Fikroh.com – Hemat berbicara tapi disegani. Salah seorang Jenderal TNI yang pernah menodongkan senjata ke MOSSAD, pengawal PM Israel. Itulah Sjafrie Sjamsoeddin, James Bond-nya Indonesia.
Sjafrie Sjamsoeddin sosok yang kalem itu, Jadi ingat sejarah beliau saat kawal Presiden Soeharto tembus medan perang Sarajevo tanpa rompi anti peluru.
Kala itu Tentara Serbia memusnahkan etnis Bosnia tahun 1995. Pembantaian yang terjadi terhadap Muslim Bosnia tercatat sebagai genosida paling mengerikan setelah Perang Dunia II usai.
Soeharto ke Balkan setelah bertemu Presiden Kroasia Franjo Tudjman, di Zagreb pada tahun 1995. Soeharto pun pamit untuk melanjutkan perjalanannya ke Sarajevo, ibu kota Bosnia Herzegovina.
Mesti Soeharto mendengar kabar pesawat yang ditumpangi Utusan Khusus PBB Yasushi Akashi ditembaki saat terbang ke Bosnia. Tapi tak akan surut langkah pemimpin negara Non Blok ini bertandang ke Bosnia.
Setelah berdebat panjang kali lebar, PBB mengizinkan Soeharto terbang ke Bosnia tapi ada syaratnya, Soeharto harus menandatangani surat pernyataan risiko. Artinya PBB tak bertanggung jawab jika suatu hal menimpa Presiden RI kedua ini di Sarajevo.
Presiden Soeharto langsung meminta formulir kepada Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin, Komandan Grup A Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres). Gak pake lama, surat PBB itu langsung diteken pak Harto.
Sjafrie sempat ketar-ketir, karena saat itu Soeharto menolak mengenakan helm baja dan rompi antipeluru seberat 12 kg yang wajib dikenakan oleh setiap anggota rombongan presiden.
“Eh, Sjafrie, itu rompi kamu jinjing saja,” kata Soeharto ke Sjafrie kala itu.
Seperti biasa, Pak Harto hanya gunakan jas dan kopiah. Sjafrie pun ikut-ikutan mengenakan kopiah yang dipinjamnya dari seorang wartawan yang ikut. Tujuannya untuk membingungkan sniper (kamuflase) yang pasti akan mengenali Presiden Soeharto di tengah rombongan.
“Ini dilakukan untuk menghindari sniper mengenali sasaran utamanya dengan mudah,” kata Sjafrie.
Suasana mencekam. Saat mendarat di Sarajevo, Sjafrie melihat senjata 12,7 mm yang biasa digunakan untuk menembak jatuh pesawat terbang terus bergerak mengikuti pesawat yang ditumpangi rombongan Presiden Soeharto.
Saat konflik, lapangan terbang itu dikuasai dua pihak. Pihak Serbia menguasai landasan dari ujung ke ujung, sementara kiri-kanan landasan dikuasai Bosnia.
“Pak Harto turun dari pesawat dan berjalan dengan tenang. Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri kami sebagai pengawalnya pun ikut kuat, tenang dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah,” beber Sjafrie.
Setelah mendarat, bukan berarti masalah selesai. Mereka harus melewati Sniper Valley, sebuah lembah yang menjadi medan pertarungan para penembak jitu Serbia dan Bosnia. Sudah tak terhitung banyaknya korban yang jatuh akibat tembakan sniper di lembah angker itu.
Pak Harto naik panser VAB yang sudah disediakan Pasukan PBB. Walau di dalam panser, bukan berarti mereka akan aman 100 persen dari terjangan peluru sniper. Tapi Presiden Soeharto santai-santai saja.
Akhirnya mereka sampai di Istana Presiden Bosnia yang keadaannya sangat memprihatinkan. Tidak ada air mengalir, sehingga air bersih harus diambil dengan ember. Pengepungan yang dilakukan Serbia benar-benar meluluh-lantakan kondisi Bosnia.
Presiden Bosnia Herzegovina Alija Izetbegovic menyambut hangat kedatangan Presiden Soeharto. Dia benar-benar bahagia Soeharto tetap mau menemuinya walaupun harus melewati bahaya.
Setelah meninggalkan istana, Sjafrie pun bertanya pada Soeharto mengapa nekat mengunjungi Bosnia yang berbahaya. Termasuk menyampingkan keselamatan dirinya.
“Ya kita kan tidak punya uang. Kita ini pemimpin Negara Non Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang ya kita datang saja. Kita tengok,” jawab Pak Harto.
“Tapi resikonya sangat besar, Pak” tambah Sjafrie.
“Ya itu bisa kita kendalikan. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, morilnya naik, mereka jadi tambah semangat,” kata Pak Harto.
Kata-kata itu membekas dihati Sjafrie. Bahkan sampai puluhan tahun kemudian, dia masih ingat perkataan presiden Soeharto tersebut.
Menurut Sjafrie, kalimat yang diucapkan Almarhum Soeharto itu pun bermuatan keteladanan yang berharga bagi siapa pun yang hendak menjadi pemimpin.