Fatwapedia.com – Penilaian seseorang terhadap sebuah kitab dan penulisnya dipengaruhi oleh banyak hal; latar belakang keilmuannya, informasi yang diperolehnya tentang kitab itu juga penulisnya, seberapa jauh ia memahami kitab itu dan seterusnya. Biasanya, semakin terkenal sebuah kitab dan penulisnya, semakin banyak pro-kontra tentang kitab itu. Atau sebaliknya, semakin banyak pro-kontra tentang sebuah kitab, semakin ia terkenal.
Kitab Ihya` Ulumiddin yang dikarang oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali termasuk diantara kitab yang menimbulkan pro-kontra sejak dulu, bahkan di saat penulisnya masih hidup.
Orang-orang yang melancarkan kritikan terhadap kitab ini bukan orang sembarangan, dan mereka memiliki latarbelakang keilmuan serta mazhab yang berbeda-beda. Sebutlah tokoh-tokoh besar seperti Imam al-Maziri, Abu al-Walid ath-Thurthusyi, al-Qadhi ‘Iyadh, Ibnu Shalah, Ibnu al-Jauzi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu al-Qayyim dan lain-lain. Sebaliknya, orang-orang yang memuji kitab ini dan mengagungkannya juga tidak kalah banyaknya, bahkan boleh jadi lebih banyak dari mereka yang mengkritiknya.
Pihak yang melancarkan kritikan terhadap kitab Ihya`, sebagian dengan uslub yang berlebihan, tentu memiliki alasan untuk itu. Secara umum, yang menjadi fokus kritikan mereka adalah warna tasauf yang sangat kental dalam Ihya` sehingga ada beberapa ungkapan Imam al-Ghazali yang dinilai sudah keluar dari jalur syariat. Di samping itu, banyak hadits yang dicantumkan di dalamnya ternyata lemah, dan bahkan palsu.
Kritikan ini telah dijawab oleh banyak ulama, seperti Imam Taqiyyuddin as-Subki dan puteranya Imam Tajuddin as-Subki, Imam Abdul Ghafir al-Farisi, Imam Murtadha az-Zabidi, Imam as-Suyuthi, Imam asy-Sya’rani, Imam Abdullah al-‘Aidarus, dan lain-lain.
Ketika menjawab kritikan Imam Maziri, Imam Taqiyyuddin as-Subki memberikan penjelasan yang bisa disebut sebagai kunci dalam memahami akar terjadinya perbedaan penilaian terhadap kitab Ihya`.
Ia mengatakan :
لا يخفى أن طريقة الغزالي التصوف والتعمق فى الحقائق ومحبة إشارات القوم وطريقة المازري الجمود على العبارات الظاهرة والوقوف معها والكل حسن ولله الحمد إلا أن اختلاف الطريقين يوجب تباين المزاجين وبعد ما بين القلبين لا سيما وقد انضم إليه ما ذكرناه من المخالفة فى المذهب
“Tidak asing lagi bahwa metode yang ditempuh oleh al-Ghazali adalah metode tasauf, pendalaman terhadap hakikat dan kesukaan kepada bahasa isyarat kalangan shufiyyah. Sementara metode yang ditempuh al-Maziri adalah berfokus (jumud) kepada ungkapan yang lahir dan menjadikannya sebagai pijakan. Semuanya baik, alhamdulillah. Hanya saja perbedaan kedua metode ini menyebabkan berbedanya mizaj (mood) masing-masing mereka dan berjaraknya hati. Ditambah dengan berbedanya mazhab keduanya (al-Ghazali bermazhab Syafi’i sementara al-Maziri bermazhab Maliki).”
Tampak dalam jawaban ini, Imam as-Subki mencoba menemukan benang merah yang menyebabkan terjadinya perbedaan pandangan antara kedua imam, dengan tetap menghormati keduanya dan tidak merendahkan siapapun.
Hal senada beliau sampaikan ketika menjawab kritikan Imam Ibnu ash-Shalah :
ولا ينكر فضل الشيخ تقي الدين وفقهه وحديثه ودينه وقصده الخير ولكن لكل عمل رجال
“Kemuliaan, keutamaan, kefaqihan, keahlian dalam hadits, ketaatan dan niat baik Syekh Taqiyyuddin (Ibnu Shalah) tidak diragukan lagi. Namun setiap bidang ada tokohnya masing-masing.”
