Fatwapedia.com – Tatkala seseorang melakukan talak raj’i, yakni talak yang tidak menutup pintu kembali, maka masih dibolehkan melakukan rujuk dengan berbagai ketentuan syari’at. Lalu bagaimana cara rujuk yang benar sesuai syariat? Simak penjelasan dibawah ini:
Rujuk bisa dilakukan dengan beberapa cara berikut ini:
1. Rujuk Lewat Ucapan
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai sahnya rujuk lewat ucapan yang menunjuk makna rujuk, seperti ucapan suami kepada istri dalam masa iddahnya:“raja‘tuki” (aku merujukimu), “irtaja‘tuki” (aku mengambilmu kembali),“radadtuki fi ‘ishmati”(aku kembalikan kamu ke dalam tanggunganku), dan ucapan-ucapan yang semakna dengan itu, atau mengatakan dengan kalimat ganti orang ketiga: “raja‘tu imra’ati” (aku rujuk kembali dengan istriku), dan semisalnya.[Al-Badai‘ (III/181), al-Khurasyi (IV/80), Mughni al-Muhtaj (III/337), dan Kasyf al-Qana‘ (V/342)]
Lafazh-lafazh rujuk ada yang sharih dan ada yang kinayah.
a. Lafazh Rujuk Sharih adalah lafazh yang hanya menunjuk arti rujuk, bukan arti yang lain, seperti lafazh-lafazh yang disebutkan di atas. Dengan lafazh-lafazh tersebut, rujuk berlaku tanpa harus diiringi dengan niat.
b. Lafazh Rujuk Kinayah adalah lafazh yang di samping menunjuk arti rujuk, juga mengandung arti yang lain, seperti mengatakan “anti ‘indi kama kunti” (kamu bagiku statusnya masih seperti yang dulu), “anti imra’ati” (kamu istriku), “radadtuki” (aku mengambilmu kembali), “amsaktuki” (aku mempertahankanmu sebagai istri), [1] dan semisalnya. Dengan lafazh-lafazh kinayah seperti ini, rujuk baru berlaku jika diiringi dengan niat rujuk. Jika tidak, maka rujuk tidak berlaku.
2. Rujuk Lewat Perbuatan
Para ulama berbeda pendapat menjadi empat mengenai berlaku tidaknya rujuk yang dilakukan dengan perbuatan fisik yang dilakukan suami kepada istri yang ditalak raj‘i. [Al-Badai‘ (III/183), al-Mabsuth (VI/21)]
Pertama: Rujuk Bisa Terjadi Lewat Persetubuhan Dan Pendahuluannya, Seperti Membelai Atau Mencium Dengan Syahwat, Baik Dengan Niat Rujuk Atau Pun Tidak. Demikian pula, rujuk bisa terjadi dengan memandang ke kemaluan istri dan bukan bagian tubuhnya yang lain, menurut madzhab Hanafiyah. Argumen mereka adalah sebagai berikut.
1. Rujuk merupakan upaya mempertahankan keberlangsungan pernikahan yang masih ada dengan beberapa cara sehingga tidak terbatas lewat ucapan saja karena perbuatan pun terkadang bisa menunjukkan adanya upaya tersebut.
2. Perbuatan yang menunjukkan upaya mempertahankan pernikahan tentunya harus yang khusus berkaitan dengan pernikahan dan tidak boleh dengan yang lainnya, misalnya berupa persetubuhan, ciuman, dan belaian yang disertai dengan syahwat, serta memandang kemaluan istri dengan syahwat.
Menurut mereka, jika hal-hal tersebut dilakukan pula oleh istri –seperti membalas menciumnya atau membelainya dengan syahwat– maka rujuknya sah, selama suami tidak melakukan penolakan.
Kedua: Rujuk Terjadi Lewat Persetubuhan Dan Pendahuluannya Dengan Syarat Disertai Dengan Niat Rujuk. Ini adalah pendapat Malikiyah. Barangkali yang menjadi argumen mereka adalah hadits:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya seluruh amal itu bergantung kepada niatnya.”[Muttafaq ‘alaihi. Sudah berulang kali disebutkan]
Ketiga: Rujuk Hanya Bisa Dilakukan Lewat Persetubuhan, Baik Dengan Niat Rujuk Atau Pun Tidak. Inilah pendapat yang dipegangi di kalangan Hanabilah, dan riwayat terpilih menurut mereka dari Ahmad, dan juga menjadi pendapat Ibnu al-Musayyab, al-Hasan, Ibnu Sirin, ‘Atha’, Thawus, az-Zuhri, ats-Tsauri, dan al-Auza‘i.
