Fatwapedia.com – Grand Syaikh Al-Azhar yang sekarang; Syekh Ahmad Tayyib (semoga Allah menjaga beliau) pernah menjabat sebagai Mufti Mesir selama kira-kira dua tahun (1422 – 1424 H.). Di Mesir, seorang Mufti selain memiliki izin legal untuk berfatwa, melakukan penelitian dan kajian dalam tema fikih kontemporer, menjawab pertanyaan masyarakat dari berbagai kalangan, ia dan lembaga fatwa juga yang bertugas mengumumkan hilal Ramadhan atau Idul fitri. Biasanya seusai mengumumkan hasil ru’yah, sang Mufti akan langsung menelpon Presiden Mesir, untuk memeberi ucapan selamat.
Selama menjabat sebagai Mufti, Grand Syaikh Ahmad Tayyib boleh dibilang dekat dengan penguasa. Lantas, ada orang-orang yang hasud lalu curiga, apakah kedekatan ini berpengaruh pada fatwa sang Mufti atau tidak.
***
Secara general, ulama adalah manusia. Selama masih manusia, ada kalanya baik atau sebaliknya. Oleh karenanya para ulama turath kita termasuk Imam Ghazali membahas definisi ulama Su’ (Ulama yang buruk) ada juga istilah Ulama Dunya (Ulama dunia). Bahkan dalam beberapa literatur Salaf ada istilah Ulama’ Sultoh (Ulama Penguasa).
Pertanyaannya, apakah Ulama Su’, Ulama Dunia, Ulama Sultoh itu benar adanya?
Jawabannya benar adanya. Buktinya para ulama kita berbicara beberapa kriteria tentang meraka. Ulama salaf juga sangat menilai negatif ulama su’ dan ulama sultoh atau sulton. Hanya saja, istilah itu menjadi salah dan berbahaya saat disematkan kepada orang lain, menuduh orang lain. Bahasa mudahnya labelisasi orang lain. Mengapa? karena ada kalanya kedekatan seorang ulama dengan penguasa tidak selamanya buruk, terlebih maksud para salaf solih mengenai ‘Ulama sultah” adalah mereka yang mejual agamanya di depan penguasa, sehingga fatwa dan tindakannya tidak untuk menjaga agama, melainkan untuk disenangi oleh penguasa.
Intinya, kesalahan bukan pada letak sebuah istilah, atau keberadannya, tapi pada pengistilahan orang lain dengan istilah itu. Seperti istilah Kafir, Kafir adalah lawan dari kata Mu’min. Lalu kemudian ada seseorang melabeli si A dengan Kafir, padahal ia Mu’min, di sinilah menjadi awal permasalahan. Atau dibalik, ada orang jelas-jelas tidak beragama Islam, lalu dikalaim dia Muslim. Ini juga tidak bisa dibenarkan. Contohnya lagi istilah ekstremis, Bugot, perusak Negara, perusuh NKRI dsb. Kriteria semua itu benar adanya, namun menjadi salah ketika disematkan kepada orang lain yang secara dzahir mengkritik pemerintah zalim. Melakukan aksi demo misalkan.
Baik, kembali ke Syekh Ahmad Tayyib.
Dalam sebuah acara televisi, beliau diberi pertanyaan demikian. “Apakah kedekatan anda dengan penguasa berpengaruh terhadap fatwa anda?”
Syekh Ahmad Tayyib menjawab, bahwa beliau memang sempat dituduh ulama Sulton (Ulama penguasa) karena kedekatannya dengan presiden kala itu. Label ini juga diberikan kepada Syekh Ramadhan al-Buthi Rahimahullah karena kedekatannya dengan presiden Suriah. Tentu saja lebelisasi semacam ini tidak bisa dibenarkan.
Menurut Syekh Ahmad Tayyib, membenci apa saja yang berbau pemerintah, serampangan menuduh kedekatan dengan pemerintah sebagai munafik, fatwa agamanya menjilat pemerintah, apa yang datang dari pemerintah semua salah, tidak adil, dll. Atau sebaliknya semua yang berbeda dengan pemerintah adalah benar, baik. Biasanya menjadi jargon orang ekstremis, yang diulang-ulang kepada anak-anak muda. Lalu orang ekstremis itu melabeli ulama tadi sebagai ulama Penguasa.
Lalu Syekh Ahmad Tayyib bersumpah atas nama Allah, selama menjabat sebagai Mufti, tidak pernah ada tangan pemerintah ikut campur dalam Fatwa keagamaannya. Ia memiliki otoritas yang legal, menyampaikan apa adanya, disukai atau tidak disukai pemerintah. Sebagaimana sikap demikian juga dilakukan oleh Syekh al-Buthi di negaranya.
Dan ternyata, fakta dan sejarah membuktikan, Syekh al-Buthi Rahimahullah dan Syekh Ahmad Tayyib tidak memiliki kepentingan dengan pemerintah. Berdasarkan beberapa data.
Dikisahkan Syekh al-Buthi melakukan kritik terhadap pemerintah secara langsung, bukan di muka umum. Sedangkan Syekh Ahmad Tayyib, dalam banyak kesempatan beliau jelas-jelas berbeda dengan pemerintah.
