Fikroh.com – Mesir adalah sebuah negara di Afrika Utara, dekat Laut Mediterania, dan merupakan rumah salah satu peradaban tertua di dunia. Nama “Mesir” berasal dari Bahasa Yunani “Aegyptos” yang merupakan pengucapan Bahasa Yunani dari nama Mesir kuno”‘Hwt-Ka-Ptah” (“Rumah Roh Ptah”), awalnya bernama Kota Memphis. Memphis adalah ibu kota pertama Mesir dan pusat keagamaan dan perdagangan yang terkenal; statusnya yang tinggi dibuktikan oleh Orang-orang Yunani yang menyebutkan seluruh negara dengan nama itu.
Bagi Orang Mesir kuno sendiri, negara mereka dikenal sebagai Kemet yang berarti “Tanah Hitam” yang dinamai berdasarkan tanah subur kehitaman di sepanjang Sungai Nil tempat permukiman pertama dimulai. Belakangan, negara itu dikenal sebagai “Misr” yang berarti “negara”, sebuah nama yang masih digunakan oleh orang Mesir pada bangsanya masa kini. Mesir berkembang selama ribuan tahun (dari tahun 8.000 SM hingga 30 SM) sebagai negara merdeka yang budayanya terkenal dengan kemajuan budayanya yang hebat di setiap bidang pengetahuan manusia, dari seni, sains hingga teknologi serta agama. Monumen-monumen besar yang masih dirayakan oleh Mesir kuno mencerminkan kedalaman dan keagungan budaya Mesir yang memengaruhi begitu banyak peradaban kuno, di antaranya Yunani dan Roma.
Salah satu alasan popularitas Budaya Mesir yang bertahan begitu lama adalah penekanannya pada kemegahan pengalaman manusia. Monumen, makam, kuil, dan karya seni mereka yang besar semuanya merayakan sendi-sendi kehidupan dan berdiri sebagai pengingat masa lalu dan kemampuan yang dicapai oleh umat manusia. Meskipun Mesir kuno dalam budaya populer sering dikaitkan dengan kematian dan upacara kematian, bahkan di dalamnya menceritakan pada orang-orang sepanjang jaman apa artinya menjadi manusia serta kekuatan dan makna peringatan.
Bagi Orang Mesir, kehidupan di bumi hanyalah sebuah aspek perjalanan abadi. Jiwa itu abadi dan hanya menghuni tubuh wadah fisik ini untuk waktu yang singkat. Saat kematian, seseorang akan berhadapan dengan pengadilan di Aula Kebenaran dan, jika lulus, akan pindah ke surga abadi yang dikenal sebagai Ladang Alang-alang yang merupakan bayangan cerminan kehidupan seseorang di bumi. Begitu seseorang mencapai surga, dia bisa hidup damai di tengah-tengah orang-orang yang dicintainya di bumi, termasuk hewan peliharaannya, di lingkungan dan akar yang sama.
Di bawah silsilah yang sama yang dianggap telah hilang saat kematian. Akan tetapi, kehidupan abadi ini hanya tersedia bagi mereka yang telah hidup dengan baik dan sesuai dengan kehendak para dewa di tempat yang paling sempurna yang kondusif untuk tujuan semacam itu, yaitu : di Tanah Mesir.
Mesir memiliki sejarah panjang yang jauh melampaui kata-kata, kisah para dewa, atau monumen yang telah menjadikan budayanya terkenal. Bukti penggembalaan ternak yang luar biasa diperkirakan sekitar 8.000 SM, di tanah yang sekarang merupakan Gurun Sahara. Bukti ini, bersamaan dengan artefak yang ditemukan, menunjukkan peradaban pertanian yang berkembang pesat di wilayah tersebut pada waktu itu. Karena sebagian besar tanahnya gersang, para pengembara pengumpul yang mencari kesejukan sumber mata air di Lembah Sungai Nil, mulai menetap sebelumnya di sana sekitar 6.000 SM.
Pertanian yang terorganisir dimulai di wilayah tersebut sekitar 6.000 SM dan komunitas yang dikenal sebagai Budaya Badari mulai berkembang sepanjang sungai.
Industri berkembang pada waktu yang hampir bersamaan, seperti bukti ditemukannya bengkel Fayans di Abydos yang bertitimangsa sekitar 5.500 SM.
Budaya Badari diikuti oleh Budaya Amrati, Gerzeh, dan Naqada (juga dikenal sebagai Naqada I, Naqada II, dan Naqada III), yang semuanya berkontribusi signifikan terhadap pengembangan peradaban Mesir.
