Fatwapedia.com – Talak atau cerai bisa dibagi menjadi berbagai jenis tergantung dari beberapa sisi pandang yang berbeda. Dengan mengetahui latar belakang tersebut maka kita bisa memahami talak dari berbagai sisinya. Dan inilah Macam-Macam talak yang ditinjau dari 4 sisi.
- Dari sisi shigah (redaksi kalimat) yang digunakan, talak terbagi menjadi dua jenis:sharih (terus terang) dan kinayah (sindiran). Keduanya sudah dijelaskan sebelum ini.
- Dari sisi dampak yang ditimbulkan, talak terbagi menjadi dua jenis: raj‘i dan ba’in.
- Dari sisi sifatnya, talak terbagi menjadi dua jenis: sunni dan bid‘i.
- Dari sisi waktu berlakunya dampak yang ditimbulkan, talak terbagi menjadi tiga jenis: munajjaz, mu‘allaq ‘ala asy-syarth, dan mudhaf ila al-mustaqbal.
Berikut ini rincian jenis talak Raj’i dan hukum-hukum yang berkait dengannya.
Definisi Talak Raj‘i
Talak Raj‘i, yaitu talak yang dengannya suami masih boleh rujuk dengan istri selama masa iddah tanpa perlu melakukan akad yang baru, sekalipun tanpa kerelaan istri, dan rujuk tersebut terjadi setelah talak pertama atau kedua bukan ba’in asalkan dilakukan sebelum selesainya masa iddah. Jika masa iddah telah selesai, maka talak menjadi ba’in, dan suami tidak berhak lagi rujuk dengan istri yang telah ditalaknya tersebut kecuali dengan akad yang baru.
Dasar Hukum Rujuk
Dasar hukum rujuk yang utama adalah firman Allah Subhanahu wata’ala:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu, boleh menahan dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” [Surat al-Baqarah:228]
Maksud imsak (mempertahankan) dengan cara yang ma’ruf di sini adalah rujuk dengan istri yang ditalak, mengembalikannya ke dalam ikatan pernikahan, dan mempergaulinya dengan cara yang ma’ruf. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang Allah ciptakan dalam rahim mereka jika mereka benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. Dan suami-suami mereka berhak rujuk dengan mereka dalam masa penantian itu, jika para suami tersebut menghendaki islah.” [Surat al-Baqarah:229]
Ayat ini menunjukkan bahwa suami dari perempuan yang ditalaklah yang paling berhak untuk rujuk dengan perempuan tersebut dalam masa iddahnya dengan syarat bahwa tujuan suami melakukan rujuk bukan untuk merugikan perempuan tersebut, misalnya agar dia meminta khulu‘ (gugat cerai) atau semisalnya.
Zahir ayat yang mulia di atas menunjukkan bahwa semua suami dari perempuan-perempuan yang ditalak adalah orang yang paling berhak merujuki mereka tanpa membedakan jenis talak yang mereka jatuhkan apakah raj‘i atau ba’in. Akan tetapi, Allah Subhanahu wata’ala mengisyaratkan dalam ayat yang lain bahwa talak ba’in membuat suami tidak lagi memiliki hak rujuk dengan istrinya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
“Apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian mentalak mereka sebelum kalian mencampuri mereka, maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagi kalian yang kalian minta mereka menyempurnakannya.” [Surat al-Ahzab:49]
Talak yang dijatuhkan suami sebelum sempat bersebadan dengan istrinya setelah akad nikah adalah talak ba’in. Dengan talak tersebut, istri tidak wajib melakukan iddah untuk suami, padahal rujuk hanya bisa dilakukan dalam masa iddah.
