Empat Jenis Pernikahan yang Dilarang Dalam Islam

Empat Jenis Pernikahan yang Dilarang Dalam Islam

Fatwapedia.com – Pernikahan bisa bernilai ibadah namun juga bisa menjadi haram dan terlarang. Kapan sebuah pernikahan dilarang dan apa alasannya? Diantara alasan pengharaman Nikah disini adalah karena adanya dua unsur yaitu fasid dan batil.

Apa itu Fasid dan bathil? Ini adalah dua kata yang bersinonim dalam istilah jumhur ulama, kecuali dalam masalah pernikahan. Ketika mereka mengatakan “pernikahan yang batil”, maka maksudnya adalah pernikahan yang disepakati oleh umat Islam tidak sah karena pada asalnya pernikahan tersebut tidak pernah terlaksana dan tidak diakui oleh syariat Islam sehingga pemisahan kedua mempelainya pun tidak membutuhkan proses menjatuhkan talak, dan pada gilirannya akibat-akibat dari jatuhnya talak pun tidak berlaku di sini, kecuali pernikahan tersebut terjadi karena suatu syubhat. Adapun jika mereka mengatakan “pernikahan yang fasid”, maka maksudnya adalah pernikahan yang ke-fasid-annya (kerusakannya) masih diperdebatkan oleh umat Islam, dan wajib dilakukan pemisahan (kedua mempelai) lewat proses talak, serta berlaku di dalamnya sebagian akibat dari jatuhnya talak.

Pertama Nikah Syighar

Nikah syighar adalah seseorang menikahkan anak perempuan, saudara perempuan atau budak perempuannya (dengan seorang laki-laki) dengan syarat laki-laki itu menikahkan anak perempuan, saudara perempuan atau budak perempuannya dengannya, baik dengan saling memberi mahar di antara keduanya atau pun tidak menurut pendapat yang paling benar.

Para ulama telah bersepakat mengharamkan nikah syighar, namun mereka berbeda pendapat dalam hal kesahannya. Jumhur ulama berpendapat nikah ini tidak sah, (lihat Fath al-Bari (IX/163) berdasarkan dalil-dalil berikut.

a. Hadits Jabir radhiallahu ‘anhu dia berkata,

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الشِّغَارِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang nikah syighar.”[1]

b. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata,

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الشِّغَارِ» زَادَ ابْنُ نُمَيْرٍ: ” وَالشِّغَارُ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: زَوِّجْنِي ابْنَتَكَ وَأُزَوِّجُكَ ابْنَتِي، أَوْ زَوِّجْنِي أُخْتَكَ وَأُزَوِّجُكَ أُخْتِي

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang nikah syighar.” Dia[2] berkata, “Nikah syighar adalah seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain, ‘Nikahkan aku dengan anak perempuanmu, maka aku nikahkan kamu dengan anak perempuanku.’ Atau berkata, ‘Nikahkan aku dengan saudara perempuanmu, maka aku nikahkan kamu dengan saudara perempuanku.”[3]

c. Dari al-A‘raj “bahwa al-Abbas bin Abdullah bin Abbas menikahkan Abdurrahman bin al-Hakam dengan anak perempuannya dan sebaliknya Abdurrahman bin al-Hakam menikahkan al-Abbas dengan anak perempuannya. Keduanya saling membayar mahar. Maka Mu‘awiyah (Amirul Mukminin saat itu) mengirim surat kepada Marwan untuk menyuruhnya menceraikan kedua orang itu masing-masing dari istrinya. Mu‘awiyah menulis dalam suratnya itu: ‘Ini nikah syigharyang telah dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.”[4]

d. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ، وَإِنْ اشْتَرَطَ مِائَةَ شَرْطٍ، شَرْطُ اللَّهِ أَحَقُّ وَأَوْثَقُ

