Fikroh.com – Tidak ada yang lebih lapang dada terhadap orang yang menyakitinya melebihi RasuluLlah Muhammad ﷺ. Tidak ada yang lebih lembut sikapnya terhadap orang yang bersikap kasar kepadanya melebihi beliau. Sejauh urusannya dengan diri beliau sendiri, maka beliau tidak pernah marah. Akan tetapi begitu yang dilanggar adalah urusan agama ini, maka beliau marah karena Allah.
Mari kita ingat sejenak hadis berikut ini:
مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ قَطُّ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ بِهَا لِلَّهِ
“Tidaklah Rasulullah ﷺ dihadapkan untuk menentukan di antara dua urusan, kecuali beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya, selama hal itu bukan merupakan dosa. Jika hal itu merupakan dosa, maka beliau adalah manusia yang paling jauh dari dosa. Dan tidaklah Rasulullah ﷺ marah karena dirinya kecuali jika dilanggar larangan Allah, maka beliau pun marah karena Allah.” (HR. Bukhari & Muslim).
Maka janganlah bermudah-mudah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ tidak pernah marah. Seolah-olah dalam urusan apa pun beliau tidak pernah menunjukkan kemarahan. Padahal begitu kehormatan agama diinjak, termasuk ketika yang direndahkan adalah kehormatan beliau dalam kedudukannya sebagai rasul, maka tidak ada yang dapat memadamkan kemarahan beliau. Bentuk tindakan yang beliau ambil adakalanya mendo’akan laknat untuk salah satu kabilah Arab. Beliau mendo’akannya dalam qunut selama satu bulan penuh.
Dari Anas radhiyaLlahu ‘anhu, ia berkata:
قَنَتَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوْعِ يَدْعُو عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ
“Rasulullah ﷺ pernah qunut selama satu bulan setelah bangkit dari ruku’, yakni mendo’a kebinasaan untuk satu kabilah dari kabilah-kabilah Arab, kemudian beliau meninggalkannya (tidak mengerjakan qunut lagi).” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, An-Nasa’i dan Ath-Thahawi).
Hadis ini memberi pelajaran bagi kita bahwa dalam urusan kehormatan dakwah dan agama, sabar itu bukan berarti hanya diam dan duduk manis. Ada saat dan keadaan ketika beliau diam tak membalas ketika orang mengejek, menghina dan mengganggunya. Bahkan kita juga mendapati betapa beliau menolak ketika malaikat menawarkan untuk menghancurkan kota Thaif atas tindakan mereka yang keji kepada Rasulullah ﷺ. Beliau menolak karena mengharap generasi berikutnya termasuk golongan orang-orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dan rasul-Nya.
Akan tetapi ada titik ketika beliau mengangkat tangannya, memanjatkan do’a dengan segenap pinta, sepenuh kesungguhan memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Beliau mendo’akan kebinasaan suatu kaum, memintakan laknat atas mereka, di depan para sahabat radhiyaLlahu ‘anhum. Beliau berdo’a dengan jelas dan terang, di saat shalat sesudah berdiri dari ruku’, sementara para sahabat radhiyaLlahu anhum mengaminkan.
Dalam riwayat lain kita mendapatkan penegasan mengenai apa yang RasuluLlah ﷺ lakukan:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ اِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى أَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ ِلأَحَدٍ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوْعِ، فَرُبَّمَا قَالَ: إِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ اَللَّهُمَّ اَنْجِ الْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ. اَللَّهُمَّ اشْدُدُ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِيْنَ كَسِنِيْ يُوْسُفَ.
Dari Abu Hurairah (radhiyaLlahu ‘anhu), “Sesungguhnya Nabi ﷺ apabila hendak mendo’akan kecelakaan atas seseorang atau mendo’akan kebaikan untuk seseorang, beliau mengerjakan qunut sesudah ruku’, dan kemungkinan apabila ia membaca: Sami’allahu liman hamidah Rabbana lakal hamdu, (lalu) beliau membaca, “Ya Allah, selamatkanlah Walid bin Walid dan Salamah bin Hisyam dan ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah dan orang-orang yang tertindas dari orang-orang Mukmin. Ya Allah, keraskanlah siksa-Mu atas (kaum) Mudhar. Ya Allah, jadikanlah atas mereka musim kemarau seperti musim kemarau (yang terjadi pada zaman) Yusuf.’” (HR. Bukhari).
Dari hadis ini kita mendapatkan kaidah penting tentang apa yang beliau kerjakan apabila hendak mendo’akan kecelakaan atas seseorang maupun kebaikan. Dan kemurkaan yang sangat besar apabila ada yang menghina Allah dan Rasul-Nya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ لِكَعْبِ بْنِ الْأَشْرَفِ فَإِنَّهُ قَدْ آذَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ أَنَا فَأَتَاهُ فَقَالَ أَرَدْنَا أَنْ تُسْلِفَنَا وَسْقًا أَوْ وَسْقَيْنِ فَقَالَ ارْهَنُونِي نِسَاءَكُمْ قَالُوا كَيْفَ نَرْهَنُكَ نِسَاءَنَا وَأَنْتَ أَجْمَلُ الْعَرَبِ قَالَ فَارْهَنُونِي أَبْنَاءَكُمْ قَالُوا كَيْفَ نَرْهَنُ أَبْنَاءَنَا فَيُسَبُّ أَحَدُهُمْ فَيُقَالُ رُهِنَ بِوَسْقٍ أَوْ وَسْقَيْنِ هَذَا عَارٌ عَلَيْنَا وَلَكِنَّا نَرْهَنُكَ اللَّأْمَةَ قَالَ سُفْيَانُ يَعْنِي السِّلَاحَ فَوَعَدَهُ أَنْ يَأْتِيَهُ فَقَتَلُوهُ ثُمَّ أَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرُوهُ
“Siapa yang bersedia untuk (membunuh) Ka’ab bin Al-Asyraf karena dia telah menghina Allah dan Rasul-Nya ﷺ?”
