Fatwapedia.com – Perlu penelusuran ulang terhadap sumber-sumber klasik tentang berapa sebenarnya usia ‘Â`isyah saat menikah dengan Nabi Saw. Boleh jadi kita menemukan sumber yang dapat menjadikan kebanggaan kita akan panutan kita, Nabi Muhammad Saw., semakin terkuatkan dengan ditemukannya data bahwa beliau menikah dengan ‘Â`isyah di usia remaja yang cukup matang, bukan di usia anak-anak “ingusan” berumur 7 atau 9 tahun. Ada beberapa langkah dalam penelusuran-ulang sumber-sumber klasik itu:
Pertama, pengujian sumber. Sebagian besar riwayat yang menceritakan pernikahan Nabi Saw. dengan ‘Â`isyah di usia belia diriwayatkan oleh Hisyâm bin ‘Urwah dari bapaknya. Seharusnya ada dua atau tiga orang lainnya yang meriwayatkan hal yang sama. Cukup aneh di Madinah, tempat di mana Hisyâm tinggal, tidak ada seorang pun meriwayatkan hal ini. Hisyâm sendiri baru menceritakan hal ini di usia 71 tahun. Aneh juga, tokoh tersohor yang ada di Madinah sekelas Mâlik bin Anas pun tidak menceritakan hal ini. Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Irak di mana Hisyâm kemudian tinggal di sana setelah pindah dari Madinah di usia tua. Dalam Tahdzîb al-Kamâl dikatakan bahwa menurut Ya’qûb ibn Syaibah, Hisyâm sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Irak.
Dalam Tahdzîb al-Tahdzûb dinyatakan bahwa Mâlik ibn Anas menolak hadis Hisyâm yang ia riwayatkan ke penduduk Irak. Dalam Mîzân al-I’tidâl juga dikatakan bahwa di masa tuanya ingatan Hisyâm mengalami kemunduran yang mencolok. Dari paparan ini saja dapat ditarik kesimpulan bahwa ingatan Hisyâm sangatlah jelek dan riwayatnya setelah pindah ke Irak tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel.
Berikut teks hadits tentang pernikahan Nabi Saw. dengan ‘Â`isyah riwayat Hisyâm dalam Shahîh al-Bukhârî:
حَدَّثَنِي فَرْوَةُ بْنُ أَبِي المَغْرَاءِ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: «تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، فَقَدِمْنَا المَدِينَةَ فَنَزَلْنَا فِي بَنِي الحَارِثِ بْنِ خَزْرَجٍ، فَوُعِكْتُ فَتَمَرَّقَ شَعَرِي، فَوَفَى جُمَيْمَةً فَأَتَتْنِي أُمِّي أُمُّ رُومَانَ، وَإِنِّي لَفِي أُرْجُوحَةٍ، وَمَعِي صَوَاحِبُ لِي، فَصَرَخَتْ بِي فَأَتَيْتُهَا، لاَ أَدْرِي مَا تُرِيدُ بِي فَأَخَذَتْ بِيَدِي حَتَّى أَوْقَفَتْنِي عَلَى بَابِ الدَّارِ، وَإِنِّي لَأُنْهِجُ حَتَّى سَكَنَ بَعْضُ نَفَسِي، ثُمَّ أَخَذَتْ شَيْئًا مِنْ مَاءٍ فَمَسَحَتْ بِهِ وَجْهِي وَرَأْسِي، ثُمَّ أَدْخَلَتْنِي الدَّارَ، فَإِذَا نِسْوَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ فِي البَيْتِ، فَقُلْنَ عَلَى الخَيْرِ وَالبَرَكَةِ، وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ، فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِنَّ، فَأَصْلَحْنَ مِنْ شَأْنِي، فَلَمْ يَرُعْنِي إِلَّا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضُحًى، فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ»