Telah disebutkan sebelum ini hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa dia pernah menjatuhkan talak kepada istrinya yang sedang haid, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Umar radhiallahu ‘anhu,
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا
“Perintahkan dia merujuknya.”[Shahih. Telah berlalu takhrij-nya]
Para ulama berijma’ bahwa selama talak yang dijatuhkan seorang suami yang merdeka masih kurang dari tiga, dan yang dijatuhkan oleh suami yang budak kurang dari dua, maka keduanya berhak melakukan rujuk dalam masa iddah. [Al-Mughni (VII/515), al-Ifshah (II/158), dan al-Badai‘ (III/181)]
Hikmah Disyariatkannya Rujuk
Kebutuhan manusia kepada rujuk sangatlah besar karena terkadang seorang suami merasa menyesal telah menjatuhkan talak kepada istrinya sebagaimana hal itu diisyaratkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam firman-Nya:
لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا
“Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” [Ath thalaq]
Maka, suami butuh kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya itu. Kalau tidak ada kesempatan rujuk, tentulah suami tidak punya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya karena boleh jadi sang istri menolak memperbaharui pernikahan mereka dengan akad yang baru, dan dia pun tidak akan bisa menahan diri darinya sehingga dia pun terjatuh ke dalam perzinaan.” [Badai‘ ash-Shanai‘.] Oleh karena itulah, disyariatkan rujuk untuk mendamaikan suami dan istri, dan ini jelas hikmah yang sangat mulia. Maka, mahasuci Allah sebaik-baik hakim.
Apabila Suami Menjatuhkan Talak Tiga kepada Istri
Jika seorang suami mentalak istrinya dengan talak tiga, maka istrinya tersebut terkena talak ba’in dan menjadi haram baginya. Akibatnya, dia tidak boleh lagi rujuk dengan si istri, kecuali si istri sudah pernah menikah lagi dengan laki-laki lain secara sah. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ
“Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia (pernah) menikah dengan suami yang lain.” [Surat al-Baqarah:230]
Dan disyaratkan dalam pernikahan dengan suami barunya itu bahwa dia telah pernah disetubuhi oleh suami barunya itu. Ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa istri Rifa‘ah al-Qurazhi pernah datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Rifa‘ah menceraikanku lalu mengokohkan perceraiannya denganku (dengan talak ba’in). Setelah itu, aku menikah lagi dengan Abdurrahman bin az-Zubair al-Qurazhi. Ternyata kelaki-lakiannya hanyalah seperti ujung kain ini.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda,
لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ ؟ لا، حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ ، وَتَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ
“Sepertinya kamu ingin rujuk dengan Rifa‘ah? Tidak boleh, sampai dia (Abdurrahman) mencicipi madumu dan kamu mencicipi madunya.” [Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (2639) dan Muslim (1433)
Beberapa Hukum Rujuk dan Talak Raj‘i
Pertama, Syarat-Syarat Sah Rujuk
1. Hendaknya Rujuk Dilakukan Setelah Jatuhnya Talak Raj‘I (Sesudah Talak Pertama Atau Kedua), baik talak tersebut dijatuhkan oleh suami sendiri atau pun hakim. Sebab, rujuk merupakan penyambungan kembali hubungan suami istri yang diputus oleh talak, maka jika talak tidak jatuh, tentu tidak ada gunanya rujuk. Ini merupakan syarat yang disepakati oleh para ulama. [Lihat Al-Badai‘ (III/185), al-Khursyi (IV/80), al-Umm (VI/243)]
2. Hendaknya Rujuk Terjadi Setelah Terjadinya Hubungan Badan Dengan Istri Yang Ditalak. Sebab, jika suami mentalaknya sebelum berhubungan badan dengannya lalu ingin rujuk dengannya, maka dia tidak punya hak melakukan hal itu menurut kesepakatan ulama. Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala:
إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
“Apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian mencampuri mereka, maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagi kalian yang kalian minta mereka menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut‘ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” [Surat al-Ahzab:49]
Berbeda dengan jumhur ulama, Hanabilah memandang bahwa sekadar berkhalwat sudah sama dengan bercampur dari segi kesahan rujuk sesudahnya.
3. Hendaknya Rujuk Dilakukan Dalam Masa Iddah. Jika dilakukan selepas masa iddah, maka tidak sah menurut kesepakatan ulama fiqih berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”
Kemudian Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ
“Dan suami-suami mereka lebih berhak merujuki mereka dalam masa menanti itu.”[Surat al-Baqarah:228]
Oleh karena rujuk merupakan keberlanjutan kepemilikan, sementara kepemilikan itu hilang sesudah berakhirnya masa iddah, maka tidak bisa dibayangkan adanya keberlanjutan kepemilikan itu jika rujuk dilakukan sesudah berakhirnya masa iddah.
