Fikroh.com – Penciptaan hewan dan tumbuh-tumbuhan, merupakan salah satu karunia terbesar yang Allah berikan kepada umat manusia. Ada berbagai manfaat nabati dan hewani yang bisa dinikmati dalam kehidupan sehari-hari. Di antaranya adalah untuk dijadikan makanan, minuman, sumber gizi, vitamin, obat, dan bahkan kosmetik kecantikan. Namun, tentu saja pemanfaatannya tidak boleh sembarangan. Harus dibimbing dengan ilmu; riset yang teruji dan kemanjuran yang terbukti. Farmakologi adalah bidang keilmuan yang memberi pengetahuan kepada kita tentang hal ini. Dan tujuan utama mempelajari ilmu farmasi adalah memastikan tiga hal pokok: safety (keamanan), efficacy (keberfaedahan), dan quality (mutu) sebuah produk, baik itu obat atau makanan.
Ilmuwan muslim yang terkenal dengan nama Ibnu Al-Baythar, disebut-sebut sebagai ahli botani dan pakar farmakologi terhebat di abad pertengahan. Sebenarnya, dalam bahasa Arab, makna dari kata Baythar adalah “Mu’alij ad-Dawab” orang yang mengobati binatang, atau disebut juga “At-Thabib Al-Baythari” yang artinya dokter hewan. Kata Al-Baythar kemudian disesuaikan dengan lidah Eropa. Mereka menyebut orang yang ahli dalam ilmu penyakit hewan dengan istilah Veterinarian dan dokter hewan mereka sebut Veteriner. (Lihat Mu’jam Al-Ma’ani dan kitab Mukhtashar Tarikh At-Taarikhat Ath-Thibbi, karya Dr. Ja’far Khadem Yamani. Versi Bahasa Indonesianya berjudul Jejak Sejarah Kedokteran Islam).
Adapun nama lengkap Ibnu Al-Baythar adalah; Dhiya’uddin Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Al-Malaqi. Disebut Al-Malaqi karena ia lahir di Malaga, tepatnya pada tahun 1193 atau 589 H. Disebut Al-Baythar karena memang dia dan juga ayahnya berprofesi sebagai dokter hewan yang terpercaya. Sebab, meneliti berbagai jenis hewan dan tetumbuhan, sudah menjadi kegemarannya sejak dini. Maka dari itu, Al-Baythar banyak menghabiskan waktunya di hutan. Dr. Raghib As-Sirjani dalam tulisannya “Ibnu Al-Baythar; ‘Abqoriyyah ‘Ilmiyyah”, menyebutkan bahwa hutan adalah madrasah pertama bagi ilmuwan muslim asal Andalusia ini, ketika ia masih kecil.
Petualangan Ibnu Al-Baythar kemudian berlanjut dengan berguru kepada sejumlah pakar, seperti: Abu Al-Abbas An-Nabati, Abdullah Ibnu Saleh, dan Abi Hajjaj. Perjuangannya dalam menuntut ilmu tergolong luar biasa. Di usia 22 tahun, tepatnya pada tahun 1219, beliau meninggalkan Andalusia, tanah kelahirannya, untuk kemudian melalang buana menuju Afrika Utara dan Mesir demi mendalami ilmu tumbuh-tumbuhan. Konstantinopel termasuk tempat utama yang dikunjunginya selain Tunis, Tripoli, Barqa and Adalia. Ketika berada di Mesir, Ibnu Al-Baythar ditunjuk oleh Al-Malik Al-Kamil Al-Ayyubi sebagai kepala ahli meramu obat pada tahun 1224.
Sebagai gubernur Mesir, Al-Malik Al-Kamil pada tahun 1227, memperluas dominasinya hingga ke Damaseus. Ibnu Al-Baythar membersamainya dan menawarkannya untuk mengoleksi tanaman di Syria. Penelitian di bidang tanaman sebagai bahan pengobatan, terus berkembang hingga ke daerah Arab dan Palestina. Di Damaskus, ia mengkader seorang murid bernama Ibnu Ushaybi’ah yang kelak akan meneruskan petualagan ilmiyahnya, menjadi salah seorang ilmuwan ternama dalam sejarah kedokteran Islam.
Karya Al-Baythar yang paling masyhur mengenai tanaman ialah “Al Jami li Mufradat Al-Adwiyah wal Aghdiyah” (Kumpulan istilah obat-obatan dan gizi). Buku ini dicetak di Kairo pada tahun 1291 H/1874 M. Buku ini tidak diragukan lagi menjadi salah satu master piece Ibnu Al-Baythar yang membuatnya dikenal luas oleh masyarakat Eropa. Kitab Al-Jami’ yang merupakan ensiklopedi ini, diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh L. Leclerc dengan judul “Notice et Extrait.” Sedangkan penerjemahannya ke dalam bahasa Jerman dikerjakan oleh J. Sontheimer. Hasil jerih payahnya diajarkan di berbagai universitas.
Buku tersebut terdiri dari 4 jilid dan mencakup 1400 jenis obat-obatan yang dirumuskan dari hewan, tumbuhan dan mineral. Ibnu Al-Baythar menemukan 200 tanaman baru yang belum diketahui sebelumnya.