Telah menceritakan kepadaku Farwah bin Abî al-Mighrâ`, telah menceritakan kepada kami ‘Alî bin Mushir dari Hisyâm dari ayahnya dari ‘Â`isyah ra., ia berkata, “Aku dikawin oleh Nabi Saw. dalam usia enam tahun, kemudian kami berangkat ke Madinah, tinggal di Bani al-Hârits dari suku Khazraj, kemudian aku sakit panas sehingga rontok rambutku dan tinggal jummah (rambut yang sampai bahu), dan ketika aku sedang bermain ayunan bersama kawan-kawanku, ibuku Umm Rûmân menjerit memanggil aku, maka segera aku lari kepadanya, lalu dipegang tanganku sehingga nafasku masih sengal-sengal. Sampai tenang, kemudian ibuku mengusap wajah dan kepalaku lalu aku dibawa masuk rumah, tiba-tiba di rumah banyak wanita Anshar, dan mereka memberi selamat kepadaku, “’Alâ l-khair wa al-barakah, wa ‘alâ khairi tha’ir (selamat baik dan berkat), lalu ibu menyerahkan aku kepada mereka, lalu mereka menghiasku dan aku tidak sangka tiba-tiba Rasulullah Saw. masuk kepadaku di waktu dhuha, lalu mereka serahkan aku kepada nabi saw. di saat itu aku berusia sembilan tahun.
Selanjutnya mari kita urut kronologi perjalanan dakwah Nabi Saw. sebagaimana direkam kitab-kitab sejarah dan sîrah yang terpercaya, seperti al-Kâmil, Târîkh Dimisyq, Siyar A’lâm al-Nubalâ`, Târîkh al-Thabarî, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Târîkh Baghdâd, Wafayât al-A’yân, dan banyak lainnya. Kitab-kitab itu hampir sepakat kronologis perjalanan kenabian Muhammad Saw. seperti ini: masa kenabian berlangsung 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Tahun diangkat menjadi nabi dalam kalender masehi adalah tahun 610, hijrah ke Madinah tahun 623 (setelah 13 tahun di Mekkah), dan Nabi Saw. wafat tahun 633 (setelah 10 tahun di Madinah).
Berdasar kronologi ini, jika memang ‘Â`isyah dinikahi Nabi Saw. di usia 6 tahun, maka pernikahan itu terjadi tiga tahun sebelum hijrah (tahun 620 M) atau sama dengan tahun kesepuluh kenabian. Nabi Saw. baru berhubungan-badan dengan ‘Â`isyah di ujung tahun pertama hijrah, yaitu akhir tahun 623 M, yang ketika itu usianya 9 tahun. Ini artinya ‘Â`isyah lahir tahun 614 M, sama dengan tahun keempat kenabian. Benarkah peta-ceritanya seperti itu? Mari kita kritisi secara historis:
Perbandingan usia ‘Â`isyah dengan saudara perempuannya, Asmâ bint Abî Bakr. Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa Asmâ 10 tahun lebih tua dari ‘Â`isyah. Sumber-sumber itu menyebutkan bahwa Asmâ` lahir 27 tahun sebelum hijrah ke Madinah. Ini artinya usianya ketika Muhammad Saw. diangkat menjadi nabi di tahun 610 M adalah 14 tahun. Skemanya sepeti ini: 27-13=14. 27 tahun adalah masa dari kelahiran Asmâ ke hijrah. 13 tahun masa dari kenabian ke hijrah. Seperti telah dikatakan, Asmâ` lebih tua 10 tahun dari ‘Â`isyah. Ini artinya, ketika Nabi Saw. diangkat menjadi nabi, usia ‘Â`isyah adalah 4 tahun (ingat, ketika itu Asmâ` usianya 10 tahun lebih tua dari ‘Â`isyah). Artinya lagi, ‘Â`isyah lahir empat tahun sebelum kenabian, sama dengan tahun 606 M. Fakta historis ini dengan mudah membawa kita pada kesimpulan bahwa usia ‘Â`isyah ketika dinikahi Rasulullah Saw. di Mekkah tahun ke-10 dari kenabian adalah 14 tahun. Sekali lagi, 14 tahun, bukan 6 tahun seperti diriwayatkan al-Bukhârî!
