Fatwapedia.com – Salah satu sifat sholat yang ditulis oleh al-Imam Muhammad Naashiruddin al-Albani dalam kitab monumentalnya, Sifat Sholat Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam adalah sifat bangkit menuju rakaat berikutnya, dimana disebutkan bahwa Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam pernah melakukan ‘Ajn pada saat bangkit menuju rakaat berikutnya.
Pengertian ‘Ajn
‘Ajn yang dimaksud disini adalah seorang ketika berdiri bangkit menuju rakaat berikutnya, ia menggengam kedua tangannya lalu bertumpu dengan kedua punggung telapak tangannya, seperti kondisi orang yang sedang meratakan tepung dengan memukul-mukul menggunakan kedua punggung telapak tangannya. Gambaran mudahnya adalah seperti tangan dalam kondisi memukul, hanya saja disini, dalam kondisi seperti itu lalu dia jadikan tumpuan untuk bangkit ke rakaat berikutnya.
Imam Al Albani dalam Sifat Sholat Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam (hal. 155 cet. Maktabah al-Ma’aarif) menulis :
ﻛﺎﻥ ﻳﻌﺠﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ : ﻳﻌﺘﻤﺪ ﻋﻠﻰ ﻳﺪﻳﻪ ﺇﺫﺍ ﻗﺎﻡ
“Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam melakukan ‘ajn dalam sholat, Beliau Sholallahu ‘alaihi wa salaam berpegang dengan kedua tangannya ketika berdiri (menuju ke rakaat berikutnya-pent.)”.
Kemudian Imam Al Albani mentakhrij hadits ini dalam “ash-Shahihah” (2674). Hadits diatas diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath (1/239/1 manuskrip Univ. Islam Madinah no. 419 t) dari jalan haddatsanaa Ali bin Sa’id ar-Rooziy ia berkata, akhbaronaa Abdullah bin Umar bin Abaan ia berkata, akhbaronaa Yuunus bin Bukair ia berkata, akhbaronaa al-Haitsam bin ‘Alqomah bin Qois bin Tsa’labah dari al-Azroq bin Qois ia berkata :
ﺭﺃﻳﺖ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻭﻫﻮ ﻳﻌﺠﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ، ﻳﻌﺘﻤﺪ ﻋﻠﻰ ﻳﺪﻳﻪ ﺇﺫﺍ ﻗﺎﻡ، ﻓﻘﻠﺖ : ﻣﺎ ﻫﺬﺍ ﻳﺎ ﺃﺑﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ؟ ﻗﺎﻝ : ﻓﺬﻛﺮﻩ
“Aku melhat Ibnu Umar Rodhiyallahu ‘anhu melakukan ‘ajn dalam sholat yang ia bertumpu dengannya ketika bangkit (menuju rakaat berikutnya). Lalu aku berkata : ‘apa itu wahai Abu Abdir Rokhman (kunyah Ibnu Umar Rodhiyallahu ‘anhu –pent.)?’, lalu beliau Rodhiyallahu ‘anhu menjawab :
ﺭﺃﻳﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻌﺠﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ
“aku melihat Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa salaam melakukan ‘ajn dalam sholat”.
Setelah meriwayatkan hadits ini, Imam Thabrani berkata :
ﻟﻢ ﻳﺮﻭ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻋﻦ ﺍﻷﺯﺭﻕ ﺇﻻ ﺍﻟﻬﻴﺜﻢ، ﺗﻔﺮﺩ ﺑﻪ ﻳﻮﻧﺲ ﺑﻦ ﺑﻜﻴﺮ
Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari al-Azroq selain al-Haitsam. Yunus bin Bukair menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini.
