Makna Gerigi Kunci Surga

Makna Gerigi Kunci Surga

Fikroh.com – Surga adalah tempat kembali orang-orang beriman setelah wafatnya. Tempat terindah yang senantiasa dirindukan. Meskipun kenikmatan yang dirasakan tak akan terputus, untuk memasukinya butuh pengorbanan berupa ibadah yang ikhlas dan berkesinambungan.

Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam “Musnadnya” (no. 22102, cet. Ar-Risaalah) meriwayatkan :

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي حُسَيْنٍ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَفَاتِيحُ الْجَنَّةِ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ” 

“telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Mahdiy, telah menceritakan kepada kami Ismail bin ‘Ayyaasy, dari Abdillah bin Abdir Rahman bin Abi Husain, dari Syahr bin Hausyab, dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadaku : “kunci-kunci surga adalah persaksian bahwa tidak tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah.”

Al-Imam al-Albani dalam kitabnya “adh-Dhoifah” (no. 1311) menilai hadits ini lemah, karena 3 alasan :

1. Ismail bin ‘Ayyasy penduduk Himsh (masuk wilayah Syam), beliau perawi tsiqoh, namun haditsnya dhoif jika meriwayatkan bukan dari penduduk negerinya, sedangkan disini gurunya adalah Abdullah bin Abdur Rahman, penduduk Mekkah, sehingga haditsnya dhoif.

2. Syahr bin Hausyab, perawi dhoif.

3. Syahr bin Hausyab tidak berjumpa dengan Mu’adz, sehingga sanadnya terputus.

Al-‘Alamah Syu’aib Arnauth dan timnya juga memberikan penilaian dhoif untuk hadits ini dengan alasan yang sama, kecuali tentang kedhoifan Syahr, mereka tidak menyinggungnya. Dan memang kalau kita lihat komentar ulama jarh wa ta’dil, maka mereka tidak satu suara dalam menjarh atau mentautsiqnya, barangkali penilaian Imam Bukhari yang menilai hasan haditsnya sebagai pendapat pertengahan, sebagaimana penilaian Al Hafidz dalam at-Taqriib yang menilainya sebagai perawi shoduq.

Namun maknanya adalah shahih, dalam Shahihnya, Imam al-Bukhari meriwayatkan secara mu’alaq hadits maqtu’ :

وَقِيلَ لِوَهْبِ بْنِ مُنَبِّهٍ : أَلَيْسَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مِفْتَاحُ الْجَنَّةِ ؟ قَالَ : بَلَى، وَلَكِنْ لَيْسَ مِفْتَاحٌ إِلَّا لَهُ أَسْنَانٌ، فَإِنْ جِئْتَ بِمِفْتَاحٍ لَهُ أَسْنَانٌ فُتِحَ لَكَ وَإِلَّا لَمْ يُفْتَحْ لَكَ

“Ditanyakan kepada Wahab bin Munabbih rahimahullah : “bukankah Laa Ilaaha illallah, itu kunci surga?”, Beliau menjawab : “betul, namun tidaklah kunci itu, kecuali ia memilki gerigi, jika engkau mendatangkan kunci yang bergerigi, maka akan dibukakan untukmu, namun kalau tidak, maka tidak akan dibukakan untukmu.”

Imam Wahab bin Munabbih (34 – 110 H) adalah seorang tabi’in, atsar mu’alaq diatas ditemukan oleh Al Hafidz dengan sanad bersambung dalam at-Tariikh karya Imam Bukhari juga dan Imam Abu Nu’aim dalam al-Hilyah.

Apa yang disampaikan oleh Imam Wahab adalah sesuatu yang bagus dalam ilmu komunikasi dakwah, beliau menggunakan analogi yang pas untuk menggambarkan bagaimana kita memahami hadits-hadits yang seolah-olah mengatakan secara mutlak bahwa orang yang mengucapkan Laa Ilaaha illallah pasti masuk surga, memang benar ia telah pegang kunci surga, tapi kunci itu baru efektif digunakan jika ada geriginya sebagaimana umumnya kunci pintu rumah, oleh sebab itu, orang yang membawa kunci ini harus membawa kunci yang bergerigi, sehingga akhirnya pintu surga pun terbuka untuknya.

Guru-guru kami menafsirkan bahwa gerigi kunci itu adalah syarat-syarat Laa Ilaaha illallah. Karena jika kita perhatikan hadits-hadits yang berbicara tentang masuknya seseorang dengan kalimat Laa Ilaaha illallah, maka disana dikaitkan dengan hal lain, misal hadits :

من كانَ يشهَدُ أن لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ مخلِصًا فيُخرِجونَهُم 

“Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah dengan ikhlas, maka mereka akan dikeluarkan dari neraka.” (Dihasankan oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah).

Lafazh lainnya :

يَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ مُسْتَيْقِنًا بها قَلْبُهُ، فَبَشِّرْهُ بالجَنَّةِ

“yang bersaksi bahwa tidak tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah, yakin dalam hatinya, maka kabarkan kepadanya dengan surga.” (HR. Muslim).

Dan lafazh-lafazh semisalnya, dimana dalam kaedah telah ditetapkan bahwa jika telah ada yang muqoyyad, maka yang mutlak dibawa kesana, artinya hadits-hadits yang berisi kemutlakkan siapa saja yang mengucapkan Laa Ilaaha illallah, maka harus ditafsirkan juga dengan hadits-hadits yang berisi tentang pemenuhan terhadap konsekuensi dari kalimat tauhid ini, oleh sebab itu, Imam Bukhari membawakan atsar Imam Wahab diatas dalam Shahihnya di pembahasan kitab al-Janaiz yang seolah-oleh beliau berisyarat bahwa yang selamat dalam kematiannya yang membawa kalimat tauhid adalah mereka yang membarenginya dengan beramal sesuai konsekuensi yang dituntut dalam kalimat ini.

Ditanyakan kepada Imam al-Hasan al-Bashri bahwa orang-orang mengatakan, barangsiapa yang mengatakan Laa Ilaaha illallah, maka ia masuk surga, maka beliau rahimahullah menanggapi :

من قال لا إله إلا الله، فأدى حقها وفرضها دخل الجنة

“barangsiapa yang mengatakan Laa Ilaaha illallah, lalu menunaikan hak dan kewajibannya, maka ia masuk surga.”

Asy-Syaikh Hafizh al-Hakami (w. 1377 H) rahimahullah menerjemahkan syarat-syarat kalimat Laa Ilaaha illallah dalam nadhomannya :

العلم واليقين والقبول والانقياد فادر ما أقول

(1) ilmu (2) yakin (3) menerima (4) tunduk, maka peganglah apa yang aku ucapkan

والصدق والإخلاص والمحبة وفقك الله لما أحبه

(5) jujur (6) ikhlas (7) cinta, semoga Allah memberimu taufik terhadap apa yang dicintaiNya

Sebagian ulama menambahkan syarat kedelapan dalam bait syairnya :

وزيد ثامنها الكفران منك بما سوى الإله من الأوثان قد ألها

Tambahan yang kedelapan adalah kufurmu terhadap apa yang disembah selain Allah berupa berhala yang disembah.

Penulis: Abu Sa’id Neno Triyono

Leave a Comment