Fatwapedia.com – Kata Nahwu “نَحْوُ” jika dimutlakkan dalam bahasa arab maka memiliki beberapa makna, al-‘Allâmah Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid rahimahullah menyebutkan dua diantaranya, yaitu :
1. Maknanya adalah “الجِهَةُ” (arah), seperti ucapanmu, “ذَهَبْتُ نَحْوَ فُلَانٍ” (aku pergi ke arah tersebut).
2. Maknanya adalah “المِثَلُ” (seperti), misalnya ucapan : “محمد نَحْوُ عَلِيٍّ”. (Muhammad mirip Ali).
Adapun menurut istilah ulama, maka Nahwu adalah :
علم يُعرف به أحوالُ أواخرِ الكلمِ في حَال تَرْكِيْبِهَا من حيث الإعراب والبناء
“Ilmu yang diketahui dengannya kondisi akhir kata pada kondisi susunannya dari sisi I’rab dan Binâ.”
Para guru kami, yang kami belajar nahwu kepadanya menyamakan ilmu nahwu dengan kajian grammar dalam bahasa arab atau dengan kata lain adalah ilmu tentang tata bahasa. DR. Muhammad Milyâniy dalam jurnal yang ditulisnya yang berjudul “ilmu an-Nawhu wa Ahamiyyatuhu fî shonâ’ah al-Ma’âjim” menyebutkan definisi yang diberikan oleh para pakar Nahwu yaitu :
العلم الذي تعرف به الضوابط التي تحكم التراكيب اللغوية، ويترتب عليها صحة الكلام وسلامة الإعراب
“Ilmu yang diketahui dengannya ketentuan-ketentuan yang digunakan untuk menghukumi susunan bahasa dan memberi dampak benarnya ucapan serta selamat dalam mengi’rab.”
Secara simpel bahwa ilmu nahwu itu adalah memberikan petunjuk bagaimana memberikan syakl (sandangan) di huruf terakhir sebuah kata, apakah berharakat fathah, kasrah, dhommah maupun sukun, karena perbedaan dalam memberikan harakat bisa menyebabkan perbedaan yang sangat jauh sekali, bahkan dapat berakibat penyimpangan akidah yang sangat fatal sekali. Misalnya dalam surat An-Nisâ` : 164 :
وَكَلَّمَ ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.”
Dalam ayat ini kata “ٱللَّهُ” diakhir hurufnya berharakat dhommah, yang berarti dalam kajian nahwa, i’rabnya marfu’ karena sebagai fa’il (pelaku) artinya Allah yang berbicara kepada Musa, karena Musa dalam kajian nahwa sebagai maf’ulun bih (obyek).
Namun kelompok sesat yang bernama Mu’tazilah dan yang sependapat dengannya membacanya dengan :
وكلَّم اللهَ موسى تكليمًا
Disini lafzhul Jalâlah diharakati fathah pada akhirnya, dengan meng-i’rabinya sebagai manshûb, dijadikan oleh mereka maf’ulun bih Muqaddam (obyek yang didahulukan) dan Musa di-I’rabi dengan marfu’ sebagai fa’il (pelaku) yakni bahwa Nabiyullah Musa alaihis salâm sebagai orang yang berbicara kepada Allah, maka disini terjadi penyimpangan akidah yang besar, yakni mereka menghilangkan sifat Kalam bagi Allah.
Bahkan ternyata urusannya sampai kepada kepala yang harus melayang akibat keyakinan yang rusak diatas, gubernur Irak yaitu Khalid bin ‘Abdillah Al-Qasri ketika selesai khutbah Idul Adha beliau berpidato kepada segenap kaum muslimin :
ارْجِعُوا فَضَحُّوا تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنْكُمْ، فَإِنِّي مُضَحٍّ بِالْجَعْدِ بْنِ دِرْهَمٍ، زَعَمَ أَنَّ اللَّهَ لَمْ يَتَّخِذْ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا، وَلَمْ يُكَلِّمْ مُوسَى تَكْلِيمًا، تَعَالَى اللَّهُ عُلُوًّا كَبِيرًا عَمَّا يَقُولُ الجعد بْنُ دِرْهَمٍ، ثُمَّ نَزَلَ فَذبَحَهُ
“Pulanglah kalian, lalu sembelihlah hewan-hewan kurban kalian, semoga Allah menerima sembelihan kalian. Sungguh aku akan menyembelih Ja’d bin Dirham, karena ia menyakini bahwa Allah tidak menjadikan Ibrahim sebagai Khalil (kekasihNya) dan Allah tidak berbicara kepada Musa dengan sebenar-benarnya. Maha Tinggi Allah dengan sebenar-benar ketinggian dari apa yang dikatakan oleh Ja’d bin Dirham.
Lalu sang gubernur turun dari mimbar, kemudian menyembelih Ja’d.” (Diriwayatkan oleh al-Imam Bukhari dalam kitabnya “Kholq Af’âl al-‘Ibâd” (hal. 29).
Mari kita semangat mempelajari ilmu Nahwu agar lisan kita lurus dan memiliki pemahaman yang shahih terhadap Kitabullah dan Sunnah RasulNya, yang mana keduanya menggunakan tata bahasa arab yang fasih dan terlepas dari lahn (kesalahan).
Oleh: Abu Sa’id Neno Triyono