Skemanya seperti ini: 4+10=14. Lahir 4 tahun sebelum kenabian (606 M), ditambah 10 tahun usia kenabian di mana ia dinikahi Nabi Saw., maka usianya kala itu adalah 14 tahun. Kemudian, sebagaimana disebutkan sejumlah sumber, ia baru digauli Nabi Saw. 3 tahun beberapa bulan setelah itu. Artinya, usianya ketika digauli Nabi Saw. sudah menginjak 18 tahun. Inilah usia sebenarnya Nabi Saw. menikahi ‘Â`isyah.
Perbandingan usia ‘Â`isyah dengan wafatnya Asmâ` bint Abî Bakr. Sumber-sumber sejarah sepakat menyebutkan bahwa Asmâ` wafat setelah peristiwa sejarah yang terkenal dan tak terbantahkan, yaitu terbunuhnya putranya, Abdullâh bin al-Zubair oleh al-Hajjâj, orang yang terkenal bengis, tahun 73 Hijrah. Usianya ketika itu mencapai 100 tahun. Kita hitung usia Asmâ` dari tahun wafatnya (73 Hijrah) yang ketika itu mencapai 100 tahun. Maka usia Asmâ` ketika hijrah adalah 27. Skemanya: 100-73=27. 100 adalah usia Asmâ` saat wafat, 73 adalah bilangan tahun hijriah saat Asmâ` wafat, 27 adalah usia Asmâ` ketika hijrah. Jika usia Asmâ` saat hijrah adalah 27 tahun, berapa usia ‘Â`isyah saat itu? Kurangi saja 10 tahun. Yakni 17 tahun. Jika ‘Â`isyah baru digauli oleh Nabi Saw. di akhir tahun pertama hijrah, maka usianya saat itu adalah 18 tahun. Hal ini dikuatkan dengan keyakinan al-Thabârî dalam Târîkh al-Umam bahwa semua anak Abû Bakar dilahirkan di zaman jahiliah. Ini sejalan dengan kronologis waktu yang benar, dan di saat sama menunjukkan lemahnya riwayat al-Bukhârî. ‘Â`isyah, dengan demikian, telah lahir empat tahun sebelum kenabian.
Perbandingan usia ‘Â`isyah dengan Fâthimah al-Zahra puteri Rasulullah Saw. Ibn Hajar dalam al-Ishâbah menyebutkan bahwa Fâthimah lahir tahun di mana Ka’bah dibangun (direnovasi), ketika itu usia Nabi Saw. 35 tahun. Disebutkan pula bahwa Fâthimah 5 tahun lebih tua dari ‘Â`isyah. Berdasar riwayat Ibn Hajar ini—meski ia bukan riwayat yang kuat, namun anggap saja kuat—kita akan mendapati bahwa Ibn Hajar (pensyarah kitab al-Bukhârî) secara implisit membohongkan riwayat al-Bukhârî. Penjelasannya begini: jika Fâthimah lahir ketika usia Nabi Saw. 35 tahun, ini artinya ‘Â`isyah lahir saat usia Nabi Saw. 40 tahun, usia di mana beliau menerima wahyu. Ini artinya usia ‘Â`isyah ketika hijrah ke Madinah sama dengan usia dakwah Nabi Saw. di Mekkah, yakni 13 tahun, bukan 9 tahun.
