Fatwapedia.com – Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa tak ada penegakan hukuman jika salah seorang suami-istri mencuri harta pasangannya. Karena pencurian itu adalah dari tempat yang sama-sama mereka jaga dan tempati. Oleh karena tak terpenuhinya syarat penjagaan harta dan karena biasanya harta masing-masing mereka saling bercampur juga karena di antara mereka ada hak warisan yang tak bisa dihalangi oleh apapun.
Namun jika pencurian itu dilakukan pada harta yang tidak disimpan bersama di tempat tinggal mereka atau mereka tinggal bersama namun salah seorang di antara mereka melarang yang lain dari suatu harta atau menyembunyikannya darinya, maka para ahli fiqih berselisih pendapat dalam hal tersebut dalam tiga pendapat:
Pertama: Tak ada potong tangan di antara mereka berdua: Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan pendapat dalam Syafi’iyyah, juga yang paling kuat dalam Hanabilah. Mereka berkata: Karena harta-harta mereka biasa beredar di antara mereka, dan dengan Analogi Hukum baik dalam ushul maupun furu’nya juga karena di antara mereka ada sebab saling mewarisi tanpa ada penghalang.
Sebagian mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
(كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زوجها، وَهِيَ مَسْئُولَةٌ رعيتها)
Kalian semua adalah pemimpin, dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban atas yang kalian pimpin. Seorang lelaki adaah pemimpin bagi keluarganya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang perempuan adalah pemimpin bagi rumah tangga suaminya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya….[1]
Mereka berkata: Keduanya ibarat orang yang diberi titipan dan diizinkan untuk bersamaan, maka tak ada potong tangan jika ada yang mencuri dari yang lainnya.
Kedua: Hanya suami yang dipotong tangannya dan tidak bagi istri: Ini merupakan pendapat Syafi’iyyah, maka seorang suami tetap dipotong tangannya jika mencuri sesuatu dari harta istrinya yang disembnyikan darinya. Sedangkan istri tidak dipotong tangannya jika mencuri dari suami walaupun dari harta yang disembunyikan darinya. Mereka berkata: karena seorang istri memiliki hak nafkah dari suami, maka ini merupakan suatu keraguan yang dengannya gugur suatu hukuman. Mereka juga bisa berdalil dengan sabda Nabi kepada Hindun bintu ‘Utbah ketika dia memberitahukan beliau bahwa Abu Shofyan tidak memberikan nafkah yang cukup baginya dan anaknya, maka beliau bersabda:
(خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ)
Ambillah darinya sejumlah yang bisa mencukupimu dan anakmu dengan cara baik.[2]
Mereka berkata: dalam hadits ini Nabi membiarkannya untuk mengambil harta suaminya untuk mencukupinya dan anaknya karena dia telah diberi amanah dengan harta suaminya seperti seorang yang sedang diberi titipan. Berbeda dengan suami, Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
(وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا)
Sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun.[3]
Ketiga: Wajib hukuman bagi siapapun yang mencuri dari yang lainnya: Ini merupakan madzhab Malikiyyah dan yang kuat menurut Syafi’iyyah dan riwayat lain dari Hanabilah. Ibn Hazm juga berpendapat demikian berdasarkan keumuman ayat pencurian dan juga karena dalam hal ini harta disimpan dengan baik dan barangkali belum tentu salah satu di antara mereka memberi kebebasan kepada yang lainnya dalam hartanya, maka hal ini mirip dengan pencurian dari orang asing. Adapun kedua pendapat sebelumnya yang berdalil dengan hadits “Kalian semua adalah pemimpin….”, maka Ibn Hazm telah menjawabnya dan berkata: Ini merupakan hujjah terbesar atas mereka, karena Nabi mengabarkan bahwa setiap lelaki di antara kita adalah pemimpin untuk hal-hal yang beliau sebutkan dan mereka semua bertanggungjawab terhadap hal-hal yang mereka pimpin. Maka jika mereka bertanggungjawab terhadap hal-hal tersebut, maka setiap muslim tahu dengan pasti bahwa mereka tidak boleh mencuri dan mengkhianati yang telah dititipkan dan diserahkan kepada mereka. Mereka dalam hal tersebut jika bukan seperti orang asing atau orang jauh dan bukan orang diberi kepemimpinan, maka tak diragukan lagi bahwa dosa dan kejahatan mereka lebih besar dibandingkan jika orang asing yang melakukannya, paling tidak mereka mendapatkan pula yang didapatkan oleh orang asing dan harus demikian. Adapun perkataan mereka: sesungguhnya keduanya adalah seperti orang yang diberi titipan atau yang diijinkan untuk bersamaan. Justru ini merupakan hujjah terbesar atas mereka, karena tak ada perselisihan di antara mereka bahwa orang yang diberi titipan jika mencuri dari hal yang tidak dititipkan kepada mereka (namun dari harta orang yang menitipkan yang lain yang disimpannya) dan orang yang diperbolehkan untuk bersamaan dengannya jika mencuri dari harta yang tersembunyi darinya milik orang yang telah diizinkan untuk bersamaan dengannya, maka wajib adanya potong tangan bagi keduanya menurut mereka tanpa ada khilaf. Maka dengan adanya kemiripan yang jelas ini dengan kondisi yang sebaliknya, maka hukum potong tangan tidaklah gugur dari pasangan suami-istri karena mencuri salah satu di antara mereka mencuri dari yang lainnya kecuali dari harta yang diamanatkan kepada mereka dan tidak disembunyikan dari mereka…..[1]
Adapun menjadikan hadits Hindun bin Utbah sebagai dalil untuk membedakan antara pencurian suami dan pencurian istri, maka jawabannya adalah:
Sesungguhnya Rasulullah tidak membiarkan perbuatan Hindun untuk harta yang dia tidak memiliki hak di dalamnya dari harta suaminya atau mengambil yang lebih dari haknya. Maka baginya yang dia ambil dengan cara yang benar dan atasnya potong tangan sebagaimana yang Allah syariatkan jika dia mengambilnya dengan cara mencuri.[2]
Penulis berkata: Yang lebih kuat adalah tidak menghukumi dengan satu hukum, akan tetapi bagi setiap keadaan ada hukum yang sesuai dengannya sebagaimana yang telah dijelaskan dalam masalah anak yang mencuri harta orangtuanya. Allah Maha Tahu.