Lalu Muhammad bin Maslamah berkata, “Aku bersedia.”
Kemudian Muhammad bin Maslamah menemui Ka’ab bin Al-Asyraf, lalu berkata, “Kami ingin engkau agar meminjamiku satu atau dua wasaq kurma.”
Dia (Ka’ab) menjawab, “Gadaikan dulu istri-istri kalian.”
Para sahabat Maslamah menjawab, “Bagaimana mungkin kami menggadaikan istri-istri kami sedangkan engkau orang Arab yang paling tampan?”
Dia berkata, “Kalau begitu gadaikan anak-anak kalian.”
Mereka berkata, “Bagaimana kami menggadaikan anak-anak kami, padahal nantinya mereka mendapat cemoohan: “Duh, anaknya digadaikan hanyalah untuk sekedar menadapat satu atau dua wasaq. Itu adalah celaan bagi kami. Namun kami akan menggadaikan kamu dengan lakmah.” Sufyan berkata: “Maksud lakmah adalah pedang”. Maka Maslamah berjanji kepadanya untuk menemuinya, lalu mereka membunuhnya kemudian mereka temui Nabi ﷺ lalu mereka kabarkan kejadiannya. (HR. Bukhari).
Ini bukanlah satu-satunya peristiwa yang kita dapat menelusurinya dalam hadis shahih. Jika dalam kasus Ka’ab bin Al-Asyraf beliau menawarkan kepada para sahabat radhiyaLlahu ‘anhum siapa yang bersedia melakukan eksekusi, maka berbeda lagi dengan kasus Abu Rafi’ Abdullah ibnu Abi Al-Huqaiq yang sering menghina dan menistakan beliau ﷺ dalam kedudukan sebagai rasul di berbagai tempat maupun kesempatan. Untuk mengeksekusi hukuman mati terhadap Abu Rafi’, seorang Yahudi yang memiliki perlindungan berlapis dan tinggal di benteng miliknya dengan penjagaan sangat ketat, maka RasuluLlah ﷺ menunjuk beberapa sahabat dari kalangan Anshar sekaligus menjadikan ‘Abdullah bin ‘Atik sebagai pemimpin dalam missi tersebut. Sebagaimana kita dapati dalam sebuah hadis panjang di Shahih Bukhari, ‘Abdullah bin ‘Atik sempat terjatuh dan mengalami patah tulang pada kakinya seusai melaksanakan eksekusi terhadap pebisnis Yahudi harbi yang sangat kaya tersebut.
Masih ada beberapa kasus lain yang RasuluLlah ﷺ memerintahkan secara langsung hukuman mati terhadap orang-orang yang menginjak-injak kehormatan agama ini. Saya tidak menceritakannya di sini. Di luar itu, ada beberapa kejadian yang beliau ﷺ tidak memerintahkan, tetapi membenarkan tindakan menghukum mati orang yang menghina dan melecehkan kehormatan agama ini. Karenanya, kita dapat memahamai apabila ‘Umar bin Khaththab radhiyaLlahu ‘anhu menetapkan fatwa:
مَنْ سَبَّ الله أوْ سَبَّ أَحَدًا مِنَ اْلأَنْبِياَءِ فَاقْتُلُوْهُ
“Barangsiapa mencaci maki Allah atau mencaci maki salah seorang nabi-Nya, maka bunuhlah dia.”
Rangkaian peristiwa dari berbagai hadis ini hanyalah gambaran sekilas. Ada kaidah-kaidah yang perlu kita pahami, ada fiqhud dakwah yang perlu kita pegangi dan panduan dienul Islam yang harus kita seksamai. Tulisan sangat ringkas untuk topik yang memerlukan pembahasan luas ini hanyalah ingin menyampaikan agar kita tidak gegabah mengatakan atas nama beliau ﷺ bahwa dalam urusan dihina dan diinjak-injak kehormatan agama ini, beliau senantiasa bersikap diam dikarenakan kelembutannya.
Tidak. Sekali-kali tidak. Lembut tanpa ketegasan adalah kelemahan. Dan beliau ﷺ adalah sebaik-baik contoh, seutama-utama takaran dalam bertindak dan sejelas-jelas pemberi petunjuk.
Sebagaimana saya nukil di awal tulisan ini, beliau ﷺ tidak pernah marah sama sekali masih berkenaan dengan diri beliau sendiri. Tetapi jika agama ini yang dilanggar dan diinjak-injak, maka beliau orang yang paling keras kemarahannya karena Allah. Pertanyaannya, di masa ketika manusia telah terpisah beratus-ratus tahun dari masa hidup beliau ﷺ, adakah kiranya mereka berurusan dengan diri beliau ﷺ secara pribadi ataukah mengusik menghinakan beliau ﷺ dalam kedudukannya sebagai rasul?
Oleh: Ust. M. Fauzil Adhim