4. Hendaknya Perceraian -Sebelum Rujuk- Terjadi Bukan Karena Fasakh-Nya Akad Nikah.
5. Hendaknya Perceraian Tersebut Bukan Perceraian Dengan Ganti Rugi. Jika terjadi dengan ganti rugi, maka rujuk tidak sah karena saat itu istri telah bercerai total (ba‘in) dari suami dengan penebusan dirinya dari ikatan suami lewat ganti rugi harta yang dia bayarkan kepada suami untuk mengakhiri hubungan pernikahan dengannya.
6. Hendaknya Rujuk Bersifat Munajjazah (Berlaku Saat Itu Juga). Dengan demikian, menurut jumhur ulama, tidak sah mengkaitkan rujuk dengan syarat tertentu atau menyandarkannya kepada waktu tertentu. Mereka berkata, “Karena rujuk merupakan satu bentuk keberlanjutan akad nikah atau mengulangnya, sementara nikah tidak menerima pengaitan dan penyadaran kepada hal tertentu, maka demikian pula halnya dengan rujuk.”
Rujuk Merupakan Hak Suami yang Tidak Bisa Dia Gugurkan
Rujuk merupakan hak suami selama istri yang ditalaknya masih dalam masa iddah, baik si istri rela dirujuk atau pun tidak. [Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (VII/463-464) dan al-Mufashshal karya Abdulkarim Zaidan (VIII/18)] Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“Dan suami-suami mereka berhak merujuki mereka dalam masa menanti itu, jika para suami tersebut menghendaki damai.”[Surat al-Baqarah:228]
Hak rujuk ini telah ditetapkan oleh syariat untuk suami yang ingin merujuk. Karena itu, hak ini tidak bisa digugurkan atau dilepaskan. Seandainya seorang suami berkata kepada istrinya, “Aku mentalakmu dan tidak ada hak rujuk bagiku atas dirimu,” atau berkata, “Aku gugurkan hakku untuk rujuk denganmu,” maka haknya untuk rujuk tersebut tetap tidak gugur karena menggugurkannya termasuk perbuatan mengubah-ubah syariat yang telah Allah Subhanahu wata’ala tetapkan. Tidak ada seorang pun yang berhak mengubah-ubah syariat yang telah Allah Subhanahu wata’ala tetapkan. Allah Subhanahu wata’ala telah menjadikan hak rujuk ini sebagai urutan sesudah talak raj‘i di dalam firman-Nya:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu, boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”[Surat al-Baqarah:229]
Karena rujuk adalah hak suami atas istri yang ditalaknya, maka dia berhak menggunakan hak tersebut untuk mengambilnya kembali sebagai istri. Dia berhak untuk merujuki istrinya tersebut atau membiarkannya sampai habis masa iddahnya sehingga terkena talak ba’in. Hal ini telah ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu wata’ala:
فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
“Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik.”[Surat ath-Thalaq:2]
Dan firman-Nya:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”[Surat al-Baqarah:229]
Terkadang Rujuk Menjadi Wajib Bagi Suami
Yaitu jika suami mentalak istrinya dengan talak raj‘i dalam masa haid sebagaimana insya Allah akan dijelaskan di bagian talak bid‘i.
Tidak Disyaratkan Kerelaan Istri Untuk Dirujuk
Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“Dan suami-suami mereka lebih berhak untuk merujuki mereka dalam masa menanti itu jika para suami tersebut menghendaki damai.”[Surat al-Baqarah:228]
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wata’ala menyerahkan hak rujuk ke tangan suami. Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman,
فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
“Maka rujukilah mereka dengan baik.” [Surat ath-Thalaq:2]
Di sini, Allah Subhanahu wata’ala menyeru para suami dengan perintah rujuk, dan tidak memberikan pilihan kepada para istri karena rujuk adalah mempertahankan perempuan dalam hukum pernikahan sehingga kerelaannya tidak menjadi bahan pertimbangan sebagaimana ketika perempuan itu masih dalam tanggungannya.
