Studi Kritis Atas Hadits Taatilah Pemimpin yang Menuntun Kalian dengan Kitabullah

Studi Kritis Atas Hadits Taatilah Pemimpin yang Menuntun Kalian dengan Kitabullah

Fikroh.com – Salah satu bahasan dalam ushul fiqh adalah bahasan tentang mafhum mukhalafah. Mafhum artinya pemahaman atau yang apa yang dipahami dari suatu kata atau kalimat. Mukhalafah artinya berbeda atau berlawanan atau terbalik. Maka mafhum mukhalafah bisa diartikan sebagai “pemahaman terbalik”.

Maksudnya, ketika disebutkan suatu kata dengan sifat tertentu maka sifat itu dijadikan pengikat berlakunya hukum sehingga bilang hilang sifat tersebut maka hukum pada benda itu tidak berlaku lagi. Misalnya ketika orang mengatakan, “Jangan kamu kendarai sepeda hitam”, kata hitam di situ adalah sifat yang mengikat, sehingga pemahaman terbaliknya kamu boleh mengendarai sepeda selain hitam. Contoh lain, seorang guru berkata, “Isilah soal ini bila berhubungan dengan pelajaran matematika”, mafhum mukhalafah (pemahaman terbaliknya) adalah, bila soalnya tidak berhubungan dengan pelajaran matematika maka jangan di isi.

Mafhum Mukhalafah banyak macamnya yaitu, mafhum shifah, mafhum syarth, mafhum ‘adad, mafhum ghaayah, mafhum taqsim, mafhum istitsna`, mafhum hashr dan mafhum laqab. Rinciannya bisa dilihat di buku-buku ushul fiqh. Di sini kita akan membahas dua jenis mafhum ini saja yaitu mafhum shifah dan mafhum syarth.

Mafhum shifah artinya penyebutan satu sifat dari satu benda yang dijadikan sebagai pengikat berlakunya hukum terhadap benda khusus dengan sifat itu saja. Sedangkan bila sifat itu hilang atau berubah maka hukum tersebut tak lagi berlaku.

Contohnya adalah ayat 92 surah Al Maidah yang menyebutkan kaffarat pembunuhan tersalah adalah membebaskan raqabah mukminah (budak yang mukmin), nah kata mukmin di situ adalah sifat dari budak yg boleh dibebaskan sebagai kaffarah pembunuhan. Pemahaman terbaliknya (mafhum mukhalafah) adalah kalau dia bukan mukmin maka dia tidak boleh dibebaskan sebagai kaffarah pembunuhan tersalah.

Contoh lain adalah hadits (في سائمة الغنم إذا كانت أربعين ففيها شاة) (Setiap kambing yg mencari rumput sendiri kalau sudah mencapai 40 ekor wajib zakat satu ekor). Nah kata saa`imah (mencari rumput dengan digembala, bukan menunggu di kandang) menjadi sifat bagi kambing yang wajib dizakati. Pemahaman terbaliknya kalau dia tidak digembala alias kambing kandangan hanya menunggu tuannya bawakan rumput maka dia tak wajib dizakati. Itulah pemahaman jumhur berbeda dengan madzhab Hanafi.

Nah mafhum mukhalafah menjadi tidak teramalkan atau diabaikan sehingga mafhumnya tidak berlaku karena beberapa sebab. Sebab yang paling utama adalah kalau dia bertentangan dengan manthuq (bunyi teks yg lain).

Contoh dalam ayat 130 surah Ali Imran larangan memakan riba yg berlipat ganda.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang berimana janganlah kalian makan riba yang berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.”

Nah berlipat ganda itu adalah sifat dari riba yg dilarang, pemahaman terbaliknya kalau tidak berlipat ganda maka tak dilarang. Pemahaman ini betul tapi berhubung ada dalil lain yang mengatakan bahwa riba sekecil apapun meski tidak berlipat ganda tetap dilarang maka mafhum (pemahaman) terbalik dari ayat ini tidak berlaku.

Dalil lain yang melarang riba meskipun tidak berlipat ganda antara lain surah Al-Baqarah ayat 278 dan ayat 279. Juga hadits-hadits yang melarang riba sekecil apapun diserai ijmak ulama bahwa riba yang tidak berlipat ganda tetap diharamkan.

