Fatwapedia.com – Masih bergerimis hati ini, ketika tadi malam saya mendapati kabar berita wafatnya ad-daiilallah ulama yang lurus dan tegas dalam berdakwah menyampaikan wasiat Rasulullah, al-Habib Thohir bin Abdullah al-Kaff Tegal.
Terakhir saya berkomunikasi beliau di tahun 2019, saat saya ingin kembali bersilaturahmi dengan beliau sewaktu acara haul Abah Guru Sekumpul yang kebetulan beliau selalu hadir membacakan doa pada haul yang dihadiri jutaan orang jamaah di sana. Namun, disebabkan waktu, saya belum sempat dipertemukan.
Awal perkenalan saya dengan al-Habib Thohir yang dikenal dengan gelar “Singa Podium” itu terjadi di kisaran tahun 2013. Ketika itu, saya diminta oleh sebuah perusahaan travel besar di Banjarmasin untuk menjadi Tour Leader serombongan jama’ah umrah yang sebelumnya ingin berziarah di Mesir dan Turki.
Saya ditugaskan bersama rekan kerja saya Pak Asep; karyawan senior dari maskapai Egypt Airlines perwakilan Indonesia. Jadilah, selama perjalanan kami menemani al-Habib serta jamaah umrah asal Banjarmasin itu.
Saya masih ingat ketika itu nuansa politik Mesir masih panas dan bergejolak. Kondisi stabilitas keamanan belum terlalu kondusif.
Dimana-mana masih sering terjadi demontrasi besar-besaran sebagai ekspresi ketidakpuasaan rakyat terhadap pemerintahan baru Morsi yang dianggap masih lemah dan justru semakin memperarah kondisi ekonomi Mesir yang kian anjlok dan terpuruk.
Dukungan terhadap pemerintahan Morsi yang notabene didukung oleh basis Ikhawanul Muslimin juga tak tinggal diam, mereka ambil bagian dalam aksi turut mendukung dan mempertahankan kedudukan Morsir sebagai presiden yang sah.
Massa pendukung Morsi pun berkumpul ribuan orang di titik basis mereka di kawasan Rabiatul Adawiyyah. Mereka mendirikan panggung orasi setiap malamnya menyatakan dukungan sekaligus perlawanan terhadap pendukung yang menginginkan Morsi diturunkan.
Dalam kondisi genting itulah, kami tiba di Cairo tepat di musim dingin. Kami menginap di hotel Zosser di kawasan Giza yang jaraknya sangat jauh dengan pusat-pusat konflik. Sebenarnya, kondisi kami aman-aman saja. Tidak akan ada gangguan yang berarti dalam wisata religi kami selama kami tidak mendekati pusat-pusat keramaian berkumpulnya massa.
Namun baru berselang beberapa jam tiba di Cairo, saat makan siang di salah satu restoran, saya mengambil posisi duduk satu meja makan dengan Habib Thohir.
Usai makan, Habib menelpon orang Mesir itu untuk memberitahukan bahwa beliau telah tiba di Cairo. Habib Thohir tanya kepada saya, “Ente tau yang namanya kawasan Rab’atul Adawiyyah di Nasr City?!”
Kebetulan kawasan yang ditanyakan Habib pada saya sangat familiar dan saya kenal sekali daerah itu. Selama hampir 7 tahun di Mesir, saya sering melewati jalan itu, bahkan sering bolak balik beraktivitas di Wisma Nusantara yang berada di kawasan itu.
Ya saya katakan, “Ya, bib saya tahu betul kawasan itu!”
“Malam ini, antarken habib ke sana! Habib mau jumpa teman habib di sana!”
Saya teringat bahwa saat itu, kawasan Rab’ah merupakan basis titik massa berorasi dari pendukung Ikwanul Muslimin. Itu kawasan berbahaya yang harus dihindari. Akhirnya, saya sampaikan:
“Bib, di sana titik rawan. Di sana ada demo besar-besaran malam ini!” Ujar saya menjelaskan.