Lalu Imam Al Albani mengomentari sanad hadits diatas, kata beliau :
ﻭﻫﻮ ﺻﺪﻭﻕ ﺣﺴﻦ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﻦ ﺭﺟﺎﻝ ﻣﺴﻠﻢ، ﻭﻓﻴﻪ ﻛﻼﻡ ﻻ ﻳﻨﺰﻝ ﺣﺪﻳﺜﻪ ﻋﻦ ﻣﺮﺗﺒﺔ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺇﻥ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ . ﻟﻜﻦ ﺷﻴﺨﻪ ﺍﻟﻬﻴﺜﻢ ﺑﻦ ﻋﻠﻘﻤﺔ ﺑﻦ ﻗﻴﺲ ﺑﻦ ﺛﻌﻠﺒﺔ ﻟﻢ ﺃﻋﺮﻓﻪ، ﻭﻟﻢ ﺃﺭ ﺃﺣﺪﺍ ﺫﻛﺮﻩ، ﻓﺄﺧﺸﻰ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻭﻗﻊ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﻭﺍﻳﺔ ﺷﻲﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻒ
“Yunus bin Bukair shoduq hasanul hadits, perowi Muslim. Beliau dikritik namun tidak menurunkan haditsnya dibawah tingkatan hadits Hasan, insya Allah Ta’aalaa. Namun gurunya al-Haitsam bin ‘Alqomah bin Qois bin Tsa’labah aku tidak mengenalnya, dan aku tidak melihat seorang pun menyebutkan biografi perowinya. aku khawatir dalam riwayat ini terjadi tahrif (perubahan nama)” -selesai-.
Kekhawatiran beliau ini terbukti dalam riwayat Imam Abu Ishaq al-Harbiy dalam “Ghoriibul Hadits” dari jalan : haddatsanaa Abdullah bin Umar, haddatsanaa Yunus bin Bukair dari al-Haitsam dari ‘Athiyyah bin Qois dari al-Azroq bin Qois dan seterusnya. Kata Imam Al Albani Abu Ishaq al-Harbi Imam yang tsiqoh dan Haafidz, sehingga riwayatnya lebih didahulukan dibandingkan riwayat dari Ali bin Sa’id ar-Rooziy, sekalipun beliau juga perowi tsiqoh, hanya saja ada kritikan dari Imam Daruquthni yang mengatakan tentangnya : ‘laisa bidzaka (tidak seperti itu)’.
Jika berpegang kepada riwayatnya Imam Abu Ishaq al-Harbiy maka kata Imam Al Albani bahwa al-Haitsam disini adalah ibnu Imron ad-Dimasyqiy, ditsiqohkan oleh Imam Ibnu Hibban dan beliau diriwayatkan oleh sejumlah perowi tsiqoh. Adapun ‘Athiyyah bin Qois adalah perowi tsiqoh, kata Imam Al Albani.
Oleh sebab itu hadits ini minimalnya berstatus Hasan, sehingga Imam Al Albani memasukkan tata cara sholat ini sebagai salah satu sifat sholat Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam. Dalam Tamaamul Minnah beliau mengatakan bahwa hadits ini Shoolih. kemudian sekali lagi kita ucapkan rasa terimakasih kepada Imam Al Albani yang mencoba menghidupkan sunah-sunah Nabi, khususnya dalam masalah ini berkaitan dengan sholat, karena fiimaa na’lam tidak ada yang mempopulerkan sifat ‘Ajn, selain dari beliau rahimahullahu Ta’aalaa.
Kemudian saya dapati ulama sebelum Imam Al Albani mengingkari sifat ‘Ajn ini, misalnya Imam Nawawi. Pengingkaran beliau dilakukan karena pendapat beliau yang melemahkan hadits tentang sifat ‘Ajn, namun bukan hadits ini, yakni hadits yang diriawayatkan oleh sahabat Abdullah bin Abbas Rodhiyallahu ‘anhu beliau berkata :
ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ” ﻛَﺎﻥَ ﺇﺫَﺍ ﻗَﺎﻡَ ﻓِﻲ ﺻَﻠَﺎﺗِﻪِ ﻭَﺿَﻊَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻛَﻤَﺎ ﻳَﻀَﻊُ ﺍﻟْﻌَﺎﺟِﻦُ
“Bahwa Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam jika bangkit dalam sholat, Beliau meletakkan kedua tangannya ke tanah, sebagaimana tukan adonan roti meletakkan kedua tangannya”.