Tidak disyaratkan adanya wali dan mahar dalam rujuk karena istri yang ditalak raj‘i masih berstatus istri dan rujuk adalah upaya suami untuk mempertahankannya sebagai istri.[Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (VII/469)]
Istri yang Ditalak Raj‘i Tidak Boleh Keluar dari Rumahnya
Suami Memberitahu Istri Bahwa Akan Rujuk
Jumhur ahli fiqih berpendapat [Lihat: Al-Bidayah (IV/597), Fath al-Qadir (IV/18), al-Khurasyi (IV/87), Hasyiah al-Jumal (IV/393), Kasyf al-Qana‘ (V/344), al-Muhalla (X/251), dan Tafsir al-Qurthubi] bahwa memberitahu perihal rujuk kepada istri adalah dianjurkan (mustahab) karena hal itu dapat mencegah timbulnya pertikaian yang mungkin muncul di antara suami dan istri. Boleh jadi istri akan menikah dengan laki-laki lain selepas masa iddahnya karena dia menyangka bahwa suami tidak akan merujukinya.[Lihat: Jami‘ Ahkam an-Nisa’ (IV/262)] Pada saat itu, jika suami bisa menguatkan rujuknya dengan bukti-bukti, maka pernikahannya dengan sang istri tetap berlanjut dengan adanya rujuk tersebut. Adapun pernikahan istri dengan suami barunya, maka harus di-fasakh, dan jika dia sudah pernah dicampuri oleh suami barunya itu, maka dia harus menjalani masa iddah karenanya, kemudian setelah itu dia harus kembali ke suami lamanya.[Ini menurut jumhur ulama. Sedangkan menurut Malik, jika suami yang kedua telah mencampurinya, maka dia sah menjadi istrinya, dan sebagai akibatnya, perkawinan dengan suami pertama batal. Pendapat ini juga merupakan salah satu riwayat dari Ahmad]
Istri dianggap bermaksiat jika dia tidak mau bertanya kepada suami (apakah akan dirujuk atau tidak), sedangkan suami dianggap bersalah jika tidak memberitahu istri perihal rujuk tersebut.
Kendati demikian, seandainya suami tidak juga memberitahu istri bahwa dia akan merujukinya kemudian dia jadi merujuk, maka rujuknya tetap sah. Sebab, rujuk adalah upaya mempertahankan keberlangsungan pernikahan yang sudah berjalan, dan bukan memulai baru, maka suami berhak melakukan apa saja dengan haknya itu tanpa harus sepengetahuan orang lain.
Zhahiriyah berpendapat tentang wajibnya memberitahu istri perihal rujuk. Jika suami tidak memberitahu istri hal tersebut, maka tidak dianggap sebagai orang yang ingin rujuk. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala:
فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
“Maka pertahankanlah mereka dengan ma’ruf (baik) atau lepaskanlah mereka dengan ma’ruf (baik) pula.”[Surat ath-Thalaq:2]
Rujuk adalah imsak dalam ayat ini, dan berdasarkan ayat tersebut, rujuk tidak sah kecuali dengan cara yang ma’ruf (baik). Dan di antara cara yang ma’ruf itu adalah dengan memberitahukannya kepada istri. Jika suami tidak melakukannya, maka dia tidak melakukanimsak dengan cara yang ma’ruf, melainkan dengan cara yang mungkar.
Selain itu, pendapat Zhahiriyah dikuatkan oleh firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“Dan suami-suami mereka lebih berhak untuk merujuki mereka dalam masa penantian itu jika para suami tersebut menghendaki damai.”[Surat al-Baqarah:228]
Berdasarkan dalil al-Qur’an ini, suami menjadi orang yang paling berhak merujuki istrinya jika memang dia ingin melakukan islah. Jika dia tidak memberitahukan perihal rujuk tersebut kepada istri atau dia merujukinya dengan tanpa memberitahu, itu berarti sebenarnya dia tidak ingin melakukan islah, namun ingin membuat kerusakan. Maka yang dia lakukan sesungguhnya bukanlah rujuk.