Ibn Katsîr dalam al-Bidâyah wa al-Nihâyah menyebutkan orang-orang yang pertama masuk Islam dari kalangan perempuan. Mereka antara lain Asmâ` dan ‘A`isyah yang masih kecil. Sebagaimana kita tahu Nabi Saw. berdakwah secara sembunyi-sembunyi selama empat tahun. Nah, Asmâ` dan ‘A`isyah telah masuk Islam pada masa-masa dakwah tersembunyi tersebut dan mereka mengikutinya selama 3 tahun. Riwayat ini menunjukkan bahwa ‘Â`isyah sudah masuk Islam sebelum Nabi Saw. secara terang-terangan mengumumkan dakwahnya tahun keempat kenabian, atau bertepatan dengan tahun 614 M. Itu artinya, ‘Â`isyah telah memeluk Islam paling kurang pada tahun 3 kenabian atau tahun 613 M. Jika ‘Â`isyah lahir pada tahun 4 kenabian seperti riwayat al-Bukhâri, maka ia belum lahir ketika Nabi Saw. mengumumkan dakwahnya secara terang-terangan di tahun 4 kenabian. Meskipun sudah lahir, pastilah masih menyusu (bayi), dan ini bertentangan dengan semua keterangan yang ada. Dengan penelusuran historis seperti ini dapat ditarik perhitungan yang benar tentang kapan ‘Â`isyah lahir. Yaitu 4 tahun sebelum kenabian atau tahun 606 M. Dengan demikian usianya ketika Nabi Saw. mengumumkan dakwahnya secara terang-terangan tahun 614 M sekitar 8 tahun. Inilah kronologis waktu yang logis untuk usia ‘Â`isyah yang bertentangan dengan riwayat al-Bukhârî.
Al-Bukhârî sendiri membuat bab tersendiri berjudul Jawâr Abî Bakr fî ‘Ahd al-Nabî. Di sana disebutkan bahwa ‘Â`isyah pernah berkata, “Aku tidak ingat tentang kedua orangtuaku sama sekali kecuali keduanya memeluk sebuah agama, tidak ada satu hari berlalu kecuali datang kepada kami Rasulullah Saw. padanya; pagi dan sore. Ketika umat Islam mengalami banyak sekali penindasan, Abû Bakar pergi hijrah ke Habasyah.” Pertanyaannya, bagaimana bisa al-Bukhârî meriwayatkan hal ini tentang ‘Â`isyah yang berkata bahwa ia tidak ingat tentang kedua orangtuanya selain bahwa mereka memeluk sebuah agama dan itu, seperti terbaca, sebelum hijrah ke Habasyah. ‘Â`isyah juga menceritakan bahwa Nabi Saw. selalu datang ke rumah mereka tiap hari. Ini menunjukkan bahwa ‘Â`isyah tahu (ingat) tentang kunjungan Nabi Saw. Satu hal pasti, hijrah ke Habasyah terjadi tahun 5 dari kenabian atau tahun 615 M. Nah, jika kita membenarkan riwayat al-Bukhârî bahwa ‘Â`isyah lahir tahun ke-4 dari kenabian (614 M), ini artinya ia masih menyusu (bayi) saat kaum Muslim hijrah ke Habasyah. Di usia sedini itu, apa yang bisa diingat oleh ‘A`isyah? Jadi, berdasar penelusuran kronologis historis, usia ‘Â`isyah yang logis saat kaum Muslim hijrah ke Habasyah adalah 9 tahun: Ia lahir 4 tahun sebelum kenabian, dan hijrah ke Habasyah tahun 5 dari kenabian (4+5=9).
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad ‘Â`isyah, “Ketika Khadîjah meninggal, Khaulah bint Hakîm istri ‘Utsmân bin Mazh’ûn mendatangai Nabi Saw. dan berkata, ‘Ya Rasulullah apakah engkau tidak menikah (lagi)?’ Nabi Saw. menjawab, ‘Dengan siapa?’ Khaulah berkata, ‘Jika engkau mau, bisa dengan gadis, bisa juga dengan janda.’ Nabi berkata, ‘(Jika dengan gadis) siapa gadis itu?’ Khaulah berkata, ‘Makhluk Allah paling engkau cintai, ‘Â`isyah puteri Abû Bakar.’” Dari kata-kata Khaulah ini jelas bahwa ia menawarkan gadis dan janda kepada Nabi Saw. Pertanyaannya, apakah wanita-wanita yang ditawarkan Khaulah kepada Nabi Saw. itu dalam keadaan siap-nikah, ataukah salah satu dari mereka masih kanak-kanak di mana Nabi Saw. harus menunggunya sampai balig? Yang dapat ditangkap dari kata-kata Khaulah ini, ia menawarkan wanita-wanita itu dalam keadaan siap-nikah. Ini dapat dicerna dari kata-kata, “Jika engkau mau, bisa dengan gadis, bisa juga dengan janda.” Tidak masuk akal jika ‘Â`isyah waktu itu seorang anak kecil berusia 6 tahun lalu Khaulah menawarkannya kepada Nabi Saw. untuk dinikahi dan menyebutnya sebagai seorang gadis. Adakah anak usia 6 tahun disebut gadis?
Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Khaulah bint Hakîm hadis panjang tentang khitbah Rasulullah Saw. kepada ‘Â`isyah. Poin penting dari hadis itu adalah ini: Ummu Rûmân berkata, “Sesungguhnya Muth’im bin ‘Adî telah menceritakan ‘Â`isyah kepada anaknya, dan demi Allah Abû Bakar tidak pernah sama sekali mengingkari janji.” Jalan ceritanya begini: Muth’im bin ‘Adî (seorang kafir) pernah mengkhitbah ‘Â`isyah untuk anaknya, Jabîr bin Muth’im. Itu terjadi sebelum Nabi Saw. mengkhitbah ‘Â`isyah. Abû Bakar ingin memenuhi janjinya (menikahkan ‘Â`isyah dengan Jabîr bin Muth’im), lalu ia pergi menemui Muth’im. Muth’im berkata kepadanya, “Mudah-mudahan jika aku menikahkan anakku dengan ‘Â`isyah, ia (anakku) akan beriman kepada agamamu.” Di sini kita berhenti pada beberapa kesimpulan penting, yaitu: tidak mungkin ‘Â`isyah dikhitbah sebelum usia 6 tahun oleh pemuda dewasa, yaitu Jabîr. Jabîr ikut memerangi kaum Muslim pada perang Badar dan Uhud. Mustahil juga Abû Bakar mengkhitbahkan putrinya kepada seorang musyrik yang suka menyakiti kaum Muslim di Mekkah. Ini menunjukkan bahwa khitbah itu merupakan bentuk pemenuhan janji Abû Bakar kepada Muth’im, dan itu terjadi sebelum Muhammad Saw. diangkat menjadi nabi. Hal ini menunjukkan dengan pasti bahwa ‘Â`isyah lahir sebelum Nabi Saw. diangkat jadi nabi.
Al-Bukhârî dalam Bab Firman-Nya, “Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit” (QS al-Qamar/54: 46), meriwayatkan dari ‘Â`isyah, ia berkata, “Telah diturunkan kepada Muhammad di Mekkah ketika aku masih kanak-kanak (jâriyah) dan suka bermain ayat ini: “Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” Seperti diketahui tanpa ada perbedaan pendapat bahwa surah al-Qamar turun setelah 4 tahun dari permulaan wahyu atau bertepatan tahun 614 M. Jika kita mempercayai riwayat a-Bukhârî (yang mengatakan bahwa ‘Â`isyah lahir tahun ke-4 dari kenabian), maka ketika surah al-Qamar turun ‘Â`isyah mungkin belum dilahirkan atau masih sangat kecil dan baru dilahirkan.
Pesoalannya, dalam riwayat yang ini, ‘Â`isyah mengatakan bahwa ketika surah al-Qamar turun ia adalah seorang anak-anak yang suka bermain. Jadi bagaimana bisa ia belum lahir? Dengan demikian, seperti telah berulang dikatakan, perhitungan yang logis berdasar kronologis historis, ‘Â`isyah lahir 4 tahun sebelum kenabian, sehingga usianya saat surat al-Qamar turun adalah 8 tahun. Usia ini cocok dengan pengakuan ‘Â`isyah sendiri yang mengatakan bahwa dirinya saat itu seorang jâriyah al’ab (anak kecil yang suka bermain).
