Penjelasan Lengkap Rukun-rukun Shalat

Penjelasan Lengkap Rukun-rukun Shalat


Fatwapedia.com – Shalat adalah ibadah yang terdiri dari ucapan dan gerakan yang khusus (sudah ditentukan) yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam (Lihat Kitab Fiqh Sunnah Bab Shalat) Merujuk pada pengertian diatas, maka agar shalat menjadi benar tidak ada cara lain kecuali mengikuti dan meniru cara shalat yang dicontohkan Nabi.

Bagaimana halnya dengan rukun shalat? Rukun-rukun shalat adalah: Segala ucapan dan perbuatan yang tersusun hakekat serta inti shalat. Sehingga jika salah satu dari rukun ini hilang, maka inti shalat pun hilang dan secara syariat pun tidak sah. Dan tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.

Hukum Meninggalkan Rukun Dalam Shalat

Seseorang yang meninggalkan rukun dalam shalat, maka ia berada dalam kemungkinan dari dua hal berikut:

1. Meninggalkan rukun tersebut karena sengaja. Maka orang yang meninggalakan salah satu rukun shalat dengan sengaja, shalatnya menjadi batal dan tidak sah menurut kesepakatan para ulama.

2. Meninggalkan rukun tersebut karena lupa atau tidak tahu. Jika memungkinkan baginya untuk melakukan rukun tersebut –karena ingat– atau memperbaikinya, maka ulama sepakat menyatakan bahwa wajib bagi orang tersebut untuk melakukannya. Namun jika rukun tersebut tidak dapat diperbaiki, maka ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa shalat tersebut telah rusak. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa rakaat yang tertinggal rukunnya itu saja yang batal, kecuali jika orang tersebut lupa takbiratul ihram, maka hendaklah dia mengulangi kembali shalatnya dari awal, karena ketika ia meninggalkan takbiratul ihram, maka dia belum memulai shalat sama sekali. (Ibnu Abidin: 1/297, 318)

Berikut ini penjelasan selengkapnya tentang Rukun-rukun Shalat. Selamat membaca!

Rukun-Rukun Shalat

1. Berdiri Ketika Melaksanakan Shalat Fardhu Bagi Yang Mampu

Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

“Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu.” [Al-Qur`an Surat: Al-Baqarah: 238]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhuma:

صَلِّ قَائِمًا, فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا, فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

“Shalatlah kamu dengan berdiri, jika tidak mampu maka dengan duduk, jika masih tidak mampu, maka dengan berbaring –dalam posisi badan miring ke kanan dan wajah menghadap kiblat–). [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1117)]

Seluruh ulama sepakat bahwa berdiri merupakan rukun shalat bagi orang yang mampu. Dan orang sakit yang tidak mampu berdiri, boleh baginya shalat dengan duduk. Demikian halnya seseorang boleh untuk tidak berdiri ketika shalat jika hal itu sangat susah sekali baginya, atau orang tersebut takut jika berdiri dapat menyebabkan penyakitnya semakin parah atau memperlambat kesembuhannya. Sebagaimana ditegaskan dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma:

سَقَطَ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ فَرَسٍ ، فَجُحِشَ شِقُّهُ الأَيْمَنُ ، فَدَخَلْنَا عَلَيْهِ نَعُودُهُ ، فَحَضَرَتِ الصَّلاةُ ، فَصَلَّى بِنَا قَاعِدًا ، فَصَلَّيْنَا وَرَاءَهُ قُعُودًا

“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terjatuh dari kuda dan beliau terluka di tubuh sebelah kanan. Kami pun menjenguk beliau, -Maksudnya, kulit Rasulullah tergores dan terkelupas- dan tibalah waktu shalat. Lalu Rasulullah pun shalat bersama kami dengan duduk, dan kami pun shalat di belakang beliau dengan duduk.” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari: 378, Muslim: 411]

Ibnu Qudamah berkata, “Sebenarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bukannya tidak mampu berdiri sama sekali, hanya saja ketika hal tersebut sangat berat bagi Rasulullah, maka gugurlah kewajiban untuk berdiri bagi beliau dan juga untuk yang lainnya”. (Al-Mughni: 2/571)

Catatan Tambahan:

Dibolehkan shalat sunnah dalam kendaraan ketika bepergian baik perjalanan jarak dekat maupun jarak jauh. Namun tidak dibolehkan jika orang tersebut tidak sedang bepergian, sebagaimana telah dibahas sebelumnya dalam permasalahan menghadap kiblat yang merupakan syarat sah shalat.

Dibolehkan shalat sunnah dengan duduk –meskipun tanpa adanya halangan– namun pahala orang yang shalat dengan berdiri lebih besar, sedangkan orang yang shalat dengan duduk pahalanya setengah dari pahala shalat sunnah dengan berdiri.

Berdasarkan hadits dari Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhuma berkata:

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَلاَةِ الرَّجُلِ قَاعِدًا، فَقَالَ: “إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا، فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا، فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَاعِدِ

“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang shalat –sunnah– seseorang yang dilakukan dengan duduk, Rasulullah kemudian bersabda, “Jika ia shalat dengan berdiri maka lebih utama, namun jika ia shalat dengan duduk maka ia mendapatkan setengah pahala dari berdiri, sedangkan yang shalat berbaring, ia mendapatkan setengah pahala dari yang duduk.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari: 1115)

Al-Khatabi menambahkan, maksud dari hadits tersebut adalah: “Bahwa orang sakit yang akan melaksanakan shalat fardhu namun ia mampu berdiri meskipun dengan kesusahan, walaupun dibolehkan baginya shalat dengan duduk, namun ia akan mendapatkan setengah pahala jika ia melaksanakan shalat fardhu tersebut dengan berdiri. Hal ini dimaksudkan untuk penyemangat baginya agar shalat dengan berdiri”. Lalu pernyataan tersebut ditanggapi oleh Ibnu Hajar, bahwa “Ini adalah penafsiran yang selaras” (Fathul Bari : 2/585)

Penulis berkata: Bahwa penafsiran ini bermula dari hadits Rasul yang menyatakan, “Sedangkan yang shalat dengan tiduran, maka ia mendapatkan setengah pahala dari yang duduk” karena shalat dengan berbaring tidak dibolehkan tanpa adanya halangan –sebagaimana pendapat Jumhur– meskipun dalam shalat sunnah. Karena tidak pernah ditemukan dalam sejarah Islam orang yang shalat –sunnah– dengan berbaring, kalaupun seandainya hal ini merupakan ajaran syariat, maka umat Islam pada zaman Rasulullah dan zaman selanjutnya telah melaksanakan hal ini, dan pastinya Rasulullah akan mengerjakan meskipun hanya sekali sekedar menerangkan bahwa hal tersebut dibolehkan. (Majmu’ al-Fatawa Ibnu Taimiyah: 23/235)

Dan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma, berkata:

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى نَاسٍ وَهُمْ يُصَلُّونَ قُعُودًا [مِنْ مَرَضٍ] فَقَالَ : “إِنَّ صَلاَةَ الْقَاعِدِ عَلَى النِّصْفِ مِنْ صَلاَةِ الْقَائِمِ

“Suatu saat Rasulullah keluar dan menemukan orang-orang yang shalat dengan duduk [karena sakit] lalu Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya shalat seseorang dengan duduk, itu setengah pahala dari shalat dengan berdiri.” (Hadits Riwayat: Ibnu Majah: 1229 dan Riwayat Ahmad: 3/214)

Penulis berkata: bahwa inilah penafsiran al-Khatabi mengenai hadits Imran bin Hushain yang diterapkan terhadap shalat fardhu. Dimana Ibnu Hajar menyatakannya sebagai upaya yang baik. Sedangkan mayoritas ulama menyatakan hadits tersebut adalah untuk shalat sunnah, sehingga shalat dengan duduk berlaku untuk orang yang memiliki halangan maupun tidak. Dan itu menunjukkan bahwa berdiri dalam shalat sunnah bukanlah rukun, melainkan hal yang dianjurkan. Sebagaimana ditegaskan oleh perbuatan Rasul yang melakukan shalat sunnah di atas hewan tunggangan namun tidak pernah melaksanakan hal tersebut untuk shalat fardhu.

