Begini Hukuman Pencuri Menurut Islam (Bag. 1)

Begini Hukuman Pencuri Menurut Islam (Bag. 1)

Fikroh.com – Islam adalah agama kasih sayang dan keadilan. Penegakan hukum dalam agama bertumpu pada asas keadilan. Sehingga tidak ada pihak yang terdzolimi. Selain itu hukum islam juga sangat humanis. Maka solusi dari berbagai kejahatan yang merajalela di dunia ini solusinya hanya satu, yaitu tegakkan hukum islam. Lalu bagaimana dengan pencurian dan bagaimana Hukuman Pencurian dalam pandangan islam? Berikut uraian para ulama tentang hukuman pencurian.

Definisi Pencurian

Pencurian secara bahasa berarti mengambil sesuatu yang tidak diperbolehkan dengan cara sembunyi-sembunyi. Adapun secara istilah pencurian berarti mengambil suatu harta yang berharga dan mengeluarkannya dari tempatnya atau yang semisalnya tanpa ada keraguan didalamnya dengan cara sembunyi-sembunyi.

Hukum Pencurian Dan Hukumannya

Pencurian termasuk salah satu dosa besar. Seluruh ulama bersepakat atas keharamannya dan hukumannya telah tetap berdasarkan Al-Qur`an , As-sunnah dan konsesus umat.

a. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

(وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ)

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”[1]

b. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

(لعن الله السارق يسرق البيضة فتقطع يده ويسرق الحبل فتقطع يده)

Allah melaknat pencuri, yang mencuri telur lalu dipotong tangannya dan yang mencuri tali lalu dipotong tangannya.[2]

c. Dari Ibn `Umar

(أن رسول الله قطع سارقا في مجن قيمته ثلاثة دراهم)

Sesungguhnya Rasulullah memotong tangan seorang pencuri karena mencuri sesuatu seharga tiga dirham dari tempatnya.[3]

d. Dari `A’isyah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

(والذي نفسي بيده لو أن فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها)

Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika Fathimah bintu Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya.[4]

e. Para ulama telah bersepakat bahwa memotong tangan pencuri adalah wajib jika ada dua orang saksi muslim yang kompeten dan merdeka.[5]

Hikmah Pensyariatan Hukuman Potong Tangan Bagi Pencuri[6]

Salah satu dari kebutuhan-kebutuhan pokok kehidupan yang aman dan bangunan masyarakat yang tenteram adalah penjagaan harta dan perlindungannya. Maka merupakan hikmah Allah dan rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya adalah menetapkan adanya hukuman yang menakutkan bagi setiap pencuri yang merusak kehidupan manusia dan rasa aman pada harta-harta mereka. Maka Allah menetapkan hukuman potong tangan bagi pencuri. Telah ada dalil yang jelas dan pasti dan wahyu yang turun untuk dibaca, Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

(وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيم)

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”[1] (Al-Qur’an, Surat Al-Ma’idah: 38)

Dalam ayat ini, terkumpul keseluruhan hikmahnya yaitu “(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.”. Allah menjelaskan bahwa potong tangan merupakan hukuman yang pantas untuk pencuri karena telah melewati batas, tanpa ada kekurangan atau berlebihan. Allah tidak menetapkan hukuman cambuk, karena itu masih kurang untuk membalas kejahatannya. Juga tidak menetapkan hukuman mati, karena itu terlalu berlebihan bagi kejahatan yang dia lakukan. Dalam hal ini Ibnu al-Qayyim berkata: “Sesungguhnya hukuman potong tangan bagi pencuri lebih mengena dan menakutkan daripada hukuman cambuk. Dan kejahatannya juga belum sampai untuk dihukum mati, maka hukuman inilah yang paling pantas baginya: menghilangkan anggota tubuh yang menjadi sarana untuk mengganggu orang lain dan mengambil harta mereka.”

Beliau juga berkata:

“Allah tidak mensyariatkan dalam pencurian hukuman mati dan hanya mensyariatkan bagi para pencuri karena perbuatannya yang merupakan kewajiban dari nama-nama dan sifat-sifatNya berupa kebijaksanaan, kasih sayang, kelembutan, kebaikan dan keadilannya agar hilang keburukan-keburukan dan terputusnya keinginan untuk saling mendzolimi dan saling memusuhi. Dan pada akhirnya setiap orang merasa cukup dengan yang diberikan oleh Yang menguasai dan menciptakan mereka, sehingga mereka tak lagi berkeinginan untuk mengambil hak orang lain.”