Setelah menyebutkan hadits ini dalam al-Majmu syarah al-Muhaddzab (3/443-cet. Daarul Fikr) Imam Nawawi berkomentar :
ﻓَﻬُﻮَ ﺣَﺪِﻳﺚٌ ﺿَﻌِﻴﻒٌ ﺃَﻭْ ﺑَﺎﻃِﻞٌ ﻟَﺎ ﺃَﺻْﻞَ ﻟَﻪُ ﻭَﻫُﻮَ ﺑﺎﻟﻨﻮﻥ ﻭﻟﻮ ﺻﺢ ﻛﺎﻥ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﻗﺎﺋﻢ ﻣﻌﺘﻤﺪ ﺑِﺒَﻄْﻦِ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻛَﻤَﺎ ﻳَﻌْﺘَﻤِﺪُ ﺍﻟْﻌَﺎﺟِﺰُ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟﺸَّﻴْﺦُ ﺍﻟْﻜَﺒِﻴﺮُ ﻭَﻟَﻴْﺲَ ﺍﻟْﻤُﺮَﺍﺩُ ﻋَﺎﺟِﻦَ ﺍﻟْﻌَﺠِﻴﻦِ
“Ini adalah hadits dhoif atau bathil tidak ada asalnya. Lafadznya dengan nuun, seandainya shahih haditsnya, maka maknanya adalah Beliau berdiri dengan bertumpu kepada kedua telapak tangan sebelah dalamnya, sebagaimana orang yang ‘aajiz (lemah) yaitu sudah sepuh umurnya, bukanlah yang dimaksud dengan itu ‘ajnnya tukang pembuat adonan roti” -selesai-.
Begitu juga Imam Ibnu Ustaimin ketika ditanya tentang masalah ‘Ajn ketika bangkit dari sholat, beliau menjawab :
ﻭ ﻣﺎﻟﻚ ﺑﻦ ﺣﻮﻳﺮﺙ – ﺃﻳﻀﺎً – ﺫﻛﺮ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ [ ﻛﺎﻥ ﺇﺫﺍ ﺃﺭﺍﺩ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻡ ﺍﻋﺘﻤﺪ ﻋﻠﻰ ﻳﺪﻳﻪ ] ﻭﻟﻜﻦ ﻫﻞ ﻫﻮ ﻋﻠﻰ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﻌﺎﺟﻦ ﺃﻡ ﻻ؟ ﻓﻬﺬﺍ ﻳﻨﺒﻨﻲ ﻋﻠﻰ ﺻﺤﺔ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻮﺍﺭﺩ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ، ﻭﻗﺪ ﺃﻧﻜﺮ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ ﺻﺤﺔ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﺃﻱ : ﺃﻧﻪ ﻳﻘﻮﻡ ﻛﺎﻟﻌﺎﺟﻦ، ﻭﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺘﺄﺧﺮﻳﻦ ﺻﺤﺤﻪ
“Maalik bin Huwairits Rodhiyallahu ‘anhu juga menyebutkan bahwa Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam jika bangkit bertumpu dengan kedua tangannya, namun apakah bangkitnya tadi dengan sifat ‘ajn atau bukan?, hal ini dibangun atas keshahihan hadits yang datang berkaitan dengannya, an-Nawawi telah mengingkari keshahihan hadits ini dalam al-Majmu. Dan sebagian ulama muta’akhirin menshahihkannya”. (lihat liqoo’aatil Baabil Maftuuh).