Sedangkan hadits riwayat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma tidaklah bertentangan dengan riwayat Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhuma, karena keumuman dalil yang menyatakan bolehnya duduk pada shalat sunnah, tidak menghalangi adanya sifat tambahan pada orang tersebut yaitu karena adanya sakit, sehingga hadits Anas bin Malik tidak dapat mengkhususkan hadits Imran bin Hushain. Wallahu A’lam.

Untuk mempertegas tentang keumuman hadits tersebut, terdapat hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang menyatakan bahwa Rasulullah shalat sunnah dalam keadaan duduk.

أَنَّ النَّبِىَّ – صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمَّا بَدَّنَ وَثَقُلَ كَانَ أَكْثَرُ صَلَاتِهِ جَالِسًا

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sudah beranjak usia dan tubuhnya menjadi berat, maka beliau bnayak melaksanakan shalat sunnah dengan duduk.” (Hadits Riwayat: Muslim)

Demikian juga hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat tahajud diawali dengan berdiri kemudian setelah itu beliau duduk. Hadits ini akan dibahas selanjutnya.

Catatan Tambahan:

Seseorang yang tidak mampu berdiri ketika shalat –karena adanya halangan– maka shalatnya dilakukan dengan duduk tidaklah mengurangi pahalanya. Karena ia telah terbiasa shalat dengan berdiri, sehingga saat dia tak mampu untuk berdiri dikarenakan sakit atau hal lain, maka ia memiliki pahala sempurna, sebagaiamana ditegaskan dalam hadits

مَنْ مَرِضَ ، أَوْ سَافَرَ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ صَحِيحًا مُقِيمًا

“Siapa yang menderita sakit, atau dalam perjalanan, maka Allah akan memberikan pahala dari amalannya sesuai dengan yang ia kerjakan ketika dalam keadaan sehat dan bermukim.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari : 2996)

Salah satu keutamaan yang hanya dimiliki Rasulullah adalah, bahwa beliau meskipun shalat sunnah dengan duduk tanpa adanya halangan, pahala beliau tetap tidak berkurang. Sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits Abdullah bin Amru radhiallahu ‘anhuma, berkata, “Aku dikabari bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلَاةِ»، قَالَ: فَأَتَيْتُهُ، فَوَجَدْتُهُ يُصَلِّي جَالِسًا، فَوَضَعْتُ يَدِي عَلَى رَأْسِى، فَقَالَ: «مَا لَكَ؟ يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرو» ‍قُلْتُ: حُدِّثْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَنَّكَ قُلْتَ: «صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا عَلَى نِصْفِ الصَّلَاةِ»، وَأَنْتَ تُصَلِّي قَاعِدًا، قَالَ: «أَجَلْ، وَلَكِنِّي لَسْتُ كَأَحَدٍ مِنْكُمْ

“Shalat –sunnah– seseorang dengan duduk, –pahalanya– setengah dari orang yang shalat –sunnah– dengan berdiri” Abdullah bin Amru pun berkata, “Lalu kudatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kudapatkan beliau shalat sunnah dengan duduk. kemudian aku meletakkan tangan di atas kepalaku (karena heran) dan Rasulullah pun bertanya, “Ada apa denganmu wahai Abdullah bin Amru?” lalu ku jawab, “Wahai Rasulullah, aku dikabari bahwa engkau telah bersabda, “Shalat –sunnah– seseorang dengan duduk, –pahalanya– setengah dari orang yang shalat –sunnah– dengan berdiri” namun kini kulihat, engkau shalat sunnah dengan duduk”. Rasulullah pun bersabda, “Benar, namun aku –memiliki keistimewaan– tidak seperti siapapun di antara kalian.” (Hadits Riwayat: Muslim : 735)

Dibolehkan shalat sunnah dengan mengawali bacaan secara duduk kemudian berdiri, sebagaimana kesepakatan para ulama. Berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu ‘anha :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُصَلِّى جَالِسًا فَيَقْرَأُ وَهُوَ جَالِسٌ ، فَإِذَا بَقِىَ مِنْ قِرَاءَتِهِ قَدْرَ مَا يَكُونُ ثَلاَثِينَ أَوْ أَرْبَعِينَ آيَةً قَامَ فَقَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ ، ثُمَّ رَكَعَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ يَفْعَلُ فِى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ذَلِكَ

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika shalat sunnah (tahajjud) dengan duduk, beliau pun membaca –ayat Al-Qur`an– dalam keadaan duduk. Hingga tersisa dari bacaan beliau sekitar tigapuluh atau empatpuluh ayat, maka Rasulullah kemudian berdiri membaca –ayat tersebut– dalam keadaan berdiri. Kemudian beliau ruku’ lalu sujud, dan melakukan hal yang serupa pada rakaat kedua.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari: 1119, Muslim: 731)

Dibolehkan shalat sunnah yang diawali dengan berdiri kemudian dilanjutkan dengan duduk. Berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu ‘anha di atas.

Cara duduk ketika shalat: siapa yang shalat dengan duduk, maka lebih utamanya menggunakan cara duduk ketika tasyahud dalam shalat, baik ketika “berdiri” maupun “ruku'” juga menggunakan cara duduk iftirasy ini. Berdasarkan keumuman hadits riwayat Aisyah dan riwayat Imran bin Hushain yang telah diuraikan sebelumnya. Karena yang terbesit dari makna “duduk” adalah, “duduk di dalam shalat”

Meskipun dibolehkan duduk dengan posisi kaki bersilang di bawah paha ketika shalat, apalagi karena adanya udzur. Hal ini juga telah diamalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. dan sebagian sahabat Rasulullah. (Hadits Riwayat: An-Nasa`i: 3/224)

Namun ketika shalat tidak dibolehkan duduk selonjor dengan memanjangkan kaki kecuali karena adanya halangan.

Dibolehkan shalat dengan berbaring secara miring jika terdapat halangan tertentu dalam kondisi tidak mampu untuk shalat dengan duduk, baik itu dalam shalat fardhu maupun shalat sunnah.

