Fikroh.com – Pada masa awal invasi Israel terhadap Gaza di kotak Shoutbox saya ada ikhwah salafy yang berkomentar tentang sumbangan kita untuk masalah Palestina tidak usah demonstrasi! Cukup berdoa saja! Saya mengurut dada. Apakah saudara saya ini menutup mata? Lihatlah, betapa dahsyat efek tekanan dari aksi demontrasi di seluruh belahan dunia yang dilakukan oleh berbagai ras, agama dan kepercayaan terhadap pengambilan kebijakan di PBB? Tidak tahukah antum wa anti kalau mekanisme demokrasi sangat berbeda 180 derajat dengan diktatorisme monarki yang diterapkan Arab Saudi tempat ulama-ulama salafy (Allahu Yarham) kebanyakan bersemayam? (catat! : saya tidak setuju demokrasi dan monarki)
Kita sudah sering mendengar bahkan mungkin berdebat tentang fatwa haram demonstrasi yang dikeluarkan ulama-ulama salafy yang berbasis di daerah Hijaz. Saya sangat menghormati fatwa itu, dan banyak mengambil manfaat dari dalil-dalil yang beliau-beliau paparkan. Fatwa larangan tersebut sudah banyak dibantah oleh ulama-ulama yang sekufu (walaupun tidak diakui sekufu oleh ikhwah salafy) dengan ulama salafy. Tetapi saya tidak akan membahas masalah dalil-dalilnya pada tulisan saya kali ini (wong saya bukan ustad kok! Apalagi ulama) Saya hanya ingin menganalisa dari sisi sejarah dan politik, mengapa sesuatu yang hanya menjadi uslub, metode atau cara seperti demonstrasi yang hukum asalnya adalah mubah, mati-matian diharamkan oleh ulama-ulama salafy.
Pertama-tama, saya ingin tegaskan walaupun dibantah seribu macam dalil shahihah, salafy dari sisi sejarah adalah sebuah HARAKAH atau “GERAKAN”. Bahkan gerakan salafy lebih revolusioner dan ekstrim daripada gerakan Ikhwanul Muslimin. Kalau dalam gerakan Ikhwanul Muslimin mengenal tahapan-tahapan yang cenderung evolusionis. Maka gerakan salafy terbentuk secara frontal, revolutif, dan makar.
Yang kedua, saya sangat menghargai ulama-ulama salaf. Saya kagum dengan komitmen beliau-beliau terhadap pemurnian aqidah kaum muslimin. Gerakan salafy juga banyak memberikan inspirasi atas lahirnya gerakan-gerakan pembaharuan (tajdid) di belakang hari.
Adapun secara umum argumen untuk mengharamkan demonstrasi adalah sebagai berikut:
- Ikhtilat ketika demonstrasi
- Meniru orang kafir
- Menggembar-gemborkan aib penguasa
- Harus menasehati pemimpin secara baik
Jawaban saya :
1. Untuk poin 1, sebagai orang awam saya hanya bisa berpendapat bahwa ikhtilat itu adalah EFEK/AKIBAT dan bukan TUJUAN demonstrasi. Menjadi haram kalau niatannya untuk ikhtilat. Sama seperti memegang pisau, kalau tujuannya untuk memotong sayur tidak ada masalah, tapi kalau pisau tersebut digunakan untuk membunuh baru berdosa.
2. Sedangkan untuk poin 2, meniru orang kafir, dapat disamakan dengan penggunaan internet teknologi orang kafir. Kalau digunakan untuk belajar apakah berdosa? Tapi kalau dipakai untuk browsing situs porno pasti hukumnya berdosa. Jadi intinya demonstrasi cuma alat, halal-haramnya tergantung dari si pengguna
3. Nah, untuk poin 3 dan 4. Disini analisis saya akan diperdalam. Tahukah antum saudaraku bahwa sebenarnya syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab hafidzahuLlah pelopor “gerakan” salafy ternyata melakukan perbuatan yang lebih “berdosa” (versi antum sendiri ya? Bukan berdosa versi saya) dari sekedar demonstrasi ? Apakah beliau bersabar dengan PENGUASA saat itu dan cuma berdoa dan menasehati diam-diam? Oh…tidak akhi/ukhti! Beliau MEMBERONTAK! Beliau melakukan KUDETA dan REVOLUSI! Tidak percaya ? Silahkan simak baik-baik ulasan sejarah saya dibawah ini :
Fakta sejarah yang tidak bisa dibantah bahwa kerajaan MONARKI modern Arab Saudi yang bertahta di Mekah dan Madinah saat ini berdiri diatas fondasi yang berdarah-darah dan penuh dengan intrik kudeta. Dengan berdalihkan pemurnian ajaran Islam, maka syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menyebarkan dan mempelopori PEMBERONTAKAN, MAKAR, REVOLUSI dan KUDETA terhadap pemerintahan/penguasa yang sah yaitu khalifah Utsmaniyah yang menguasai tanah Hijaz saat itu. Termasuk diantara pengikutnya adalah penguasa Dar’iyah, Muhammad bin Saud (meninggal tahun 1178 H / 1765 M) pendiri dinasti Saudi, yang dikemudian hari menjadi mertuanya.