“Pokoknya anterken habib jumpa teman habib. Ini silahkan bicara sama teman habib!” Ujar habib Thohir memberikan handphonenya.
“Allo Assalamualaikum..” suara lirih dari seorang yang sepuh terdengar dari speaker handphone.
“Waalaikumsalam ya sidi. Min ma’aya?!” Jawab saya.
Selanjutnya terjadilah obrolan singkat dalam bahasa Arab. Si penelpon menjelaskan singkat alamat dan peta rumah beliau. Saya pun bisa menangkap di mana alamat itu, sebab patokannya beliau bilang:
“Fi emarah gamba gamie Rab’ah bizhabt”.
Saya tahu persis posisinya. Tidak susah-susah mencari titik apartemen itu, sebab berasa tepat masjid Rab’ah.
Telpon ditutup. Kami sudah sepakat berangkat ba’da Maghrib. Makan siang selesai. Kami bersiap menuju hotel bintang 5 Zooser di kawasan turis Giza yang berdekatan dengan Piramida Mesir.
* * *
Ba’da Maghrib, saya sudah bersiap. Saya turun lift. Ternyata, di lobi Habib Thahir telah menunggu siap berangkat. Tak lama kemudian, partner saya Pak Asep juga telah ada di sana. Jadilah, kami berempat siap menuju kawasan Rab’ah.
Saya keluar hotel untuk mencari taksi. Anehnya, malam itu tak seperti biasa sangat sulit menemukan taksi yang lalu lalang. Kalau pun ada taksi yang lewat mereka tak mau berhenti.
Sekiranya ada yang berhenti, si sopir bertanya, “Raieh fien? Mau kemana tujuannya?!” Saya jawab singkat, “Rab’ah Syarie Thayran!” Si sopir menggelengkan kepala tanda tak mau. Begitulah bahasa isyarat orang Mesir pertanda tak mau atau tak suka. Si sopir langsung tancap gas.
Hampir lebih dari setengah jam, bahkan hampir satu jam, saya pun belum menemukan taksi. Sementara Pak Asep sudah keluar menemui saya dengan perasaan gelisah. Dia tanya gimana, habib sudah nungguin dari tadi di lobi, katanya.
Saya bilang, sampai sekarang belum ada taksi yang mau mengantarkan ke sana. Katanya lagi, kata Habib, meskipun mahal bayarannya tidak masalah. Bayar saja. Habib yang bayar ongkosnya.
Iya saya bilang, “Ini tidak ada taksi yang mau ke sana. Apa mungkin ada kabar bahwa malam ini terjadi demo besar-besaran di kawasan Rab’ah ya?!” Ungkap saya pada Pak Asep.
Tak lama kemudian, sejurus sebuah taksi berhenti. Si sopir membuka kaca dan sedikit mendongak kepala dari dalam mobil, dia bertanya, “Raieh fien?!”
“Rab’ah, syarie Thayran!”
Dia menggeleng kepala. Terdiam sejenak. Dia menghela nafas panjang. “Wallah zahmah! Khattir!” Macet banget serius! Bahaya!!”
Dia kembali menimpali, “Tidfa’ kam?!” Berank bayar berapa?!
Kali ini, nego saya bukan lagi soal harga, tapi bagaimana caranya kesepakatan terjadi dan habib bisa segera menjumpai teman beliau yang telah lama menunggu.
“Aiz kam fulus?!” Kamu minta bayaran berapa?!”
“Mietain geneh!” Dua ratus pound!” Jawab sopir singkat.
“Gilaa!!” Ini pemerasan namanya. Biasanya ke sana hanya 20 pound, atau paling panter 35 pound, dia mintanya sepuluh kali lipatnya.”
Dia bilang, “Thariq zahmah. Fi muzhaharah. Khatir awii.. bla bla..” berbagai alasan yang menunjukkan medan yang kami tuju ini sangat berisiko. Namun, dia berjanji akan mengawal kami sampai tujuan.
Saya bilang pada Habib, “Ada taksi bib, tapi mahal banget!”