Beliau juga berkata:

“Sesungguhnya maksud dari hukuman adalah sebagai pencegah, siksaan dan hukuman bagi kejahatan itu, maka hukuman itu harus lebih bisa menghalangi munculnya permusuhan dan agar orang lain mengambil pelajaran darinya, juga agar si pelaku bertaubat dengan taubat nasuha karena sakitnya hukuman dan mengingat hukuman di Akhirat dan juga demi hikmah-hikmah serta maslahat lainnya.”

Kemudian hukuman pencurian memiliki arti lain, yaitu karena pencurian hanyalah terjadi dari pelakunya seccara diam-diam sebagaimana arti dari mencuri, oleh karena itu dikatakan “Fulan melihat kepada Fulan dengan diam-diam”, yaitu melihat kepadanya dengan pandangan yang tersembunyi agar orang tersebut tidak mengetahuinya. Dan orang yang bertekad untuk mencuri pastilah bersembunyi, diam-diam dan takut untuk diketahui keberadaannya lalu ditangkap, dia juga bersiap untuk kabur dan meloloskan diri jika sudah berhasil mengambil sesuatu.

Kedua tangan bagi manusia ibarat dua sayap bagi burung untuk membuatnya terbang. Oleh karena itu dikatakan: “Aku menyambung sayap seseorang”, maksudnya adalah aku melihatnya berjalan sendirian, maka aku mendatanginya untuk menemaninya. Maka seorang pencuri dihukum dengan potong tangan seperti memotong sayapnya agar lebih mudah untuk mencegahnya mengulangi kembali pencuriannya.

Apabila hukuman ini dilaksanakan untuk pencurian pertama, maka yang tersisa hanyalah satu tangan yang lemah untuk bisa berbuat jahat lagi.

Kemudian untuk yang kedua kalinya dipotong kakinya, maka dia semakin tidak bisa menyakiti dan hampir bisa dipastikan mudah untuk ditangkap.

Kemudian tangan yang lainnya dipotong jika dia mengulangi untuk yang ketiga kalinya lalu kaki yang lainnya untuk yang keempat sehingga dia hanya seperti sepotong daging di atas talenan, maka dia berhenti dari perbuatannya dan orang-orang tidak khawatir lagi.

Keraguan Dalam Hukuman Potong Tangan Bagi Pencuri Dan Bantahannya

Al-‘Allamah Bakr bin Abu Zaid berkata dalam kitabnya yang sangat berharga “Al-Huduud wa at-ta`ziraat ‘inda Ibnil Qayyim” sebagaimana yang beliau tuliskan:

“Ibnu al-Qayyim menyebutkan pertanyaan-pertanyaan yang masyhur dari orang-orang yang meniadakan Analogi Hukum, hukum dan ta’lil dari adanya pembedaan dua hal yang sama dan penyamaan dua hal yang berbeda. Dalam hal ini beliau menceritakan tentang pertanyaan-pertanyaan mereka dalam masalah pencurian dan menjelaskannya dengan penjelasan yang tak terbantahkan.

Para penentang Analogi Hukum itu menyebutkan hal ini dan yang semisalnya hanyalah untuk meniadakan keberadaan Analogi Hukum, bukan untuk mencela hukum pencurian dan mereka jauh dari itu. Bahkan mereka beriman kepada Allah dan agama-Nya tanpa ada keraguan sedikitpun dan mereka tidak terjangkiti dengan keraguan tersebut.

Adapun di zaman kita saat ini, maka hal-hal ini dan yang semisalnya merupakan jendela keraguan yang dihembuskan oleh para orientalis dan pengikutnya dengan membuat keraguan-keraguan, tidak hanya pada hukuman ini (potong tangan untuk pencurian) mereka mengincar kaum muslimin yang lemah agar merasa asing dengan agama mereka hingga mereka meninggalkan agama mereka secara utuh atau sebagian.

