Fatwapedia.com – Pegon berangkat dari kata bahasa Jawa, “pego”, yang bermakna: ora lumrah, olehe ngucapke basa Jawa “tidak lazim dalam mengucapkan bahasa Jawa”. Dari kata pego berkembang menjadi pegon, yaitu istilah untuk menyebut aksara Arab yang ditulis tanpa harakat. Pengertian “tidak lazim” mengacu kepada penggunaan aksara Arab yang tata ejaannya berbeda dengan huruf Arab untuk bahasa Arab atau tatanan aksara Jawa dalam bahasa yang sama
Pertumbuhan Aksara Pegon
Berkembangnya agama Islam di Jawa pada abad 15 yang semakin menyebar luas ke segala penjuru menjadikan aksara Arab sebagai sarana penyampaian agama Islam, menjadi semakin berarti eksistensinya; dalam upaya mendukung dan menopang giatnya perkembangan Islam di Jawa.
Usaha yang gencar itu tidak hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu berbahasa Arab saja tetapi mereka yang tidak paham dan tidak mampu berbahasa Arab pun menjadi sasaran pemikiran. Mereka yang tidak mampu mengucapkan lafal Arab diupayakan agar tetap dapat menerima ajaran Islam dalam bahasa Jawa yang ditulis dalam huruf Arab. Oleh karena ajaran Islam mengacu kepada kitab suci Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang berbahasa dan berhuruf Arab, maka diupayakan mereka mampu menguasai aksara Arab dan paham bahasa Jawa, dengan jalan mereka-reka huruf Arab yang dapat dipakai untuk pengucapan lafal Jawa.
Perekayasaan ini kemudian berkembang, tidak hanya terbatas untuk penulisan ajaran agama Islam semata tetapi juga dipakai sebagai sarana penulisan karya sastra, khususnya di daerah pesisir. Sastra yang ditulis dan menyebar luas di daerah pesisir disebut sastra Jawa Pesisir. Ia berkembang kira-kira tiga abad lamanya, mulai tahun 1500. (Pigeaud, Literature of Java, 1967, I:6)
Wilayah penyebarannya meliputi : Gresik dan Surabaya di sebelah timur dan Cirebon sampai Banten di sebelah barat. Pada periode sastra pesisir, para pengarang sastra sangat giat dalam penulisan kitab di segala bidang, termasuk suasana peradaban Jawa. Tiga pusat sastra pesisir di Jawa adalah: Surabaya termasuk Gresik, Demak dan sekitarnya meliputi Jepara, serta Cirebon dan sekitarnya mencakup Banten. Mula-mula teks sastra Jawa pesisiran Jawa Timur muncul. Pengaruh sastra Jawa Timur terhadap perkembangan sastra pesisir di bagian tengah dan barat sangat besar. Demikian pula pengaruh terhadap perkembangan sastra di kraton Kartasura dan Surakarta. (Pigeaud, Literature of Java, 1967, I:12)
Di semua negeri dimana agama Islam menjadi elemen yang dominan dalam peradaban, aksara Arab diperkenalkan oleh guru-guru agama, karena tidak mungkin menulis teks agama tanpa huruf Arab. Lama kelamaan dengan mereka-reka aksara, huruf Arab diperuntukkan pula bagi penulisan teks non bahasa Arab.
Sejak abad 16 bahasa Melayu telah ditulis dengan aksara Arab untuk segala keperluan. Dalam upaya menampung kata-kata Melayu sehingga dapat ditulis dengan aksara Arab, beberapa aksara direka dan ditambahkan tanda-tanda diakritik –tanda tambahan pada huruf yang sedikit banyak mengubah nilai fonetis huruf itu–. (Pigeaud, 1967, I:25) Dengan perantaraan bahasa Melayu dan aksara Arab Melayu, aksara Arab diperkenalkan di Jawa saat awal. Penulisan teks Jawa dengan aksara Arab dilakukan dengan cara mereka beberapa aksara baru serta menambahkan tanda diakritik untuk memenuhi kebutuhan semua fonem –satuan bunyi terkecil yang mampu menunjukkan kontras makna– Jawa. Aksara Arab yang dipakai untuk menulis teks Jawa disebut pegon. Kata pegon adalah sebuah istilah yang bermakna serong atau tidak lurus. (Pigeaud, 1967, I:26)
Aksara pegonmenjadi populer di Jawa di kalangan masyarakat Muslim dan menyebar luas di seluruh negeri. Aksara pegon juga disebut aksara gondhil atau gundhul, artinya “tidak berambut”. Aksara pegon yang tanpa harakat diibaratkan seperti kepala gundul dan tidak berambut.
Mula-mula teks beraksara pegon sulit dibaca, namun pada perkembangannya kemudian aksara gundhul itu dipakai di kalangan rakyat umum utamanya di Banten, di Jawa Barat, dimana Islam, Melayu, dan aksara Arab menjadi sangat penting sebagai kebudayaan rakyat. (Pigeaud, 1967, I:27) Penggunaan aksara pegondimaksud membuat terobosan baru atau pemecahan persoalan sebagai sarana penyampaian ajaran atau informasi agama Islam, sehingga bagi khalayak yang tidak paham akan bahasa Arab dapat menerima dan menyerap ajaran-ajaran itu.
Menurut Kramapawira dalam Layang Kawruh Sastra Pegon (1867: 1), dimulainya penggunaan aksara pegon adalah sejak zaman para wali yang mengajar agama Islam. Pada tingkat perkembangannya kemudian aksara pegon dipakai untuk penulisan surat kiriman, kitab cerita, catatan, petikan dari pengetahuan atau kitab-kitab yang induknya dari kitab Arab yang dialihbahasakan ke bahasa Jawa. Kitab Anbiya’ disusun para wali atau para cendekiawan di tanah Jawa.
Dilema Aksara Pegon
Selama berabad-abad, aksara pegon digunakan secara luas berdampingan dengan aksara Jawa. Seiring dengan dibukanya sekolah Barat untuk pribumi oleh Belanda dan semakin banyak pribumi yang diangkat menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda, mulai berkembanglah penggunaan aksara Latin. Di samping aksara pegondan aksara Jawa, aksara Latin menjadi aksara ketiga.
Ketika tahun 1905 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan suatu peraturan tentang pendidikan agama Islam yang disebut dengan Ordonansi Guru, banyak guru agama di pesantren tidak bisa membaca huruf Latin. Penggunaan aksara pegon menjadi tradisi yang melekat kuat di kalangan mereka. Pelan namun pasti, aksara Latin menggeser posisi aksara pegon. Sekarang ini penggunaan aksara pegonterbatas di pesantren-pesantren tradisional untuk mengkaji atau memberi penjelasan kitab berbahasa Arab. Oleh karena dianggap kalah praktis dengan aksara Latin, aksara pegon ditinggalkan.
Banyak sekolah Islam modern kini tidak mengajarkannya, padahal ada kerugian besar dari ditinggalkannya aksara pegon. Sekian banyak karya para ulama kita dahulu ditulis dengan aksara pegon. Ketidakmampuan membaca aksara pegondengan baik akan berakibat tidak mampu pula membaca dan mengkaji peninggalan para ulama tersebut. Selanjutnya, kita pun akan kehilangan warisan para ulama itu.
Sumber: Facebook Muhammad Isa Anshary