Kemudian saya mendapati salah seorang anggota kibarul Ulama Saudi dahulu yaitu asy-Syaikh Bakr bin Abu Zaid Rahimahullah juga mengingkari sifat ‘ajn ini dalam kitabnya Laa Jadiida fii Ahkamis Sholat (47-48 cet. Daaru Ibnul Jauzi) kemudian beliau mendhoifkan hadits yang disebutkan oleh Imam Al Albani dalam bab ini dalam kitabnya ‘kaifiyyati an-Nuhuudh fii ash-Sholaat’ . beliau mendhoifkan hadits Ibnu Umar Rodhiyallahu ‘anhu karena ada dua cacat padanya yaitu kelemahan Yunus bin Bukair dan al-Haitsam bin Imroon. Untuk Yunus bin Bukair, Syaikh Bakr berpegang kepada penilaian Ibnu Hajr dalam at-Taqriib yang menilainya sebagai perowi shoduq yukhthi’u (jujur namun keliru) setelah terjadi perselisihan ulama dalam mentautsiq dan menjarh Yunus ini. Oleh karenanya Syaikh Bakr memahami bahwa Yunus ini lemah haditsnya jika tidak ada penguatnya.
Kemudian Imam Al Albani dalam “Tamaamul Minnah” menyanggah perkataan Syaikh Bakr tentang Yunus ini, bahwa intinya beliau ini diperselisihkan ulama, sebagian menshahihkannya dan sebagian menjarhnya, sehingga penilaian yang adil terhadapnya bahwa haditsnya Hasan. Dan untuk menambah pengetahuan tentang Yunus, dapat merujuk kepada kitab tahdzibul kamal karya al-Mizzi dan tahdzibut tahdzib karya Ibnu Hajar.
Adapun al-Haitsam, maka tidak ada ta’dil dan jarh kepadanya, kecuali dari Imam Ibnu Hibban yang mentausiqnya. Beliau sendiri, ada 5 perowi tsiqoh yang telah meriwayatkan darinya. Syaikh Bakr menilai bahwa al-Haitsam ini hanya naik statusnya dari majhul ‘ain menjadi majhul hal, artinya haditsnya lemah jika tanpa penguat. Sedangkan Imam Al Albani berpegang kepada kaedah jika perowi hanya ditsiqohkan oleh Imam Ibnu Hibban dan ia telah diriwayatkan oleh sejumlah perowi tsiqoh, maka haditsnya dapat dijadikan hujjah, selama tidak terdapat pengingkaran terhadap haditsnya. Imam Al Albani berkata tentang al-Haitsam ini dalam adh-Dhoifah (no. 967 j.2/392) :
ﻭﺍﻟﻬﻴﺜﻢ ﻫﻮ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮﺍﻥ ﺍﻟﺪﻣﺸﻘﻲ، ﺃﻭﺭﺩﻩ ﺍﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ ﻓﻲ ” ﺍﻟﺜﻘﺎﺕ ” ( 2 / 296 ) ﻭﻗﺎﻝ : ” ﻳﺮﻭﻱ ﻋﻦ ﻋﻄﻴﺔ ﺑﻦ ﻗﻴﺲ، ﺭﻭﻯ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﻬﻴﺜﻢ ﺑﻦ ﺧﺎﺭﺟﺔ .