Tapi kita katakan dengan penuh keyakinan, bisakah mereka memenuhi keinginan mereka?

(إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون)

Sesungguhnya Kami telah menurunkan ad-Dzikr (Al-Qur`an) dan Kami pasti akan menjaganya.[1]

Ibnu al-Qayyim dalam dalam bahasan-bahasan beliau ini, seolah-olah sedang memberikan suatu gambaran dari keraguan-keraguan para orientalis ini lalu beliau melawannya dengan bantahan dan sanggahan sehingga keraguan-keraguan itu hanya seperti bekas dari sesuatu atau bahkan tak ada bekasnya sama sekali.

Oleh karena itu aku menyebutkan kritikan-kritikan ini dalam bentuk keraguan dan penolakan

(لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْيَى مَنْ حَيَّ عَنْ بَيِّنَةٍ)

“Yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula).”[1]

Bantahan Pertama: Bahwa hukuman potongan tangan adalah murni keburukan bagi si pencuri.

Ibnu al-Qayyim menjelaskan kepada mereka yang merasa kasihan dengan para pencuri, yang mengatakan bahwa hukum potong tangan merupakan kejahatan bagi yang dipotong, beliau berkata:

“Seorang pencuri, jika dipotong tangannya, maka tentu saja itu merupakan keburukan baginya. Tapi suatu kebaikan bagi orang lain karena hal tersebut dapat menjaga harta-harta mereka dan menahan keburukan dari mereka. Juga kebaikan ditinjau dari Yang mensyariatkannya sebagai suatu perintah dan hukum, karena hal tersebut merupakan bentuk kebaikan bagi Hamba-Nya secara umum dengan menghilangkan anggota badan ini yang telah mengganggu mereka dan menyakiti mereka. Maka Dia terpuji dengan hukumnya tersebut dan perintah-Nya haruslah disyukuri dan pantas untuk mendapatkan pujian dari hamba-hamba-Nya dan sanjungan serta rasa cinta dari mereka…Tidakkah dalam hukuman bagi pengganggu ini ada kebaikan yang jelas juga kebijaksanaan dan kebaikan kepada para hamba dan keburukan bagi pengganggu yang melewati batas ini. Maka keburukan adalah hukuman itu sendiri, adapun jika ditinjau dari sisi Rabb dari kehendak, keinginan dan perbuatan-Nya, maka itu adalah kebaikan dan kebijaksanaan. Maka jangan sampai yang menghalangimu semakin tebal hingga tak bisa memahami berita yang besar ini dan rahasia yang akan membawamu kepada permasalahan takdir dan membukakan bagimu jalan menuju Allah dan pengetahuan akan kebijaksanaan, kasih sayang dan kebaikannya kepada makhluk-Nya dan sesungguhnya Dialah yang Mahasuci sebagaimana Dia Yang Mahabaik, Mahapenyayang, Mahapengasih dan Yang selalu berbuat baik, dan Dialah yang Mahabijaksana dan Penguasa Yang adil. Maka kebijaksanaan-Nya tak akan bertentangan dengan kasih saying-Nya, bahkan Dia meletakan kasih sayang, kebaikan dan perbuatan baiknya pada tempatnya, dan keduanya merupakan hasil dari kemuliaan dan kebijaksanaan-Nya, karena Dialah Yang Mahamulia lagi Mahabijaksana. Maka tak pantas dengan kebijaksanaan-Nya tersebut, Dia menempatkan keridhoaan-Nya pada hukuman dan kemurkaan-Nya, dan tidak pula menempatkan kemurkaan dan hukuman-Nya pada keridhaan dan kasih sayang-Nya.

