Fikroh.com – Tahun 1967, adalah tahun bersejarah ketika Konferensi Liga Arab yang berlangsung di Khartoum Ibukota Sudan menghasilkan Resolusi Khartoum atau yang dikenal dengan The Three No’s; no peace, no negotiations and no recognition of Israel. Tidak ada perdamaian dengan Israel, tidak ada negosiasi degan Israel dan tidak ada pengakuan terhadap Israel. Konferensi paska The Six-Day War ini (dimana Mesir luluh lantak dihajar Israel) berhasil mempertemukan para pemimpin Arab (terutama Saudi dan Mesir yang saling bermusuhan) demi satu tujuan bersama; membebaskan Palestina. Buah dari konferensi ini adalah menangnya Mesir (setidaknya versi Arab) kontra Israel dalam perang Yom Kippur 1973 dimana Omar Al Basyir yang kemudian menjadi presiden Sudan adalah salah satu tentara Sudan yang ikut terlibat dalam perang.
Tahun 1969, Ja’far Numery melakukan kudeta yang dikenal dengan Revolusi Mei. Pemerintahannya yang awalnya cenderung sosialis kemudian berangsur-angsur mendekat dengan kaum islamis baik dengan Tarekat Tijaniyah shufiyah, Ikhwan dan Ansharussunnah Salafi.
Tahun 1983, atas desakan kaum islamis, Numeri mengumumkan pemberlakuan undang-undang islam mulai dari hudud sampai hukuman terhadap mereka yang murtad. Hal yang ditentang keras oleh pemikir dan tokoh republikan Sudan, Mahmoud Mohammed Taha.
Tahun 1985, Mahmoud Mohammed Taha dihukum mati dengan tuduhan murtad akibat pemikiran-pemikiran nyelenehnya. Sebelumnya, para ulama Sudan, pengadilan Sudan tahun 1968 dan fatwa majma’ buhuts islamiyah Al-Azhar tahun 1972 telah lebih dulu memvonis murtad Mahmoud Taha. Ditahun yang sama (1985) revolusi rakyat berhasil menggulingkan pemerintahan Numeri yang menguasai Sudan selama 16 tahun. Pemerintahan transisi selama setahun diserahkan kepada Jenderal Abdel Rahman Suwar al-Dahab sampai presiden baru terpilih melalui pemilu yang sah.
Pada 1986 tepat setahun setelah memimpin masa transisi, Suwar al-Dahab mengundurkan diri dan menyerahkan tampuk pemerintahan kepada Shadiq Al-Mahdi, menjadikannya sebagai satu-satunya penguasa Arab era modern yang zuhud dan turun tahta dengan sukarela. Setelah vakum dari dunia politik, beliau sibuk dengan dakwah melalui yayasannya hingga mendapatkan penghargaan King Faishal Award tahun 2014. Tahun 2018 beliau wafat di Saudi dan permintaannya agar dimakamkan di Madinah Al-Mnawwarah disetujui Raja Salman.
Tahun 1989, Shadiq Al-Mahdi melakukan perjanjian damai dengan pemberontak Sudan Selatan serta membatalkan undang-undang syariat islam. Hal yang menyebabkan Kolonel Omar Al Basyir melakukan kudeta atau revolusi Inqadz. Setelah kudeta, Basyir menangkap tokoh-tokoh islamis berikut Dr. Hasan At-Turabi (pendiri
National Islamic Front yang memisahkan diri dari Ikhwanul Muslimin). Tidak jelasnya ‘identitas’ para pengkudeta membuat pemerintahan Basyir diakui oleh banyak negara termasuk Mesir sebelum pada akhirnya At-Turabi dibebaskan dan fakta sebenarnya terungkap; Hasan At-Turabi adalah otak dibalik kudeta.
Banyak orang bahkan masyarakat Sudan sendiri tidak membedakan antara Ikhwanul Muslimin dan National Islamic Front sebab At-Turabi adalah muraqib ‘am IM Sudan beberapa dekade hingga namanya identik dengan Ikhwan. Namun beberapa pendapatnya yang cenderung liberal (bahkan ia dianggap sebagai neo-mu’tazily) seperti bolehnya perempuan menjadi imam sholat bagi laki-laki, kesaksian 1 perempuan setara sengan 1 laki2 dan lain-lain menyebabkannya dikafirkan banyak kaum islamis, bahkan dari gerakan islam sendiri.