“ ﻭﺃﻭﺭﺩﻩ ﺍﺑﻦ ﺣﺎﺗﻢ ﻓﻲ ” ﺍﻟﺠﺮﺡ ﻭﺍﻟﺘﻌﺪﻳﻞ ” ( 4 / 2 / 82 – 83 ) ﻭﻗﺎﻝ : ” ﺭﻭﻯ ﻋﻨﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻭﻫﺐ ﺑﻦ ﻋﻄﻴﺔ، ﻭﻫﺸﺎﻡ ﺑﻦ ﻋﻤﺎﺭ، ﻭﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺷﺮﺣﺒﻴﻞ .“ ﻗﻠﺖ : ﻭﻟﻢ ﻳﺬﻛﺮ ﻓﻴﻪ ﺟﺮﺣﺎ ﻭﻻ ﺗﻌﺪﻳﻼ، ﻟﻜﻦ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻫﺆﻻﺀ ﺍﻟﺜﻘﺎﺕ ﺍﻟﺜﻼﺛﺔ ﻋﻨﻪ ﻭﻳﻀﻢ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﺭﺍﺑﻊ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻬﻴﺜﻢ ﺑﻦ ﺧﺎﺭﺟﺔ، ﻭﺧﺎﻣﺲ ﻭﻫﻮ ﻳﻮﻧﺲ ﺑﻦ ﺑﻜﻴﺮ، ﻣﻤﺎ ﻳﺠﻌﻞ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﺗﻄﻤﺌﻦ ﻟﺤﺪﻳﺜﻪ ﻷﻧﻪ ﻟﻮﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺷﻲﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﻀﻌﻒ ﻟﺘﺒﻴﻦ ﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﺃﺣﺪ ﻫﺆﻻﺀ ﺍﻟﺜﻘﺎﺕ ﻋﻨﻪ
“Al-haitsam adalah ibnu Imroon ad-Dimasyqiy, Ibnu Hibban menulis dalam ats-Tsiqoot (2/296) lalu berkata : ‘meriwayatkan dari ‘Athiyyah bin Qois dan meriwayatkan darinya al-Haitsam bin Khoorijah’. Lalu Ibnu Abi Hatim menulis dalam al-Jarh wa Ta’dil (4/2/82-83) ia berkata : ‘meriwayatkan darinya Muhammad bin Wahab bin ‘Athiyyah, Hisyaam bin ‘Ammaar dan Sulaiman bin Syarhabiil’.
Al Albani berkata : ‘tidak disebutkan padanya jarh maupun ta’dil, namun riwayat dari 3 orang tersebut dan digabungkan dengan yang keempat yaitu al-Haitsam bin Khoorijah dan yang kelima Yunus bin Bukair, menjadikan jiwaku tenang untuk menerima hadits ini, karena jika ada kelemahan padanya tentu akan dijelaskan oleh salah satu perowi tsiqoh tersebut’”.
Kesimpulannya :
1. Hadits tentang sifat sholat ‘Ajn, tsabit haditsnya dari Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam, berdasarkan kaedah-kaedah ilmu hadits.
2. Ketidaktahuan adanya ulama yang mengamalkan sebelumnya dari sebuah hadits shahih, bukan berarti hadits tersebut gugur pengamalannya. Imam Syafi’I telah memiliki pembahasan yang bagus dalam kitabnya ar-Risaalah, terkait kasus Umar bin Khothob Rodhiyallahu ‘anhu yang memutuskan diyat jari tangan sesuai dengan besar kecilnya ukuran jari tangan, lalu setelah beliau Rodhiyallahu ‘anhu mendapatkan keterangan yang shahih dari Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam tentang diyat jari tangan bahwa semuanya sama, masing-masing sebesar 10 ekor unta, maka beliau Rodhiyallahu ‘anhu rujuk kepada pendapat tersebut, sekalipun tidak diketahui ada orang yang mengamalkan hadits ini sebelumnya.