Jangan sampai engkau berpaling kepada perkataan orang-orang yang telah tertutup dari Allah: Bahwa dua hal tersebut jika dinisbatkan kepada Allah maka sama saja dan pada dasarnya tak memiliki perbedaan, hal itu hanyalah murni suatu kehendak-Nya tanpa ada sebab dan kebijaksanaan. Perhatikanlah Al-Qur`an dari awal sampai akhir, maka engkau akan mendapatinya penuh dengan bantahan bagi pernyataan ini dan pengingkarannya dengan keras dan pensucian Allah darinya seperti dalam firman-Nya:

(أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ (35) مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ)

Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? – Mengapa kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan?[2]

Firman-Nya:

(أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ)

Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.[1]

Firman-Nya:

(أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي الْأَرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ)

“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?[2]

Maka Allah mengingkari mereka yang berkeyakinan dengan keyakinan ini dan Dia mensucikan diri-Nya dari hal tersebut, maka Dia menunjukan bahwa yang ada dalam fitrah dan akal yang sehat adalah hal tersebut tidak layak dengan kebijaksanaan, kemuliaan dan ketuhanan-Nya, tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia, Mahatinggi Allah dari yang dikatakan oleh orang-orang jahil tersebut dengan ketinggian yang sebesar-besarnya. Dan Allah telah memberikan dalam akal hamba-hamba-Nya untuk menganggap buruk jika suatu hukuman dan balas dendam ditempatkan pada posisi kasih sayang dan kebaikan, jika suatu hukuman ditempatkan pada posisi tersebut, maka fitrah dan akal pasti akan mengingkarinya dengan pengingkaran yang keras dan menganggapnya sebagai keburukan yang sangat besar. Begitupula jika suatu kebaikan, kasih sayang dan penghormatan ditempatkan sebagai hukuman dan balas dendam, seperti jika seseorang yang berbuat buruk kepada seseorang dengan segala bentuk keburukan pada harta, kehormatan dan jiwa mereka, namun dia malah menghormatinya dengan pernghormatan yang besar, meninggikannya dan memuliakannya, maka pastilah fitrah dan akal tak akan menganggap hal tersebut adalah baik dan menyatakan kebodohan orang yang melakukannya. Inilah fitrah Allah yang Dia ciptakan bagi manusia, maka bagaimana bisa fitrah dan akal tidak melihat kebijaksanaan yang besar, kemuliaan dan juga keadilan-Nya ketika menempatkan hukumannya di tempat yang paling layak dan berhak untuk mendapatkan hukuman. Dan sesungguhnya jika hukuman itu berupa suatu nikmat maka tidak baik dan tidak pantas dan pastilah bertentangan dengan kebijaksanaan sebagaimana perkataan seorang penyair:

“Nikmat Allah itu tak berbentuk kejelekan walaupun mungkin sebagian orang menganggap jelek”

Inilah pernyataan singkat oleh Ibnu al-Qayyim dengan semangat yang menggelora untuk melawan bantahan tersebut:

Sesungguhnya dalam hukuman ini ada perlindungan bagi masyarakat dari kejahatan ini dan perhatian untuk mengajarkan kepada si penjahat dan membersihkannya dengan memperlihatkan kesempurnaan dan kesesuaian antara kejahatan dan hukuman.

Lebih baik bagiku dalam posisi ini untuk menyebutkan penjelasan dari al-Ustadz `Abdulkarim Zaidan yang menyelesaikan dan membantah bantahan ini, beliau berkata:

Adapun orang yang dipotong tangannya pada akhirnya menjadi beban bagi masyarakat itu benar adanya, maka dibenarkan juga bila dikatakan bahwa: orang yang dipotong tangannya menjadi beban bagi masyarakat, namun kejahatannya juga telah terhentikan, ini lebih baik bagi masyarakat daripada dia masih jahat dan memiliki dua tangan sehingga penghasilannya adalah dengan mengambil harta yang haram. Adapun mengganti potong tangan dengan penjara disertai pembinaan dan pengarahan, maka bantahannya adalah bahwa para residivis semakin menjadi-jadi setelah masuk penjara. Penjara tak bisa menakuti mereka untuk mengulangi pencurian kecuali sedikit saja, bahkan penjara menjadi tempat yang nyaman bagi para pencuri untuk saling bertemu dan saling bertukar pikiran serta belajar tentang pengalaman mencuri mereka.

Adapun potong tangan sangatlah bisa untuk memutus tindak pencurian atau paling tidak menekannya serendah mungkin. Dan sejarah membuktikan pernyataan kita bahwa sesungguhnya hukuman ini telah membuahkan rasa aman dari pencurian dan pelakunya dalam kehidupan manusia.

Bantahan Kedua: Bagaimana bisa hukum potong tangan hanya bagi seorang yang mencuri sesuatu seharga tiga dirham dan tidak bagi pencopet, perampok dan yang mencuri 1000 dinar?