Contoh lain dari mafhum shifah yang tak terpakai adalah anak tiri yang dalam pengasuhan sebagai mahram sebagaimana yang disebut dalam surah An-Nisa` ayat 23. Kata, (وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ) (dan (haram bagimu menikahi) anak-anak tirimu yang berada dalam pengasuhanmu). Mafhum mukhalafahnya adalah kalau anak tiri itu tidak dalam pengasuhan kita maka halal bagi kita menikahinya. Tapi mafhum mukhalafah ini tidak terpakai lantaran beberapa sebab. Kebanyakan ulama ushul menyatakan sebabnya adalah bahwa itu adalah kebiasaan yang sering terjadi dimana anak tiri selalu dalam pengasuhan bapak tirinya. Tapi alasan ini tak cukup kuat karena ada pula anak tiri yang di luar pengasuhan bapak tirinya. Juga ada riwayat dari Ali yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya bersumber dari Ibnu Abi Hatim yang membolehkan menikahi anak tiri yang tidak dalam pengasuhannya.

Sebab utama tak terpakainya mafhum ini adalah riwayat At-Tirmidzi, Ath-thabari dalam tafsirnya dan Al-Baihaqi dari Abdullah bin Amr bin Ash dimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا رَجُلٍ نَكَحَ امْرَأَةً فَدَخَلَ بِهَا، فَلَا يَحِلُّ لَهُ نِكَاحُ ابْنَتِهَا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ دَخَلَ بِهَا، فَلْيَنْكِحْ ابْنَتَهَا، وَأَيُّمَا رَجُلٍ نَكَحَ امْرَأَةً فَدَخَلَ بِهَا أَوْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فَلَا يَحِلُّ لَهُ نِكَاحُ أُمِّهَا

“Siapa saja pria yang menikahi seorang wanita lalu meneytubuhinya maka tidak halal baginya menikahi putri wanita itu. Tapi kalau dia belum menyetubuhinya maka dia boleh menikahi putri wanita itu. Siapa saja pria yang menikahi wanita dan menyetubuhinya ataupun belum menyetubuhinya maka tetap tidak halal baginya menikahi ibu wanita itu.”

At-Tirmidzi mengomentari hadits ini, “Hadits ini tidak shahih dari segi sanad, karena diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dan Mutsanna bin Shabbah dari Amr bin Syuiab, sementara Ibnu Lahi’ah dan Mutsanna bin Shabbah dianggap dhaif dalam hadits. Tapi menurut mayoritas ulama isi hadits ini diamalkan.” [Sunan At-Tirmidzi, no. 1117]

Sementara Ath-Thabari dalam tafsirnya setelah meriwayatkan hadits ini dari jalur Mutsanna bin Shabbah maka dia mengomentari, “Khabar ini meskipun sanadnya bermasalah tapi ijmak adalah hujjah bahwa isinya diamalkan sehingga tak perlu lagi mencari dalil lain untuk menshahihkannya.” [Tafsir Ath-Thabari 8/146]

Intinya mafhum shifah itu berlaku pemahaman terbaliknya bila tidak bertentangan dengan manthuq. Ini menurut mayoritas ulama, berbeda dengan madzhab Hanafi yg memang tidak mengakui kehujjahan mafhum mukhalafah.

Mahfum Syarth

Bentuk lain dari mafhum mukhalafah adalah mafhum syarth. Bentuknya bila disebutkan satu benda terkena hukum tertentu jika berlaku padanya syarat yang disebut dalam kalimat. Misalnya, “Jika kamu rajin belajar kamu akan lulus”, pemahaman terbaliknya, “Jika kamu malas maka kamu tidak akan lulus”.

Contoh yang terdapat dalam Al-Quran adalah surah Ath-Thalaaq ayat 6:

وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Kalau mereka hamil maka berilah mereka nafkah sampai mereka menuntaskan kehamilan mereka (melahirkan, atau keguguran -penerj).”

Dalam ayat ini diperintahkan bagi suami yang telah mencerai istrinya dengan thalaq ba`in (thalaq yang tak bisa rujuk lagi) untuk tetap memberi nafkah kepada istrinya yang telah dicerai itu kalau dia mengandung anaknya. Pemahaman terbaliknya adalah kalau dia tidak hamil maka tidak perlu memberinya nafkah. Inilah pendapat mayoritas ulama, sementara Abu Hanifah mengatakan tetap diberi nafkah meski tidak hamil karena dia tidak menjadikan mafhum mukhalafah sebagai hujjah dan mencarikan dalil lain untuk menentukan hukum maskut (sesuatu yang tidak disebutkan dalam nash) yang dalam hal ini adalah wanita tidak hamil, karena yang disebut dalam nash adalah wanita hamil.

Contoh lain adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا

“Penjual dan pembeli masih punya hak khiyar selama mereka belum berpisah.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Pemahaman terbaliknya adalah kalau mereka telah berpisah maka tak ada lagi khiyar yang disebut dengan khiyar majlis.