“Siapa membuat syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah, maka syarat itu syarat yang batil sekalipun dia membuat seratus syarat. Hal itu karena syarat yang dibuat Allah lebih hak dan lebih kokoh.”[5]

e. Kemudian, adanya pensyaratan timbal-balik (tukar-menukar) tersebut menyebabkan rusaknya pernikahan ini karena mengandung banyak kerusakan, yaitu menyebabkan terjadinya pemaksaan terhadap kaum perempuan untuk menikah dengan laki-laki yang tidak mereka sukai karena lebih mengutamakan kepentingan para wali daripada kepentingan kaum perempuan. Ini jelas kezaliman terhadap mereka. Di samping itu, karena pernikahan ini mengakibatkan pihak perempuan tidak mendapatkan mahar yang setimpal sebagaimana yang sering terjadi di antara orang-orang yang menjalankan akad nikah yang mungkar ini. Demikian pula, pernikahan ini akan memicu pertengkaran dan permusuhan setelah pernikahan dan ini merupakan hukuman yang Allah segerakan turunnya kepada orang-orang yang menyelisihi syariat-Nya.[6]

Kedua Nikah Muhallil

Nikah muhallil adalah seorang laki-laki[1] menikahi perempuan yang telah ditalak tiga oleh suaminya[2] kemudian setelah itu dia mentalaknya dengan tujuan membuat si perempuan halal untuk dinikahi kembali oleh bekas suaminya tadi.

Pernikahan ini termasuk dosa besar. Allah Subhanahu wata’ala mengharamkannya dan melaknat orang yang melakukannya dan orang yang dia bantu dengan pernikahan tersebut.

Dari Ibnu Mas‘ud radhiallahu ‘anhu, dia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُحِلَّ وَالمُحَلَّلَ لَهُ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat al-muhillu dan al-muhallal lahu.”[7]

Mayoritas ulama, di antaranya: Malik, asy-Syafi‘i –dalam salah satu pendapatnya–, Ahmad, al-Laits, ats-Tsauri, Ibnu al-Mubarak, dan selain mereka, berpendapat bahwa nikah muhalliladalah nikah yang fasid, dan ini juga merupakan pendapat Umar bin al-Khaththab dan Abdullah putranya serta Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhum dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.[8]

a. Dari Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Tidaklah dibawa kepadaku seorang muhallil dan muhallalah (perempuan yang dinikahi oleh muhallil) melainkan akan aku rajam keduanya.”[9]

b. Saat ditanya tentang hukum menikahi seorang perempuan (tertalak tiga untuk kemudian ditalak lagi) agar kembali halal untuk dinikahi oleh bekas suaminya, Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma berkata, “Itu as-sifah (perzinaan).”[10]

Sama saja dalam hal ini, baik disyaratkan kepada si muhallil untuk mentalak perempuan tersebut agar halal bagi suami pertamanya atau pun tidak disyaratkan namun dia meniatkannya begitu, maka nikahnya fasid.

c. Dari Nafi‘, dia berkata, “Seorang laki-laki datang menemui Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma untuk bertanya tentang laki-laki yang mentalak istrinya tiga kali, lalu tanpa dia minta saudara laki-lakinya menikahi bekas istrinya tersebut agar nantinya halal lagi baginya, maka apakah sang istri memang halal bagi suami pertamanya tersebut? Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma menjawab, “Tidak, kecuali nikah raghbah(yang dilakukan suka sama suka). Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kami menganggap nikah yang seperti itu sebagai perzinaan.”[11]

Abu Hanifah dan asy-Syafi‘i –dalam pendapatnya yang kedua dan ini yang lebih masyhur–berpendapat bahwa pernikahan tersebut sah sedang syaratnya batil.[12]Namun, pendapat ini tidak disokong oleh satu pun dalil. Yang benar adalah pernikahan tersebut pernikahan yang fasid.

Catatan tambahan

Yang Jadi Patokan Untuk Menilai Rusak Atau Tidaknya Nikah Ini Adalah Niat Suami Kedua Atau Al-Muhallil, yaitu tidak lepas dari dua keadaan berikut.

1. Awal, baik disyaratkan kepadanya maupun tidak, dia memang telah berniat menikahi perempuan tersebut untuk kemudian mentalaknya agar halal dinikahi oleh suami pertama, maka pada saat itu nikahnya fasid dan dia menjadi orang yang terlaknat.