Sedangkan dalam shalat sunnah tanpa adanya halangan, jumhur ulama berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah ajaran syariat, karena tidak ada riwayat yang menceritakan bahwa Rasulullah maupun para sahabat pernah melakukan hal tersebut walaupun sekali.

Namun jika ada orang yang berpegangan terhadap keumuman hadits Imran yang menyatakan bahwa,

وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا، فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَاعِدِ

“Sedangkan yang shalat dengan berbaring, maka ia mendapatkan setengah pahala dari yang duduk.”

Apakah hal tersebut berlaku? Pendapat yang shahih mengatakan demikian. Dan pendapat ini merupakan madzhab Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Muhalla (3/56) yang telah ditarjih oleh Ibnu Utsaimin dalam kitab al-Mumti’ (4/113).

Tata-cara shalat dengan posisi berbaring secara miring: Dianjurkan bagi yang shalat dengan posisi ini untuk bersandar di atas badan bagian kanan dan wajahnya menghadap ke kiblat, karena hal ini merupakan posisi sunnah ketika tidur. Dengan landasan hadits Aisyah radhiallahu ‘anha :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ ، وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyukai –mengerjakan sesuatu– dengan memulainya dari kanan; baik dalam memakai sandal, menyisir juga meminyaki rambut, serta dalam bersuci (wudhu, tayamum, mandi) dan dalam segala urusan beliau.”

Dan jika seseorang tidak mampu tiduran secara miring kecuali dengan posisi yang dia bisa, maka cara itulah yang sesuai baginya. Wallahu A’lam.

Berdiri Saat Melaksanakan Shalat Fardhu Ketika Berada Di Dalam Pesawat Dan Kapal Laut

Siapa yang sedang berada dalam pesawat maupun kapal laut, hendaknya ia melaksanakan shalat dengan berdiri jika bisa. Namun jika takut jatuh atau tenggelam, dan ia tidak mampu berdiri, maka dibolehkan baginya shalat dengan duduk, dan cukup menggunakan isyarat ketika ruku’ dan sujud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika pernah ditanya tentang shalat di dalam perahu, lalu beliau bersabda:

صَلِّ فِيهَا قَائِمًا إِلاَّ أَنْ تَخَافَ الْغَرَقَ

“Shalatlah di dalam perahu dengan berdiri, kecuali jika kamu takut akan tenggelam.” (Hadits Riwayat: al-Bazzar (68), Dishahihkan oleh al-Albani, dan lainnya)

Bolehkah Bersandar Pada Sesuatu Ketika Shalat Berdiri?

Ketika seseorang shalat dengan bersandar ke dinding atau tongkat serta alat bantu lainnya, para ulama membolehkan hal tersebut jika dikarenakan adanya udzur, karena yang bersangkutan membutuhkan sandaran tersebut. Dan Allah Subhanahu wata’ala telah menegaskan dalam firman-Nya:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (Al-Qur`an Surat: At-Taghabun: 16)

Demikian juga hadits dari Ummu Qais radhiallahu ‘anha berkata :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا أَسَنَّ وَحَمَلَ اللَّحْمَ اتَّخَذَ عَمُودًا فِى مُصَلاَّهُ يَعْتَمِدُ عَلَيْهِ

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika telah beranjak usia dan berat badan beliau bertambah, Rasulullah menjadikan tiang di dalam mushala beliau sebagai sandaran ketika shalat.” (Hadits Riwayat: Abu Daud: 948)

Hukum Shalat Di Belakang Imam Yang Duduk Karena Uzur

Pendapat yang lebih shahih menyatakan bahwa makmum shalat dengan duduk juga. Sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam bab “Shalat Jama’ah”

2. Rukun Kedua Takbiratul Ihram

Takbiratul ihram merupakan salah satu rukun shalat menurut kesepakatan para ulama dengan landasan dalil sebagai berikut:

Pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

“Kunci shalat adalah bersuci, lalu tahrim-nya (pembukaannya) adalah takbir, dan tahlil-nya (penutupnya) adalah salam.” (At-Tirmidzi (3), dishahihkan oleh al-Albani dalam kitabnya al-Irwa’ (301)

Nasehat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada orang yang shalatnya tidak baik,

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ فَكَبِّرْ

“Jika kamu hendak melaksanakan shalat, maka sempurnakan wudhu’mu, lalu menghadaplah ke arah kiblat dan ucapkan takbir (takbiratul ihram).”

Dan dalam riwayat lain mengenai nasehat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap orang tersebut:

إِنَّهُ لاَ تَتِمُّ صَلاَةٌ لِأَحَدٍ مِنْ النَّاسِ حَتَّى يَتَوَضَّأَ فَيَضَعَ الْوُضُوءَ مَوَاضِعَهُ ثُمَّ يَقُوْلَ اللهُ أَكْبَرُ

“Bahwa shalat seseorang itu tidak sempurna sampai dia mengambil air wudhu’ lalu membasuh bagian –anggota tubuh– wudhu’, hingga ia mengucapkan “Allahu Akbar” (takbiratul ihram).” (Hadits Riwayat: al-Thabrani: 5/38)

Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَسْتَفْتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيرِ

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengawali shalat beliau dengan takbir.” (Hadits Riwayat: Muslim (498)

Sedangkan maksud dari “takbir” di sini adalah suatu ucapan yang telah dimengerti dan dinukil dari Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam oleh seluruh umat Islam baik dari salaf hingga khalaf, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan “Allahu Akbar” di dalam setiap shalat dan tidak mengucapkan lafadz lainnya walaupun hanya sekali. (Tahdzib Sunan – Ibnu Qayyim : 1/49)

Maka shalat tidak bisa dimulai kecuali dengan lafadz “Allahu Akbar”. Dan ini adalah pendapat Tsauri, Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Syafi’I. walaupun dibolehkan menggunakan lafadz “Allahul Akbar”, lafadz ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhuma.

Sedangkan Abu Hanifah berpendapat lain, bahwa shalat dapat dimulai dengan setiap Asma Allah yang menunjukkan keagungan-Nya, seperti: “Allahul ‘Adzim”, “Allahul Kabir”, “Allahul Jalil”, “Subhanallah”, atau “Alhamdulillah” dan semisalnya. Karena semua lafadz tersebut adalah dzikir, dan hal seperti ini juga dikiaskan kepada khutbah –Jumat– yang tidak ditentukan lafadznya. Namun pendapat ini –tanpa diragukan lagi– adalah kias yang rusak karena bertentangan dengan nash syar’i. Dengan demikian, pendapat yang tepat adalah pendapat jumhur ulama. (Ibnu Abidin (1/442), al-Mudawwanah: 1/62)

Tidak Sah Takbiratul Ihram Dengan Selain Bahasa Arab Bagi Yang Mampu

Membaca lafadz takbiratul ihram tidaklah sah jika menggunakan bahasa non-Arab bagi orang yang mampu hal tersebut, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir dengan bahasa Arab dan tidak pernah sama sekali menggunakan bahasa lainnya. Dan Rasulullah juga bersabda:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari 631)

Dan bagi orang yang belum mampu menggunakan bahasa Arab, maka wajib mempelajarinya –dan itu sangat mudah–. Namun jika dia takut keluarnya waktu shalat sebelum dia mempelajarinya, atau belum bisa berbahasa Arab sama sekali, maka dibolehkan baginya untuk takbir menggunakan bahasanya sendiri. Wallahu A’lam.