Al-Bukhârî membuat Bab berjudul “Lâ yunkihu al-abb wa ghairuh al-bikr wa al-tsaib illâ biridhâhâ (seorang ayah atau lainnya tidak boleh menikahkan anak gadis dan janda kecuali atas ridhanya).” Rasulullah Saw. bersabda, “Gadis tidak boleh dinikahkan sampai ia dimintai izinnya.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana izinnya?” Beliau menjawab, “(Izinnya adalah) dia diam.” Pertanyaannya, bagaimana bisa Rasul yang mulia mengatakan hal ini sementara beliau melakukan hal sebaliknya? Dalam hadis yang diriwayatkan al-Bukhârî tentang usia Umm al-Mu’minîn ‘Â`isyah ketika dinikahi Nabi Saw. disebutkan bahwa ‘Â`isyah berkata, “Waktu itu aku bermain dengan anak-anak perempuan lainnya.” Tidak ada seorang pun meminta izinnya untuk menikah dengan Nabi Saw. Ya, memang bagaimana meminta izinnya, sedang ia seorang bocah yang masih sangat kecil yang bahkan belum paham arti nikah. Sekiranya pun ia dimintai izin, maka izinnya itu tidak punya efek hukum karena ia saat itu bahkan belum mukallaf; belum balig, belum pula sempurna akal. Jadi, bagaimana bisa Nabi Saw. mengatakan bahwa seorang gadis harus dimintai izinnya kalau akan dinikahi, sementara beliau sendiri menikahi seorang bocah kecil yang bahkan belum balig dan tidak mungkin dimintai izinnya?
Kedua, keikutsertaan ‘Â`isyah dalam perang Badan dan Uhud. Imam Muslim dalam Kitâb al-Jihâd wa al-Siyar, Bab Karâhah al-Isti’ânah fi al-Ghazw bi Kâfir, meriwayatkan partisipasi ‘Â`isyah dalam perang Badar. Dalam riwayat ini disebutkan bahwa ‘Â`isyah menceritakan salah satu momen penting dalam perjalanan selama perang Badar, yaitu ketika mereka sampai di Syajarah. Ini menunjukkan dengan jelas bahwa ‘Â`isyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar. Sementara itu al-Bukhârî dalam Kitâb al-Jihâd wa al-Siyar, Bab Ghazw al-Nisâ` wa Qitâluhunna Ma`a al-Rijâl, meriwayatkan keikutsertaan ‘Â`isyah dalam perang Uhud. Anas mencatat bahwa pada hari Uhud orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah Saw. Pada hari itu Anas melihat ‘Â`isyah dan Ummu Sulaim dari jauh, mereka menyingsingkan sedikit pakaiannya (untuk memudahkan gerak dalam perjalanan). Hingga di sini jelas, ‘Â`isyah ikut dalam perang Badar dan Uhud.
Kemudian al-Bukhârî dalam Kitâb al-Maghâzî, Bab Ghazwah al-Khandaq wa Hiya al-Ahzâb, meriwayatkan bahwa Ibn `Umar tidak diizinkan oleh Nabi Saw. untuk berpastisispasi dalam Uhud karena saat itu usianya baru 14 tahun. Tetapi waktu perang Khandaq, ketika ia berusia 15 tahun, Nabi Saw. mengijinkannya ikut dalam perang tersebut. Dari sini dapat diambil sekurangnya dua hal: 1) anak-anak berusia di bawah 15 tahun belum diizinkan ikut-serta dalam perang, dan 2) ‘Â`isyah ikut dalam perang Badar dan Uhud. Artinya, ‘Â`isyah kala itu sudah berusia jauh di atas 9 tahun, minimal 15 tahun. Di samping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain bahwa usia ‘Â’isyah saat berkeluarga dengan Nabi Saw. bukan 9 tahun.
