Fikroh.com – Tampaknya ada yang perlu ditegaskan terkait hadis dan postulat akidah Ahli Sunnah untuk bersabar dan tidak memberontak dalam menghadapi penguasa yang zalim, yaitu bahwa hal tersebut tidak berarti membenarkan, memberikan pembelaan dan berkhidmat untuk kepentingan mereka.
Dalil yang ada justru menunjukkan bahwa penguasa yang tengah melakukan kezaliman itu dibenci dan diingkari, meskipun juga dibarengi dengan sikap sabar terhadapnya serta tidak memberontak. Kata “sabar” itu sendiri umumnya terasosiasikan dengan sesuatu yang tidak disukai atau dibenci. Dan, umumnya sesuatu yang dibenci itu memang tidak untuk dibela.
Diriwayatkan melalui jalur Qatadah, dari Ummu Salamah, bahwa Nabi bersabda,
إنه يستعمل عليكم أمراء فتعرفون وتنكرون فمن كره فقد برئ ومن أنكر فقد سلم ولكن من رضى وتابع، قالوا يا رسول الله ألا نقاتلهم؟ قال: لا ما صلوا. قال قتادة: أي من كره بقلبه وأنكر بقلبه
“Nanti akan datang para penguasa yang kalian kenal dan kalian ingkari. Siapa yang membenci, maka ia telah berlepas diri (dari kemungkaran penguasa tersebut). Siapa yang mengingkari (kemungkaran itu) maka ia selamat. Namun, (yang tidak selamat itu adalah) siapa yang rida dan mengekor kemungkaran tersebut.” Para Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, tidakkah kami perangi saja para penguasa itu?” Nabi menjawab, “Tidak, selama mereka masih mengerjakan salat.” Qatadah [salah satu rawi hadis] menjelaskan, “Maksudnya, siapa yang membenci dengan kalbunya dan juga mengingkari dengan kalbunya (maka ia selamat dari dosa).”
Hadis ini valid riwayat Muslim dalam “Shahih”-nya (no. 1584), Abu Dawud (no. 4760), al-Tirmidzi (no. 2265), al-Baihaqi dalam “Syu’ab al-Iman” (no.7502), dan lain-lain.
Al-Munawi (w. 1031 H) menjelaskan dalam “Faidh al-Qadir” (vol. IV, hlm. 99),
أي تعرفون بعض أحوالهم وأقوالهم لموافقتها للشرع وتنكرون بعضها لمخالفتها له فمعنى تعرفون ترضون لمقابلتها تنكرون
“Maksudnya, kalian kenal sebagian kondisi dan ucapan penguasa itu yang sesuai syariah, dan kalian mengingkari sebagian lainnya karena menyelisihi syariah. Makna ‘kenal’ di situ adalah ‘rida’ karena kata selanjutnya yang berhadapan dengannya adalah ‘ingkar’.”
Ibn al-Jauzi (w. 597 H) berkata dalam “Shaid al-Khathir” (hlm. 358),
طال تعجبي من مؤمن بالله عز وجل، مؤمن بجزائه، يؤثر خدمة السلطان، مع ما يرى منه من الجور الظاهر
“Sangatlah panjang keherananku terhadap seorang yang beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan balasan-Nya, namun ia memilih berkhidmat terhadap kepentingan penguasa, sementara ia menyaksikan kezalimannya yang nyata.”
Disebutkan dalam kitab “Syarh Mukhtashar al-Khalil” (vol. VIII, hlm. 60), karya al-Kharasyi, pada pembahasan tentang bugat: Diriwayatkan dari Ibn al-Qasim, dari Imam Malik, bahwa beliau berkata,
إنْ كَانَ الْإِمَامُ مِثْلَ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَجَبَ عَلَى النَّاسِ الذَّبُّ عَنْهُ، وَالْقِتَالُ مَعَهُ، وَأَمَّا غَيْرُهُ فَلَا؛ دَعْهُ وَمَا يُرَادُ مِنْهُ يَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْ الظَّالِمِ بِظَالِمٍ، ثُمَّ يَنْتَقِمُ مِنْ كِلَيْهِمَا
“Jika pemimpin itu semisal ‘Umar bin ‘Abdul-‘Aziz maka wajib bagi kaum muslim untuk membelanya dan berperang bersamanya. Adapun selain itu (yaitu: pemimpin yang tidak adil, zalim) maka tidak demikian. Biarkan saja ia dan apa yang diinginkan orang lain terhadapnya. Allah membalas orang zalim dengan eksistensi orang zalim lainnya, kemudian Allah membalas keduanya.”
Yang dimaksud dengan penyebutan ‘Umar bin ‘Abdul-‘Aziz di sini adalah pemimpin adil, yang beliau merupakan salah satu contohnya. Lawannya adalah pemimpin yang tidak adil dan zalim. Karena itu, referensi lainnya dalam mazhab Maliki, semisal “Hasyiyah al-Dusuki ‘ala al-Syarh al-Kabir” (vol. IV, hlm. 299), menyebutkan dengan redaksi:
وَأَمَّا غَيْرُ الْعَدْلِ فَلَا تَجِبُ مُعَاوَنَتُهُ قَالَ مَالِكٌ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – دَعْهُ وَمَا يُرَادُ مِنْهُ يَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْ الظَّالِمِ بِظَالِمٍ، ثُمَّ يَنْتَقِمُ مِنْ كِلَيْهِمَا
“Adapun selain pemimpin yang adil, maka tidak wajib untuk ditolong (dibela). Imam Malik berkata, ‘Biarkan saja ia dan apa yang diinginkan orang lain terhadapnya. Allah membalas orang zalim dengan eksistensi orang zalim lainnya. Kemudian Allah akan membalas keduanya.’”
Disebutkan oleh Ibn Salmun al-Kinani dalam “al-‘Iqd al-Munazzham bi-Hasyiyah Tabshirah al-Hukkam” (vol. II, hlm. 195, teks sebagaimana SS), bahwa Ibn al-Qasim berkata, “Sekiranya para pengekor hawa nafsu yang memberontak itu masuk kota dan hanya menargetkan penguasa itu saja, maka mereka tidak diperangi, apabila penguasa itu zalim. Kecuali, kalau mereka juga menargetkan kaum muslim lainnya di dalam kota dan ingin mengambil hartanya, maka yang semisal itu diperangi setelah diperingatkan. Kalau mereka bersikeras maka diperangi.”
‘Isa meriwayatkan dari Ibn al-Qasim, bahwa Imam Malik ditanya tentang penguasa yang ingin disingkirkan dari kekuasaannya, apakah wajib untuk dibela? Beliau menjawab, “Adapun semisal ‘Umar bin ‘Abdul-‘Aziz maka wajib dibela. Adapun selain itu (tidak adil, zalim), maka tidak. Biarkan saja ia dan apa yang diinginkan darinya. Allah membalas seorang zalim dengan eksistensi orang zalim lainnya, lalu Allah membalas keduanya.”