3. Rukun Ketiga – Membaca Al-Fatihah Disetiap Rakaat

Membaca al-Fatihah dalam setiap rakaat merupakan rukun shalat baik shalat fardhu maupun sunnah, baik dalam shalat yang menggunakan suara jahr maupun lirih. Inilah pendapat Tsauri, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dalam pendapat yang masyhur, dan pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Khattab juga Utsman bin Abu ‘Ash radhiallahu ‘anhum. (Al-Mudawwanah (1/66)

Landasan pendapat ini adalah:

Hadits Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah bersabda :

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

“Tidak sah shalat bagi yang tidak membaca Al-Fatihah.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari : 756)

Hadits riwayat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَهِىَ خِدَاجٌ هِىَ خِدَاجٌ هِىَ خِدَاجٌ غَيْرُ تَمَامٍ

“Siapa yang shalat tanpa membaca surat Al-Fatihah, maka shalatnya kurang, shalatnya kurang, shalatnya kurang, tidak sempurna.” (Hadits Riwayat: Muslim: 41)

Shalat yang kurang tidak disebut sebagai shalat yang sesungguhnya. Dan yang menunjukkan bahwa makna “kurang” dalam hadits ini adalah “tidak sah” adalah redaksi selanjutnya dari hadits ini yang diriwayatkan dari Muslim.

Abu Saib berkata kepada Abu Hurairah radhiallahu ‘anhuma :

إِنِّي أَكُونُ أحيانا وَرَاءَ الِإِمَامِ؟ قال فَغَمَزَ أبو هُرَيْرَةَ ذِرَاعِي، وَ قَالَ: اقْرَأْ بِهَا فِي نَفْسِكَ

“Aku biasanya ketika bacaan Al-Fatihah cukup mendengarkan di belakang imam” Abu Saib kembali berujar, “Kemudian Abu Hurairah menyentuh tanganku dan berkata, “Bacalah sendiri Al-Fatihah.”

Riwayat Rifa’ah bin Rafi’ radhiallahu ‘anhu mengenai hadits “seseorang yang buruk shalatnya”, di sana terdapat redaksi:

ثُمَّ اقْرَأْ بِأُمِّ الْقُرْآنِ ثُمَّ اقْرَأْ بِمَا شِئْتَ… ثُمَّ اصْنَعْ ذَلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ

“Lalu bacalah surat Al-Fatihah dan bacalah dari ayat Al-Qur`an yang kamu inginkan, kemudian lakukan hal tersebut di setiap rakaat.” (Hadits Riwayat: Ahmad: 18225)

Sedangkan Imam Abu Hanifah –dan juga riwayat Imam Ahmad– menyatakan bahwa penentuan bacaan dengan surat Al-Fatihah bukanlah sesuatu yang harus, dan dibolehkan bagi seseorang untuk membaca ayat apa saja dari Al-Qur’an. Dengan landasan dalil:

Firman Allah Subhanahu wata’ala

فَاقْرَأُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ…فَاقْرَأُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

“Karena itu Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur`an…maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur`an.” (Al-Qur`an Surat: Al-Muzammil: 20)

Namun dalil ini dibantah: bahwa maksud dari ayat di atas adalah, membaca Al-Fatihah disertai surat-surat yang mudah dari Al-Qur’an. Dan ayat ini kemungkinan turun sebelum turunnya Al-Fatihah, karena ayat tersebut turun di Makkah sedangkan Rasulullah waktu itu sedang shalat tahajjud. Dengan demikian, ayat tersebut (Al-Muzammil: 20) dihapus atau dinasakh dengan turunnya surat Al-Fatihah.

Dalam hadits Abu Hurairah yang menceritakan tentang “orang yang buruk shalatnya” terdapat redaksi:

ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

“Lalu bacalah apa yang mudah bagimu dari ayat-ayat Al-Qur’an.”

Dalil ini dijawab: Bahwa sabda Rasulullah yang menyatakan (مَا تَيَسَّرَ) “apa yang mudah” tersebut adalah dalil global yang telah diperinci, atau dalil umum yang telah dikhususkan dengan riwayat lain yang terdapat redaksi di dalamnya (اقْرَأْ بِأُمِّ الْقُرْآنِ) “Bacalah surat Al-Fatihah”. Karena Al-Fatihah merupakan surat yang mudah untuk dihafal bagi umat Islam.

Tapi ada juga pendapat yang mengatakan, bahwa maksud dari (مَا تَيَسَّرَ) “apa yang mudah” adalah, ayat Al-Qur`an yang mudah dibaca setelah surat Al-Fatihah. Dan ini merupakan bentuk penyatuan antara dua riwayat hadits yang berbeda.

Jika Al-Fatihah itu merupakan rukun shalat, maka wajib hukum mempelajarinya, dan Rasulullah tak mungkin mengganti Al-Fatihah dengan bacaan surat lainnya ketika seseorang –yang diajari– tidak mampu membacanya. Sebagaimana redaksi riwayat dalam hadits “orang yang buruk shalatnya” dimana Rasulullah mengajarkan,

فَإِنْ كَانَ مَعَكَ قُرْآنٌ وَإِلاَّ فَاحْمَدِ اللهَ

“Jika kamu hafal –dari ayat– Al-Qur`an maka bacalah, namun jika tidak, maka berpuji-pujilah kepada Allah.” (Hadits Riwayat: Shahih, Abu Daud: 856)

Namun dalil ini dijawab: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang tersebut –untuk bertahmid– ketika ia tidak hafal sama sekali dari ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga dapat dinyatakan adanya ketidak-mampuan orang tersebut untuk membaca ayat Al-Qur’an. Sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits Ibnu Abu Aufa, bahwa seorang lelaki berkata:

يا رسول الله إِنِّى لاَ أَسْتَطِيعُ أَنْ آخُذَ مِنَ الْقُرْآنِ شَيْئًا ، فَعَلِّمْنِى مَا يَجْزِينِى فى صلاتى. فَقَالَ : قل : سُبْحَانَ اللَّهِ , وَالْحْمُدُ لِلَّهِ ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ , وَاللَّهُ أَكْبَرُ , وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

“Wahai Rasulullah, aku tidak mampu membaca Al-Qur’an sama sekali, maka ajarilah aku dengan bacaan yang dapat ku gunakan di dalam shalatku” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, “Bacalah; Subhanallah, Alhamdulillah, La ilaha illallah, Allahu Akbar dan La Haula Wa La Quwwata Illa Billah.” (Hadits Riwayat: Abu Daud (832)

Penulis berkata: Bahwa madzhab jumhur dalam permasalahan ini lebih kuat, dan kepada pendapat inilah permasalahan tersebut bermuara. Maka tidaklah sah shalat seseorang yang mampu menghafal Al-Fatihah namun tidak membacanya ketika shalat. Hal ini berlandaskan hadits Ubadah yang telah dibahas sebelumnya, bahwa pemahaman terhadap hadits Ubadah ini tidak dapat dirusak oleh dalil-dalil lainnya. Karena hadits Ubadah ini –setidaknya– mencakup hukum tambahan dari hukum-hukum yang telah diutarakan pada surat al-Muzammil ayat 20 dan juga hadits tentang “orang yang shalatnya buruk” tersebut. Dengan demikian, pemahaman hukum harus diarahkan kepada hadits Ubadah bin Shamit ini.

