Fikroh.com – Mungkin tak pernah terbayang oleh mantan Presiden Sudan Jenderal Omar Hasan Al-Basyir, bahwa; Penjara Kober di Bahri Khartoum dimana ia menjebloskan perdana menteri Shadiq Al-Mahdi tahun 1989 paska kudeta tak berdarah adalah penjara yang sama yang harus ia tempati 30 tahun kemudian ketika ia juga dikudeta oleh militer Sudan diusianya yang sepuh.
Sama seperti tercengangnya seorang kakek tua; At-Toum Mohammed Zein sopir taxi butut yang tak lain adalah paman Basyir ketika keponakannya mengumumkan telah melakukan ‘revolusi’ tahun 1989. Sebab, bocah dari keluarga sederhana yang sering ia lihat menaiki keledai itu tidak menunjukkan bakat seorang pemimpin dan tanda-tanda akan menjadi orang besar apalagi seorang presiden.
Itulah kisah tentang seorang brigadir jendral (Omar Al Basyir) yang ‘bersekongkol’ dengan Dr. Hasan At Turabi seorang ulama kontroversial, politisi lihai sekaligus pemimpin gerakan Islam (yang dianggap ‘murtad’ bahkan oleh gerakan Islam sendiri) dalam kudeta tak berdarah terhadap pemerintahan sah Shadiq Al Mahdi yang tak lain adalah ipar dari At Turabi sendiri.
Maka, kisah gerakan Islam Sudan, cerita tentang sebuah bangsa yang terkenal rendah hati, tentang perjalanan politiknya, tentang dikucilkannya negara ini oleh dunia internasional bahkan oleh saudara-saudaranya sesama Arab dan islam, tentang permusuhannya dengan Israel; adalah cerita unik yang berbeda dengan cerita gerakan Islam dan pergolakan politiknya di negara lain di timur-tengah.
At Turabi yang menolak untuk membaiat Mursyid Am IM di Mesir mungkin juga tak pernah menyangka bahwa ‘mutarobbinya’ yang ia didik dan persiapkan dengan baik untuk mengambil alih kekuasaan suatu saat nanti justru tak patuh bahkan memusuhi dan memenjarakannya ketika ia berniat membatasi kewenangan seorang Basyir sebagai presiden yang semakin hari semakin menonjol pribadinya sebagai seorang militer yang otoriter ketimbang seorang kader gerakan Islam yang taat.
Pasang surut hubungan segitiga gerakan Islam antara IM, NCP dan PCP adalah seperti kisah persaudaraan tiga orang yang lahir dari rahim yang sama lalu saling berselisih dan kekuatan mereka menjadi lemah. Dan ketika musuh mereka berkuasa, mereka tak pernah membedakan antara NCP, PCP dan IM. Semuanya adalah Islam politik yang harus dihabisi.
Itulah cerita tentang seorang diktator yang rendah hati, yang dibenci karena rezimnya yang korup, yang didakwa melakukan genosida di Darfour oleh Mahkamah Pidana Internasional.
Namun seandainya Basyir tidak melakukan kebaikan apapun kecuali ia turut membela para pejuang Palestina dengan mempersenjatai mereka, seandainya Basyir tidak punya kebaikan apa-apa kecuali ia telah berusaha menegakkan undang-undang Islam (termasuk hudud) sebagai satu-satunya negara Islam di benua Afrika yang mempraktekkannya dimana praktek riba, prostitusi hingga murtad adalah hal yang dilarang oleh negara maka itu sudah cukup untuk menjadikan ia pribadi yang baik dalam batas-batas tertentu.
Basyir, mungkin bukan pribadi yang Sholeh, mungkin. Tapi setidaknya ia berkuasa lebih lama dari pemimpin sesholeh Presiden Mursi. Ia yang pernah terancam kudeta oleh sejawat2nya di militer pada akhirnya harus bersikap pragmatis yang juga menjadi salah satu titik lemahnya. Sikapnya yang menolak mundur dan tetap mencalonkan diri pada pemilu 2015 padahal telah dinasehati untuk mundur oleh ulama seperti Dr. Ahmad Ar-Raisuni dan Dr. Abdul Hayyi Yusuf pada hari ini masih menjadi perdebatan dikalangan islamis saat Sudan justeru dipegang oleh kaum liberal.
Kisah petualangan politik Jenderal Omar Hasan Al-Basyir bisa saja berakhir di penjara Kober Bahri. Ia yang didakwa hukuman mati karena melakukan kudeta dan tuduhan genosida di Darfour bisa jadi akan menghembuskan nafasnya ditiang gantungan. Itulah kisah tentang ‘dari gerakan ke negara’ yang ‘sad ending’ dan bisa jadi adalah akhir dari proyek Islamisasi gerakan islam di Sudan. Atau jangan-jangan Islam politik sedang mengevaluasi kesalahan-kesalahannya untuk kemudian bersatu memulai dari awal lagi? Wallahu A’lam.