Untuk mendukung pendapat bahwa rujuk hanya bisa dilakukan lewat persetubuhan, Hanabilah berdalil sebagai berikut.
1. Berakhirnya masa iddah bisa berakibat tertalak ba’in-nya istri yang ditalak karena dengan usainya masa tersebut menyebabkan rujuk tidak berlaku lagi. Jika suami sempat menggaulinya dalam masa itu, maka dia kembali menjadi istrinya sebagaimana halnya ila’.
2. Talak dapat menyebabkan hilangnya hak kepemilikan suami, dan untuk itu dia diberikan kesempatan memilih. Maka, tindakan pemilik hak melakukan persetubuhan akan mencegah fungsi talak menghilangkan hak tersebut, seperti halnya perbuatan pemilik budak yang menggauli budak perempuan yang akan dijualnya dalam masakhiyar (memilih).
Sedangkan untuk menguatkan pendapat bahwa perbuatan selain persetubuhan tidak bisa menyebabkan rujuk, mereka berdalil sebagai berikut.
1. Pendahuluan persetubuhan, jikapun terjadi, tetap tidak mengakibatkan adanya iddah dan tidak mengharuskan adanya mahar, maka tidak sah melakukan rujuk dengannya.
2. Perbuatan tersebut tidak sama dengan persetubuhan karena persetubuhan secara jelas menunjukkan keinginan suami untuk rujuk, tidak sebagaimana perbuatan lainnya.
3. Memandang kemaluan istri atau merabanya bisa juga dilakukan oleh selain suami jika memang diperlukan sehingga rujuk tidak bisa dilakukan dengan cara-cara itu. Kemudian Hanabilah berbeda pendapat menjadi dua pendapat di antara mereka tentang sah tidaknya rujuk dengan melakukan khalwat yang sah.
Keempat: Rujuk Hanya Bisa Dilakukan Lewat Ucapan, Bukan Dengan Persetubuhan Atau Selainnya. Ini adalah pendapat Syafi‘iyah dan Abu Muhammad bin Hazm. Argumen mereka adalah sebagai berikut.
- Rujuk adalah upaya menghalalkan persetubuhan yang diinginkan lewat ucapan, maka rujuk tidak sah dilakukan lewat perbuatan selama masih mampu lewat ucapan sebagaimana halnya nikah.
- Istri yang tertalak raj‘i dianggap sebagai ajnabiyah (wanita asing) bagi suami –menurut kalangan Syafi‘iyah saja–, maka suami tidak halal menyetubuhinya, sementara rujuk dalam kondisi mampu dianggap sebagai pengulangan akad nikah. Sebagaimana halnya nikah tidak sah kecuali dengan ucapan-ucapan yang bermakna nikah, maka demikian pula dengan rujuk.
- Tidak ada satu pun ayat atau hadits yang menunjukkan bahwa persetubuhan adalah salah satu bentuk rujuk, dan tidak ada perbedaan di kalangan ulama bahwa rujuk lewat ucapan adalah rujuk.
- Tindakan mempertahankan istri dengan cara ma’ruf yang diperintahkan dalam al-Qur’an adalah apa yang dianggap ma’ruf oleh jiwa suami yang melakukannya, dan itu tidak bisa diketahui kecuali lewat ucapan.
Pendapat yang Rajih (kuat):
Penulis berkata: Pendapat yang terakhir ini menurutku tidak tepat. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ
“Dan suami-suami mereka yang lebih berhak merujuki mereka.”[Surat al-Baqarah:228]
Begitu pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Umar mengenai masalah putranya:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا
“Suruh dia untuk merujukinya.” [Shahih. Telah disebutkan berulang kali]
Cakupan firman Allah Subhanahu wata’ala dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini lebih umum daripada sekadar perintah rujuk lewat ucapan. Dengan demikian, tidak boleh mengkhususkan rujuk hanya lewat ucapan tanpa perbuatan kecuali jika ada dalil, dan dalam hal ini tidak ada dalil seperti itu. [Pernyataan yang senada terdapat dalam Nail al-Authar (VI/299) terbitan al-Hadits]
Selanjutnya, pendapat yang tampak paling adil di antara pendapat-pendapat yang menyatakan rujuk bisa dilakukan lewat persetubuhan adalah pendapat yang menyatakan bahwa rujuk dengan cara itu baru bisa berlaku jika diniatkan untuk rujuk, sebagaimana ini adalah pendapat Malik, Ahmad dalam salah satu riwayat, dan Ishaq, serta pendapat yang dipilih oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Adapun rujuk lewat pendahuluan-pendahuluan persetubuhan, kalau dikatakan bahwa rujuk bisa terjadi lewat cara-cara tersebut asalkan suami meniatkannya, maka itu tidak terlalu keliru juga, dan kalau tidak dengan niat, maka tidak terjadi rujuk.