Menjawab pernyataan ini Ibnu al-Qayyim berkata:

Ini merupakan kesempurnaan dari kebijaksanaan Allah: Bahwa sesungguhnya tak bisa menghindar dari seorang pencuri, karena dia menyelinap ke dalam rumah, merusak tempat penyimpanan dan mematahkan kunci, maka tak mungkin bagi si pemilik harta untuk berjaga dari cara-cara tersebut. Maka andaikan Allah tidak mensyariatkan hukum potong tangan, orang-orang akan saling mencuri di antara mereka dan semakin besarlah keburukan dan semakin banyak yang menjadi pencuri. Berbeda dengan perampok dan pencopet, karena perampok adalah orang yang mengambil harta dengan terang-terangan di hadapan orang-orang. Maka dalam hal ini sangat mungkin sekali untuk kemudian menangkapnya dan langsung mengembalikan hak orang yang dirampok atau bersaksi di hadapan hakim atas perbuatannya. Sedangkan pencopet, maka sesungguhnya dia mengambil harta ketika pemiliknya lalai atau yang semisalnya. Maka seorang pencopet hanya bisa melakukan aksinya jika ada kelalaian, jika tidak maka dengan penjagaan dan kesadaran penuh tak akan ada pencopetan.

Maka hal ini tidak sama dengan pencuri, bahkan lebih mirip dengan seorang pengkhianat. Juga seorang pencopet biasanya mengambil sesuatu yang tidak terjaga, pencopet yang menyerang dan mengambil barangmu ketika engkau sedang sendirian dan lalai untuk menjaganya. Kondisi seperti ini masih sangat bisa diantisipasi sebagaimana perampokan.

Adapun orang yang mencuri maka uusannya sangatlah jelas dan lebih layak untuk tidak dipotong tangannya daripada perampok. Akan tetapi perbuatan mereka harus dihentikan dengan pukulan dan siksaan, juga penjara yang lama dan hukuman karena telah mengambil harta orang lain.

Inti dari bantahan Ibnu al-Qayyim bagi keberatan ini adalah bahwa adanya penjagaan harta dalam masalah pencurian maksudnya adalah penjagaan harta yang maksimal dari seseorang dan pencuri yang diam-diam mengambilnya. Kondisi seperti ini tidak ditemukan dalam perampokan dan pencopetan, juga pencurian sebagaimana yang beliau jelaskan.

Bantahan Ketiga: Perbedaan antara diyat tangan jika dicederai sebesar 500 dinar dengan wajibnya potong tangan sebagai hukumannya jika mencuri sesuatu yang berharga 3 dirham

Ibnu al-Qayyim berkata sebagai jawaban bagi keberatan ini:

Adapun potong tangan karena seperempat dinar dan diyat tangan sebesar 500 dinar merupakan salah satu maslahat dan kebijaksanaan yang paling besar. Hukum ini merupakan perlindungan bagi dua hal, harta dan anggota badan. Maka hukum potong tangan karena seperempat dinar merupakan bentuk perlindungan bagi harta, sedangkan diyat tangan sebesar 500 dinar merupakan bentuk perlindungan dan penjagaan bagi anggota badan.

Sebagian orang kafir zindiq menyebutkan pertanyaan ini dan merangkai dua bait syair, mereka berkata:

Tangan seharga 500 emas diyatnya namun dia dipotong karena seperempat dinar suatu pertentangan yang kami hanya bisa mendiamkannya dan kami meminta perlindungan kepada Tuhan kami dari rasa malu.

Maka sebagian ahli fiqih menjawab bahwa tangan itu sangatlah berharga ketika dia amanah, namun ketika dia berkhianat maka hinalah dia.