Demikian juga yang disampaikannya tentang Imam al-Maziri: “Ketinggian ilmu al-Maziri tidak diragukan lagi. Tapi sesuatu yang tidak diketahui secara baik, tidak dirasakan dan tidak didalami, wajar jika ada yang mengingkari. Setiap orang hanya bisa beradaptasi dengan sesuatu yang sesuai dengan kebiasaannya dan dalam kadar yang diketahuinya.”
☆☆☆
Sudah bukan rahasia lagi bahwa diantara pihak yang paling sering men-tahdzir kitab Ihya` Ulumiddin ini adalah sebagian kalangan salafi. Bahkan di sebagian tempat, kajian kitab ini diwanti-wanti, atau bahkan dijegal. Alasannya tidak jauh beda dengan dua hal pokok di atas ; warna tasauf yang sangat kental dalam kitab Ihya` dan sebagian hadits-haditsnya yang dhaif dan maudhu’.
Terkait hal pertama, dari penjelasan Imam as-Subki diatas bisa ditangkap bahwa memang ada perbedaan pendekatan antara Imam al-Ghazali -yang lebih cenderung kepada tasauf dan hakikat- dengan pendekatan fuqaha` dan muhadditsin yang lebih cenderung kepada hal-hal yang tampak (zhawahir). Berbedanya metodologi dan pendekatan tentu berdampak kepada berbedanya natijah dan kesimpulan.
Terkait hal kedua, para ulama sudah men-takhrij dan menjelaskan status hadits-hadits yang terdapat di dalam kitab Ihya`, seperti yang dilakukan Imam Tajuddin as-Subki dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra dan Imam al-‘Iraqi yang secara khusus men-takhrij dan menghukumi hadits-hadits dalam Ihya` dengan karyanya yang sangat masyhur : al-Mughni ‘an Haml Asfar. Dengan demikian, pembaca kitab Ihya` bisa mengetahui dengan mudah mana hadits yang bisa diterima dan mana yang mesti ditolak.
☆☆☆
Terlepas dari itu, kalau kita melihat komentar para ulama yang menjadi rujukan kalangan salafi, kita akan melihat komentar yang lebih moderat dan objektif.
Imam Ibnu Taimiyyah ketika ditanya tentang kitab Ihya` Ulumiddin, ia menjawab:
وأما ما في (الإحياء) من الكلام في المهلكات مثل الكلام على الكبر والعجب والرياء والحسد ونحو ذلك فغالبه منقول من كلام الحارث المحاسبي في الرعاية ، ومنه ما هو مقبول ومنه ما هو مردود ومنه ما هو متنازع فيه ، و الإحياء فيه فوائد كثيرة ؛ لكن فيه مواد مذمومة فإنه فيه مواد فاسدة من كلام الفلاسفة تتعلق بالتوحيد والنبوة والمعاد
“Adapun pembahasan tentang al-muhlikat (hal-hal yang membinasakan) yang terdapat dalam kitab al-Ihya` seperti pembasan tentang sombong, ujub, riya, hasad dan sebagainya, maka sebagian besarnya dinukil dari al-Harits al-Muhasibi dalam kitab ar-Ri’ayah. Diantaranya ada yang diterima, diantaranya ada yang ditolak, dan diantaranya ada yang diperselisihkan. Di dalam kitab al-Ihya` banyak faidah, tetapi di dalamnya juga ada materi-materi yang berbahaya, karena di dalamnya mengandung ucapan para filosof yang berhubungan dengan tauhid, kenabian dan hari akhir.”
