Fatwapedia.com – Pada dasarnya seluruh muka bumi ini adalah masjid, dibolehkan shalat di seluruh tempat di bumi ini, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
فُضِّلْتُ عَلَى الأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ… وَجُعِلَتْ لِيَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا
“Aku diberi enam keutamaan di antara seluruh Nabi … dan dijadikan bumi ini bagiku sebagai masjid yang suci.” (1)
Namun dari dalil yang global ini terdapat beberapa pengecualian hadits yang melarang untuk shalat di tempat-tempat tertentu, di antaranya:
1. Kandang Unta
Yaitu tempat berhentinya unta ketika ada air, lalu mengeram di situ. Atau merupakan kandang tempat tinggal unta yang berlindung di dalamnya. Larangan shalat di dalam kandang unta sebagaimana hadits Jabir bin Samurah,
أنِّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أُصَلِّى فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ؟ قَالَ : نَعَمْ. قَالَ : أُصَلِّى فِى مَبَارِكِ الإِبِلِ؟ قَالَ : لاَ.
“Bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “Bolehkah aku shalat di kandang kambing?” Rasulullah pun menjawab, “Boleh”. Kemudian lelaki itu bertanya kembali, “Bolehkah aku shalat di kandang unta?” Rasulullah pun berkata, “Tidak”). (2)
Mengenai sebab dilarangnya shalat di kandang unta, terdapat hadits yang menjelaskan hal tersebut, yaitu:
لاَ تُصَلُّوا فِى مَبَارِكِ الإِبِلِ فَإِنَّهَا مِنَ الشَّيَاطِينِ
“Janganlah kalian shalat di kandang unta, karena tempat itu termasuk dari setan.” (3)
Maka bukanlah hal yang aneh jika kandang unta itu terdapat setan, karena setan telah menjadikan kandang unta sebagai tempat tinggalnya. Sebagaimana Rasulullah telah melarang shalat di tempat yang memungkinkan seseorang lalai menunaikan shalat Subuh, dengan alasan,
هَذَا مَنْزِلٌ حَضرنَا فِيْهِ الشَّيْطَان
“Di tempat yang kita berada ini, terdapat setan.”(4)
2. Kuburan
Sebagaimana dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ ، إِلاَّ الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
“Bumi ini seluruhnya adalah masjid, kecuali kuburan dan kamar mandi.” (5)
Dan juga hadits Abu Martsad radhiallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلاَ تُصَلُّوا إِلَيْهَا
“Janganlah kalian duduk di atas kuburan, dan jangan pula shalat diatasnya.”(6)
Dan juga hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَعَنَ اللهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى ، اتَّخَذوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah telah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani, karena mereka menjadikan sebagai masjid kuburan nabi-nabi mereka.”(7)
Seolah terkesan bahwa larangan shalat di kuburan adalah sebagai tindakan pencegahan agar tidak menyembah kuburan, atau agar tidak menyerupai orang-orang kafir.
Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara kuburan umat islam maupun kuburan orang kafir. Dan jika mayat yang berada dalam kuburan tersebut dibongkar lalu diambil, maka dibolehkan shalat di tempat itu.