Ketiga, kembali ke al-Qur’an. Seluruh muslim setuju bahwa al-Qur’an merupakan kitab petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari al-Qur’an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik mengenai usia ‘Â`isyah saat menikah dengan Nabi Saw. Apakah al-Qur’an mengizinkan atau melarang pernikahan dengan gadis belia berusia 6 atau 7 tahun? Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat yang menuntun seorang Muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Tuntunan itu relevan juga dijadikan pegangan dalam mendidik dan memperlakukan anak kita sendiri. Ayat itu berbunyi:
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوفًا. وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” (QS al-Nisâ`/4: 5-6).
Terhadap anak yatim, kita memiliki kewajiban: 1) memberi makan, 2) memberi pakaian, 3) mendidik, dan 4) menguji kedewasaan mereka. Ini semua dilakukan sebelum mereka mencapai usia nikah dan sebelum diberi kepercayaan untuk mengelola keuangan. Terlihat jelas bahwa al-Qur`an sangat teliti soal kedewasaan dan kematangan anak-anak yatim, baik secara intelektual maupun fisik melalui pengasuhan dan pendidikan sebelum mereka memasuki jenjang pernikahan dan sebelum mereka diberi kepercayaan pengelolaan harta kekayaan mereka secara mandiri. Maka, berdasar ayat di atas, seorang Muslim tidak boleh gegabah melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada anak gadis belia berusia 7 tahun. Jika untuk mengelola keuangan saja gadis belia seusia 7 tahun belum diperbolehkan, maka apa lagi untuk dilakukan akad-nikah dengannya. Kematangan intelektual dan fisik mereka masih sangat belum memungkinkan untuk melakukan pernikahan. Maka sangatlah sulit mempercayai bahwa Abû Bakar—seorang tokoh Muslim awal—bersedia menunangkan puterinya yang masih sanbat belia berusia 7 taun dengan Nabi Saw. yang sudah berusia 50 tahun. Sulit pula membayangkan bahwa Nabi Saw. menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun.
Lalu mari kita bicara soal pendidikan anak; sebuah tugas penting dalam menjaga dan membesarkan mereka. Berapa orang di antara kita yang berhasil mendidik anak dengan memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun? Jawabnya, tidak ada. Jika kita tidak akan berhasil mendidik anak dengan sukses sebelum usia 7 tahun, maka bagaimana bisa kita menikahkan anak perempuan yang bahkan belum genap 7 tahun? Sungguh di luar nalar jika ada orangtua menyerahkan anak perempuannya berumur 7 tahun kepada seorang pria berusia 50 tahun untuk dinikahi. Dalam hal ini, Abû Bakar dan ‘Â`isyah bukan kekecualian.
Ada lagi pendapat aneh yang mengatakan bahwa negara-negara bercuaca panas pada waktu itu, yakni di zaman Nabi Saw., menjadikan anak-anak perempuan kecil cepat menjadi gadis dewasa. Ini sungguh aneh! Sebab dari dulu hingga sekarang negara-negara bercuaca panas itu, yaitu negara-negara Arab, tetaplah bercuaca panas—bahkan tambah panas saja adanya. Tapi mengapa kita sekarang tidak menemukan anak-anak perempuan berusia 6 atau bahkan 9 tahun yang menjadi gadis dewasa sebelum waktunya? Omong-kosong ini bertentangan dengan kenyataan ilmiah yang menegaskan bahwa tidak ada hubungan antara cuaca dengan kedewasaan dini.
Kesimpulannya, berdasar perhitungan yang benar, Siti ‘Â`isyah menikah (berumah-tangga) dengan Rasulullah Saw. di usia 18 tahun, bukan 9 tahun. Riwayat yang mengatakan bahwa ia menikah di usia 9 tahun bertentangan dengan syarak, akal, riwayat-riwayat yang sahih, ‘urf (tradisi masyarakat), dzauq (cita-rasa sosial-kemasyarakatan), dan adat-istiadat. Dan yang paling nyata, bertentangan dengan urut-urutan kronologis historis perjalanan hidup dan dakwah Nabi Saw.
Oleh: Abad Badruzaman