Seperti di Mesir sempat ramai bahwa “Cerai” tanpa pengadilan tidak sah, pemerintah mengusulkan agar semua perceraian yang tidak dibawa ke pengadilan negara, tidak dianggap cerai (pendapat ini sebenarnya pendapat Imam Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim, berbeda dengan jumhur ulama semuanya). Lantas, kendati pemerintah menginginkan hal itu, Al-Azhar melihatnya berbeda. Di sini Syekh Ahmad Tayyib dengan ilmiah dan tegas menolak keinginan pemerintah. Dan membantah bahwa talak atau cerai tetap sah meskipun tidak tercatat di pengadilan. Meskipun menolak keinginan itu, beliau mengatakan, “jika pemerintah mewajibkan membawa perceraian itu ke pengadilan negara secara resmi, maka suami istri berdosa jika tidak melakukannya. Adapun perceraian keduanya secara syariat, dianggap tetap sah meski tidak dicatat di pengadilan.”
Dalam kejadian lain, karena Mesir dan Timur Tengah sedang marak beberapa gerakan terorisme dengan mengatasnamakan teks agama. Pemerintah Mesir melihat perlunya ada pembaharuan wacana agama. Sebab beberapa kelompok ekstremis terjebak pada teks, atau tidak memahaminya dengan memerhatikan perubahan di era kontemeporer ini.
Usulan pemerintah yang diusulkan, hingga pada level menerobos beberapa ketetapan agama yang tidak boleh dirubah. Bahkan sempat ada wacana penghapusan ayat jihad dan fikih jihad, entah itu benar atau isu.
Tentu, usaha pembaharuan wacana agama, terutama permasalahan ijtihadiyah yang kuat hubungannya dengan tempat, waktu, persoalan dan keadaan, adalah hal yang harus senantiasa dilakukan oleh para ulama. Namun pemerintah Mesir, melalui beberapa tokohnya, berbicara agama yang bukan domainnya. Hingga hal Qot’iyyat (pasti) dan stawabit (ketetapan) dalam Islam pun akan dirubah, dengan alasan teks teks atau hal itu sering diusung kalangan ekstremis.
Maka Al-Azhar beserta Syaikhul-Azhar segera membuat pernyataan, melalui berbagai medianya. Cetak maupun visual, menjelaskan mana ranah yang boleh dirubah, dan mana yang tidak boleh. Beberapa media menyoroti gesekan pemerintah dan Al-Azhar seperti ini sebagai fenomena gesekan pertengkaran, alias oposisi. Padahal tidak demikian, Al-Azhar hanya melakukan apa yang menjadi tugasnya sebagai lembaga agama, untuk menjaga agama dan ajaran agama. Adapun negara, ia tidak boleh ikut berfatwa, atau ikut campur, sebab bukan ahlinya.
Dari berbagai “konflik ulama-umara” yang terjadi di Mesir, karena setiap kalangan mengakui mana ranahnya dan mana bukan ranahnya, maka kembalilah semuanya menjadi normal. Alhamdulillah..
***
Terakhir, mengenai labelisasi yang diberikan kepada Syekh Ahmad Tayyib bahwa beliau adalah ulama Penguasa, saat itu beliau sudah menjabat sebagai Grand Syaikh Al-Azhar, yang mana beliau ibarat pimpinan seluruh Ulama Al-Azhar, atas label itu beliau menjawab:
“Saya dituduh ulama Penguasa??!” sambil bertanya aneh. Lalu beliau melanjutkan :
“Demi Allah, samasekali saya tidak mendapat manfaat dari kedekatan saya dengan pemerintah, dan saya tidak ada kepentingan samasekali dengan mereka. Kalau yang dimaksud dari istilah itu adalah mereka yang mengeruk harta dan manfaat dari pemerintah. Sepeti di beberapa negara, ulama Penguasa menaiki mobil mewah dsb. Saya pribadi, sampai sekarang tidak punya rumah sendiri. Rumah saya masih kontrakan.. “.
Penulis pernah mengunjungi rumah beliau yang masih kontrakan itu di Kairo.
Walhasil penggunaan sebuah istilah tidak boleh digunakan sembarangan. Apalagi istilah itu dapat menurunkan atau merugikan pihak lain. Memang benar, istilah: ulama dunia, ulama buruk, ulama Penguasa, liberal, ekstremis, kafir, munafik, tidak cinta negara, perusak negara, dan sebagainya, benar adanya dalam kamus kita. Terkhusus label kepada ulama yang buruk tadi telah disebutkan oleh ulama turats. Akan tetapi kriteria yang disebutkan para ulama, tidak selayaknya digunakan untuk mencari kesalahan kemudian menlabeli orang lain. Melainkan agar setiap kita berinteropeksi diri, menilai diri, dan berhati-hati jika di antara kriteria buruk itu ada pada kita. Menjadi apapun jabatan kita di dunia ini.
Terakhir, terkait ada seorang ulama secara dzahir dekat dengan penguasa, kita doakan saja semoga tidak termasuk ke dalam golongan ulama sultoh yang dicela oleh para salaf solih. Kita doakan juga, jika ada ulama yang secara dzahir tidak dekat dengan penguasa, bahkan bersikap keras terhadap penguasa, selama yang beliau bela adalah agama Allah, Syariat Allah, semoga Allah menolongnya dari segala tipu daya penguasa yang zalim. Demikianlah yang seharusnya kita lakukan, berdoa dan mendoakan. Bukan dengan menuduh si ulama A ulama penguasa karena kedekatannya, atau mengkriminalisasi si ulama B karena sikap tegasnya. Wallahua’lam. Iqra’ bismirabbik.
Oleh: Ali Afifi Al-Azhari