Pengecualian Dari Larangan Tersebut, yaitu shalat terhadap jenazah yang telah dikubur –bagi orang yang belum sempat shalat jenazah sebelumnya– dengan landasan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى عَلَى قَبْرٍ بَعْدَ مَا دُفِنَ فَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعًا
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di atas kuburan setelah jenazah dimakamkan, kemudian Rasul –dalam shalat tersebut– bertakbir empat kali.”(8)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَ عَمَّنْ كَانَ يَقُمُّ المَسْجِدَ , فَقَالُوا: مَاتَ يَا رَسُوْلَ الله ، قَالَ: ” أَفَلاَ آذَنْتُمُونِي؟ ” قالو إنه كان كذا و كذا -قصته – قال : فحقروا شأنه قَالَ: “فدُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ ” , فَأَتَى قَبْرَهُ فَصَلَّى عَلَيْهِ
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menanyakan tentang seseorang yang biasa merawat (membersihkan) masjid, lalu para sahabat berkata, “Ia telah meninggal wahai Rasulullah” kemudian Rasulullah kembali bertanya, “Mengapa kalian tidak mengabari aku?” para sahabat pun menceritakan kisah lelaki yang telah meninggal tersebut, Abu Hurairah berkata, “Mereka merendahkan kedudukannya” hingga Rasulullah pun bersabda, “Tunjukkan kepadaku di mana makamnya” hingga Rasulullah kemudian menghampiri kuburan lelaki tersebut, dan menshalati jenazahnya.” (9)
Dalam permasalahan shalat di atas kuburan seperti ini, terdapat perbedaan pendapat diantara ulama. Jumhur ulama sendiri membolehkannya, akan tetapi Imam Malik dan Imam Abu Hanifah melarangnya. Lebih lengkapnya tentang pembahasan ini akan dijelaskan dalam bab “Al-Janaiz”.
3. Kamar Mandi
Yaitu tempat yang digunakan untuk mandi, bukan tempat buang toilet sebagaimana yang tersebar dalam istilah orang banyak. Shalat di kamar mandi tidak dibolehkan, sebagaimana hadits Abu Sai’d radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ ، إِلاَّ الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
“Bumi ini seluruhnya adalah masjid, kecuali kuburan dan kamar mandi.”
4. Toilet
Yang merupakan tempat untuk buang hajat juga tidak dibolehkan shalat di situ. Karena tempat itu najis dan merupakan sarangnya setan. Hal tersebut sebagaimana dalam hadits Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ هَذِهِ الْحُشُوشَ مُحْتَضَرَةٌ ، فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْخَلاَءَ فَلْيَقُلْ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
“Sesungguhnya toilet itu adalah sarang berkumpulnya setan. Jika seorang dari kalian ingin buang hajat, maka ucapkanlah doa “A’udzubillah minal khubutsi wal khabaitsi.” (aku berlindung kepada Allah dari khubuts (setan jantan) dan khabaits (setan betina).” (10)
5. Masjid Dhirar
Yaitu masjid yang malah dibikin untuk pertemuan merencanakan makar kepada kaum Muslimin, seperti masjid-masjidnya kaum munafiqin. Al-Imam Qurtubi rahimahullah dalam tafsirnya menukil pendapat ulama Malikiyyah :
كل مسجد بني على ضِرار أو رياء وسُمعة فهو في حكم مسجد الضرار لا يجوز الصلاة فيه
“Setiap masjid yang dibangun diatas kemudhorotan atau riya dan sum’ah, maka hukumnya seperti hukum masjid dhirâr yang tidak boleh sholat padanya.” -selesai-.
Hal ini sebagaimana FirmanNya :
والذين اتّخذوا مَسجدًا ضِرارًا وكُفْرًا وتَفريقًا بين المؤمِنينَ وإرْصادًا لِمَنْ حَارَبَ اللهَ ورَسولَه مِنْ قَبْلُ ولَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلاّ الحُسْنَى واللهُ يَشْهَدُ إنَّهُمْ لَكاذِبُونَ (107) لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudaratan (pada orang-orang mukmin) dan karena kekafiran(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah, “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu salat dalam masjid itu selama-lamanya.” (Surat At-Taubah : 107-108).
6. Tempat Turunnya Azab
Sependek pengetahun kami tidak ada satu pun ulama yang mengatakan haramnya, sebagian ulama seperti al-‘Allâmah al-‘Aini dan Zakariyâ al-Anshari rahimahumâllah dalam kitab syarah Bukharinya masing-masing mengatakan hukumnya makruh. Ada sebuah hadits dari Ali bin Thalib radhiyallahu anhu :
وَنَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ فِي أَرْضِ بَابِلَ ؛ فَإِنَّهَا مَلْعُونَةٌ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang aku sholat di negeri Bâbil, karena ia dilaknat.” (HR. Abu Dawud, didhoifkan oleh al-Albani).
Bolehkah Shalat Di Atas Selokan Air?
