Fikroh.com – Kepengurusan lembaga Swadaya Masyarakat MUI baru saja terbentuk. Terpilih menjadi Ketua Umum MUI periode 2020-2025, KH Miftachul Akhyar. Mendengar namanya, tentu saja bukan nama baru di kalangan NU. Terutama Nahdliyin dan kalangan pesantren di Jawa Timur.
KH. Miftachul lahir dari tradisi dan melakukan pengabdian di NU sejak usia muda. Tak heran kemudian hari ini mengemban puncak kepemimpinan NU, sebagai Penjabat Rais Aam.
Kiai Miftah begitu sapaan akrabnya, adalah pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya. Ia adalah putra Pengasuh Pondok Pesantren Tahsinul Akhlaq Rangkah KH Abdul Ghoni. Ia lahir tahun 1953, anak kesembilan dari 13 bersaudara.
Di NU ia pernah menjabat sebagai Rais Syuriyah PCNU Surabaya 2000-2005, Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur 2007-2013, 2013-2018, dan Wakil Rais Aam PBNU 2015-2020 yang selanjutnya didaulat sebagai Pj. Rais Aam PBNU 2018-2020 di Gedung PBNU pada Sabtu (22/9/2020).
Menurut catatan PW LTNNU Jatim, Ahmad Karomi, genealogi keilmuan Kiai Miftah tidak diragukan lagi. Ia tercatat pernah nyantri di Pondok Pesantren Tambak Beras, Pondok Pesantren Sidogiri (Jawa Timur), Pondok Pesantren Lasem (Jawa Tengah), dan mengikuti Majelis Ta’lim Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Makki Al-Maliki di Malang, tepatnya ketika Sayyid Muhammad masih mengajar di Indonesia.
Masih menurut Karomi, penguasaan ilmu agama Kiai Miftah ini membuat kagum Syaikh Masduki Lasem, sehingga ia diambil menantu oleh kiai yang terhitung sebagai mutakharrijin (alumnus) istimewa di Pondok Pesantren Tremas.
Kemudian Kiai Miftah mendirikan Pondok Pesantren Miftachus Sunnah di Kedung Tarukan mulai dari nol. Awalnya ia hanya berniat mendiami rumah sang kakek, tetapi setelah melihat fenomena pentingnya nilai religius di tengah masyarakat setempat, maka mulailah beliau membuka pengajian. Apa sebab?
“Konon, kampung Kedung Tarukan terkenal sejak lama menjadi daerah yang tidak ramah ada dakwah para ulama. Namun berkat akhlak dan ketinggian ilmu yang dimiliki KH Miftachul Akhyar, beliau berhasil mengubah kesan negatif itu, sehingga kampung yang ‘gelap’ menjadi ‘terang dan sejuk’ seperti saat ini dalam waktu yang relatif singkat,” ungkap Karomi seperti dikutip dari NU.or.id, Jumat (27/11/2020).
Kesederhanaan Kiai Miftah, menurut Karomi, yang terekam dengan jelas adalah bentuk penghormatan terhadap tamu. Kiai Miftah tidak segan-segan menuangkan wedang dan menyajikan camilan kepada tamunya. “Akhlak ini beliau dapat dari ayahandanya, KH Abdul Ghoni,” lanjut Karomi.
Karomi mengutip penuturan Gus Tajul Mafakhir, bahwa ayah Kiai Miftah merupakan karib KH M Usman al-Ishaqi Sawahpulo saat sama-sama nyantri kepada Kiai Romli di Rejoso, Jombang.
Terlebih lagi saat sang ayah nyantri kepada Kiai Dahlan Ahyad Kebondalem sang pendiri MIAI dan Taswirul Afkar.
“Tepatlah kiranya pepatah mengatakan buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. KH Abdul Ghoni dalam pandangan Abah Thoyib Krian merupakan salah satu kiai ampuh yang ditutupi oleh keindahan akhlak. Acapkali KH Abdul Ghoni mengadukkan wedang, menyuguhkan dan mempersilakan kepada tamunya. Nah, lelaku sae inilah yang oleh KH Miftachul Akhyar tetap dilestarikan,” ujar Karomi.