“Sudah kita berangkat! Bismillah!!”
Kami berangkat empat orang. Di mobil taksi sedan itu kami berdesakan 5 orang. Saya duduk di depan bersama sopir. Selama perjalanan kami ngobrol. Kebetulan saya yang sudah hampir setahun lebih meninggalkan Mesir banyak bertanya tentang kondisi Mesir terakhir.
Si sopir yang sudah mengerti tujuan kami, dia menawarkan diri untuk menunggu kami dan menjemput pulang. Sebab, katanya kalian akan sulit menemukan taksi di tengah malam nanti, sebab banyak sopir taksi yang tidak berani bekerja di malam hari, disebabkan faktor keamanan yang tidak kondusif.
Selama 45 menit perjalanan kami tiba di Nasr City, tepatnya jalan menuju Syarie Thayran Rab’ah. Benar saja, di sana telah dibanjiri lautan masaa berkumpul berorasi. Banyak orang membawa alat-alat berbahaya, tongkat pemukul, ger besi, rantai, pedang dan sebagainya.
* * *
Mobil taksi berhenti. Kami turun dari mobil. Sebenarnya tempat kami parkir masih sangat jauh dari lokasi tujuan. Tapi, apa mau dikata, jalanan begitu penuh dengan massa demo yang didominasi pendukung Presiden Morsie.
Beruntungnya, si sopir berkenan menemani kami membuka jalan lautan massa itu. Dia yang menolong kami melewati para pendemo yang wajah mereka telah tampak taring kemarahan atas apa yang sedang mereka alami.
Malam itu, semua kemungkinan bisa saja terjadi pada kami. Hanya kami satu-satu WNI yang berada di lautan massa di malam itu.
Wallahi, hanya kami orang Indonesia yang berada di tengah gelombang puncak demonstrasi yang pada akhirnya terjadi kerusuhan terbesar di Mesir yang berujung pada pembakaran Mesjid Rabiatul Adawiyyah.
Kami lah saksi sejarah itu!!
Saya mengambil posisi berjalan tepat di belakang Habib Thahir; yang saya kenal melalui ceramah-ceramah beliau sejak tahun 2000-an terkenal sangat lantang, tegas pemberani menyampaikan kebenaran.
Kami sempat dicegat seseorang Mesir untuk meminta identitas kami. Sebab, kami orang asing di kerumunan massa itu. Beruntung, Habib Thohir masih membawa paspor. Saya sendiri kelupaan membawa paspor, entah dua orang teman saya di belakang.
Kami diizinkan melintasi ratusan atau ribuan massa yang awas mengamati kami. Di tangan mereka masing-masing memegangi benda-benda tajam yang bisa melukai, tongkat pemukul bisbol, ger besi dan senjata tajam lainnya.
Akhirnya, kami berhasil selamat melewati gerombolan massa dengan susah payah dan dengan perasaan berkecamuk. Si sopir mengarahkan apartemen yang kami maksudkan.
Sementara itu, di halaman apartemen ribuan memadati kawasan itu dengan suara bising teriakan-teriakan dan pekikan orasi yang membakar dari panggung orasi yang didirikan di halaman Masjid Rab’ah, bersebelahan dengan apartemen yang kami datangi.
Kami memasuki sebuah apartemen tua yang di bagian depannya terdapat pertanda “Baqalah” semacam kios dengan palang nama bertuliskan “Coca-Cola”. Kami menaiki tangga-tangga apartemen. Itulah tujuan tempat tinggal orang Mesir yang ingin dikunjungi Habib Thahir al-Kaff itu.
Bel dipencet. Pintu dibuka. Tampak seorang tua sepuh menyambut kami dengan sangat ramah dan hangat. “Ahlan.. ahlan!! Marhaba ya Marhabaa!” Sambut empunya rumah dengan senang. “Fadhal.. fadhal khuz guwwah. Silahkan masuk!”
