Fikroh.com – Dalam perkembangan ilmu tajwid, muncul beberapa istilah baru yang tidak dikenal para ulama mutaqaddimîn (ulama terdahulu), sebagai upaya pengembangan dan biasanya penegasan atas sesuatu. Bukan memunculkan hukum yang baru, hanya menegaskan hukum yang telah ada sebelumnya dengan istilah tertentu.
Namun demikian, terkadang ada beberapa cara membaca tertentu yang hanya dikenal oleh sebagian ulama saja dan menyadarkan pendapatnya dari tafsiran atas teks-teks para ulama terdahulu. Hasil penafsiran ini memang seringkali memunculkan sedikit cara membaca yang berbeda. Selama periwayatannya melalui jalur orang-orang yang tsiqah (terpercaya) dan ‘adil (bukan pelaku maksiat), dan memiliki sandaran, walaupun secara umum, dari teks para ulama terdahulu, maka semua itu sah-sah saja.
Adapun yang penting bagi kita adalah terus mengkaji dan meneliti. Tidak mencukupkan pada satu pendapat saja ketika menghadapi istilah-istilah ini, sehingga kita tidak terjebak pada posisi hitam-putih, benar-salah, apalagi kalau sudah mulai menyalahkan cara baca orang lain dalam permasalahan yang diperselisihkan.
Di antara istilah-istilah yang diperselisihkan tersebut asalah:
(1) An-Nabr atau An-Nabrah
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan cara membaca dengan cara meninggikan suara sebagian huruf atau kata tertentu sehingga terdengar lebih jelas dibandingkan huruf yang berada setelahnya.
Istilah ini dipopulerkan oleh Asy-Syaikh Ayman Suwayd dan terlepas dari sepakat atau tidak dengan istilah ini, namun secara pengamalan cukup banyak diamalkan oleh para qâri ataupun muqri.
Hanya saja menurut Asy-Syaikh Hasan Mushthafâ Al-Warrâqiy, istilah ini tidak dikenal oleh para ulama mutaqaddimîn. Misalnya apa yang disebutkan oleh Al-Imâm Makkiy dalam Ar-Ri’âyah, beliau hanya menegaskan kewajiban menjaga kejelasan suara pada beberapa keadaan, di antaranya huruf Ya bertasydid.
Kemudian, dari sisi praktiknya, Asy-Syaikh Al-Warrâqiy menyoroti sebagian orang yang berlebihan dalam mengamalkan Nabr, sehingga cenderung menghilangkan sebagian sifat dari huruf yang bersangkutan. Misalnya saat mengucapkan huruf Ya bertasydid. Cara memperjelasnya yang tepat adalah dengan menyempurnakan makhraj dan sifat-sifatnya. Namun, terkadang seseorang membaca dengan Nabr sampai mengubah sifat huruf Ya yang asalnya rikhwah menjadi syiddah.
Di tempat lain, sebagian qâri bahkan memiliki pandangan yang berbeda dan mengamalkan Nabr pada banyak tempat demi memisahkan dua kata agar tidak terdengar seperti kata tertentu. Misalnya kata:
أفلا
“Apakah tidak?”
Jangan sampai terbaca menjadi
افلا
“Keduanya telah hilang.”
Namun demikian, sebagian ulama mengingkari tempat-tempat Nabr dalam keadaan ini, dan ini dikembalikan pada “rasa bahasa”, tidak berkaitan dengan benar-salah atau fasih-lahn dalam ilmu tajwid. Dr. Mu’âdz Shafwat mengatakan bahwa ini masuk ke dalam adâ sharfiy (cara melafalkan secara bahasa).
(2) Tafkhîm Nisbiy
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan keadaan huruf-huruf isti’lâ yang bukan ithbâq yang dibaca dengan tingkatan tafkhîm yang paling rendah. Huruf tafkhîm yang dinisbatkan dengan kelemahannya, namun juga ia tidak dibaca sebagaimana huruf-huruf tarqîq dan tidak boleh disebut tarqîq.
Istilah ini muncul dari tafsiran atas tingkatan tafkhîm pada huruf isti’lâ, dimana para ulama berbeda pendapat dalam beberapa madzhab dalam mengurutkan tingkatan tersebut. Akhirnya, sebagian ulama menilai bahwa huruf isti’lâ yang bukan ithbâq dibaca dengan tafkhîm terendah saat berharakat kasrah atau sukun sebelumnya kasrah. Dalam hal ini dikecualikan huruf Qaf sukun yang sebelumnya kasrah.
Namun demikian, sebagian ulama tidak memilih menggunakan istilah ini. Mereka mengambil kesimpulan setelah melakukan tarjîh (memilih pendapat yang lebih unggul) dari madzhab-madzhab yang ada. Jadi, mereka hanya mengatakan tingkatan tafkhîm terendah yang disesuaikan dengan tingkatan yang ada.