Mafhum syarth bisa diabaikan atau tak teranggap bila berlawanan dengan manthuq atau yang tertuang dalam teks yang ada pada dalil lain.

Contohnya adalah pada ayat 33 surah An-Nuur,

وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا

“Janganlah kalian memaksa budak-budak wanita kalian untuk melacur bila mereka hendak menjaga kehormatan diri.”

Mafhum mukhalafah dari ayat ini adalah kalau mereka tidak hendak mensucikan diri maka bolehlah kamu memaksa mereka untuk melacur. Tapi pemahaman ini jadi tidak berlaku lantaran beberapa sebab. Sebab pertama adalah tidak sesuai dengan bahasa, karena yang namanya memaksa pastilah dilakukan kepada orang yang tidak mau. Sedangkan orang yang mau melakukan itu maka tidak ada paksaan baginya toh dia sendiri yang mau. Dengan demikian tidak mungkin ada kejadian memaksa orang yang mau melakukan sesuatu, karena paksaan hanya terjadi pada orang yang tidak mau.

Sebab kedua dan ini yang paling utama menurut saya adalah berlawanan dengan manthuq, yaitu dalil-dalil yang dengan tegas melarang pelacuran dan perzinaan. Tidak hanya pelakunya yang dilarang tapi juga yang memfasilitasi apalagi yang sampai memaksa. Sehingga, mafhum mukhalafah dalam ayat ini tidak berlaku karena bertentangan dengan manthuq dan tidak sesuai dengan gaya bahasa.

Mafhum Mukhalafah pada Hadits Ummu Hushain Al-Ahmasiyyah.

Hadits Ummu Hushain Al-Ahmasiyyah yang dimaksud di sini adalah yang diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya dari Ummu Hushain Al-Ahmasiyyah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ مُجَدَّعٌ – حَسِبْتُهَا قَالَتْ – أَسْوَدُ، يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللهِ تَعَالَى، فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا

“Kalau ditugaskan seorang budak berhidung cacat –aku rasa beliau menyebut kata- hitam, yang menuntun kalian dengan kitab Allah Ta’ala maka hendaklah kalian dengar dan taat.” (HR. Muslim, no. 1298).

Demikian dalam redaksi Muslim menggunakan shifah (pemimpin yang menuntun kalian dengan kitab Allah), sehingga terkandung di dalamnya mafhum shifah kalau pemimpin itu tidak menegakkan kitab Allah maka tak perlu didengar dan ditaati.

Sedangkan dalam redaksi Ibnu Majah dengan sanad yang kuat bersumber dari Ibnu Abi Syaibah, dari Waki’, dari Syu’bah dari Yahya bin Hushain, dari neneknya yaitu Ummu Hushain, menggunakan kalimat,

إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ، فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا مَا قَادَكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ

“Kalau ditugaskan atas kalian seorang budak habsyi yang cacat hidung maka dengar dan taatilah dia selama dia menuntun kalian dengan kitab Allah.” (Sunan Ibnu Majah, no. 2861).

Demikian pula redaksi At-Tirmidzi dalam sunannya nomor 1706. Berarti di sini terkandung mafhum syarth.

Berdasarkan pendapat yang kami pilih yaitu pendapat jumhur (mayoritas) ulama bahwa mafhum mukhalafah itu hujjah kecuali mafhum laqab maka mafhum mukhalafah dalam hadits ini berlaku (mu’tabar), sehingga kalau petugas itu tidak menuntun dengan kitab Allah maka tak perlu didengar dan ditaati.

Kalau ada yang mengatakan ini hanyalah shifah kasyifah (sekedar menjelaskan fenomena tanpa membatasi) maka itu tertolak karena pada dasarnya setiap kata yang disebut dalam nash haruslah mengandung hukum pembatasan selama tidak ada dalil lain yang menolak pembatasan itu. Kalau tidak, maka kata itu akan jatuh pada posisi laghw (kata yang tak berpengaruh dan bisa dibuang). Coba buang sifat “menuntun dengan kitab Allah” dalam frase ini maka akan hilang hikmah dari pensyariatan ketaatan kepada pemimpin, sebab pemimpin ditaati kala dia menjalankan syariat Allah. Kalau dia menyelisihi syariat Allah berarti dia bermaksiat dan sudah ijmak tidak boleh mengikuti satu makhlukpun dalam rangka maksiat kepada Allah.

