Fikroh.com – Pernyataan-pernyataan provokatif Macron yang menyinggung kaum Muslim, meski selalu dibungkus dengan dalih “radikalisme” dan “separatisme Islam”, yang telah dilontarkannya sebelum muncul kasus Samuel Paty, sepertinya hanyalah merupakan pengalihan isu atas persoalan lain. Banyak pengamat mencurigai bahwa politik “war on terror” ala Bush yang kini dilantangkan Macron merupakan usaha untuk mendongkrak popularitasnya yang kian anjlok menjelang Pemilihan Presiden 2022.
Bagaimanapun, tindakan melawan keyakinan yang dianut oleh hampir dua miliar orang bukanlah hal yang lazim dilakukan oleh seorang politisi, kecuali hal itu akan memberikan keuntungan politik baginya. Begitulah cara menilai pernyataan-pernyataan Macron hari ini.
Menurut sejumlah kolumnis, menyerang Islam telah menjadi metode yang lazim digunakan oleh politisi di Eropa, juga Amerika, untuk menutupi kegagalan mereka di dalam negeri. Para pemimpin politik yang terjebak dalam politik domestik dan gagal dalam kebijakan luar negeri biasanya akan mencoba untuk menyembunyikan kekurangannya itu dengan menargetkan Islam.
Popularitasnya yang terus-menerus merosot dalam tiga tahun terakhir, diduga telah mendorong Macron untuk mengadopsi taktik cepat yang kontroversial untuk membalikan keadaan, yaitu mengulik kaum Muslim di Perancis. Dan hal ini telah menjadikan perjalanan politik Macron menjadi ironis.
Ketika terpilih menjadi presiden pada 2017, Macron berhadap-hadapan dengan Le Pen di putaran kedua pemilihan presiden. Ketika itu ia berhasil merebut dukungan golongan tengah, sayap kiri, serta kelompok moderat karena dianggap sebagai satu-satunya politisi liberal dan demokratis yang dapat membendung gelombang populisme, termasuk mencegah naiknya politisi sayap kanan seperti Le Pen.
Ironisnya, meminjam sejarawan Perancis, Dominique Vidal, meskipun berangkat sebagai politisi liberal, namun Perancis di bawah Macron sebenarnya sedang bergerak menuju ke ekstrem kanan. Alih-alih sedang meredam teror dan radikalisme, melalui pernyataan-pernyataannya Macron justru tengah memancing ketegangan seluruh dunia melalui isu agama yang diusungnya.
Pembelaan Macron terhadap kartun Charlie Hebdo dengan dalih kebebasan berpendapat, juga ironis. Macron mengharapkan semua orang Perancis untuk menghormati “nilai-nilai Republik”, kampanye yang belakangan terus-menerus diulangnya, ketika pada saat yang bersamaan dia telah mengabaikan nilai-nilai yang dihormati oleh orang lain, bukan saja oleh kaum Muslim di Perancis, tapi juga di seluruh dunia.
Barangkali memang benar, di hadapan kursi kekuasaan semua ideologi politik hanyalah label saja, agar orang tetap merasa terhormat dengan berbagai akrobat yang telah dilakukannya.