China, Negara Islam yang Hilang

China, Negara Islam yang Hilang

Fikroh.com – Di kota Xi An (dahulu bernama Chang An), Propinsi Shen Si, Republik Rakyat Cina (RRC), berdiri sebuah masjid yang telah berusia ribuan tahun. Masjid inilah saksi sejarah terhadap peranan muslimin Turkistan dan Cina dalam peradaban Islam pada masa lalu. Masjid Jami’ ini, didirikan oleh Kaisar Su Tsung (756 – 763 M) dari Dinasti Tang (618 – 906 M) di Cina, sebagai penghargaan atas jasa tentara muslim dari Keamiran (Propinsi) Bukhara (Asia Tengah) Imperium Umayyah, yang telah dimintai bantuan dalam menumpas pemberontakan An Lu Shan (755 M). An Lu Shan memberontak terhadap Kaisar Hsuan Tsung (713 – 756 M), ayah dari Su Tsung. Dari Masjid Jami’ inilah kemudian lahir sebuah komunitas baru muslimin yang terkenal oleh tradisi kepahlawanannya hingga beberapa generasi. Masjid ini hingga kini merupakan sebuah masjid tertua dan terbesar di Cina.

Kaisar Hsuan Tsung pernah mengirim ekspedisi militer untuk menyerang Keamiran Bukhara, yang berkedudukan di ibukotanya Bukhara (kini Uzbekistan, Asia Tengah). Wilayah ini dikenal juga dengan nama lain, yakni Samarkand (nama ketika telah menjadi Kesultanan), ataupun Turkistan dan Tatarstan (negeri orang Turki – Tatar, kebangsaannya). Keamiran Bukhara yang sejak saat itu menjadi bagian dari propinsi Khurasan, Persia, baru saja dikuasai oleh Dinasti Umayyah (661 – 1031 M) melalui panglimanya yang terkenal Qutaibah bin Muslim (713 M). Namun tentara Tang mengalami kekalahan dan mengundurkan diri. Bahkan panglimanya kemudian memberontak – An Lu Shan. Hsuan Tsung kemudian menyingkir dari ibukota Chang An (kini Xi An) dan anaknya, Su Tsung memimpin aksi perlawanan di pengasingan.

Su Tsung tidak sejalan dengan ayahnya dalam memandang komunitas muslim yang baru muncul di wilayah Asia Tengah (Turkistan) tersebut, yang lebih menempatkan mereka sebagai ancaman. Ia lebih memandang mereka sebagai kekuatan baru yang potensial dan dapat dijadikan mitra, daripada lawan. Maka ia memohon bantuan militer untuk mengusir An Lu Shan, walau sebelumnya Tang bermusuhan dengan Bukhara. Utusannya diterima dengan baik oleh Amir Bukhara pada saat itu, Abu Jaffar (756 M). Abu Jaffar menggantikan Qutaibah setelah Khalifah Umayyah Walid bin Abdul Malik al-Umawi (705 – 715 M) wafat dan digantikan oleh Sulaiman (715 – 717 M), yang dengan segera menarik Qutaibah dari Bukhara karena merasa tidak sejalan.

Abu Jaffar nampaknya bersikap lebih terbuka dan tidak ekspansionis sebagaimana Qutaibah. Hal ini di antaranya yang menjadi alasan bagi Su Tsung memberanikan diri untuk memohon bantuan, justru dari negeri yang pernah mengalahkan tentaranya itu. Sebanyak 10.000 orang tentara Bukhara yang terdiri dari orang Turki (Tatar) dari berbagai suku, bersama dengan rekannya dari bangsa Persia dan Arab, dikirim ke ibukota Chang An. An Lu Shan yang sebelumnya pernah bertempur dengan pasukan Bukhara di masa Hsuan Tsung dan merasakan sendiri keberanian mereka, melarikan diri dari istana.

Pasukan Bukhara pun menyerahkan kembali ibukota Chang An kepada pemimpin perlawanan, Su Tsung, selanjutnya berpamitan. Su Tsung terharu oleh sikap ikhlas para tentara pemberani ini. Mereka telah bertempur melawan tentara Tang yang dikenal kuat di Asia, dalam jumlah yang lebih besar daripada mereka, dengan korban yang tidak sedikit. Namun mereka telah berhasil, bersama dengan sebagian tentara Tang pengikut setia kaisar terdahulu, mengalahkan An Lu Shan sang Renegade (pembelot).