3. Namun bagi yang tidak mengamalkan sifat sholat ini, karena memandang lemah haditsnya atau sebab lainnya, maka ini adalah permasalahan khilaf yang perlu bijaksana dalam menyikapinya. Asy-Syaikh DR. Falaah bin Ismail Mandzakaar (murid 3 imam zaman ini bin Baz, Al Albani dan Ibnu Utsaimin -pent.) pernah ditanya soal berikut :
ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ : ﺍﻻﻋﺘﻤﺎﺩ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻴﺪﻳﻦ ﺑﺎﻟﻌﺠﻦ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻘﻴﺎﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺠﻮﺩ ﺃﻭ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﺸﻬﺪ ﺍﻷﻭﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻫﻞ ﻫﻮ ﺛﺎﺑﺖ ﻋﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ؟
ﺍﻟﺠﻮﺍﺏ : ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻭ ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﻣﻦ ﺗﺒﻊ ﻫﺪﺍﻩ ﻭﺑﻌﺪ ، ﺍﻟﻌﺠﻦ ﻻ، ﻭﻫﺬﺍ ﺧﻼﻑ ﺑﻴﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ، ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻗﺎﻝ : ﻛﺎﻥ ﻳﻘﻮﻡ ﻛﻤﺎ ﻳﻘﻮﻡ ﺍﻟﻌﺎﺟﺰ، ﻭﺑﻌﻀﻬﻢ ﻗﺎﻝ : ﻳﻘﻮﻡ ﻛﻤﺎ ﻳﻘﻮﻡ ﺍﻟﻌﺎﺟﻦ ، ﻓﺼﻮﺭﺓ ﻛﺘﺎﺑﺔ ﺣﺮﻓﻲ ﺍﻟﺰﻳﻦ ﻭﺍﻟﻨﻮﻥ ﻣﺘﻘﺎﺭﺑﺔ ، ﻭﺃﺣﻴﺎﻧﺎ ﺗﺮﻓﻊ ﺍﻟﺰﺍﻱ ﻭﻧﻘﻄﺔ ﺍﻟﺰﺍﻱ ﻭﺍﻟﻨﻮﻥ ﻭﺍﺣﺪﺓ ، ﻭﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﻣﺸﺎﻳﺨﻨﺎ ﺭﺟﺢ ﺃﻧﻪ ﺍﻟﻌﺎﺟﺰ ﻭﻟﻴﺲ ﺍﻟﻌﺎﺟﻦ . ﻓﻤﻦ ﻗﺮﺃﻫﺎ : ( ﺍﻟﻌﺎﺟﻦ ) ﻓﻴﻘﺒﺾ ، ﻭﻣﻦ ﻗﺮﺃﻫﺎ : ( ﺍﻟﻌﺎﺟﺰ ) ﻳﺒﺴﻂ ﻳﺪﻳﻪ ﺛﻢ ﻳﻘﻮﻡ . ﻓﻌﻠﻰ ﺃﻳﻬﻤﺎ ﻓﻌﻞ ﻳﻜﻮﻥ ﺇﻥ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻮﺍﺏ ، ﻭﺍﻷﻣﺮ ﻓﻴﻪ ﺳﻌﺔ ، ﻭﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ، ﻭﺍﻟﻘﺪﺭ ﺍﻟﻤﺸﺘﺮﻙ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻘﻮﻟﻴﻦ ﻫﻮ ﺍﻻﻋﺘﻤﺎﺩ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻴﺪﻳﻦ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻘﻴﺎﻡ ، ﻭﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ﺇﻣﺎ ﺑﻘﺒﺾ ﺍﻷﺻﺎﺑﻊ ﺃﻭ ﺑﺴﻄﻬﺎ ، ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ
Soal : bertumpu dengan kedua tangan secara ‘ajn ketika bangkit dari sujud atau dari tasyahud awal dalam sholat apakah tsabit dari Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa salaam?
Jawab : setelah tahmid…
Ajn atau tidak ini adalah masalah yang diperselisihkan oleh ulama, sebagian mereka mengatakan ia bangkit seperti orang bangkitnya orang yang lemah dan sebagian lagi mengatakan ia bangun seperti tukang roti yang meratakan tepung. Karena bentuk tulisan antara huruf zaa dengan nuun hampir mirip. Kebanyakan guru kami merajihkan bahwa itu adalah al-‘Aajiz bukan al-‘Aajin. Maka barangsiapa yang membacanya al-‘Aajin maka ia menggenggam tangannya dan barangsiapa yang membacanya al-‘Aajiz maka ia bentangkan telapak tangannya lalu berdiri. Maka yang mana saja ia lakukan adalah benar in syaa Allah. Dan perkaranya adalah luas.