2. Sebelum melaksanakan akad nikah, telah disyaratkan kepadanya agar menceraikan si istri agar halal bagi suami pertamanya. Namun, dia meniatkan selain yang disyaratkan itu, dan meniatkan nikahnya sebagai nikah raghbah, maka nikahnya sah karena lepas dari niat dan syarat nikah muhallil.[13]

Sedangkan niat suami pertama atau istri tidak dianggap karena suami pertama tidak memiliki bagian apapun dari akad dan juga tidak punya hak untuk membatalkannya karena hakikatnya dia hanyalah orang luar. Demikian pula hanya dengan si istri karena hak untuk mentalak atau mempertahankan ada di tangan suami kedua dan bukan di tangannya. Di antara dalil yang menguatkan hal ini adalah bahwa istri Rifa‘ah al-Qurazhi datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Rifa‘ah telah mentalak diriku dengan talak tiga. Setelah itu, aku menikah dengan Abdurrahman bin az-Zubair al-Qurazhi dan sesungguhnya hidup bersamanya hanyalah seperti ujung pakaian[14].” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ؟ لَا، حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ وَتَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ

“Barangkali sebenarnya engkau ingin kembali ke pelukan Rifa‘ah. Tidak boleh, sebelum dia (Abdurrahman) merasakan manisnya madumu dan kamu merasakan manisnya madunya.”[15]

Maksud beliau: menyetubuhimu.

Di sini, beliau sama sekali tidak mempertimbangkan niat si istri.

Ketiga Nikah Mut‘ah

Nikah mut‘ah adalah seorang laki-laki menikahi seorang perempuan hingga batas waktu tertentu –sehari, dua hari, atau lebih– sebagai pengganti imbalan yang dia berikan kepada perempuan tersebut baik berupa harta atau yang semisalnya.

Awalnya, nikah ini pernah dihalalkan pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian Allah Subhanahu wata’ala menyatakannya mansukh (dihapus) lewat lisan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun mengharamkannya untuk selama-lamanya hingga Hari Kiamat. Dan inilah yang dipegang oleh jumhur ulama dari kalangan Sahabat dan generasi salaf setelahnya, baik Imam yang Empat maupun selain mereka.[16]

Hadits-hadits yang ada memberi informasi yang berbeda-beda tentang waktu dimansukhkannya nikah mut‘ah. Di antara hadits-hadits itu yang shahih adalah sebagai berikut.[17]

a. Nikah Mut‘Ah Dimansukh Pada Perang Khaibar.

Telah shahih riwayat bahwa Ali radhiallahu ‘anhu pernah berkata kepada Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma,

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ المُتْعَةِ، وَعَنْ لُحُومِ الحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ، زَمَنَ خَيْبَرَ

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang nikah mut‘ah dan melarang memakan daging keledai jinak pada masa Perang Khaibar.”[18]

Kemudian setelah Perang Khaibar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kembali memberi keringanan untuk nikah mut‘ah, namun berita tentang keringanan itu tidak sampai kepada Ali radhiallahu ‘anhu. Maka dia mendasarkan pendapatnya kepada berita yang dia dengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pengharaman nikah mut‘ahpada hari Perang Khaibar dan juga kepada pandangan yang telah mapan berlaku saat itu.[19]

b. Dimansukh Pada Fathu Makkah.

Dari ar-Rabi‘ bin Sabrah bahwa ayahnya ikut berperang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Fathu Makkah. Ayahnya berkata, “Kami tinggal di sana selama lima belas hari lima belas malam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian mengizinkan kami melaksanakan nikah mut‘ah. Maka aku pun melakukan nikahmut‘ah dengan seorang gadis. Aku tidak keluar dari kota itu hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengharamkannya.”[20] Dalam salah satu lafazh: “… Maka perempuan-perempuan itu [yaitu yang dengannya kami nikah mut‘ah] tinggal bersama kami selama tiga hari, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk menceraikan mereka.”[21]

Dan dalam lafazh yang lain: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memerintahkan kami untuk nikah mut‘ah pada tahun Fathu Makkah saat kami memasuki kota Makkah, kemudian tidaklah kami keluar darinya melainkan beliau telah melarang kami melakukannya.”[22]

c. Dimansukh Pada Tahun Perang Authas[23].