Setelah itu pun mereka tidak meminta imbalan sama sekali dan bergegas berpamitan. Padahal kebiasaan militer pada saat itu adalah, apabila dimintai bantuan oleh negara asing, mereka akan menuntut pembagian harta rampasan perang,atau sebagian wilayah dari negara yang meminta bantuan. Bila tidak segera dilunasi, atau dirasa tidak sebagaimana mestinya, mereka akan segera menuntut negara tersebut untuk tunduk kepada mereka sebagai bawahan dengan menyerangnya. Sebelumnya Su Tsung memang khawatir akan terjadi demikian, namun hal tersebut tidak terbukti.

Su Tsung demikian senangnya, sehingga ia mengundang seluruh pasukan asing itu dalam upacara penobatan dirinya sebagai kaisar. Mereka dijamu sebagai tamu istimewa. Bahkan Su Tsung meminta agar ada di antara mereka yang tetap tinggal dan menjadi tentara dalam Kekaisaran Tang. Maka sebagian dari pasukan Bukhara, dengan sepengetahuan panglimanya, tetap tinggal di negeri Tang. Mereka ini kemudian dianugerahi jabatan dalam kemiliteran Tang dan dibuatkan sebuah masjid besar yang berbentuk seperti kompleks istana pada masa itu (zaman Tang), di ibukota Chang An. Mereka kemudian berbaur dengan masyarakat Han. Dari sinilah kemudian muncul komunitas baru yang dikenal kemudian sebagai muslimin Hui.

Sementara itu, Keamiran Bukhara akhirnya menjadi sebuah kesultanan tersendiri dengan nama baru Kesultanan Samarkand, setelah Khilafah Umayyah di Damaskus, Syria, diruntuhkan oleh kelompok Abbasiyah, beberapa waktu kemudian. Sultan pertama Samarkand adalah seorang Tatar dan tetap menjalin hubungan erat dengan pemerintah Dinasti baru di Baghdad, Iraq, sebagai sebuah kesultanan yang tetap menempatkan diri di bawah protektorat (dipertuan) Khilafah Abbasiyah (750 – 1258 M). Jajaran Khilafah Abbasiyah sendiri kemudian banyak diiisi oleh orang-orang Persia maupun orang Tatar yang telah berdiam secara turun temurun di Persia dan Iraq (oleh bangsa Arab dan Persia dikenal sebagai bangsa Salajikah atau Seljuk).

Kesultanan Samarkand pada saat itu, terkenal tidak saja karena kemampuan militernya yang ditakuti di sepanjang Asia Tengah dan Utara, namun juga keilmuannya. Seorang ulama besar yang bernama Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah, yang lebih dikenal sebagai Imam Bukhari (810 – 870 M), adalah seorang berkebangsaan Tatar yang berasal dari kota Bukhara. Mereka menjadi pengikut fiqih yang diajarkan oleh Imam Abu Hanifah, yang dimaklumatkan secara resmi berlaku dalam wilayah Khilafah Abbasiyah. Di Baghdad, kehidupan Kesultanan Samarkand digambarkan kemegahannya dalam kisah 1001 Malam, yakni kisah tentang Aladdin (Alauddin), seorang pemuda Samarkand yang berasal dari keluarga miskin namun akhirnya menjadi seorang pangeran dan akhirnya menjadi Sultan Samarkand. Sultan terakhir Samarkand memang bernama Alauddin Muhammad, lengkapnya bergelar Sultan Alauddin Muhammad Khawarizm Syah (Sultan Alauddin Muhammad – Pangeran Dinasti Khawarizm). Ia gugur pada tahun 1220 ketika bertempur melawan pasukan Mongol di bawah Jengiz Khan.

Di samping itu mereka pun turut andil dalam penyebaran Islam ke Indonesia. Seorang ulama dari negeri ini yang bernama Ibrahim as-Samarkandi atau Ibrahim Asmorokundi (aksen Jawa), yang bermakna Ibrahim dari kota Samarkand, adalah ayahanda dari Raden Ahmad Rahmatullah atau lebih dikenal dengan Kanjeng Sunan Ampel (1401 – 1481 M), ulama besar dari kota Surabaya, Jawa Timur, yang merupakan perintis penyebaran ajaran Islam di Jawa dan sekitarnya.

Hui sendiri pada mulanya adalah sebutan oleh orang Han (Cina) terhadap orang Tatar (Turki), yakni bangsa Hui Hu. Sedangkan untuk menyebut keseluruhan bangsa nomaden di Asia Utara dan Tengah tersebut, Tatar, Mongol, Tibet dan Manchu mereka menyebutnya Siung Nu (di Eropa dikenal sebagai bangsa Hun dengan Attila-nya, nenek moyang orang Hungaria di Eropa Timur).