Isyhad (Menghadirkan Saksi) Saat Rujuk
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddah mereka, maka pertahankanlah mereka dengan cara yang ma’ruf atau lepaskanlah mereka dengan cara yang ma’ruf dan hadirkanlah (untuk menyaksikannya) dua orang saksi yang adil di antara kalian.”[Surat ath-Thalaq:2]
Maksud menahan dengan cara yang ma’ruf di sini adalah rujuk. [Al-Badai‘ (III/181), al-Mabsuth (VI/22)]
Para ulama berbeda pendapat menjadi dua kelompok tentang hukum menghadirkan saksi untuk menyaksikan rujuk.
Pertama: Wajib Menghadirkan Saksi Untuk Menyaksikan Rujuk. Ini adalah pendapat asy-Syafi‘i yang qadim (lama), riwayat kedua dari Ahmad, dan pendapat Muhammad bin Hazm, serta yang dipilih oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Mereka berargumen sebagai berikut.
1. Firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ
“Dan hadirkanlah (untuk menyaksikannya) dua orang saksi yang adil di antara kalian.”[Surat ath-Thalaq:2]
Perintah dalam ayat ini sangat jelas menunjuk makna wajib, dan inilah yang dipahami oleh ‘Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu.
2. ‘Imran bin Hushain pernah ditanya oleh seorang laki-laki tentang orang yang mentalak istrinya dengan talak raj‘i kemudian langsung menggaulinya tanpa menghadirkan saksi (saat talak dan saat rujuk). ‘Imran menjawab, “Kamu telah mentalaknya tanpa sunnah dan merujuknya tanpa sunnah. Datangkanlah saksi untuk hal itu, dan jangan kamu ulangi perbuatanmu.” [Isnadnya shahih. Baru saja disebutkan takhrij-nya pada pembahasan Isyhad untuk Talak]
3. Oleh karena rujuk adalah upaya menghalalkan persetubuhan yang diinginkan, maka tidak sah jika dilakukan tanpa saksi sebagaimana halnya nikah.
4. Dalam ayat yang lalu, Allah Subhanahu wata’ala menggandengkan antara rujuk atau talak dengan isyhad, maka tidak boleh mengerjakan yang satu tanpa mengerjakan yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa melakukan suatu amalan tanpa ada dasar perintahnya dari kami, maka tertolak.” [Shahih. Telah sering kali disebutkan]
Kedua: Isyhad Untuk Rujuk Hukumnya Mustahab, Bukan Wajib. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi‘i dalam pendapatnya yang jadid (baru) dan yang paling kuat dalam madzhabnya, dan salah satu dari dua riwayat dari Ahmad. Argumen mereka adalah sebagai berikut.
- Isyhad wajib dalam pernikahan untuk menetapkan terjadinya hubungan suami istri, dan di sini hubungan itu telah tetap. Sedangkan rujuk adalah upaya mempertahankan pernikahan, bukan memulainya dari awal sehingga tidak membutuhkan kesaksian saksi.
- Rujuk merupakan hak suami yang tidak membutuhkan penerimaan istri atau walinya sehingga tidak wajib ada kesaksian saksi.
- Mereka mengatakan bahwa perintah isyhad dalam ayat di atas dimaknai mustahabdan bukan wajib dengan alasan-alasan berikut.
a. Perintah dalam ayat tersebut sama seperti perintah dalam ayat berikut.
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ
“Dan hadirkanlah saksi apabila kamu berjual beli.” [Surat al-Baqarah:282]
Menurut jumhur ulama, jual beli tetap sah meski dengan tanpa isyhad.
b. Adanya perintah isyhad untuk rujuk adalah demi menghindari penyangkalan di kemudian hari dan menutup pintu dan celah perselisihan. Jadi, termasuk suatu bentuk kehati-hatian.
c. Ayat tersebut memberi suami pilihan antara mempertahankan (imsak) atau menceraikan (firaq) kemudian menyebutkan perintah isyhad. Dari situ diketahui bahwa rujuk terjadi sebelum isyhad, dan isyhad bukan syarat rujuk.
d. Karena perceraian adalah hak suami dan boleh dilakukan tanpa isyhad, sedangkan rujuk juga hak suami, maka seharusnya rujuk pun boleh tanpaisyhad.