Ada yang menjadikannya suatu syair:

Tangan seharga 500 emas diyatnya namun dia dipotong karena seperempat dinar melindungi jiwa adalah yang paling mahal, dan yang murah adalah mengkhianati harta, maka lihatlah kebijaksanaan Sang Pencipta

Diriwayatkan bahwa asy-Syafi`i menjawab dengan perkataan:

Di situ tangan terdzalimi maka mahal harganya, dan di sini dia mendzolimi maka hinalah dia di hadapan Allah

Syamsuddin al-Kurdy juga berkata:

Katakan kepada mereka agar merasa malu semalu-malunya

Kebodohan seseorang adalah ketika dia tidak memakai pakaian taqwa

Jangan sekali-kali kau mencela kebijaksanaan tentang harga pergelangan tangan

Syiar-syiar agama tak akan rusak karena syair-syair

Harga suatu tangan adalah setengah dari seribu emas

Namun jika berbuat jahat maka harganya tak sampai satu dinar”

Dari penjelasan di atas,, nampak bagi penulis bahwa perbedaan antara diyat tangan jika dicederai dan batas minimun untuk hukum potong tangan jika mencuri adalah suatu kebijaksanaan, keadilan dan perlindungan bagi tubuh manusia dan harta mereka. Keberatan ini telah disebutkan oleh banyak ulama, namun jawabannya tak ada yang keluar dari yang telah disebutkan oleh Ibnu al-Qayyim. Bantahan tersebut sangatlah kuat karena berdasarkan atas perbedaan yang besar antara dua jenis kejahatan.

Di antara yang disebutkan oleh Ibn Hajar dalam Fathu al-Bary dan Lisan al-Mizan, beliau berkata: As-Salafy berkata: Jika ada yang mengatakan syair ini dan meyakini maknanya, maka neraka adalah tempatnya dan tak ada tempat baginya dalam Islam.

Hikmah Legalitas Batas Minimum Pencurian Sebanyak Seperempat Dinar

Ibnu al-Qayyim setelah membantah keberatan ini, beliau menuliskan tentang hikmah legalitas yang menjadikan jumlah ini (seperempat dinar) sebagai batas minimum untuk potong tangan sebagai tambahan untuk membantah pernyataan orang-orang yang tak tahu malu ini dan juga yang semacam mereka, beliau berkata:

Adapun pengkhususan hukum potong tangan dengan jumlah ini: karena harus ada jumlah tertentu yang menjadi patokan untuk mewajibkan potong tangan, karena tak mungkin jika dikatakan: seorang dipotong tangannya karena mencuri sisik ikan, biji-bijian atau kurma. Dan agama tidaklah ddatang dengan cara seperti ini dan kebijaksanaan Allah, kasih saying-Nya dan kebaikan-Nya bersih dari hal-hal tersebut.

Maka harus ada patokan, dan tiga dirham merupakan awal dari jumlah plural dan sebanding dengan seperempat dinar.

Ibrahim An-Nakh`iy dan selain beliau dari kalangan at-Tabi’in berkata: Dahulu mereka tak memotong tangan karena sesuatu yang tak berharga, karena suatu kebiasaan manusia adalah memaafkan dalam suatu hal yang tidak berharga dari harta-harta mereka karena tak ada keburukan jika hal tersebut hilang.

Dalam jumlah 3 dirham ada hikmah yang jelas: jumlah ini adalah kebutuhan minimun orang yang hidup sederhana dalam sehari.

Dengan Apa Ditetapkan Hukuman Pencurian?

Hukuman pencurian ditetapkan dan wajib ditegakkan dengan salah satu dari dua hal berikut:

Kesaksian: yaitu ada dua orang lelaki muslim yang kompeten dan merdeka bersaksi di depan hakim bahwa si Fulan telah mencuri sesuatu. Hal ini merupakan konsesus umat Islam.[1]

Pengakuan: yaitu seorang pencuri mengakui bahwa dirinya telah mencuri. Para ulama berselisih tentang jumlah pengakuannya dalam dua pendapat[2]:

Pertama: Pengakuannya harus sebanyak dua kali. Ini merupakan madzhab Hambali, dalil mereka adalah:

a. Hadits Abu Umayyah al-Makhzumy:

(أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أُتِيَ بِلِصٍّ قَدِ اعْتَرَفَ اعْتِرَافًا وَلَمْ يُوجَدْ مَعَهُ مَتَاعٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَا إِخَالُكَ سَرَقْتَ»، قَالَ: بَلَى، فَأَعَادَ عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، فَأَمَرَ بِهِ فَقُطِعَ)