Penulis berkata: Inilah pendapat yang paling rajih dalam pandangan penulis dan yang paling sesuai dengan tujuan dan prinsip syariat. Ini pulalah pendapat khalifah ar-rasyid, Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu. Ibnu Hazm meriwayatkan dengan sanadnya hingga ke Umar bahwa Umar berkata saat ditanya tentang perempuan yang ditalak suaminya dengan pemberitahuan lalu dirujuk tanpa pemberitahuan hingga habis masa iddahnya, “Dia telah terkena talak ba’in dari suaminya itu.”[Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Ali bin Abu Thalib. Dia berkata tentang orang yang mentalak istrinya lalu mendatangkan saksi untuk menyaksikan rujuknya tanpa memberitahukannya kepada istri, “Dia tetap menjadi istri dari suami pertama, baik dia telah digauli oleh suami kedua atau pun tidak.” [Riwayat ini Hadits Riwayat: asy-Syafi‘i sebagaimana disebutkan di dalam musnadnya (II/126 – Syifa’ al-‘Iy), dan dari jalannya, al-Baihaqi meriwayatkannya dengan sanad yang shahih (VII/373)]
Akibat lanjutannya adalah jika suami merujuki istri tanpa memberitahukan perihal rujuk tersebut kepada istri lalu istri menikah lagi dengan laki-laki lain selepas masa iddahnya, maka pernikahannya yang kedua sah karena rujuk dianggap tidak terjadi sama sekali.Wallahu a‘lam.
Bolehkah Istri Yang Tertalak Raj‘I Berhias Untuk Suaminya? Apa Saja Yang Boleh Dilihat Suami Dari Dirinya?
Syafi‘iyah dan Malikiyah –dalam pendapat yang paling masyhur dari mereka– berpendapat bahwa perempuan yang tertalak raj‘i tidak boleh lagi berhias untuk suaminya, dan suami tidak boleh lagi meraih kenikmatan (istimta‘) dalam bentuk apapun darinya karena dia telah berstatus wanita asing bagi suami. Oleh karena nikah membolehkan pasangan suami istri saling ber-istimta‘ satu sama lain, maka talak mengharamkannya karena ia adalah kebalikan dari nikah. Namun, jika suami sampai menggauli istri yang telah ditalaknya dengan talak raj‘i, maka tidak ada hukuman had atas keduanya! [Al-Mabsuth (VI/25), Mughni al-Muhtaj (III/337)]
Telah shahih riwayat dari ‘Atha’ tentang hal ini. Dari Ibnu Juraij, dia berkata, “Aku berkata kepada ‘Atha’, ‘Apa saja yang halal bagi suami dari diri istri yang telah ditalaknya dengan talak bukan ba’in?’ Dia menjawab, ‘Dia tidak halal sedikit pun baginya selama dia belum merujukinya.”[Isnadnya shahih. Hadits Riwayat: Abdurrazzaq di dalam al-Mushannaf (11030-11032)]
Hanafiyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah berpendapat bahwa perempuan yang ditalak raj‘iboleh berhias untuk suaminya sebagaimana yang dilakukan oleh para istri untuk suami-suami mereka dengan berbagai macam perhiasan dan pakaian untuk membangkitkan keinginan suami untuk rujuk. Barangkali dengan melihatnya berhias, suami terpikat hatinya lalu menyesal telah mentalaknya lantas ingin rujuk kembali dengannya. Adapun suami, dalam situasi tersebut masih boleh melihat apa saja yang ingin dia lihat dari diri istrinya.
Mereka berdalil bahwa perempuan yang ditalak raj‘i secara hukum masih berstatus istri dan pernikahan di antara mereka masih berlangsung dari satu sisi, yaitu keberadaan perempuan tersebut yang sedang menjalani masa iddah. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ
“Dan suami-suami mereka berhak merujuki mereka dalam masa penantian itu.”[Surat al-Baqarah:228]
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wata’ala masih menyebut mereka sebagai suami (ba‘lun).
Penulis berkata: Ini pendapat yang paling kuat berdasarkan ayat ini, di samping tidak ada dalil yang melarang melihat atau yang membatasi bagian yang boleh dilihat dari tubuh istri. Hanya saja, para ahli fiqih berpendapat bahwa sepatutnya suami tetap meminta izin sebelum masuk menemuinya jika memang dia tidak berniat merujukinya. Sebabnya adalah karena bisa jadi saat suami masuk, si istri sedang tidak berpakaian, dan akibatnya, suami melihat bagian kemaluannya dan itu otomatis menjadikan dia rujuk dengannya menurut ulama yang menganggap itu sebagai rujuk sebagaimana akan dijelaskan sebentar lagi. Adapun jika suami berniat rujuk dengannya, maka tidak mengapa dia masuk tanpa izin karena di dalam hatinya telah ada niat rujuk sehingga perempuan tersebut masih menjadi istrinya, terlebih lagi rujuk memang tidak membutuhkan persetujuan istri.