Demikian halnya jika hadits-hadits ini ditinjau dengan cara menggabungkannya bersama hadits Abu Qatadah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca Al-Fatihah di setiap rakaat, juga disatukan dengan sabda Rasulullah ketika mengajari “orang yang buruk shalatnya” beliau mengatakan, “Kemudian lakukan hal tersebut dalam seluruh shalatmu” yang maksudnya adalah melakukan hal tersebut di setiap rakaat. Maka dapat dipahami dari keseluruhan dalil ini, bahwa membaca Al-Fatihah merupakan rukun shalat tanpa ada perbedaan bagi imam atau makmum, tanpa perbedaan antara shalat yang menggunakan suara lirih maupun terdengar, sebagaimana yang nanti akan dibahas lebih rinci. (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (759) dengan makna darinya)

Hukum Membaca Basmalah Sebelum Membaca Al-Fatihah

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum membaca Basmalah dalam permulaan surat Al-Fatihah ketika shalat. Perbedaan ini merupakan konsekuensi dari perbedaan mereka mengenai lafadz Basmalah, yaitu “Bismillahirrahmanirrahim” apakah termasuk ayat dari surat Al-Fatihah atau tidak?

Namun pendapat yang benar bahwa Basmalah merupakan ayat dari Al-Qur’an yang terdapat di setiap permulaan surat jika tertera dalam mushaf. Meskipun Basmalah tidak termasuk ayat dari Al-Fatihah –sebagaimana pendapat yang lebih kuat–. Tapi pendapat jumhur ulama menyatakan wajib hukumnya membaca Basmalah sebelum Al-Fatihah. Wallahu A’lam.

Bagi Yang Belum Mampu Menghafal Surat Al-Fatihah

Al-Khatabi berkata, “Pada dasarnya shalat tidaklah diterima kecuali dengan membaca surat Al-Fatihah. Dan merupakan hal yang logis jika membaca Al-Fatihah diwajibkan bagi orang yang mampu dan tidak diwajibkan bagi yang tidak mampu. Dan jika seseorang yang melaksanakan shalat tidak mampu membaca Al-Fatihah, namun mampu membaca ayat-ayat lainnya dari Al-Qur`an, maka diwajibkan baginya untuk membaca ayat-ayat tersebut sekitar 7 ayat. Karena dzikir –di dalam shalat– yang paling utama setelah Al-Fatihah adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang sepadan dengannya. (Ma’alimus-Sunan)

Jika yang bersangkutan tidak mampu mempelajari Al-Qur’an sama sekali, karena wataknya yang lemah, atau hafalannya yang buruk, atau lisannya (bahasanya) yang asing, atau kesehatannya yang terganggu, maka dzikir –di dalam shalat– yang paling utama setelah Al-Qur’an adalah lafadz-lafadz yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti Tasbih, Tahmid dan Tahlil.”

Penulis berkata : Dzikir di dalam shalat tersebut adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada orang yang tidak mampu menghafal Al-Fatihah,

قل : سُبْحَانَ اللَّهِ , وَالْحْمُدُ لِلَّهِ ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ , وَاللَّهُ أَكْبَرُ , وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

“Bacalah; Subhanallah, Alhamdulillah, La ilaha illallah, Allahu Akbar dan La Haula Wa La Quwwata illa Billah.”

4-5. Rukun ke 4-5, Ruku’ Serta Thuma’ninah

Ruku’ di setiap rakaat merupakan rukun dari shalat menurut ijma’ para ulama. Dengan dalil:

Firman Allah Subhanahu wata’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا

“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu dan sujudlah kamu” (Al-Qur`an Surat: Al-Hajj: 77)

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada “orang yang buruk shalatnya”

ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا

“Kemudian ruku’lah dengan tenang (thuma’ninah).”

Ketekunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mengamalkan hal ini (ruku’ dengan thuma’ninah) di setiap rakaat dan di setiap shalat. Ditegaskan oleh sabda beliau:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku.”

Batas Minimal Cara Ruku’ Yang Sah

Yaitu dengan membungkukkan badan ke depan hingga tangannya menyentuh kedua lutut. Dan sebagian mengatakan: dengan membungkukkan badan ke depan hingga lurus (sempurna), sebagaimana berdiri juga dengan menegakkan badan sesempurna mungkin.

Sedangkan dalil mengenai thuma’ninah adalah, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا

“Kemudian ruku’lah dengan tenang (thuma’ninah).”

لاَ تُجْزِئُ صَلاَةٌ لاَ يُقِيمُ الرَّجُلُ فِيهَا صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ

“Tidaklah diterima shalat seseorang yang tidak meluruskan tulang belakangnya ketika ruku’ dan sujud.” (Hadits Riwayat: Shahih, An-Nasa`i : 2/183)

Thuma’ninah merupakan rukun di dalam ruku’ –dan sujud– menurut jumhur ulama yang berbeda dengan pendapat Abu Hanifah. (Al-Mabsuth: 1/21)

Praktik Thuma’ninah

Dengan berhenti hingga persendian terasa tenang dan tak bergeming. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada “orang yang buruk shalatnya”,

لاَ تَتِمُّ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ حَتَّى يُسْبِغَ الْوُضُوءَ… ثُمَّ يَرْكَعَ وَيَضَعُ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِله وَ تَسْتَرْخِي

“Tidaklah sempurna shalat kalian hingga kalian menyempurnakan wudhu’ , lalu ruku’ dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya hingga thuma’ninah dan persendian pun tenang.” (Hadits Riwayat: Shahih, Abu Daud: 859)

Sebagian ulama menyatakan bahwa standar ruku’ itu sesuai dengan lamanya bacaan dzikir yang wajib dibaca ketika ruku’.

6-7. Rukun ke 6-7, I’tidal Dan Thuma’ninah Setelah Ruku’

Dengan dalil, nasehat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kepada “orang yang buruk shalatnya”

ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَافِعًا

“Lalu bangkitlah –dari ruku’– hingga berdiri tegak dengan thuma’ninah.”

Dan juga dalam hadits Abu Hamid yang menceritakan sifat shalat Nabi.

فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ

“Dan jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kepala –berdiri dari ruku’– maka beliau berdiri tegak hingga setiap tulang punggung beliau kembali pada posisi semula.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari: 828)

Juga ditegaskan dengan hadits Rasulullah yang menyatakan,

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.”

Dan yang termasuk rukun I’tidal adalah,; bangkit dari ruku’. Karena hal tersebut tak terpisahkan dari I’tidal.

8-9. Rukun ke 8,-9, Sujud Dengan Thuma’ninah

Ulama sepakat menyatakan bahwa sujud dua kali dalam setiap rakaat merupakan rukun dari shalat. Dengan landasan dalil:

Firman Allah Subhanahu wata’ala

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا

“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah dan sujudlah kamu.” (Al-Qur`an Surat: Al-Hajj: 77)

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada “orang yang buruk shalatnya”

ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا

“Lalu sujudlah dengan thuma’ninah dan tenang.”

Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

لاَ تُجْزِئُ صَلاَةٌ لاَ يُقِيمُ الرَّجُلُ فِيهَا صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ

“Tidaklah diterima shalat seseorang yang tidak meluruskan tulang punggungnya ketika ruku’ dan sujud.”

Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يُصِيبُ أَنْفُهُ مِنَ الأَْرْضِ مَا يُصِيبُ جَبِينُهُ

“Tidaklah dikatakan seseorang telah melaksanakan shalat jika hidungnya tidak menyentuh apa yang disentuh dahinya.” (Hadits Riwayat: Daruquthny (1/348)

Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

أَتِمُّوا الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ ، فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنِّى لأَرَاكُمْ مِنْ بَعْدِ ظَهْرِى إِذَا مَا رَكَعْتُمْ وَ إِذَا مَا سَجَدْتُمْ

“Sempurnakanlah ruku’ dan sujud kalian, dan sungguh yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku akan melihat orang-orang sepeninggalku yang tidak –menyempurnakan– ruku’ dan sujudnya.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari: 418)

Selain itu, harus diperhatikan juga tujuh anggota sujud (yang harus menempel), yaitu kedua telapak tangan, kedua lutut, kedua kaki, dahi dan hidung. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

أُمِرْنَا أَنْ نَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ : عَلَى الْجَبْهَةِ -وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ- وَالْيَدَيْنِ [و فى لفظ : الكفين] وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ. وَلاَ نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعَرَ

“Kami diperintahkan sujud di atas tujuh tulang (anggota tubuh) yaitu; menempelkan dahi –dan Rasul menunjuk dengan tangan beliau ke arah hidung– dan kedua tangan [dalam sebuah riwayat dikatakan: kedua telapak tangan] lalu kedua lutut, dan kedua ujung kaki. –Kami juga diperintahkan untuk– tidak menutup anggota tersebut dengan baju maupun rambut.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari: 812)

10-11.Duduk Diantara Dua Sujud Disertai Thuma’ninah

Duduk di antara dua sujud merupakan rukun shalat sebagaimana yang ditegaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada “orang yang shalatnya buruk”

ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا

“Kemudian sujudlah dengan tenang (thuma’ninah), lalu angkatlah dari sujudmu hingga kamu dalam posisi duduk dengan thuma’ninah, lalu sujudlah kembali dengan tenang.”

Juga hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِىَ جَالِسًا

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika mengangkat kepala beliau (bangkit) dari sujud, maka beliau tidak sujud lagi –untuk sujud yang kedua– hingga duduk terlebih dahulu dengan lurus.” (Hadits Riwayat: Muslim: 498)

Dan dengan ini, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad menyatkaan bahwa duduk di atara dua sujud adalah rukun shalat, dan tidak ada riwayat yang dinukil dari pendapat Imam Malik, sedangkan Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa cukup baginya dengan sekedar mengangkat kepala sebatas ukuran pedang. (Al-Umm: 1/100)

12-13.Duduk Dan Membaca Tasyahud Akhir

Tasyahud Akhir merupakan rukun dari shalat, yang jika ditinggalkan baik secara sengaja maupun tak sengaja, maka shalatnya menjadi batal, dengan dalil sebagai berikut:

Hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhuma :

كُنَّا نَقُولُ قَبْلَ أَنْ يُفْرَضَ عَلَيْنَا التَّشَهُّدُ : السَّلاَمُ عَلَى اللَّهِ قَبْلَ عِبَادِهِ ، السَّلاَمُ عَلَى جِبْرِيلَ السَّلاَمُ عَلَى مِيكَائِيلَ ، فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- : لاَ تَقُولُوا السَّلاَمُ عَلَى اللَّهِ لَكِنْ قُولُوا التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ…الى آخره

“Sebelum diwajibkan kepada kami membaca tasyahud, kami membaca; As-Salamu ‘Alallah qabla ‘ibadihi, As-Salamu ‘Ala Jibril, As-Salamu ‘Ala Mikail. Lalu Rasulullah bersabda, “Jangan kalian ucapkan “As-Salamu ‘Alallah”, namun ucapkanlah; “At-Tahiyyatu Lillah… sampai akhir.” (Al-Sail al-Jirar: 1/219)

Dalil ini menunjukkan ketetapan wajibnya kalimat tasyahud yang sebelumnya belum dihukumi wajib.

Hadits riwayat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhuma, Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إذَا قَعَدَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلاةِ فَلْيَقُلْ : التَّحِيَّاتُ للهِ

“Jika salah seorang dari kalin duduk –tasyahud– ketika dalam shalat, maka hendaklah ia membaca; “At-Tahiyyatu Lillah…” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (6265)

Ketekunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mengamalkan hal ini (tasyahud dan duduk di dalamnya)

Ini merupakan pendapat madzhab Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Sedangkan Imam Malik menyatakan bahwa tasyahud adalah sunnah, dan bukan rukun. Kecuali bagian yang menjadi bagian dari salam. Menurut Abu Hanifah, bahwa duduk tasyahud adalah rukun, meskipun tasyahud tidaklah wajib.[1] Namun mereka yang mengatakan bahwa tasyahud tidaklah wajib tidak menyadurkan dalil atas argumen mereka, tidak lain mereka hanya berpijak kepada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak mengajarkan tasyahud kepada “orang yang buruk shalatnya”.

Benar, hadits ini dapat dijadikan landasan dalil jika saja hadits ini muncul belakangan setelah adanya hadits yang menerangkan tentang wajibnya tasyahud. Namun jika hadits tentang “orang yang buruk shalatnya” tersebut lebih dahulu ada, maka tidak dapat dicegah adanya kemungkinan sebuah hukum baru yang datang untuk mewajibkan suatu amalan yang tidak tercakup dalam hadits sebelumnya. Karena mengkhususkan adanya hukum wajib dalam hadits yang menceritakan tentang “orang yang buruk shalatnya” saja, kemudian mengabaikan dalil-dalil baru yang menerangkan tentang hukum wajib yang muncul setelah itu, merupakan bentuk pensekatan terhadap pintu pensyariatan, dan penolakan terhadap perkembangan kewajiban hukum shalat.