Pada tahun 1802, syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menyerang Karbala-Irak, tempat dikebumikan jasad cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib. Karena makam tersebut dianggap tempat munkar yang berpotensi syirik kepada Allah. Dua tahun kemudian, beliau menyerang Madinah. Mereka masuk ke Mekkah pada 1806, dan merusak kiswah, kain penutup Ka’bah yang terbuat dari sutra. Kemudian merobohkan puluhan kubah di Ma’la.
“Gerakan” Salafy ini membuat Sultan Mahmud II, PENGUASA SAH Kerajaan Utsmani, Istanbul-Turki, murka. Dikirimlah prajuritnya yang bermarkas di Mesir, di bawah pimpinan Muhammad Ali, untuk melumpuhkannya. Pada 1813, Madinah dan Mekkah bisa direbut kembali. Gerakan “Salafy” surut. Tapi, pada awal abad ke-20, Abdul Aziz bin Sa’ud bangkit kembali mengusung gerakan ini. Tahun 1924, ia berhasil menduduki Mekkah, lalu ke Madinah dan Jeddah, memanfaatkan kelemahan Turki akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Sejak itu, hingga kini, Dinasti Sa’ud dan didukung oleh ulama salafy mengendalikan pemerintahan di Arab Saudi.
Dari fakta sejarah itu telah terpampang dengan jelas! Bahwa gerakan salafy dimulai dengan gerakan makar terhadap penguasa sah! Penguasa kaum muslimin! khalifah umat islam! Benteng terakhir persatuan ummat! Tetapi anehnya sekarang, semenjak revolusi Makkah+Madinah oleh dinasti Saud, para pengikut gerakan ini menolak mengkritisi pemerintah dengan alasan menjaga kesatuan umat, menasehati secara ahsan, dan lain-lain. Bukankah itu sebuah paradoksal sejarah? Bukankah antum wa antunna bisa melihat pertimbangan politik yang sangat kental dari fatwa tersebut? Apakah fatwa di negeri Hijaz tersebut bisa diterapkan di negeri seperti Indonesia?
Nah, yang menjadi pertanyaan? Argumen apalagi yang mendasari bahwa untuk menasehati pemerintah/penguasa harus secara diam-diam? Bukankah perbuatan nyata syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab lebih kuat nilainya daripada sekedar teori dan dalil-dalil? Renungkanlah wahai saudaraku…
Saya pernah berdiskusi tentang hal ini dengan salah satu senior saya dari Wahdah Islamiah yaitu dr. Ihsan Jaya (adik Ilham Jaya Lc). Beliau mengakui, dan memberikan perumpamaan kalau saja ulama-ulama Saudi membolehkan demonstrasi maka akan tumpah ruahlah seluruh mahasiswa Universitas2 di Saudi. Dan tentu saja akan menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Siapapun tahu, betapa represifnya dinasti Saud untuk menjaga hegemoni kekuasaannya. Nah khan!…masih berpikir bahwa di Indonesia ini demonstrasi itu mutlak diharamkan?
Beberapa minggu terakhir ini kita disuguhkan tontonan yang menyayat jiwa dan mengiris hati. Saudara-saudara kita di Palestina dibantai tanpa daya dan tanpa ampun oleh gerakan zionis Israel. Yang tragisnya, hampir semua pemimpin Negara Arab secara khusus dan dunia Islam secara umum hanya bisa jadi penonton, pengecam, pengutuk, tanpa bisa menekan Israel, bahkan ada yang diam membisu tak berkutik dibawah bungkaman Amerika.
Ada dua negara yang sangat saya sesalkan dalam “kediam-an” yang memiriskan itu, yaitu Arab Saudi dan Mesir. Saya tidak heran dengan Mesir atas sikap diam-nya karena latarbelakangnya sebagai negara sekuler dan fakta bahwa Mesir berbatasan langsung dengan Israel. Saya tidak heran, tapi tidak membenarkan.