Penutup saluran pembuangan air bukanlah bagian dari saluran pembuangan itu sendiri, dan juga bukan tolilet. Karenanya dibolehkan shalat di atasnya selama penutup tersebut bersih dari najis. Wallahu a’lam.
Apa Hukumnya Shalat Dengan Mengenakan Pakaian Hasil Curian Atau Pakaian Haram, Dan Shalat Di Atas Tanah Rampasan?
Dalam masalah ini –dan masalah semisalnya– terdapat dua pendapat ulama yang berbeda:
Pertama: Shalat tersebut tidak sah. Ini merupakan pendapat masyhur dalam madzhab Imam Ahmad, juga madzhab Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[11] Dalil mereka adalah:
Hadits Marfu’ dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma.
من اشترى ثوبا بعشرة دراهم ، وفيه درهم حرام ، لم تقبل له صلاة ما دام عليه
“Siapa yang membeli pakaian dengan harga sepuluh dirham yang di dalamnya terdapat satu dirham haram, maka shalatnya tidak diterima selama ia mengenakan pakaian tersebut.” (12)
Bahwa pakaian itu terkait erat dengan rukun dan syarat suatu ibadah, karena dapat mempengaruhi ibadah tersebut. Berbeda halnya dengan sesuatu yang tidak ada keterikatan dengan ibadah, maka ia tidak dapat menimbulkan dampak terhadap ibadah tersebut. Seperti orang yang wudhu’ dari bejana emas misalkan, tempat yang menampung air (bejana emas) tersebut tidak memiliki keterikatan dengan ibadah, sehingga tidak dapat mempengaruhi ibadah.
Kedua : Shalat tersebut hukumnya sah, meskipun ia mendapatkan dosa karena mengenakan pakaian rampasan tersebut. Ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i[13]. dan pendapat inilah yang lebih kuat. Karena syariat tidak menyebutkan larangan untuk shalat di tanah rampasan, juga shalat dalam kondisi memakai pakaian rampasan atau pakaian yang haram. Namun syariat secara global telah melarang perbuatan merampas dan mengenakan pakaian hasil rampasan. Sehingga shalat dalam keadaan seperti ini; sah hukumnya, walaupun tetap berdosa bagi pelakunya –karena telah merampas–. Inilah yang disebut sebagai “Kaidah pemisahan antara sudut berbeda dalam suatu kasus tunggal”.[14]
Selain itu, hadits yang digunakan landasan dalil oleh madzhab pertama tidaklah tepat, karena “tidak diterima” tidaklah menjadikan sesuatu itu “tidak sah” atau batal.
Penulis berkata: Memperkuat pendapat kedua ini, dengan hadits ‘Uqbah bin Amir,
أُهْدِىَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَرُّوجُ حَرِيرٍ فَلَبِسَهُ ، ثُمَّ صَلَّى فِيهِ ، ثُمَّ انْصَرَفَ فَنَزَعَهُ نَزْعًا شَدِيدًا كَالْكَارِهِ لَهُ ثُمَّ قَالَ : لاَ يَنْبَغِى هَذَا لِلْمُتَّقِينَ
“Aku menghadiahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Farruj –semacam baju luar yang terdapat belahan di belakangnya– yang terbuat dari kain sutera, lalu Rasulullah pun memakainya. Lalu beliau shalat mengenakan pakaian tersebut, kemudian pergi dan melepas farruj tersebut dengan kuatnya seolah-olah beliau tidak suka dengan farruj tersebut. Setelah itu Rasulullah pun bersabda, “Pakaian –sutera– ini tidaklah layak untuk orang-orang yang bertakwa.” (15)
Saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenakan sutera sebelum turunnya larangan –bagi lelaki– untuk memakai kain sutera hingga datangnya malaikat Jibril mengabarkan keharaman kain tersebut –sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim dari Jabir– baik ketika shalat maupun di luar shalat. Namun pada kasus di atas, Rasulullah pun tidak mengulangi shalat lagi –yang menunjukkan bahwa shalat tersebut hukumnya sah–.