Namun jika tidak diketahui mana di antara hadits-hadits tersebut yang muncul terlebih dahulu, maka pendapat yang menyatakan wajibnya –tasyahud– adalah pendapat yang lebih kuat (arjah). Karena telah didapati dalil yang menyatakan kewajiban tasyahud, sedangkan sebaliknya, yaitu dalil yang menyatakan bahwa tasyahud tidak wajib, tidak pernah didapati secara yakin dan pasti. Karena itu, wajib mengamalkan dalil yang menyatakan bahwa hukum tasyahud adalah wajib.[2]

Lafaz Tasyahud

Sebagaimana dalam hadits riwayat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhuma:

عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم التَّشَهُّدَ – كَفِّي بَيْنَ كَفَّيْهِ – كَمَا يُعَلِّمُنِي السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ : التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ , وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ , السَّلامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ ، أَشْهَدُ أَنْ لا إلَهَ إلاَّ اللَّهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajariku tata-cara Tasyahud, –telapak tanganku berada di kedua telapak tangan beliau– sebagaimana Rasulullah mengajariku surat dari Al-Qur’an; “At-Tahiyyatu Lillah, Was-Shalawatu Wat-Thayyibatu, As-Salamu ‘Alaika Ayyuhan-Nabiyyu Wa Rahmatullahi Wa Barakaatuh, Assalamu ‘Alaina Wa ‘Ala ‘Ibadillahis-Shalihiin, Asyhadu Alla ilaha illallahu, Wa Asyhadu Anna Muhammadan ‘Abduhu Wa Rasuluh.” (Muslim (402)

Lafadz ini merupakan bacaan tasyahud yang paling shahih, dan lafadz ini telah diakui sebagai pendapat Abu Hanifah beserta murid-muridnya, Tsauri, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan jumhur Ulama.[4] Meskipun para ulama juga sepakat dalam membolehkan seluruh bacaan tasyahud –selain ini– yang telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Catatan Tambahan:

Terdapat beberapa jalur riwayat dari hadits Ibnu Mas’ud ini, yang menyebabkan perbedaan antara redaksi hadits yang bunyinya (As-Salamu ‘Alaika Ayyuhan-Nabiyyu… [Keselamatan bagimu wahai Nabi…] yang diriwayatkan pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan hadits yang diriwayatkan setelah zaman Rasulullah, dimana lafadz tasyahud tersebut menggunakan redaksi untuk orang ketiga yang tidak ada (ghaib), dan bunyinya (As-Salamu ‘Alan-Nabiy… [Keselamatan bagi Nabi..].

Dan di dalam lafadz hadits riwayat Imam Al-Bukhari (6265) setelah penuturan tentang tasyahud, Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah ketika masih bersama kami, namun ketika beliau wafat, kami membaca, “As-Salamu ‘Alan-Nabiy”.

Riwayat ini juga diperkuat oleh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari (2/366). Ibnu Hajar berkata, “Riwayat tersebut adalah shahih tanpa diragukan lagi, dan aku telah mendapatkan bukti –sanad– yang kuat, yaitu; Berkata Abdurrazaq telah mengabari kami Ibnu Juraij, telah mengabariku Atha’; “Bahwa sahabat dulu pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih ada, mereka membaca lafadz tasyahud, “As-Salamu ‘Alaika Ayyuhan-Nabiyyu”. Namun ketika Rasulullah telah wafat, mereka membaca dengan, “As-Salamu ‘Alan-Nabiy”. Sanad hadits ini shahih.”

Syaikh al-Albani juga menambahkan, “Permasalahan ini haruslah berhenti kepada sandaran yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan yang memperkuat hal ini adalah, bahwa Aisyah radhiallahu ‘anha juga mengajari para sahabat bacaan tasyahud di dalam shalat”. (Al-Umm (1/102), al-Mughni (1/387)

14. Rukun ke Empat Belas – Salam

Jumhur Ulama –berbeda dengan Abu Hanifah– berpendapat bahwa Salam merupakan rukun dari shalat. Dengan landasan dalil:

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

“Dan tahlil-nya (penutupnya) adalah salam.” (Hadits Riwayat: shahih, An-Nasa`i (3/40)

Hadits Riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha

كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَخْتِمُ الصَّلاَةَ بِالتَّسْلِيمِ

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengakhiri shalat beliau dengan salam.”[3]

Amalan Rasulullah yang mengerjakan salam ini dengan berkesinambungan dan terus-menerus.

Namun ada yang mengatakan, bahwa dalil-dalil di atas tidaklah kuat untuk mendukung argumen bahwa salam itu merupakan rukun shalat, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah memerintahkan salam kepada “orang yang buruk shalatnya” –dalam hadits yang telah dissebutkan berkali-kali sebelumnya– hingga diketahui belakangan dari hadits riwayat Ali (وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ) “dan tahlil-nya (penutupnya) adalah salam”. Begitulah yang dinyatakan Imam Syaukani.[1]

Penulis berkata: Bahwa pernyataan Imam Syaukani ini bertentangan dengan apa yang telah ia tentukan sebelumnya –yaitu dalam permasalahan wajibnya tasyahud– bahwa, jika tidak diketahui mana di antara hadits-hadits tersebut yang muncul terlebih dahulu, maka pendapat yang menyatakan wajibnya –tasyahud– adalah pendapat yang lebih kuat (arjah).

Tapi… yang diperdebatkan adalah hadits riwayat Ali radhiallahu ‘anhu:

تَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

“Pembukaannya adalah takbir, dan penutupnya adalah salam.”

Maka yang menganggap hadits ini shahih, menyatakan bahwa salam adalah rukun dari shalat. Selain itu, dalil-dalil lain yang menyatakan bahwa salam merupakan rukun dari shalat adalah sebagai berikut:

Hadits riwayat Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ ، فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا؟ فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ، ثُمَّ يَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ

“Jika salah seorang di antara kalian ragu dalam shalatnya, berapa rakaatkah yang telah ia kerjakan; apakah tiga rakaat atau empat? Maka hendaknya ia membuang keraguannya itu, lalu meneguhkan atas apa yang ia yakini, kemudian melakukan sujud –sahwi– dua kali sebelum salam.”[2]

Hadits dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhuma –dalam sujud sahwi–

فَلْيَتَحَرَّ الَّذِى يَرَى أَنَّهُ صَوَابٌ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيِ السَّهْوِ

“Maka hendaklah ia berpegangan kepada –rakaat– yang dianggap benar, lalu sujud sahwi dua kali.”[3]

Dari dua hadits ini, terdapat perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tetap melakukan salam di setiap shalat bahkan ketika dalam kondisi lupa rakaat shalat. Dengan demikian, hadits-hadits ini menunjukkan kepada suatu kesimpulan bahwa salam itu hukumnya wajib.

Sedangkan Abu Hanifah berkata, bahwa kedua salam itu sifatnya pilihan dan bukan kewajiban. Jadi, jika seseorang telah duduk dalam waktu tasyahud maka sempurnalah shalatnya. Pendapat ini berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhuma yang diajari shalat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

فَإِذَا قُلْتَ هَذَا فَقَدْ قَضَيْتَ صَلَاتَكَ إِنْ شِئْتَ أَنْ تَقُومَ فَقُمْ، وَإِنْ شِئْتَ أَنْ تَقْعُدَ فَاقْعُدْ

“Jika engkau telah membaca –doa tasyahud– ini, berarti telah melaksanakan shalat, lalu jika engkau ingin berdiri, maka berdirilah. Namun jika engkau ingin duduk, maka duduklah.”[1]

Namun redaksi ini merupakan “tambahan yang terselip” di dalam hadits (mudrajah) menurut kesepakatan para Huffadz Hadits. Bahkan yang shahih menurut riwayat Ibnu Mas’ud adalah; bahwa salam –di akhir shalat– itu wajib hukumnya, dengan redaksi:

مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ التَّكْبِيرُ ، وَ انْقِضَاؤُهَا التَّسْلِيمُ إِذَا سَلِمَ الإِمَامُ فَقُمْ إِنْ شِئْتَ

“Kunci shalat adalah takbir, dan penutupnya adalah salam. [jika imam telah salam, maka berdirilah jika mau].”[2]

Manakah Yang Sah, Satu Atau Dua Salam?