Yang menjadi sorotan saya dalam tulisan ini adalah negara yang menjadi sentral peribadatan kaum muslimin yaitu Arab Saudi. Kita tahu bahwa kerajaan ini didirikan dengan semangat dakwah dan pemurnian aqidah. Sebuah institusi besar yang meraup banyak dana dari ibadah haji, mendapatkan banyak berkah berupa sumber minyak yang melimpah dimana-mana. Tetapi diam seribu bahasa dan tak sanggup menegakkan harga diri kaum muslimin yang diinjak di depan ujung hidung mereka. Yang anehnya, da’i yang berasal dari sana (Arab Saudi) mayoritas sangat garang ketika mencecar saudaranya seiman tetapi sunyi senyap ketika menyaksikan penguasanya bermesraan dengan negeri kafir Amerika.
Contoh nyata adalah ketika diadakan pelaksanaan pertemuan pemimpin Islam di sebuah negara Arab (lupa yang mana..). Dimana di dalam pertemuan tersebut diadakan audiensi dengan HAMAS untuk mencari solusi atas permasalahan Gaza. Mesir dan Arab Saudi menolak hadir dengan berbagai macam alasan. Sebuah kenyataan yang membuat saya meneteskan airmata. Haruskah alasan politik menghalangi anda untuk sekedar bersilaturrahim dengan saudara anda yang sedang berjibaku mempertahankan sebidang negerinya dari kaum kafir? Kalau saja Rasul SAW masih hidup, apa argumen yang akan anda paparkan kepada beliau? Beranikah anda menatap wajah beliau? Oh.. afwan ya Rasul, saya tidak bisa hadir karena saya takut dituduh oleh kafir Amerika berkomplot dengan organisasi teroris seperti HAMAS. Ya Allah ya Rabbi.. dimana hati pemimpin kaum muslimin ?
Ayna Antum Yaa Amiirul Muslimun??
Darah seorang Muslim itu lebih berharga dari Ka’bah dan sekitarnya. Ingatlah mereka (pembesar Saudi) memiliki kemampuan untuk menghentikan kebrutalan Israel. Mana kekayaan jazirah Arab dari hasil devisa kota mekah yang tiap tahunnya mendatangkan jutaan bahkan milyaran dollar? Istana-istana di Arab juga sudah dipenuhi oleh anak-anak Adam yang krisis kemanusiaan. Apakah ini ajaran Rasulullah mengajarkan kita berdiam diri melihat saudara muslim kita dibantai? Dilecehkan harga dirinya?
Pandanglah secara jujur, obyektiflah! Tanyakan hati nurani, gerakan Ikhwanul Muslimin yang anda bid’ahkan mati-matian mungkin lebih mulia di sisi Allah karena telah membuktikan amal nyatanya berupa jihad mempertahankan kiblat pertama umat Islam.
Banyak fakta-fakta sejarah yang ditorehkan oleh perkembangan salafy yang cenderung untuk (maaf) memecah belah Islam dari dalam, contohnya adalah :
- Ibnu Saud dan syaikh Abdul Wahhab memberontak, kudeta, makar dan revolusi terhadap pemerintahan Islam yang sah, yaitu Kekhalifahan Utsmani.
- Ibnu Saud dan syaikh Abdul Wahab memberikan ‘konstribusi’ yang sangat besar terhadap perpecahan umat Islam diseluruh dunia, sebab mereka sejak pertama pendirian kerajaannya sampai detik ini tidak mencoba untuk mendirikan kekhalifahan Islam sebagai sarana pemersatu yang mutlak bagi kaum Muslimin dunia, tetapi mereka malah cenderung menerapkan pemerintahan monarki kuno kekeluargaan saja khusus untuk bangsanya sendiri disekitar jazirah Arab. Oleh sebab itu pulalah maka gerakan salafy sangat bertanggung jawab terhadap merebaknya faham-faham diluar Islam (kafir) ke dalam lingkungan kaum muslimin seperti : materialisme, sekularisme, atheisme serta faham-faham buatan makhluk yang lainnya.
- Sifatnya yang selalu meminta bantuan dari kaum kafir yang digunakan untuk menyerang dan membunuh kaum Muslimin rupanya tetap dipertahankan sampai dengan detik ini. Sangat nyata didepan kita bahwa para pembesar Saudi mengulangi perbuatannya dengan meminta bantuan kafir (USA cs) demi mempertahankan kekuasaannya dengan jalan menempatkan pasukannya (mendirikan base camp) di wilayah yang dianggap memiliki makna yang dalam bagi kaum Muslimin. Malah berperang dengan Iraq yang MASIH kategori muslim (walaupun sesat), ikut membantu Amerika.
Bukankah Allah dengan tegas melarang mengambil orang-orang kafir sebagai penolong seperti penjelasan dari Alquran Surat An Nisa ayat 139???
Semoga kita semua terlindung dari Perpecahan, Taqlid A’ma serta Ujub Atas Ilmu.
Penulis: Muhammad Iqbal Sandira