Ia melanjutkan :
وفيه أشياء من أغاليط الصوفية وترهاتهم ، وفيه مع ذلك من كلام المشايخ الصوفية العارفين المستقيمين في أعمال القلوب الموافق للكتاب والسنة ، ومن غير ذلك من العبادات والأدب ما هو موافق للكتاب والسنة ما هو أكثر مما يرد منه ، فلهذا اختلف فيه اجتهاد الناس وتنازعوا فيه
“Di dalam kitab Ihya` ada beberapa hal kesalahan dan turrahat kalangan shufi. Tapi di dalamnya juga terdapat perkataan masyayikh shufi yang ‘arif (mengenal Allah), istiqamah dalam masalah hati dan sejalan dengan al-Quran dan Sunnah. Di dalamnya juga mengandung pembahasan tentang ibadah dan adab yang sesuai dengan al-Quran dan Sunnah, dan itu lebih banyak dari yang tidak sesuai. Karena itulah pandangan (ijtihad) manusia berbeda-beda dalam menilainya.”
Imam adz-Dzahabi; salah seorang murid Ibnu Taimiyyah yang juga rujukan salafi, setelah menukil berbagai kritikan terhadap Imam al-Ghazali, berkata:
فرحم الله الإمام أبا حامد، فأين مثله في علومه وفضائله، ولكن لا ندعي عصمته من الغلط والخطأ، ولا تقليد في الأصول
“Semoga Allah merahmati Imam Abu Hamid. Dimana bisa ditemukan tokoh seperti dirinya dalam keilmuan dan keunggulan. Tapi kita tidak mengatakan ia maksum dari kesalahan dan kekeliruan, dan tidak boleh bertaqlid dalam masalah ushul.”
Hal senada juga disampaikan oleh Imam Taqiyyuddin as-Subki:
وماذا يقول الإنسان فيه وفضله واسمه قد طبق الأرض ومن خبر كلامه عرف أنه فوق اسمه
“Apa yang bisa dikatakan orang tentangnya (Imam al-Ghazali). Keutamaan dan nama besarnya sudah tersebar ke seantero dunia. Siapa yang mengkaji ucapannya (karya-karyanya) akan tahu bahwa ia lebih tinggi dari namanya yang terkenal.”
☆☆☆
Sah-sah saja kalau ada yang men-tahdzir kitab Ihya` Ulumiddin atau mewanti-wanti masyarakat untuk tidak mendengarkan kajian itu. Tapi, yang namanya permata tidak akan berkurang nilainya ketika tidak ada yang memungutnya. Justeru orang-orang yang tidak mau memanfaatkannya-lah yang akan merugi.
Ada baiknya kita renungkan ungkapan Imam Tajuddin as-Subki ini :
هو من الكتب التي ينبغي للمسلمين الاعتناء بها وإشاعتها ليهتدي بها كثير من الخلق وقل ما ينظر فيه ناظر إلا وتيقظ له فى الحال
“Kitab Ihya` termasuk kitab yang seyogyanya dikaji oleh kaum muslimin dan disebarluaskan agar banyak orang yang mendapatkan hidayah melaluinya. Jarang orang yang mengkaji kitab Ihya` (dengan niat yang benar) kecuali ia akan ‘terjaga’ saat itu juga.”
Imam Murtadha az-Zabidi yang tidak diragukan keilmuannya dalam berbagai bidang, pengarang kitab Tajul ‘Arus dan kitab-kitab lain yang sangat bermanfaat, ketika akan mensyarahkan kitab Ihya`, ia berkata:
وأنى لمثل العاجز القاصر عن تساجله وحسبي أن أقف لهذا البحر عند ساحله
“Mana mungkin orang lemah dan serba kekurangan seperti diriku bisa memadaninya. Tapi cukuplah bagiku bisa berdiri di pantai dari lautan yang luas ini.”
☆☆☆
Sebagai kesimpulan, kita kutip ungkapan Imam Taqiyyuddin as-Subki berikut ini:
وإذا كان فى الإحياء أشياء يسيرة تنتقد لا تدفع محاسن أكثره التي لا توجد فى كتاب غيره وكم من منة للغزالي
“Meskipun di dalam Ihya` terdapat beberapa hal yang dikritik tapi ini tidak mungkin menutupi keunggulan-keunggulannya yang tidak terdapat dalam kitab yang lain. Betapa banyak jasa Imam al-Ghazali.”
رحم الله الإمام حجة الإسلام أبا حامد الغزالي ونفعنا بعلومه فى الدارين ، آمين