Ulama madzhab Syafi’i, madzhab Maliki dan juga jumhur ulama berpendapat bahwa rukun salam di dalam shalat itu adalah yang pertama, sedangkan salam yang kedua itu adalah sunnah. Ibnu Mundzir juga menjelaskan, “Dan seluruh yang ku hafal dari pendapat para ulama menyatakan, bahwa dibolehkan salam sekali saja di akhir shalat, namun aku menyukai untuk salam dua kali”. (3)

Sedangkan Imam Nawawi berkata, “Seluruh ulama yang kompeten telah sepakat bahwa salam di akhir shalat itu hanya diwajibkan sekali saja”. Namun penulis tambahkan di sini: bahwa pendapat tersebut telah diingkari oleh Imam Ahmad bin Hanbal –dalam riwayatnya– dan dalam madzhab Hanbali diwajibkan salam dua kali. Pendapat ini juga dianut oleh Ibnu Hazm, para pengikut madzhab Dzahiri, sebagian ulama madzhab Maliki dan Hasan bin Shalil. Mereka berdalil atas landasan:

Amalan Rasulullah yang berkesinambungan dalam melakukan dua salam ini. Serta sabda beliau yang menyatakan:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.”

Juga tidak didapatkan riwayat shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan salam hanya sekali.

Perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabat saat melihat mereka mengisyaratkan dengan tangan mereka ketika salam,

إِنَّمَا يَكْفِي أَحَدُكُمْ ، أَنْ يَضَعَ يَدَهُ عَلَى فَخْذِهِ ،وَ يُسَلِّمَ عَلَى أَخِيْهِ مِنْ عَلَى يَمِينِهِ وَ شِمَالِهِ

“Sesungguhnya cukup bagi kalian meletakkan tangan di atas paha, kemudian salam kepada saudaranya yang ada di sebelah kanan dan kirinya.”[1]

Lalu mereka menambahkan, bahwa yang berada di bawah standar “cukup” tidaklah diterima.

Jumhur Ulama Menyatakan Bahwa Satu Kali Salam Saja Cukup, Dalil Mereka:

Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

“Dan penutupnya adalah salam.”

Mereka berpendapat, bahwa hadits ini menggunakan lafadz mutlak, sehingga sekali salam saja sudah masuk ke dalam kategorinya.

Hadits Abdullah bin Abu Aufa radhiallahu ‘anhuma yang bertanya kepada Aisyah radhiallahu ‘anha tentang sifat shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang di dalamnya terdapat redaksi,

فَلاَ يَقْعُدُ فِي شَيْءٍ مِنْهُنَّ إِلاَّ فِي الثَّامِنَةِ فَإِنَّهُ يَقْعُدُ فِيهَا لِلتَّشَهَّدِ ثُمَّ يَقُومُ وَلاَ يُسَلِّمُ فَيُصَلِّيَ رَكْعَةً وَاحِدَةً ثُمَّ يَجْلِسُ فَيَتَشَهَّدُ وَيَدْعُو ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمَةً وَاحِدَةً السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ يَرْفَعُ بِهَا صَوْتَهُ حَتَّى يُوقِظَنَا

“Tidak duduk sama sekali dalam shalat tersebut kecuali setelah rakaat kedelapan. Dan ketika itu beliau duduk tasyahud, lalu berdiri lagi dan tidak salam. Kemudian Rasulullah shalat satu rakaat, lalu duduk, kemudian tasyahud serta berdoa, kemudian setelah itu beliau salam sekali saja –mengucapkan– “Assalamu ‘Alaikum” dengan mengangkat suara hingga membangunkan kami.”[2]

Sedangkan dalam riwayat Imam Muslim lafadznya:

ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا ، يُسْمِعُنَا

“Kemudian Rasulullah salam hingga kedengaran oleh kami.”

Redaksi ini memiliki dua kemungkinan penafsiran; yaitu salam sekali atau salam dua kali. Hanya saja ketetapan “salam sekali” telah diakui oleh banyak sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang di antara mereka adalah Anas bin Malilk dan Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhum.

Catatan Tambahan:

Standar minimal sahnya salam dengan lafadz “Assalamu ‘Alaikum”. Dan yang lebih shahih, sempurna dan lengkap adalah lafadz “Assalamu ‘Alaikum Warahmatullah” dan menoleh ke kanan lalu ke kiri.

Apakah boleh ditambahi dengan lafadz “Wa Barakatuh”?

Pendapat yang benar sebagaimana telah ditetapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa lafadz salam itu “Assalamu ‘Alaikum Warahmatullah”ke kanan dan ke kiri. Dan hadits ini memiliki sanad-sanad yang shahih dari hadits riwayat Jabir bin Samrah, Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhum. (1)

Sedangkan tambahan lafadz “Wa Barakatuh” tidaklah terdapat riwayat secaramarfu’ dengan sanad lemah kecuali dari jalur Musa bin Qais dari Salamah bin Kuhail dari ‘Alqamah dari Wail bin Hajar. Bahkan Daruquthny telah meragukan riwayat ini. Juga sebagian ulama telah mempertanyakan tentang ‘Alqamah apakah ia mendengar riwayat tersebut dari ayahnya (Wail bin Hajar). Demikian juga hadits ini tidak memiliki riwayat secara mauquf dengan sanad shahih kecuali dari jalur al-Aswad bin Yazid.

Jadi ,dalam menghukumi apakah tambahan redaksi ini shahih atau tidak, merupakan bagian ijtihad para ulama. Dan yang membenarkan ke-shahih-an hadits ini, menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kadang[2]melakukannya pada salam pertama. Namun bagi yang menyatakan hadits ini dhaif, tidak mengamalkan hadits ini meskipun di lain sisi juga tidak mengingkari bagi yang mengerjakannya. Sedangkan mengamalkan hadits ini secara terus-menerus –sebagaimana yang dilakukan beberapa golongan– adalah bentuk penyalahan dari ajaran sunnah.

Dan perlu diketahui juga, jumhur ulama berpendapat bahwa salam itu cukuplah dengan lafadz “Assalamu ‘Alaikum Warahmatullah, Assalamu ‘Alaikum Warahmatullah”

15. Rukun Shalat Dikerjakan Secara Tertib

Dengan dalil, bahwa Rasulullah mengerjakan shalat secara tertib dan teratur. Selain itu Rasulullah juga telah menegaskan dalam sabda beliau,

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.”

Rasulullah ketika mengajari “orang yang buruk shalatnya” beliau juga menerangkan dengan pernyataan ” Lalu… lalu.

Selain itu, shalat adalah ibadah yang dapat batal karena adanya hadas. Karena itu tertib menjalankan rukun-rukun shalat secara berurutan merupakan rukun shalat seperti ibadah yang lainnya[1]. Wallohu a’lam.

Demikian penjelasan lengkap tentang apa saja yang termasuk rukun shalat. Semoga bermanfaat dan menjadi amal ibadah bagi kita semua. Aamiin.

Leave a Comment