Para ulama yang menjelaskan hadits ini pun sepakat dengan fungsi pembatasan sifat pemimpin yang wajib ditaati adalah yang menjalankan syariat Allah secara umum. An-Nawawi misalnya, dalam syarh Shahih Muslim dia mengatakan,

فَأَمَرَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطَاعَةِ وَلِيِّ الْأَمْرِ وَلَوْ كَانَ بِهَذِهِ الْخَسَاسَةِ مَا دَامَ يَقُودُنَا بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى قَالَ الْعُلَمَاءُ مَعْنَاهُ مَا دَامُوا مُتَمَسِّكِينَ بِالْإِسْلَامِ وَالدُّعَاءِ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى أَيِّ حَالٍ كَانُوا فِي أَنْفُسِهِمْ وَأَدْيَانِهِمْ وَأَخْلَاقِهِمْ وَلَا يُشَقُّ عَلَيْهِمُ الْعَصَا بَلْ إِذَا ظَهَرَتْ مِنْهُمُ الْمُنْكَرَاتُ وُعِظُوا وَذُكِّرُوا

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk taat pada waliyul amri meski dengan kondisi tubuh sejelek itu, selama dia menuntun kita dengan kitab Allah Ta’ala. Para ulama mengatakan, maknanya adalah selama mereka berpedoman pada Islam dan menyeru kepada kitab Allah Ta’ala. Terlepas bagaimanapun keadaan diri mereka dan sikap beragama dan akhlak mereka. Tidak boleh memisahkan diri dari mereka. Kalau tampak kemunkaran pada diri mereka maka hendaklah mereka dinasehati dan diingatkan.” (Syarh Shahih Muslim 9/47).

Hadits Mu’awiyah.

Hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhuma di sini adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya, Mua’wiyah berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ لَا يُعَادِيهِمْ أَحَدٌ إِلَّا كَبَّهُ اللَّهُ عَلَى وَجْهِهِ مَا أَقَامُوا الدِّينَ

“Sesungguhnya urusan (pemerintahan) ini tetap dipegang oleh Quraisy dan tak ada yang menentang mereka kecuali akan Allah telungkupkan wajahnya, selama mereka menegakkan agama.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3500 dan 7139).

Hadits ini mengandung mafhum syarath yaitu dengan adanya huruf (مَا) di sana yang merupakan mashdariyyah zharfiyyah diartikan, “selama”. Pemahaman terbaliknya kalau kaum Quraisy ini tidak menegakkan agama maka dia tidak berhak dalam kepemimpinan.

Ini sebagaimana yang dipahami oleh Syekh Muhammad Amin Asy-Syinqithi dalam tafsirnya Adhwa` Al-Bayan, setelah menyebut hadits di atas beliau menjelaskan,

وَمَحَلُّ الشَّاهِدِ مِنْهُ قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا أَقَامُوا الدِّينَ» لِأَنَّ لَفْظَةَ «مَا» فِيهِ مَصْدَرِيَّةٌ ظَرْفِيَّةٌ، مُقَيِّدَةٌ لِقَوْلِهِ: «إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ» ، وَتَقْرِيرُ الْمَعْنَى: إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ مُدَّةَ إِقَامَتِهِمُ الدِّينَ، وَمَفْهُومُهُ: أَنَّهُمْ إِنْ لَمْ يُقِيمُوهُ لَمْ يَكُنْ فِيهِمْ. وَهَذَا هُوَ التَّحْقِيقُ الَّذِي لَا شَكَّ فِيهِ فِي مَعْنَى الْحَدِيثِ.

“Sisi pendalilan adalah sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam, “Selama mereka menegakkan agama” karena kata maa di situ adalah mashdariyyah zharfiyyah yang menjadi qayyid (syarat) bagi kalimat, “Sesungguhnya urusan ini pada Quraisy”. Maknanya, urusan ini tetap pada Quraisy selama mereka menegakkan agama. Pemahamannya, kalau mereka tidak menegakkan agama maka urusan ini tidak lagi pada mereka. Inilah kesimpulan yang tak diragukan lagi ketika memaknai hadits ini.” [Adhwa` Al-Bayan 1/24 (terbitan Darul Fikr tahun 1995)]

Pemahaman terbalik ini diakui oleh para ulama yang menjelaskan hadits ini seperti Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fath Al-Bari jilid 13, hal. 117 ketika menjelaskan tentang kemungkinan terdongkelnya Quraisy dari kekhalifahan, (وبه يقوى أن مفهوم حديث معاوية ما أقاموا الدين انهم إذا لم يقيموا الدين خرج الأمر عنهم) (Dengan itu memperkuat mafhum hadits Mu’awiyah “selama mereka menegakkan agama” jika mereka tidak menegakkan agama maka urusan ini hilang dari mereka)