Pendapat Yang Rajih:
Pendapat yang rajih adalah yang menyatakan wajib isyhad dalam masalah rujuk berdasarkan zahir perintah yang terdapat dalam ayat di atas dan juga dalil-dalil kelompok pertama. Di samping itu, manfaat yang terdapat di dalamnya, seperti mencegah timbulnya penyangkalan suami dan kebersamaan dirinya dengan istri yang dapat menyebabkannya terjatuh ke dalam perkara yang haram, dan mencegah terjadinya penyangkalan istri agar bisa menikah dengan laki-laki lain setelah habisnya masa iddah dengan alasan tidak dirujuk oleh suami sehingga dia terjatuh ke dalam perkara haram. Mewajibkan isyhad dalam masalah rujuk ini jauh lebih utama daripada mewajibkan isyhad dalam masalah talak yang baru saja kita rajihkan. Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Kemudian sungguh mengherankan bahwa sementara Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan isyhad dalam masalah rujuk dan tidak memerintahkannya dalam masalah pernikahan, mereka malah memerintahkannya dalam masalah pernikahan tetapi kebanyakan mereka tidak mewajibkannya sama sekali dalam masalah rujuk!?”
Perselisihan Suami Dan Istri Dalam Masalah Rujuk
1. Jika suami dan istri berbeda pendapat dalam hal terjadi tidaknya rujuk bila suami mengaku telah rujuk dengannya kemarin misalnya, sementara istri mengingkarinya, maka ulama sepakat untuk membenarkan pengakuan suami jika itu terjadi pada masa iddah karena dia hakikatnya mengabarkan perkara yang dia miliki pengulangannya sehingga tidak bisa dicurigai pengabarannya.
2. Jika suami mengaku setelah berakhirnya masa iddah bahwa dia telah merujuk istrinya dalam masa iddah tetapi si istri mengingkarinya, maka:
a. Jika suami bisa membuktikan pengakuannya, maka rujuknya sah.
b. Jika suami tidak bisa membuktikan pengakuannya, maka pengingkaran istri yang diterima karena suami baru mengaku pada waktu hak rujuk sudah bukan lagi miliknya.
3. Jika suami berkata kepada istri yang sedang iddah, “Aku sudah merujukmu,” kemudian istri menjawab, “Masa iddahku sudah habis,” maka:
a. Jika rentang waktu antara terjadinya talak dengan munculnya pengakuan istri bahwa iddahnya telah berakhir memang sama dengan atau lebih dari waktu berakhirnya iddah, maka pengakuan istri diterima jika disertai sumpahnya, dan rujuk suami tidak berlaku.
b. Jika rentang waktu itu tidak sesuai dengan waktu berakhirnya iddah, yaitu kurang dari jumlah waktu berakhirnya iddah menurut syariat, maka pengakuan istri tidak diakui dan rujuk suami menjadi berlaku karena adanya indikasi yang menunjukkan kedustaan istri. [Al-Mabsuth (VI/22), al-Badai‘ (III/185), Mughni al-Muhtaj (III/338), al-Majmu‘ (XVI/271), dan al-Mughni (VII/285-289)]
Penulis berkata: Dari penjelasan di atas kita bisa memahami betapa pentingnya masalahisyhad dan dokumentasi talak dan rujuk ini. Karena itu, tidak boleh bersikap meremehkannya, terlebih lagi pada zaman fitnah. Wallahu a‘lam.
Catatan tambahan: Talak Raj ‘i Mengurangi Bilangan Talak.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa suami memiliki hak untuk menjatuhkan tiga talak kepada istrinya. Jumlah tersebut akan berkurang setiap kali talak dijatuhkan, baik raj‘i atau pun ba’in. Terjadinya rujuk antara suami dan istri pada masa iddah tidak menghapus pengurangan tersebut. Jika suami menjatuhkan talak pertama lalu rujuk, maka jumlah talak yang dia miliki tinggal dua. Jika dia menjatuhkan talak kedua lalu rujuk, maka tinggal satu kali talak lagi. Ini sudah merupakan kesepakatan di antara ahli fiqih berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” [Surat al-Baqarah:229]
Footnote:
[1] Karena ucapan “radadtuki” (aku mengembalikanmu) bisa berarti kembali sebagai istri dan bisa pula kembali ke rumah ayahnya, dan ucapan “amsaktuki” (aku mempertahankanmu) bisa berarti mempertahankan sebagai istri dan bisa pula menahannya keluar dari rumah selama masa iddah, maka dibutuhkan niat untuk mengarahkan makna lafazh tersebut ke salah satunya.