Fikroh.com – Setelah ekspedisi pertama pasukan Muslim yang dipimpin Thariq bin Ziyad, seorang Jenderal muda Berber sukses mengalahkan kekuasaan Visigoth di Spanyol, maka ekspedisi kedua dipimpin langsung Musa bin Nusair.
Seluruh semenanjung Iberia jatuh ke tangan pasukan Muslim. Dari Cordoba, Murcia, Toledo, Seville, Saragossa, Barcelona hingga Portugis pada 712.
Tidak berhenti, Musa bin Nusair segera memerintahkan pasukan tempurnya menyeberangi Gunung Pyrenees untuk menundukkan Prancis. Tidak lama kemudian, Sorbonne dan Lyon jatuh.
Sayang, Musa bin Nusair dipanggil pulang ke Damaskus karena Khalifah Al Walid keburu wafat. Dia harus menyatakan sumpah setia kepada Khalifah baru, Sulaiman.
Ekspedisi berikutnya berturut-turut dipimpin Anbasa bin Sahim dan Abdurrahman bin Abdullah. Seluruh wilayah Prancis selatan diduduki dan pasukan Muslim terus merangsek Perancis Utara hingga ke Tours, dekat Kota Paris sekarang.
Di kota inilah, pergerakan pasukan Muslim terhenti. Mereka dikalahkan pasukan Frank yang dipimpin Charles Martel pada 713.
Setelah itu, tidak ada lagi ekspedisi besar pasukan Muslim di wilayah Eropa Selatan. Para sejarawan menyebutkan Perang Tours sangat menentukan wajah Eropa di masa depan, yang tetap Kristen.
Menurut Dr. Nazer Ahmad, bangsa Frank memang tangguh, namun bukan tandingan pasukan Muslim.
Tidak adanya ekspedisi besar setelah itu lebih karena:
Pertama, kegaduhan politik di kalangan suku Berber di Afrika Utara padahal Maroko dan Tunisia adalah choke point dalam ekspansi ke Eropa. Stabilitas Berber menjadi kunci sukses invasi di Eropa. Repotnya, kegaduhan itu berlangsung sangat lama hingga muncul Dinasti Aghlabiyah.
Kedua, revolusi Abbasiyyah, yang pada akhirnya menumbangkan kekuasaan Dinasti Umayyah pada 750.
Faktanya, kekuasaan umat Islam pada saat itu terbentang dari Lembah Gangga di India di Timur hingga Paris, Perancis di Eropa Barat.
Apakah latar sejarah ini yang menakutkan Emmanuel Macron?
Seperti sebuah pertunjukan, dia terus menerus memutar kaset ketakutan atas Islam sehingga sekularisme di Prancis dipraktikkan dalam kebijakan Islamophobia.
Dia tidak hanya menghina keyakinan Islam, namun juga menjanjikan untuk memerangi separatisme Islam kepada warga Muslim yang hanya berjumlah 8-10 persen.
Macron lupa bahwa interaksi Perancis dengan Islam sangat menyejarah dan minoritas Muslim sangat berperan dalam mengharumkan nama Prancis di kancah internasional.
Mulai dari peran mereka membantu Prancis dalam PD I dan II hingga sepak terjang mereka di dunia sepak bola, seperti Karim Zenedine Zidane, Karim Benzema, N’Golo Kante, Ousmane Dembele, Adil Rami, Djibril Sidibe, Benjamin Mendy, Nabil Fekir dan Paul Pogba. Zidane mengantar Perancis menjadi juara piala dunia pada 1998.
Dan saya sendiri mengenal film Prancis dari sosok Samir Naceri, warga Prancis keturunan Aljazair dalam peran kocaknya di Taxi.
Hanya sialnya, sejarah yang sangat jauh ini menjadi trauma tersendiri bagi Macron. Dia sepertinya memahami bahwa rakyat Prancis secara sejarah tidak mampu membebaskan diri dari setiap ekspansi asing.
Prancis membutuhkan sekutunya, Inggris dan AS ntuk mengusir Jerman dalam PD I dan II, sebagaimana dulu mereka membutuhkan bangsa Frank, salah satu suku Jerman dan pemimpinnya, Charles Martel untuk mengusir pasukan Muslim.
Faktanya, minoritas Muslim, menjadi komunitas termarjinalisasi di Prancis. Mereka sudah lama menjadi subyek Islamophobia dalam pekerjaan, sekolah, tempat tinggal, apalagi karir politik dan militer. Bandingkan dengan Indonesia.
Adakah politikus Muslim yang dikenal di Prancis sebagaimana di Inggris?
Sumber: Fb Ahmad Dzakirin