Sesungguhnya serorang pencuri yang telah mengaku dengan suatu pengakuan dihadapkan kepada Nabi, maka beliau berkata: “Aku kira kau tidak mencuri.” Pencuri itu menjawab: “Aku benar-benar telah mencuri.” Lalu dia mengulang pengakuan sebanyak dua atau tiga kali, maka Nabi memerintahkan untuk dipotong tangannya….[1]

Mereka berkata: Rasulullah tidak memotong tangannya sampai dia mengulangi pengakuannya sebanyak dua kali.

b. Ini merupakan keputusan ‘Ali bin Abi Thalib. Dari Al-Qasim bin `Abdurrahman bin Mas’ud dari ayahnya dia berkata: Datang seorang lelaki kepada ‘Ali bin Abi Thalib lalu berkata: “Sesungguhnya aku telah mencuri.” Namun Ali menolaknya, lalu orang itu berkata: “Sesungguhnya aku telah mencuri.” Ali berkata: “Aku telah bersaksi atas dirimu sebanyak dua kali.” Maka Ali memotog tanganya. `Abdurrahman berkata: kemudian aku melihat tangannya tergantung di lehernya.[2]

c. Karena hukuman ini bisa berakibat kematian, maka salah satu syaratnya adalah adanya pengulangan kesaksian seperti dalam hukuman zina, dan juga karena salah satu dari dua jalan yang mewajibkan potong tangan maka perlu ada pengulangan seperti suatu kesaksian.

Kedua: Cukup dengan sekali pengakuan. Pendapat ini dikatakan oleh `Athaa’, ats-Tsaury dan merupakan madzhab Hanfiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah. Dalil mereka adalah:

a. Sesungguhnya Nabi memotong tangan pencuri perisai dan pencuri jubah Shafwan. Dan tak ada satupun keterangan yang menyebutkan bahwa beliau memerintahkan untuk mengulang pengakuan. Adapun jika ada pengulangan dalam beberapa keadaan, maka itu adalah untuk meyakinkan.

b. Karena hukuman pencurian adalah hak yang tetap dengan adanya pengakuan, maka tak perlu adanya pengulangan seperti jika itu merupakan hak manusia.

c. Karena pecurian sudah jelas walaupun hanya dengan sekali pegakuan, maka sekali pengakuan itu sudah cukup seperti dalam hukuman setimpal (qishash) dan hukuman qadzaf.

Penulis berkata: Adapun hadits Abu Umayyah adalah dhaif, jadi yang rajih adalah cukup sekali pengakuan. Namun dianjurkan bagi seorang hakim agar tidak terburu-buru untuk melaksanakan hukuman dan bertanya kembali untuk mencontoh Nabi dan keputusan ‘Ali. Karena dengan ini akan lebih berhati-hati.

3. Apakah Hukuman Bisa Ditetapkan Dengan Membalikkan Sumpah Pencurian? [3]

Jika seseorang mengatakan bahwa orang lain telah mencuri dengan jumlah minimum, namun orang yang dituduh tersebut mengingkarinya lalu orang yang menuduh memintanya bersumpah untuk memastikan bahwa dia benar-benar tidak bersalah, namun dia menolak untuk bersumpah, maka orang yang menuduh harus bersumpah. Jika dia bersumpah akan kebenaran pernyataannya atas orang yang dituduhnya, apakah hukuman dapat ditetapkan dengan sumpah ini?. 

Ada dua pendapat:

Mayoritas ulama Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah (berlawanan dengan pendapat paling shahih dari asy-Syafi’iyah) berpendapat bahwa harta yang dicuri dapat ditetapkan dengan sumpah yang dibalikan ini. Namun hukuman tidak ditegakkan kecuali dengan pengakuan atau kesaksian, karena potong tangan merupakan hak Allah, jadi tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dua hal tesebut. Allah Maha Tahu.

Sedangkan Syafi’iyyah (dalam pendapat yang paling benar di antara mereka) berkata: bahwa pencurian dapat ditetapkan dengan sumpah yang dibalikkan kepada orang yang menuduh dan kemudian ditegakkan hukuman. Namun pendapat yang di anggap dalam Syafi’iyyah berkebalikan dengan pendapat ini karena asy-Syafi’i telah menuliskannya dalam kitab al-Umm.

