Fatwapedia.com – Menyoroti dinamika yang sedang bergolak di Nusantara, seorang Tokoh NU dan Pengasuh Pengasuh Pondok Pesantren MUS Sarang Rembang KH. Said Abdurrahim Ahmad, menyampaikan sedikit pandangannya. Melalui sebuah makalah yang di muat di FP MUS Sarang, Kiyai Said menyoroti urgensi ormas Islam dalam konteks Indonesia yang berperan dalam menjaga agama dan negara (hirasatud diin wad dunya).
Berikut ini tulisan selengkapnya dengan judul “URGENSITAS PERAN ORMAS ISLAM DALAM MENJAGA dan MEMBELA ISLAM.”
Patut kita syukuri bahwa di negara kita sejak lama telah bermunculan organisasi yang bersifat keagamaan dan sosial kemasyarakatan seperti NU, Muhammadiyyah dan FPI. Keberadaan organisasi seperti ini di Indonesia sangat dibutuhkan sebagai tuntutan syar’i. Ada sedikitnya dua alasan kenapa organisasi Islam seperti ini penting, karena :
Pertama, kita hidup di zaman modern yang beraneka ragam interaksi sosial dan politiknya yang diatur dengan serba tertib baik administrasinya maupun perencanaannya. Hal ini bisa kita lihat, di mana sekarang ini tidak ada suatu kelompok komunitas masyarakat yang mempunyai tujuan bersama sampai bisa berhasil mencapai tujuannya secara maksimal kecuali dikelola dan di-manage lewat organisasi, termasuk juga organisasi-organisasi yang melawan islam seperti organisasi misionaris katolik. Bahkan, sekarang ini mengelola hal-hal yang kecil-pun juga membutuhkan organisasi. Oleh karena itu, untuk menghadapi tuntutan zaman ini, umat Islam juga harus punya organisasi yang kuat.
Hal ini menunjukkan pentingnya hidup berjamaah lewat organisasi. Karena itu, hukum membentuk sistem jamaah lewat organisasi adalah fardlu kifayah. Karena banyak sekali permasalahan fardlu kifayah yang harus kita laksanakan sekarang ini dan itu tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna kecuali lewat organisasi. Dalam kaidah fikih dijelaskan lil wasaail hukmul maqosid.
Kedua, kenapa organisasi Islam di negara Indonesia yang tidak menerapkan sepenunya hukum Islam ini penting? karena fungsi negara dalam Islam itu harus menjaga Islam dan umatnya, di samping memenuhi hak-hak non muslim dan melarang kelompok yang mengusung faham dan aliran yang menyimpang dari Islam. Istilah politik islamnya adalah hirasatud diin wad dunya.
Sementara ini, fungsi negara yang demikian ini belum bisa dilakukan oleh pemerintah karena negara Indonesia bukan negara Islam. Sebagai contoh, pemerintah tidak berani menindak tegas kelompok Ahmadiyyah padahal kelompok ini sudah tidak sekedar sesat lagi, tetapi lebih dari itu yaitu sudah dianggap keluar dari Islam.
Oleh karena itu fungsi dan tugas negara tersebut diambil alih oleh ahlul halli wal aqdi. Dalam kitab al fiqhul islamy wa adillatuhu dijelaskan, yang dimaksud dari kata “ahlul halli wal aqdi” ialah tokoh masyarakat, kiai, cendikiawan dan pemimpin umat. Dan sosok-sosok seperti ini mayoritas masuk pada ormas-ormas Islam. Kita harus memahami ahlul halli wal aqdi secara luas ini seperti keterangan di atas meskipun toh dalam sistem kenegaraan kontemporer ahlul halli wal aqdi itu adalah DPR dan MPR, karena fungsi lembaga ini di Indonesia tidak bisa berfungsi layaknya fungsi kepala negara sebagai penjaga dan pembela Islam secara khusus. Dan pengambil alihan tugas ini yaitu hirosatud diin (menjaga agama Islam) dari pemerintah dan DPR hukumnya legal menurut fikih sementara tugas-tugas pemerintah lebih fokus menangani hirosatud dunya (menjaga dunia) karena pada zaman pemerintahan dahulu, ahlul halli wal aqdi tidak ada lembaga yang menaunginya secara khusus.dan sekarang ini ahlul halli wal aqdi sudah ada wadahnya yang jelas yaitu ormas-ormas islam dan juga karena fungsi ulama dan pemimpin umat sebagai ahlul halli wal aqdi ini kedudukannya bisa selevel dengan kepala negara. Hal ini bisa kita lihat dalam kitab-kitab fikih bahwa ahlul halli wal aqdi bisa mengangkat hakim dan qodli ketika hakim dan qodli tersebut melakukan suatu hal yang menjadikan mereka bisa dicopot seperti juga kepala negara bisa mencopot qodli sebagaimana dalam kitab Bughyat Al mustarsydin hal 336. Begitu juga ahlul halli wal aqdi bisa mengambil alih tugas qodli sebagai nadzir wakaf ketika qodli melakukan kedzaliman dan kecurangan. Dan juga sholah ahlul balad, yang dimaksud solah ahlul balad adalah kiai sebagai salah satu komponen anggota ahlul halli wal aqdi bisa mengambil alih tugas nadzir ketika nadzir wakaf dianggap tidak kafabel mengurusi wakaf yang dinadziri. Seperti keterangan dalam kitab Bughyat Al Mustarsyidin.