Alhamdulillah, kami sudah sampai tujuan dengan selamat. Masa-masa menegangkan dan menakutkan sepertinya baru saja kami alami seperti mimpi. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi sekiranya ada amukan massa di bawah tadi. Tentu, segala kemungkinan terburuk bisa saja terjadi pada kondisi yang sangat kacau dan buruk ini.
* * *
Di dalam flat apartemen itu, kami dijamu dengan jamuan khas teh Mesir. Begitulah cara menyambut tamu seperti layaknya di negeri kita. Habib Thahir berbincang-bincang hangat. Sepertinya mereka berdua telah lama tidak berjumpa dan saling bertukar cerita dan kabar, semenjak pertemuan mereka terakhir di Jeddah.
Nanti saya ketahui teman Habib Thahir itu bernama Sayyid Muhammad Mukhtar al-Hasani, beliau juga keturunan Rasulullah dari jalur Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Lazimnya di Timur Tengah, seperti Arab Saudi, dan sebagian Afrika seperti Mesir, Maroko, dan al-Jazair tidak menggunakan nama panggilan “Habib”, melainkan “Sayyid” atau “Syarif”, sebab mereka kebanyakan merupakan anak keturunan dari Sayyidina Hasan.
Sayyid Muhammad Mukhar bercerita, bahwa beberapa hari sebelumnya, beliau bermimpi yang mengisyaratkan bahwa Presiden Morsi tidak akan lama lagi akan terguling dari kekuasaannya. Nantinya, selang beberapa hari kemudian isyarat mimpi beliau menjadi kenyataan.
Beliau juga mengijazakan kepada kami Shalawat Harian semacam Dalail Khairat yang menurut beliau shalawat itu beliau salin langsung dari Rasulullah, entah secara mimpi atau yaqzah (terjaga).
Beliau memberikan buku kecil berisi shalawat harian itu dan menandatanganinya sendiri. Jadi, sanad ijazah itu langsung kami terima dari mualifnya. Dan insya Allah, nanti akan kembali saya ijazahkan dalam kelas bimbingan setelah selesai angkatan-angkatan kelas bimbingan dan pengijazahan Dalail Khairat.
Dari sini, saya meyakini bahwa Sayyid Muhammad Mukhtar bukanlah orang sembarangan. Nantinya di mobil ketika perjalanan pulang kembali ke hotel, Habib Thahir menerangkan bahwa orang yang barusan kami temui itu merupakan seorang Waliyullah yang mastur atau tersembunyi maqamnya. Masya Allah!!
Terakhir, sebelum pulang, Sayyid Mukhtar langsung bertanya pada saya, “Enta hafidz Qur’an?! Kamu ini hapal Qur’an kan?!”
Tentu saja, saya terperanjat dengan pertanyaan itu. Saya menunduk malu. Saya bilang, “Belum Shaikh!” Namun, belum seakan memaksa dengan penekanan, “Enta hafidz Qur’an!”
Saya bilang belum. Saya hanya berharap ucapan kelak menjadi doa.
Waktu dalam perjalanan pulang, di dalam mobil, saya tanya pada Habib Thahir apa maksud dari pertanyaan Sayyid Mukhtar itu, Habib Thahir bilang itu sindiran para wali yang menegur orang yang meninggalkan hapalan al-Qur’an agar kembali menghapalkan al-Qur’an. Beliau kasyaf.
Ternyata, kondisi saya sewaktu itu benar, disebabkan kesibukan bekerja, saat itu saya jarang muraja’ah. Beliau memang saya yakini Waliyyun min auliyaillah. Dan Habib Thahir sendiri boleh jadi salah satu dari golongan itu.
Alhamdulillah, dan semoga kita selalu dikumpulkan dengan orang-orang shaleh.
Semoga Allah muliakan roh guru kita Allahyarham al-Habib Thohir al-Kaff yang wafat di hari mulia; hari Jum’at tadi malam.
*Pengalaman berkesan ini saya tulis untuk menghibur hati yang masih bersedih mendengar kabar duka kewafatan beliau.
Oleh: TG. DR. Miftah el-Banjary, MA