4. Apakah Hukuman Dapat Ditetapkan Dengan Indikasi Pencurian?

Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa pencurian tak bisa ditetapkan kecuali dengan pengakuan atau kesaksian.

Namun sebagian ahli fiqih berpendapat bolehnya penetapan adanya pencurian (begitu juga dengan penegakan hukuman dan penjaminan harta) dengan indikasi-indikasi dan tanda-tanda jika hal-hal tesebut jelas menunjukan dengan menganggapnya sebagai cara-cara yang syar’i agar orang yang zalim dan jahat mau mengakui perbuatannya.

Ibnu al-Qayyim berkata: Para iman dan khalifah tetap menghukum potong tangan jika mendapati barang yang dicuri bersama dengan tersangka. Indikasi ini lebih jelas daripada kesaksian atau pengakuan, karena keduanya adalah dua hal yang bisa jadi jujur atau dusta. Sedangkan adanya barang bersamanya merupakan bukti yang jelas yang tak ada keraguan di dalamnya. (Ath-Thuruq al-Hukmiyyah (hal. 8)

Beliau berdalil dengan kisah Yusuf dan saudara-saudaranya ketika mereka berkata:

(تَاللَّهِ لَقَدْ عَلِمْتُمْ مَا جِئْنَا لِنُفْسِدَ فِي الْأَرْضِ وَمَا كُنَّا سَارِقِينَ)

“Demi Allah sesungguhnya kamu mengetahui bahwa kami datang bukan untuk membuat kerusakan di negeri (ini) dan kami bukanlah para pencuri”.

Sampai firman-Nya:

(فَبَدَأَ بِأَوْعِيَتِهِمْ قَبْلَ وِعَاءِ أَخِيهِ ثُمَّ اسْتَخْرَجَهَا مِنْ وِعَاءِ أَخِيهِ)

Maka mulailah Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri, kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung saudaranya. (Al-Qur’an, Surat Yusuf: 73-76)

Ibnu al-Qayyim berkata: Dalam ayat ini ada keterangan bahwa adanya barang yang dicuri di tangan pencuri sudah cukup sebagai alasan untuk mengakkan hukuman atasnya, bahkan ini sama saja dengan suatu pengakuan dan lebih kuat daripada kesaksian, karena sevalid apapun suatu kesaksian, masih ada kemungkinan lain, sedangkan adanya barang curian pada pencuri merupakan suatu kepastian. (I’lam al-Muwaqqi’in (3/232)

Footnote:

[1]Al-Qur’an, Surat Al-Ma’idah 38

[2]Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Al-Bukhariy (6783) dan Muslim (1687)

[3]Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Al-Bukhariy (6795) dan Muslim (1686)

[4]Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Al-Bukhariy (3475) dan Muslim (1788)

[5]Al-Ijma’ karya Ibnul Mundzir (621)

[6]Dinukil dari al-Huduud wa At-Ta`ziraat karya Bakr bin Abu Zaid (hal. 351-352)

[1]Al-Qur’an, Surat Al-Hijr: 9

[1]Al-Qur’an, Surat Al-Anfaal: 42

[2]Al-Qur’an, Surat Al-Qalam :35-36

[1]Al-Qur’an, Surat Al-Jatsiyah: 21

[2]Al-Qur’an, Surat Shaad: 28

[1]Rujukan-rujukan setelah ini

[2]Fathu al-Qadir (5/126), Bidayatu al-Mujtahid (2/454), Nihayatu al-Muhtaj (7/140) dan al-Mughny (10/292)

[1]Dha`if, diriwayatkan oleh Abu Dawud (4380), an-Nasaa`i (10/191), Ibnu Majah (2597) dan lihat al-Irwa` (2426)

[2]Sanad Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (10/191), Ibnu Abi Syaibah, ath-Thahawy (2/97) dan al-Baihaqy (8/275)

[3] (Al-Bahru ar-Ra`iq (7/240), Raudhatu ath-Thalibin (10/143), Mugny al-Muhtaj (4/175), Hasyiyah al-Bajirmy ‘ala al-Manhaj (4/235) dan al-Mughny (12/124 – dengan asy-Syarh al-Kabir).

Leave a Comment