Fikroh.com – Sesungguhnya peradaban barat ter-representasi pada kegemilangan pencapaian umat manusia berupa kehidupan materialis, padahal materi semata-mata tak dapat membahagiakan umat manusia seperti yang terlihat, akan tetapi mesti ada sebuah peradaban baru yang mengiringi cemerlangnya pencapaian materi tersebut, terus berjalan membersamainya lalu membawa umat manusia pada sebuah kehidupan spiritual yang tinggi -disamping pencapaian materi- hingga mampu menjaga keseimbangan antara kehidupan materi dan spiritual tanpa membiarkan salah satunya melampaui batas terhadap yang lain. Maka apakah peradaban baru seperti ini ada? dan apakah ada umat yang sanggup memainkan peranannya?
Dunia barat jelas tidak mampu memberikan perannya untuk peradaban yang ditunggu-tunggu tersebut, karena ia saat ini sedang berada dipuncak peradaban dan kekuatan materinya serta kagum dengannya. Maka ketika ia runtuh, ia akan kehilangan semua kemampuan yang menjadikannya layak untuk memimpin dunia menuju kedamaian yang dirindukan dan kehidupan mulia yang diidam-idamkan.
Komunisme lebih tidak memungkinkan untuk mengambil perannya karena ia telah terlampau tenggelam dalam kehidupan materi serta memerangi spiritual, sendi-sendi agama dan moral. Bahkan komunisme dan Barat telah memberikan ‘sumbangan’ terhadap penderitaan dunia dan kegoncangannya hingga peradaban ini akan runtuh diatas kepala para pengusungnya baik orang-orang barat maupun timur.
Dunia timur dengan agama-agamanya yang memiliki spiritual paganisme juga takkan mampu memikul beban tersebut. Karena sebuah peradaban haruslah berdiri atas keilmuan dan pemikiran yang benar serta bebas dari khurafat dan dongeng. Paganisme dalam hal ini sangat berseberangan dengan itu semua. Sesungguhnya spiritual yang dibutuhkan oleh dunia dalam peradaban yang dinanti-nantikannya adalah spiritual positif yang membangun yang mampu memberikan sumbangan terhadap kebaikan umat manusia dan kemajuannya. Sementara spiritual timur yang pagan adalah spiritual negatif yang lari dari kehidupan serta menyerah dari menunaikan kewajibannya. Mereka menganggap kemajuan umat manusia dari sisi materi sebagai najis yang harus disucikan dan wajib diperangi.
Maka tak ada satupun umat yang mampu memikul dan mengambil peran peradaban yang dinanti-nantikan itu kecuali umat kita yaitu umat islam. Tak ada yang mampu membawa bendera peradaban masa depan kecuali kita.
Hal itu dikarenakan oleh sebab-sebab berikut ini:
1. Karena kitalah pembawa teologi yang paling agung yang mampu berperan dalam membangun peradaban. Ia adalah teologi paling bersih, bersinar, tinggi dan sempurna. Ia adalah teologi keilmuan yang menghormati logika serta mendorongnya dari kebodohan supaya menjadi terang. Ia adalah teologi moralitas, kemanusiaan yang moderat dan mulia yang bebas dari sikap berlebihan dalam kasih sayang dan meremehkan/melalaikan keadilan, jauh dari sikap melampaui batas dalam mendakwakan cinta tapi meremehkan kewajiban. Teologi yang disyari’atkan untuk kemudahan dan kemaslahatan baik maslahat individu dalam lingkup kemaslahatan kelompok ataupun kemaslahatan kelompok tanpa melalaikan kemaslahatan individu. Begitu juga dengan kemaslahatan umat dalam lingkup kemanusiaan yang umum, kemaslahatan umat manusia seluruhnya tanpa mengingkari kelebihan bangsa-bangsa dan karakteristik umat lain, lalu meruntuhkan kemuliaannya.
2. Sesungguhnya kita adalah pengemban spiritual positif konstruktif, spiritual ilahiyah yang menyertai seorang prajurit dalam perangnya, seorang buruh di pabriknya, seorang ‘alim dalam pengajarannya, seorang filosof dalam pembahasannya, seorang hakim dipengadilannya, seorang pegawai dalam tugasnya, seorang pemimpin dalam kepemimpinannya, ia bembersamai seorang manusia baik dalam kesungguhan atau bercandanya, dalam gerak dan diamnya, malam dan harinya, ketika lapang dan susahnya, ketika sehat dan sakitnya, tanpa mencegahnya dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, bahkan ia memindahkannya dari sebuah kesempurnaan kepada kesempurnaan yang lain, mengingatkannta kepada Tuhan yang menciptakannya, bumi tempat ia tumbuh, orang-orang yang hidup bersamanya, dunia dimana ia merupakan bagian dari kesatuaannya yang besar serta penghambaannya kepada Allah tuhan semesta.
3. Sesungguhnya kita telah membuktikan di masa lalu kemampuan kita dalam membangun sebuah peradaban seperti yang dirindukan umat manusia. Betapapun ada sebagian orang yang benci mengkritik peradaban kita, tak seorangpun mampu mengingkari bahwa peradaban kita lebih baik dalam memberikan kasih sayang kepada umat manusia melebihi peradaban barat, dalam ketinggian akhlaknya, dalam keadilan hukumnya, kecemerlangan rohaniahnya, kedekatannya sebagai sebuah contoh peradaban paling tinggi disetiap masa dan fase-fasenya. Dan ketika kita mampu membangun peradaban manusia yang cemerlang itu dimasa-masa terbelakangnya ilmu pengetahuan dan pemikiran, maka kita lebih mampu lagi untuk membangun peradaban itu dimasa berkembangnya ilmu pengetauan dan tersingkapnya hal-hal yang tidak diketahui umat manusia sedikit demi sedikit.
Sesungguhnya ketika kita memegang kendali peradaban yang dinantikan tersebut kita tidak akan menjadikan kemampuan kita mencapai luar angkasa sebagai argumen untuk mengingkari wujud Allah, kita tidak menjadikan roket-roket yang mampu melintasi benua sebagai alasan untuk mengancam bangsa-bangsa lain untuk tunduk dibawah kendali kita, kita takkan menjadian radio sebagai media penyesatan, kita takkan film-film sebagai alat penggoda, kita takkan menjadikan wanita sekedar pemuas keinginan tubuh dan kita takkan menjadikan kemajuan peradaban tersebut untuk memperbudak bangsa lain, mengambil sumber daya alamnya dan menghinakan kemuliaanya.
Itulah sebab-sebab atau sebagian dari sebab-sebab yang menjadikan kita satu-satunya umat yang berhak mengemban bendera peradaban setelah peradaban barat lalu membangun sebuah peradaban baru yang akan meringankan penderitaan umat manusia serta memastikan baginya bagian besar berupa kedamaian, ketenangan dan kehidupan yang manusiawi.”*
Ditulis oleh Al-‘Alim Al-Mujahid Dr. Mustafa Husni As-Siba’i (Wafat 1964) dalam mukaddimah kitabnya ‘Min Rawa’i’ Hadharatina’ halaman 18-22 cet Dar Al-Warraq Riyadh.