Juga Al-Qasthalani dalam Irsyad As-Sari mengatakan, 

 أنهم إذا لم يقيموا الدين لا يسمع لهم

“Artinya selama mereka menegakkan agama dan kalau mereka tak menegakkan agama maka tak perlu didengar.” [Irsyad As-Sari syarh Shahih al-Bukhari 6/6]

Jauh sebelumnya ada Ibnu Hazm yang memahami demikian dalam pernyataannya,

فكل قرشي بالغ عاقل بادر أثر موت الإمام الذي لم يعهد إلى أحد فبايعه واحد فصاعدا فهو الإمام الواجب طاعته مما قادنا بكتاب الله تعالى وبسنة رسول الله صلى الله عليه و سلم الذي أمر الكتاب بإتباعها فإن زاغ عن شيء منهما منع من ذلك وأقيم الحد والحق فإن لم يؤثر أذاه إلا بخلعه خلع وولي غيره

“Setiap Quraisy yg baligh, berakal yang segera setelah kematian imam yang tak menunjuk pengganti maka kalau ada orang membaiat orang Quraisy di atas baik satu orang maupun lebih (si pembaiat ini) maka jadilah si Quraisy itu imam yang wajib ditaati selama dia menuntun kita dengan kitab Allah Ta’ala dan sunnah Rasulullah saw. Itulah yang diperintahkan Al-Kitab untuk diikuti. Kalau dia melenceng dari keduanya (Al-Quran dan sunnah) maka dia dicegah dari hal itu (kepemimpinan) dan ditegakkan had dan kebenaran. Kalau kerusakannya tak dapat dicegah kecuali dengan mencopotnya maka dia harus dicopot (dari kepemimpinan) dan diangkat pemimpin lain.” (Al-Fashl fil milal wal ahwa wan nihal 4/84).

Dengan menggali hikmah dari disyariatkannya kepemimpinan dalam Islam tentu kita dapat merasakan bahwa mafhum mukhalafah dalam kedua hadits di atas mu’tabar dan tidak hanya sebagai shifah kasyifah (fenomena yang biasa muncul) yang tak berpengaruh pada maskut (hukum terbalik yang tidak disebut dalam nash). Untuk lebih jelasnya pandangan ulama terhadap pemimpin yang tidak menjalankan syariat Islam pada perundang-undangannya maka bisa disimak di artikel “Syarat Taat Kepada Waliyyul Amri”.

Itulah pemimpin yang harus didengar dan ditaati dengan keikhlasan terhadap perintah dan hasil ijtihadnya yang berlandaskan pada kitab Allah dan sunnah Rasulullah. Dengan kata lain dasar utama perundangan yang dia terapkan adalah Al Quran dan sunnah, meski bisa jadi dia salah dalam berijtihad atau malah menyelisihi ahlus sunnah, tapi selama dia tetap menjadikan pedoman perundangannya adalah syariat maka tetap harus ditaati. Begitulah yang diterapkan oleh para khalifah di masa Bani Umayyah maupun Abbasiyyah dan para khalifah setelahnya sampai datangnya bangsa Tartar membawa Ilyasiq.

Apakah Tidak Taat Berarti Berontak dengan Senjata?

Ini adalah pemahaman yang keliru, baik kalangan pemeberontak maupun kalangan yang pasrah bongkokan pada yang mereka sebut “waliyyul amri yang masih sholat” menggunakan pemahaman ini, yaitu tidak taat berarti memberontak. Padahal tidak ada keharusan antara tidak taat dengan keharusn berontak.

Tidak taat berarti tidak menganggap pemimpin yang tidak menjalankan syariat itu sebagai waliyyul amri syar’i yang mana ketaatan padanya adalah bagian dari ketaatan kepada Allah, sehingga kalau dia membuat keputusan maka wajib ditaati. Tidak taat di sini berarti tetap bisa menentang keputusan pemimpin yang tidak mendasari keputusannya itu dengan syariat, sehingga semua produk undang-undang maupun regulasi dari pemimpin harus ditinjau dari kacamata syariat Islam, meski menurut UU negara itu sudah betul.

Ketaatan kita hanya bersifat taat karena maslahat, bukan taat atas dasar agama.

Pemberontakan memang luas, bisa dengan kudeta tak berdarah semisal demonstrasi bisa pula dengan gerakan bersenjata. Semua itu tentu akan mengandung mudharat bila tidak dipersiapkan dengan matang dan tak jelas tujuannya. Maka dari itu andai pemimpin sudah kafirpun belum tentu diperbolehkan memberontak kalau sekira mudharat yang ditimbulkan lebih besar.

Oleh: Ust. Anshari Taslim Lc.

Leave a Comment