Dan untuk lebih mengoptimalkan tugas ini, para ulama dan pemimpin umat mengambil alih sebagian fungsi negara yaitu hirosatud diin (menjaga agama Islam) dengan membuat organisasi untuk menjaga, serta membela Islam dan Rosulnya dari penistaan dan penghinaan, membela umat dari kedzaliman dan penindasan serta tekanan-tekanan dari kelompok non muslim terhadap umat Islam, serta meluruskan pendapat yang berkaitan dengan akidah dan keyakinan yang menyimpang dari agama. disamping menjalankan fungsi ormas yang lain seperti sosial kemasyarakatan. Kalau demikian, lalu apa pandangan Islam tentang kebebasan berpendapat?
Pada masa pemerintahan Khulafaur Rosyidin, muncul pendapat-pendapat yang kontroversial dan menyimpang. Tetapi, para khalifah hanya menghadapinya dengan dialog dan diskusi. Barangkali di antara pendapat-pendapat yang paling menonjol dan sangat berbahaya ialah pendapat-pendapat kaum Khawarij. Menghadapi hal itu, posisi Sayyidina Ali -semoga Allah memuliakan wajahnya- adalah posisi seorang penyanggah yang berusaha mematahkan pendapat yang keliru dengan pendapat yang benar seraya didukung dengan dalil dan bukti-bukti.
Adapun orang yang mengklaim kebenaran pendapat dari aliran sesat, namun posisinya tidak hanya sekedar mengungkapkan pendapat, tetapi lebih dari itu, ia sudah berani mempropagandakan serta mengajak orang lain kepada pendapatnya, maka jelas secara syari’at tindakan tersebut dilarang, bila pendapat itu menyalahi akidah-akidah Islam atau salah satu di antara prinsip-prinsipnya. Tetapi kalau pendapat-pendapat atau pemikiran-pemikiran bersifat ijtihadi yang bisa benar dan bisa salah, maka tidak ada larangan untuk mempublikasikannya. Bahkan, menurut Imam Al-Ghozali dalam kitabnya Ihya’ Ulum Al Din, tidak boleh hukumnya menghambat pendapat atau para pengajak pendapat seperti itu dengan cara melarang atau mencekal.
Kembali dalam permikiran-pemikiran dan akidah-akidah yang disepakati menyalahi Islam. Menurut kami, pihak-pihak yang berwenang mempunyai kewajiban untuk mencegah setiap upaya yang menyerukan atau mempropagandakan pemikiran-pemikiran dan akidah-akidah seperti itu, demi mengikuti perintah Allah yang secara tegas dinyatakan dalam Kitab-Nya :
وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الاثم والعدوان
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (QS: Al-Ma’idah :2)
ولتكن منكم امة يدعون الى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar,” (QS: Ali Imran :104)
Sesungguhnya menyerukan pemikiran-pemikiran dan akidah-akidah yang menyalahi Islam tidak diragukan lagi termasuk dosa yang menurut firman Allah dalam surat Al-Maa’idah ayat 2 tidak boleh didiamkan saja, dan menurut firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 104 merupakan kemungkaran yang juga tidak bisa ditolerir dan didiamkan. Dan untuk menghadapi persoalan pemikiran dan akidah yang disepakati menyalahi Islam seperti di atas mereka harus kita ajak ke akidah yang benar dengan penyampaian lisan saja lewat diskusi dan perdebatan dengan cara yang baik dan harus menghindari kekerasan fisik. Dan persoalan ini seharusnya menjadi tanggung jawab ormas-ormas Islam karena persoalan ini sudah tidak menjadi tanggung jawab pemerintah karena negara Indonesia bukan negara Islam. Oleh karena itu, semestinya ormas-ormas Islam ini, seperti NU, Muhammadiyah, FPI, dan lain-lainnya sebagai suara chorr-nya umat Islam harus bersatu-padu dalam menghadapi persoalan di atas. Dan berpegangan pada ketentuan نتعاون فيما اتفقنا و يعتذر بعضنا بعضا فيما اختلفنا (saling membantu dalam hal yang kita sepakati dan mentolelir satu sama lain dalam perbedaan).
