Fikroh.com – Duka nestapa derita polisi penyerbu dan penembak 80 santri dan penyeret KH Zainal Moestofa pesantren Cimerah Tasikmalaya Jawa barat beberapa tahun silam.
Ketika saya mendapat tugas dari fakultas sastra Unpad untuk meneliti gerakan protes sosial pesantren Cimerah Singaparna Tasikmalaya Jabar, yang dipimpin oleh seorang alim KH Zainal Moestofa, berkesempatan mewancarai pimpinan kepolisian yang ditugasi oleh balatentara dai Nippon untuk menyerbu pesantren tersebut.
Ketika itu, polisi (namanya tidak saya tuliskan lagi di sini, baca saja api sejarah kedua), tiba tiba beliau menangis ketika saya tanyakan bagaimana situasi saat bapak memimpin penyerbuan pesantren.
Menangisnya sebagai pengulangan pengakuan beliau ini di depan Dr KH ez Muttaqien rektor Unisba,
Qien (beliau memanggil nama pak muttaqien juga sebagai salah seorang santri yang masih hidup), akang mah sholat teu puguh (akang sholat tidak benar) ngaji ngga pernah khatam (mengaji al Qur’an belum pernah hatam) tapi ditugasi oleh balatentara jepang nyerang pesantren dan nangkap kiai.
Mula-mula akang diberitahu ada tentara Amerika dengan terjun payung ke pesantren, maka polisi siap nyerbu dengan persenjataan lengkap dan dibantu tank berjajar dari singaparna sampai kota Tasikmalaya. siap perang dengan Amerika yang ada di pesantren.
Ketika akang ada di dalam pesantren, tidak ada tentara amerika seorang pun. Tapi hanya terlihat santri dgn bersenjata pedang bambu atau tulang rahang kepala sapi.
Ketika polisi menembaki, santri santri segera menyerang. akang dipukul oleh santri dgn tulang sapi. ketika terjadi kekacauan serangan santri dan dilepaskan tembakan peluru tajam, akang melihat korban santri berjatuhan.
Giliran tembakan diarahkan ke Kh Zainal Moestopa, sang kiai hanya diam. Ditembak terus, tetep diam. peluru berjatuhan di sekitar kiai. dan santri santri yang jadi pelindung kiai saling berjatuhan, bersimbah darah.
Segera akang perintahkan kiai yang kebal peluru, untuk ditalian terus diseret dari pesantren hingga di pinggir tank.
pesantren dibakar. (penyebutan akang, beliau merasa mengulang ceriteranya kepada Dr Kh Ez Muttaqien )
Beliau tidak pernah lupa. terbayang santri dgn pedang bambu, gugur mati bergeletakan di sekitar kaki kiai. mati melindungi kiai. jadi tameng kiai hingga gugur.
ketika itu masih menangis. mengapa bapak sekarang masih menangis padahal peristiwanya sudah lama lewat. kita sekarang sudah merdeka. beliau mencoba menjawab sambil menangis.
Bapak ini yang menangkap kiai. bapak yang menyiksa menyeret kiai. bapak yang merintahkan nembaki santri yang hanya dgn pedang bambu. terbayang selama santri santri muda bergeletakkan bersimbah darah di kaki kiai.
Perhatikan sekarang di sana tidak jauh dari pesantren, ada makam pahlawan
kh zainal moestofa bersama delapan puluh santri. itu santri dan kiai jadi pahlawan. lalu bapak ini siapa?
Kalau kiai itu ditangkap bapak. santri itu berguguran bersimpah darah, karena ditembaki oleh anak buah di bawah perintah bapak. Lalu siapa bapak ini bila jadi lawan pahlawan itu?
Beliau akhirnya menyampaikan kesimpulan jadi polisi di bawah penjajah balatentara jepang, ditugasi membunuh menyiksa kiai, membunuh berpuluh santri, tidak mungkin ingatan kenangan perisitiwa sejarah itu dapat dilupakan. berbalik tetap abadi teringat, jadi menyiksa diri sepanjang hayat.
Tangis bapak tidak pernah bisa berhenti. karena bapak dikejar rasa dosa yang tidak bisa dihilangkan dengan ikhtiar apapun. terbayang dan terdengar terus suara tembakan serta terlihat api yang membakar pesantren.
Bapak sekarang sudah tua. tinggal mempertanggung jawabkan di hadapan allah.
Sejarah itu bisa jadi berulang, jadi sejarah lagi. peristiwa sejarah tidak hanya sekali terjadi. tapi bersenambungan.
Renungkanlah kembali sejarah yang pernah terjadi, untuk hari esokmu. (QS 59: 18)