan hadits :
لٙا رٙضٙاعٙ إِلّٙا مٙا كٙانٙ فِيْ الحٙوْلٙيْن
“Tidak ada persusuan kecuali pada saat usia dua tahun” (HR. Ad-Daraquthni No. 4364. Namun hadits ini mauquf pada Ibn ‘Abbas)
Disebutkan dalam As-Sunan Al-Kubro lil Imam Al-Bayhaqi :
Bahwasanya ada seorang laki-laki beserta istrinya yang hamil dalam sebuah perjalanan. Di tengah perjalanan sang istri melahirkan. Selang beberapa saat sang anak tidak dapat menyusu, hingga membuat sang bapak harus menghisap payudara istri dan kemudian meludahkannya. Hal itu membuat sang bapak merasakan ASI di kerongkongannya. Datanglah ia suatu hari kepada Abu Musa Al-Asy’ari [salah seorang sahabat Nabi] menyebutkan peristiwa itu. Abu Musa berkata: “Istri engkau menjadi mahrom bagi engkau”. Abu Musa lantas menemui Ibn Mas’ud, dan Ibn Mas’ud berkata : “Engkau telah berfatwa begini dan begini, padahal telah jelas sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam:
لٙا رٙضٙاعٙ إِلّٙا مٙا شٙدّٙ العٙظْمٙ وٙأٙنْبٙتٙ اللّٙحْمٙ
“Tidak ada persusuan kecuali yang menguatkan tulang dan menumbuhkan daging” (HR. Al-Bayhaqi No. 15653)
Dan tidaklah ASI itu menjadi penguat tulang dan penumbuh daging melainkan bagi anak usia 2 tahun kebawah. (Bersambung)
Oleh: Muhammad Rivaldy Abdullah