Dari Salamah bin al-Akwa‘, dia berkata,

رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ أَوْطَاسٍ، فِي الْمُتْعَةِ ثَلَاثًا، ثُمَّ نَهَى عَنْهَا

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberi keringanan untuk melaksanakan nikah mut‘ah pada tahun Authas selama tiga hari, kemudian beliau melarangnya.”[24]

Kemudian pengharaman tersebut menjadi berlaku selama-lamanya hingga Hari Kiamat.

Catatan Penting:

1. Telah shahih dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu bahwa dia berkata, “Kami pernah melakukan nikah mut‘ah dengan mahar satu genggam kurma dan tepung beberapa hari pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar, kemudian Umar melarangnya dalam kasus ‘Amru bin Huraits.”[25]

Ada kemungkinan bahwa sahabat yang melakukan nikah mut‘ah pada zaman Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma tersebut belum mendengar tentang pemansukhan dan pengharamannya.[26]

2. Telah valid dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa dia berpendapat bolehnya nikah mut‘ah saat darurat. Dari Abu Jamrah, dia berkata, “Aku mendengar Ibnu Abbas saat ditanya tentang nikah mut‘ah, dia memberikan keringanan untuk melakukannya. Maka seorang bekas budaknya berkata kepadanya, ‘Itu dibolehkan hanya saat kondisi darurat dan saat jumlah perempuan sedikit atau semisalnya?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Benar.”[27]

Pendapat ini termasuk di antara pendapat-pendapat pribadi Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dan beliau tentulah mendapat pahala dengan ijtihadnya tersebut insya Allah. Adapun kita, maka kita hanyalah beribadah kepada Allah dengan melaksanakan apa yang sampai kepada kita dari-Nya berupa pengharamannya selama-lamanya. Sikap Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang menyelisihi pendapat jumhur Sahabat dalam masalah ini sama sekali tidak mengurangi kekuatan argumentasi keharamannya dan bukan alasan bagi kita untuk mengabaikan pengharamannya. Wallahu a‘lam.

Jika Seseorang Terlanjur Melakukan Nikah Mut‘ah, Maka Apa Yang Harus Dia Lakukan? Sebagaimana telah dijelaskan bahwa nikah mut‘ah itu nikah yang fasid, maka perceraian di dalamnya wajib dilakukan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah memerintahkan seorang sahabat untuk menceraikan perempuan yang dia nikahi secaramut‘ah sebagaimana disebutkan dalam hadits Sabrah.

Apa Hukum Orang Yang Menikahi Seorang Perempuan Dengan Niat Akan Mentalaknya Setelah Beberapa Waktu?

Ini banyak dilakukan oleh orang-orang yang bepergian ke luar negeri. Mereka menikah di sana dengan niat akan menceraikan istri-istri mereka jika akan kembali ke negera asalnya.

Nikah ini nikah yang sah menurut mayoritas ulama jika orang itu menikahi perempuan tersebut dengan tanpa syarat apapun selain bahwa dia berniat dalam hati akan mentalaknya setelah beberapa waktu. Mereka beralasan bahwa terkadang seseorang berniat melakukan sesuatu tetapi tidak jadi melakukannya, dan sebaliknya tidak berniat melakukan sesuatu tetapi kemudian melakukannya, sehingga perbuatannya terjadi tanpa niat.[28]

Dalam hal ini, al-Auza‘i memiliki pendapat yang berbeda. Dia berkata, “Ini adalah nikahmut‘ah.” al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin lebih memilih pendapat ini.[29]

Penulis berkata: Boleh jadi pendapat al-Auza‘i ini lebih kuat. Ia didukung oleh perkataan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang telah disebutkan sebelum ini, saat ditanya pendapatnya tentang orang yang ingin menikahi mantan istri saudaranya untuk kemudian diceraikan agar kembali halal dinikahi oleh saudaranya, “Tidak boleh, kecuali nikah keinginan. Kami dahulu pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap nikah seperti itu sebagai perzinaan.”[30]