Sebelumnya mereka adalah penganut agama Budha. Pada abad keenam Masehi, kaum misionaris Nestor dari Romawi menjadikan mereka pemeluk agama Kristen. Sejak zaman dahulu, mereka telah ditakuti karena gemar berperang. Namun justru hati mereka terbuka, setelah berbagai kekejaman yang dilakukan. Pada abad ke-7 dan 8 M, mereka beramai-ramai mengucap syahadat dan berikrar bahwa sejak saat itu, mereka akan menjadi pembela agama Islam beserta umat Islam di seluruh dunia, bahkan hingga seluruh keturunannya. Apabila ada di antara keturunannya yang murtad, maka ia akan diusir dan tidak diakui sebagai orang Tatar, bahkan akan dibunuh apabila ia merongrong kewibawaan umat Islam.

Ikrar tersebut benar-benar dibuktikan, antara lain dalam bentuk peranan mereka selama beberapa generasi Khilafah Islamiyah di dunia, atau The Moslem World (632 – 1922 M). Pengusiran bangsa Mongol yang telah menghancurkan Baghdad dan mengakhiri Khilafah Abbasiyah, dipelopori oleh orang-orang Tatar yang telah menjadi tentara di Mesir, yakni Baybars. Sedangkan penaklukan Konstantinopel pun terjadi pada masa Kesultanan Usmaniyah pimpinan orang Tatar (tahun 1453). Kerajaan baru ini didirikan setelah Kerajaan Mamluk di Mesir (1250 – 1517) ganti dipegang oleh orang-orang Kurdi, yakni sebuah klan yang dahulu memerintah kekaisaran Persia – Sassan (Dinasti Sassanid) yang terusir, namun kemudian masuk Islam. Mereka tinggal di daerah pegunungan, yang mereka namakan sebagai Kurdistan (negeri orang Kurdi). Sebagian dari mereka kemudian memeluk Kristen-Byzantinne (orthodoks), mereka ini akhirnya menjadi bangsa Armenia modern. Walau sama-sama berindukkan bangsa Armenia kuno (Sassanid), orang Kurdi dan Armenia modern tidak lagi memiliki keterikatan primordial dikarenakan oleh perbedaan agama yang dianut, di mana masing-masing memiliki jiwa militansi.

Perekrutan orang Tatar dari Turkistan sebagai tentara telah dilakukan sejak masa Umayyah, setelah penaklukan Samarkand. Pada kenyataannya, mereka ini lebih dikenal sebagai budak, walau tidaklah tepat adanya karena seharusnya mereka telah merdeka sejak memeluk Islam. Oleh penguasa Umayyah mereka dianggap budak, tetapi dalam bentuk tentara sewaan, jadi bukan budak pekerja. Pada masa Abbasiyyah, status mereka sebagai budak dalam bentuk tentara sewaan telah dihapuskan.

Seiring dengan berdirinya Kesultanan Turkistan. Mereka telah berjasa menyelamatkan dunia Islam pada masa itu terhadap ancaman dari – bahkan, bangsanya sendiri (Tatar) dari Asia Tengah, yang masih tetap kuffar, bersama dengan orang-orang Mongol yang memimpinnya. Orang Arab sering tidak membedakan antara bangsa Tatar dan Mongol, yang jelas berbeda, sebagaimana orang Arab dengan Persia. Mereka juga menyebut Mongol untuk orang Tatar yang berada di pihak pasukan Mongol dalam penyerbuan ke Baghdad (1258).

Beberapa waktu kemudian, sebutan Seljuk (Salajikah) maupun Turki, sebagai representasi dari muslimin Tatar, lebih banyak digunakan. Penyebutan ini juga ditujukan untuk mengakhiri sebutan budak (Mamluk) kepada mereka dan rekannya orang Kurdi, yang telah berperanan selama beberapa generasi sebagai prajurit muslim yang tangguh. Sebagaimana ajaran Islam untuk menghapuskan perbudakan. Amat disayangkan bahwa sebagian orang jahil – chauvinis yang tidak menyukai mereka, masih menganggap bahwa mereka adalah budak (Mamluk), demikian juga keturunannya. Nama Turki sendiri kemudian dipakai sebagai nama negeri yang dihuni oleh orang Tatar Kesultanan Utsmaniyah di Anatolia dan Balkan, setelah Khilafah terakhir yang lemah di bawah Dinasti Utsmaniyah, dihapuskan pada tahun 1922 oleh diktator Mustafa Kamal (Mustafa Kemal At-Taturk).

Leave a Comment