Akhirnya, kami atas nama pengasuh dan santri PP. MUS SARANG REMBANG mengucapkan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya atas wafatnya 6 anggota FPI, yang sedang melaksankan pengawalan pada Habib Riziq, semoga amal kebaikannya diterima di sisi Allah, dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan dan diberi kesabaran. Dan kami mengharap kasus matinya 6 laskar FPI ini diungkap secepatnya dengan jujur dan transparan agar tidak menimbulkan saling curiga antara pemerintah (dalam hal ini Polri) dengan kelompok masyarakat yang merasa didzolimi dalam kasus ini.
Dan tentunya agar kasus ini bisa diketahui secara jujur dan fair, kami memohon kepada bapak Presiden Jokowi supaya membentuk Tim Pencari Fakta Independent jangan jeruk makan jeruk. Ingat Pak Jokowi tugas utama presiden harus bisa memberi rasa aman dan keadilan pada seluruh rakyatnya karena kami sekilas berfikir kok mudah sekali hilangnya nyawa 6 anggota FPI ini. Menurut ajaran islam, nyawa satu orang muslim lebih berharga daripada dunia beserta isinya. Kami memang tidak mengetahui protap Polri, yang kami tahu dalam kitab fikih untuk bisa membunuh Shoil (orang yang menyerang) harus melalui tahapan-tahapan yang ketat. Dalam kasus di atas, protap yang dilakukan Polri sejauh mana?
Dan kami mohon ormas sesama saudara seiman dan seagama yang selama ini dikenal berseberangan dengan FPI, mbok yo ho mengucapkan secara resmi penyesalan atas terjadinya peristiwa yang menimpa saudara kita anggota FPI, minimal mengucapkan bela sungkawa, terlepas yang salah itu siapa. Ini masalahnya nyawa orang-orang Islam. Mbok ya ho ingat pepatah Jawa ketika terjadi cek-cok antara saudara dan adu fisik kemudian salah satu ada yang meninggal “tego larane ora tego patine” (rela tersakitinya saudara tapi tidak rela matinya). Dan tidak malah merilis secara resmi atas nama PWNU DKI pernyataan dukungan atas tindakan tegas aparat ini. Yang aneh ketika terjadi peristiwa yang menimpa non-muslim atau jamaah Ahmadiyyah langsung saja kirim rilis di semua media massa pernyataan penyesalan terjadinya peristiwa yang menimpa mereka. Kalau tidak bisa punya rasa empati pada sesama muslim, minimal seimbang lah.
Perlu diingat, FPI ini hampir mirip fungsinya dengan Anshor pada zaman mbah Wahab Hasbullah. Janganlah kita melupakaan sejarah bahwa keganasan Anshor dulu lebih ganas daripada FPI sekarang. Ini fakta. Karena itu, Anshor benci FPI sama saja benci Anshor tempoe doeloe. Dengan tujuan apapun dan terhadap siapapun, sikap kebencian ini tidak ada gunanya bahkan bisa merugikan diri kita sendiri karena akan menambah lawan bukan malah menambah kawan. Karena itu, akhirilah sikap kebencian terhadap FPI, karena tujuannya sebetulnya sama, yang membedakan hanya caranya. Dan perlu diingat warga NU yang simpati pada FPI juga banyak, kalau saja Anshor menunjukkan sikap kebencian pada FPI sama saja menjauhkan warga NU dari Anshor. Bahkan, bisa jadi akan menjauh dari NU. Kita harus sadar sikap lemah lembut lunak atau sejuk itu tidak bisa dipaksakan karena faktor dominannya dipengaruhi oleh tabiat. Dan perlu diketahui bahwa tulisan ini tidak bisa dibuat alasan bahwa kami bagian dari anggota FPI. Karena jujur saja kami sebelum menulis tulisan ini sebetulnya telah menulis tulisan berjudul “JANGAN MENIRU CARA FPI DAN MAHASISWA DALAM AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR DAN DEMONSTRASI TERHADAP PEMERINTAH”. Tapi karena ada tragedi tertembaknya enam anggota FPI di tengah kami mengerjakan tulisan tersebut, tulisan kami tersebut terpaksa kami ganti dengan tulisan ini.
Oleh : KH. M. Sa’id Abdurrochim, Pengasuh PP. Mus Sarang Rembang.