Ditambah pula bahwa dalam nikah jenis ini terdapat unsur penipuan dan pengelabuhan, menebar kebencian dan permusuhan, menghilangkan rasa percaya kepada sesama muslim, menghinakan diri dan meletakkannya di kubang pemuasan syahwat, serta kemungkaran dan kerusakan lainnya. Nikah jenis ini lebih pantas dinyatakan tidak sah daripada akad nikahmut‘ah yang di dalamnya disyaratkan penentuan batas waktu yang dilakukan dengan keridhaan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan bersama walinya!!

Kemudian ada satu hal penting lagi di sana, yaitu apakah suami memiliki hak menjatuhkan talak tanpa sebab?! “Hukum asal talak adalah terlarang karena mengandung pemutusan ikatan pernikahan yang terkait dengan kemaslahatan-kemaslahatan duniawi, dan boleh jika ada kebutuhan untuk berpisah.”[31] Akan datang di dalam Bab tentang Talak penjelasan bahwa talak ini terikat dengan lima hukum taklifi sesuai dengan kondisi-kondisi yang melatarinya.

Keempat Nikah ‘Urfi

Maksud nikah ‘urfi di sini adalah fenomena yang tersebar di kalangan anak-anak muda dewasa ini di mana seorang laki-laki menjalin hubungan dengan seorang perempuan –salah satu teman kuliahnya misalnya– dan hubungan itu tidak diketahui oleh orang lain, atau diketahui oleh teman-temannya yang tahu bahwa hubungan itu tidak syar‘i. Kemudian dia membawa perempuan itu ke rumah temannya –misalnya– lalu berhubungan seks di sana, lalu perempuan itu kembali ke rumah ayahnya yang selama ini membiayainya. Akad dari hubungan tersebut hanyalah berupa perjanjian tertulis di antara keduanya yang terkadang diperkuat dengan kesaksian orang-orang yang fasik![32]

Akad ini adalah akad yang fasid, bahkan pada hakikatnya adalah perzinaan –wa al-‘iyadz billahi– karena tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syarat sah pernikahan, yaitu izin dari wali pihak perempuan.

Al-Qur’an dan as-Sunnah telah mensyaratkan keberadaan wali pihak perempuan bagi kesahan suatu pernikahan. Dan inilah yang dipegang oleh jumhur ulama. Syarat-syarat tersebut akan disebutkan terperinci nanti pada bagian “Syarat-Syarat Akad Nikah”.

Jika telah dipastikan rusaknya nikah jenis ini, maka wajib membatalkannya selama-lamanya meskipun telah berlangsung masa yang lama setelah terjadinya percampuran.

Footnote:

[1] Shahih. Hadits Riwayat: Muslim (1417).

[2] [Ibnu Numair, salah seorang perawi hadits ini. -Pent.]

[3] Shahih. Hadits Riwayat: Muslim (1416), an-Nasa’i (VI/112), dan Ibnu Majah (1884).

[4] Hasan. Hadits Riwayat: Abu Daud (2075).

[5] Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (2155) dan Muslim (1504).

[6] Dari suatu risalah karya al-‘Allamah Ibnu Baz rahimahullahu tentang nikah syighar.

[7] [Selanjutnya disebut al-muhillu atau muhallil. -Pent.]

[8] [Selanjutnya disebut al-muhallal lahu. -Pent.]

[9] Shahih. Hadits Riwayat: at-Tirmidzi (1120), an-Nasa’i (VI/149), Ahmad (I/448), dan selain mereka. Dalam riwayat Ibnu Majah (1936) terdapat penamaan al-muhallil dengan at-tais al-musta‘ar, hanya saja riwayat ini tidak shahih.

[10] Bidayah al-Mujtahid (II/102), al-Mughni (VI/645), Nihayah al-Muhtaj (VI/282), al-Muhalla (X/180),Sunan at-Tirmidzi (III/420), dan Raudhah ath-Thalibin (VII/126).

Leave a Comment