Tahun 1991, identitas keislaman pemerintahan Basyir semakin jelas. Qanun Jina’i direvisi, penegakan hisbah/amar makruf nahi mungkar digalakkan. Dan sikap Sudan yang netral dalam perang teluk antara Saudi dan Irak serta menampung Osama Bin Laden di Khartoum membuat Sudan diembargo oleh negara barat dan negara teluk serta Sudan dicap sebagai negara pelindung teroris.
Tahun 1999, terjadi konflik antara Basyir dan At-Turabi dimana At-Turabi sebagai ketua Parlemen mengkritik korupsi dll dalam pemerintahan Basyir hingga Basyir membubarkan parlemen dan At-Turabipun menjadi oposisi dengan partai barunya; Popular Congress Party. Gerakan islam pecah menjadi 3, partai At-Turabi, National Congress Party Basyir dan IM sendiri.
Penyebab konflik antara Basyir, At-Turabi dan IM disisi yang lain salah satunya disebabkan oleh sikap Basyir yang menarik banyak tokoh dari luar gerakan islam (baik militer dan sipil) dalam pemerintahannya. Hingga rahasia negara bocor dan korupsi merajalela. Disebuah negara seperti Sudan dimana kudeta menjadi tradisi pergantian kekuasaan, mau nggak mau Basyir harus menjinakkan para perwira militer yang berpotensi mengkudetanya dengan memberikan kue kekuasaan bagi mereka.
Tahun 2005, Rezim Basyir menandatangani perjanjian damai dengan pemberontak Sudan Selatan yang mayoritas kristen, membatalkan undang-undang syariah di Selatan serta membolehkan transaksi ribawi di Selatan dimana sebelumya Sudan menjadi satu-satunya negara di benua Afrika yang bebas dari bank-bank ribawi. Keputusan-keputusan itu membuat banyak kaum islamis kecewa dengan Basyir.
Tahun 2009, pesawat tempur Israel menyerang iring-iringan kontainer yang mengangkut persenjataan di timur Sudan yang hendak diselundupkan untuk HAMAS di jalur Gaza melalui Mesir. Hamas sendiri memiliki hubungan dekat dengan rezim Basyir.
Tahun 2011 Basyir menyetujui referendum di Sudan Selatan yang berakhir dengan merdekanya Sudan Selatan. Padahal, puluhan tahun sebelumnya rakyat Sudan dan kader-kader gerakan islam (termasuk Asy-Syahid Hajj Nur dekan fakultas syariah pertama Universitas internasional Afrika) telah menjadi sukarelawan dan berperang di Janub demi syahid membela agama dan negara. Pemberian referendum dianggap oleh sebagian aktivis islam sebagai bentuk pengkhianatan terhadap darah para syuhada.
Tahun 2012, Drone Israel membobardir pabrik fasilitas militer Yarmouk di jantung ibu kota Sudan yang diyakini sebagai pabrik yang memasok senjata untuk Hamas di jalur Gaza. Pemerintahan islamis (Presiden Mursi) di Mesir tentu saja mempermudah penyelundupan dan setelahnya Hamas memang semakin kuat dan canggih persenjataannya melawan Israel.
Sudan kehilangan tiga perempat produksi minyaknya, saat Sudan Selatan mendeklarasikan kemerdekaannya Juli 2011. Krisis ekonomi dan inflasi merajalela ditengah embargo internasional dan korupsi. Ide untuk melakukan normalisasi dengan Israel mulai mencuat untuk membersihkan nama Sudan dari list negara pelindung terorisme.
Tahun 2014 Dr. Ahmad Ar-Raisuni yang saat itu masih menjadi wakil ketua Persatuan Ulama Islam Internasional meminta Omar Hasan Al-Basyir untuk mundur secara sukarela dari jabatannya sebagai presiden serta menyiapkan peralihan kekuasaan secara bersih dan demokratis sebagai bentuk khidmah terakhir terhadap umat dan gerakan islam. Basyir menolak dengan alasan bahwa jika dia mundur, akan terjadi chaos dan bisa jadi Sudan akan dikuasai oleh kaum komunis ataupun liberal.
Sementara itu, sunnatullah yang tidak pernah berbasa-basi terhadap siapapun yang melakukan kezaliman ‘menunggu’ waktu yang tepat untuk memberikan ganjaran dan balasan setimpal pada mereka yang mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan. Realitanya dikemudian hari menjadi teramat perih dan menyakitkan. Akan tetapi selalu ada kebaikan, hikmah dan pelajaran pada setiap takdir-Nya.