Telah shahih riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa dia pernah mentalak istrinya, Shafiyah binti Abu ‘Ubaid, dengan talak satu atau dua. Maka dia tidak masuk menemuinya kecuali dengan izin. Ketika dia ingin merujuk kembali istrinya, dia mendatangkan saksi untuk itu lalu masuk menemuinya.[Isnadnya shahih. Hadits Riwayat: al-Baihaqi (VII/373).]
Bolehkah Menjatuhkan Talak Lagi Saat Istri yang Tertalak Raj‘i dalam Masa iddah?
Perempuan yang tertalak raj‘i masih berstatus istri yang berada dalam tanggungan suaminya. Oleh karena itu, jumhur ulama dari kalangan Imam yang Empat dan selain mereka [Ibnu ‘Abidin (III/397), As-hal al-Madarik (II/138)] berpendapat bahwa bisa saja dalam masa iddahnya, istri terkena talak lagi dari suaminya sebagaimana bisa saja dia terkena zihar, li‘an, dan ila’-nya, dan sebagaimana keduanya masih boleh saling mewarisi. Bahkan, Ibnu Qudamah menukil adanya ijma’ dalam hal ini.
Di pihak lain, Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berpendapat bahwa perempuan yang ditalak raj‘i tidak bisa dijatuhkan talak lagi kepadanya selama dia tengah menjalani masa iddahnya. Beliau berargumen dengan firman Allah Subhanahu wata’ala:
إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Apabila kalian menceraikan istri-istri kalian, maka hendaklah kalian ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).”[Surat ath-Thalaq:1]
Beliau berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa tidak boleh menyusulkan talak dengan talak yang lain hingga usainya masa iddah istri atau hingga suami merujukinya. Sebab, Allah Subhanahu wata’ala hanya membolehkan talak untuk iddah, artinya untuk menghadapi iddah. Kapan saja suami menjatuhkan talak kedua atau ketiga sebelum melakukan rujuk (dari talak pertama atau kedua), maka istri tetap dalam masa iddah dan tidak mengulang dari awal iddahnya menurut jumhur ulama. Hadits Riwayat: an-Nasa’i (VI/139), Ibnu Jarir (XXVIII/84), dan Ibnu Abi Syaibah (V/2) dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengenai firman Allah Subhanahu wata’ala:
فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Maka hendaklah kalian ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).”
Ibnu Abbas berkata, “Untuk menghadapi masa iddah mereka.” Dalam riwayat Abdurrazzaq (VI/303) dan Sa‘id bin Manshur (1058) dengan sanad yang shahih hingga ke ‘Amru bin Dinar, dia berkata, “Ibnu Abbas biasa membacanya:
{ فَطَلِّقُوهُنَّ لِقُبُلِ عِدَّتِهِنَّ} (Maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka (bisa) menghadapi iddah mereka.)”
Siapa berpegang pada konsekuensi dari ayat-ayat al-Qur’an tersebut dan juga makna yang ditunjukkan oleh atsar-atsar, maka dia akan mengatakan bahwa talak yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu wata’ala adalah yang diikuti oleh iddah dan yang pelakunya diberi pilihan antara mempertahankan dengan cara yang ma’ruf atau melepaskan dengan cara yang baik. Semua itu tidak terdapat di dalam talak tiga (sekaligus) yang dijatuhkan di masa iddah sebelum melakukan rujuk, maka tidak boleh melakukannya, dan talak seperti itu bukan talak untuk iddah, dan karena Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddah mereka, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik.”[Surat ath-Thalaq:2]
Allah Subhanahu wata’ala dalam ayat ini memberi suami pilihan antara merujuk atau membiarkan istri menjalani iddahnya lalu melepasnya dengan baik. Jika suami mentalaknya talak dua sebelum selesai masa iddah, maka berarti dia tidak mempertahankannya dengan cara yang ma’ruf dan tidak pula melepasnya dengan cara yang baik.”[Majmu‘ al-Fatawa (XXXIII/79-80)]
Penulis berkata: Tampaknya perbedaan pendapat dalam masalah ini kembali kepada perbedaan pendapat antara Ibnu Taimiyah dan jumhur ulama dalam masalah apakah tiga talak yang diucapkan sekaligus jatuh sebagai talak tiga atau tetap dihitung satu talak? Akan datang nanti pembahasannya insya Allah.