(3) Madd Lâzim Harfiy Syabih Bil Mutsaqqal
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan keadaan madd lâzim harfiy yang di-ikhfâ-kan karena bertemu dengan huruf-huruf ikhfâ. Contohnya adalah:
عسق
Kebanyakan ulama hanya membagi madd lâzim harfiy menjadi dua: mutsaqqal apabila di-idghâm-kan dan mukhaffaf apabila tidak di-idghâm-kan. Kemudian sebagian ulama menambahkan madd lâzim harfiy syabih bil mutsaqqal karena menurut mereka walaupun tidak di-idghâm-kan, namun cara membacanya justru lebih dekat dengan pengucapan madd lâzim harfiy mutsaqqal daripada madd lâzim harfiy mukhaffaf.
(4) Madd Tamkîn
Yakni Madd asli yang bertemu dengan huruf yang semisal dengannya, seperti Waw madd yang bertemu Waw berharakat dan Ya madd yang bertemu Ya berharakat. Contoh:
في يوم dan قالوا وهم
Sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa madd tamkîn adalah apabila Ya bertasydid dibaca madd, seperti:
حييتم، نبيين, dlsb.
Sedangkan sebagian ulama yang lain lebih memilih tidak menggunakan istilah madd tamkîn dan memasukkan seluruhnya ke dalam satu wadah madd thabî’iy atau madd asli.
(5) Nun Wiqâyah
Istilah ini digunakan untuk menyatakan Nun tanwîn yang berubah menjadi kasrah akibat iltiqâus sakinain (pertemuan dua sukun). Misalnya:
لهوا انفضوا
Lahwan + nfadhdhû yang kemudian dibaca:
“Lahwaninfadhdhû.”
Istilah Nun wiqâyah untuk menyatakan hal ini sebetulnya kurang tepat, karena dalam bahasa Arab adalah Nun yang masuk pada fi’il dan harf untuk menjaga i’rab.
Nun wiqayah adalah nun yang terletak antara dua dhamir, salah satu dari dhamir tersebut adalah dhamir ya mutakallim. Ia bisa masuk di fiil madhi, mudhari dan amr. Wiqayah artinya menjaga. Disebut nun wiqayah, karena nun tersebut berfungsi untuk menjaga fiil baik madhi, mudhari atau amr supaya tidak berharakat kasrah. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa fiil dalam kaedah bahasa Arab tidak dibenarkan berharakat kasrah.
Contoh dalam fi’l mâdhi:
ضربني زيد
Zaid telah memukulku
Contoh dalam fi’l mudhâri’:
يضربني زيد
Zaid sedang memukulku
Contoh dalam fiil amr
أكرمْني
Kamu, hormatilah aku!!
Jika tidak ada nun wiqayah, maka jadinya
ضربي
يضربي
أكرمي
Bila demikian, maka ia menyalahi kaidah fi’l yang tidak boleh berharakat kasrah.
Serta masih banyak lagi istilah-istilah lain yang penggunaannya diperselisihkan oleh para ulama yang tidak mungkin kami uraikan satu per satu, di antaranya adalah:
(6) Dua harakat pada Ghunnah
(7) Tafkhîm dan Tarqîq pada Ikhfâ Haqîqiy
(8) Madd Al-Farq
(9) Naql dalam riwâyah Hafsh pada lafazh (بئس السم)
(10) Irja’ul Famm
(11) Maddun Mâ
(12) Al-Iqlâb atau Al-Qalb
(13) Al-Ikhfâ Bil Ma’nal Jadîd,
(14) Gharîb dan Musykilât, dlsb.
Istilah-Istilah tersebut sebagiannya mungkin masih begitu asing di telinga kita, karena memang jarang digunakan dalam kitab-kitab tajwid. Dalam praktiknya, kita pun tidak terlalu dituntut untuk menyesuaikan dengan istilah-istilah tersebut. Dalam tajwid, selama kita belajar pada guru yang jelas jalur periwayatannya dan landasan teorinya tidak bertentangan dengan para ulama mutaqaddimîn, maka hal tersebut sudah lebih dari cukup, tanpa harus mendalami istilah-istilah ini sekalipun.
Artinya, pendalaman terhadap istilah-istilah ini dan pengetahuan akan perselisihan bukanlah batas bahwa seseorang dinilai mahir atau tidak. Istilah-istilah tersebut juga tidak bisa menjadi standar mutlak dalam benar-salah baca Al-Qurân, sehingga kita tidak perlu saling menyalahkan satu dengan lainnya. Wallâhu a’lam.
Oleh : Muhammad Laili Al-Fadhli