– Peradaban Badari memberikan bukti langsung pertanian di Mesir Hulu pada masa sebelum kemunculan sistem dinasti. Peradaban ini berkembang antara tahun 4.400 hingga 4.000 SM, dan mungkin telah ada semenjak tahun 5.000 SM. Peradaban ini pertama kali diidentifikasi di El-Badari, Asyut. Wikipedia
– Gerzeh adalah sebuah pemakaman Mesir sebelum kemunculan sistem dinasti yang terletak di sepanjang tetapi barat Nil dan saat ini mengambil nama dari al-Girza, sebuah kota terdekat saat ini di Mesir. Gerzeh hanya berjarak beberapa mil dari timur danau Al Fayyum. Wikipedia
– Budaya Amrati, juga disebut Naqada I, yaitu budaya Mesir Hulu prasejarah. Yang berlangsung sekitar 4.000 hingga 3.500 SM. Wikipedia
Sejarah tertulis negeri ini dimulai antara 3.400 dan 3.200 SM ketika Aksara Hieroglif dikembangkan oleh Budaya Naqada III.
– Fayans : gerabah berlapis kaca yang dihiasi dengan warna buram. Kemiripan dengan tembikar atau perlengkapan keramik berlapis kaca, khususnya gerabah berlapis timah dari jenis yang termasuk delftware dan maiolica.
Menjelang 3.500 SM, mumifikasi orang mati telah dipraktikkan di Kota Hierakonpolis dan pemakaman batu besar yang dibangun di Abydos.
Kota Xois tercatat sudah dianggap kuno pada 3.100 – 2.181 SM sebagaimana tertulis dalam Prasasti Palermo yang terkenal.
Seperti halnya budaya lain di seluruh dunia, komunitas kecil agraris menjadi tersentralisasi dan tumbuh menjadi pusat kota yang lebih besar.
“Kemakmuran meningkat, antara lain, Meningkatnya Pembuatan Bir, Waktu luang lebih banyak untuk olahraga, dan kemajuan dalam bidang pengobatan.”
Sejarah Awal Mesir.
Periode Dinasti Awal (sekitar 3.150-2.613 SM) terjadi penyatuan kerajaan utara dan selatan Mesir di bawah Raja Menes (juga dikenal sebagai Meni atau Manes) dari Mesir Hulu (atas) yang menaklukkan Mesir Hilir (bawah) pada tahun sekitar 3.118 SM atau sekitar
3.150 SM. Versi awal sejarah kuno ini berasal dari Naskah Aegyptica (Sejarah Mesir) ditulis oleh sejarawan kuno Manetho yang hidup pada abad ke-3 SM di bawah Dinasti Ptolemeus (323-30 SM). Meskipun kronologinya telah diperdebatkan belakangan oleh para sejarawan, secara teratur masih dibahas suksesi dinasti maupun sejarah masa awal Mesir kuno.
Karya Manetho adalah satu-satunya sumber yang mengutip Menes dan penaklukannya dan kini dianggap sebagai sosok pria yang disebut oleh Manetho sebagai “Menes” adalah Raja Narmer yang secara damai menyatukan Mesir Hulu dan Hilir di bawah satu pemerintahan. Identifikasi Menes dengan Narmer ternyata jauh dari diterima kalangan secara universal, meskipun, Menes secara kredibel terkait dengan Raja Hor-Aha (sekitar 3.100-3.050 SM) yang menggantikannya. Penjelasan terkait asosiasi Menes dengan pendahulunya dan penggantinya adalah sebenarnya “Menes” adalah gelar kehormatan yang berarti
“Dia yang bersabar”
dan bukan nama pribadi sehingga bisa digunakan untuk merujuk lebih dari satu raja. Klaim tanah itu dipersatukan oleh kampanye militer juga diperdebatkan karena Pelat Narmer yang terkenal, yang menggambarkan kemenangan militer, dianggap oleh beberapa sarjana sebagai propaganda kerajaan. Negara ini mungkin pertama kali disatukan secara damai meskipun kesimpulan ini tampaknya tidak mungkin.
– Pelat Narmer, juga dikenal sebagai Pelat Hierakonpolis Agung, adalah penemuan arkeologis Mesir Kuno yang penting, berasal dari sekitar abad ke-31 SM, mengandung beberapa catatan mengenai Mesir Kuno. Pelat ini, menurut beberapa ahli menggambarkan penyatuan Mesir Hulu dan Hilir oleh raja Narmer.
Dibuat : sekitar 3.200 – 3.000 SM.
Dimensi : sekitar 64 cm x 42 cm.
Wikipedia
Pemilihan wilayah geografis Mesir kuno mengikuti arah Sungai Nil dan Mesir Hulu adalah yang terletak di wilayah selatan dan Mesir Hilir terletak di wilayah utara, lebih dekat ke arah Laut Mediterania. Narmer memerintah dari Kota Heirakonopolis dan kemudian dari Memphis hingga Abydos. Perdagangan meningkat secara signifikan di bawah penguasa Periode Dinasti Awal serta Makam Mastaba yang rumit, yaitu merupakan struktur sebelum munculnya Piramid nantinya, pada periode ini mengembangkan praktik pemakaman ritual yang mencakup diantaranya teknik mumifikasi yang semakin rumit.
– Mastaba adalah bangunan yang beratap datar, berbentuk balok dengan sisi-sisi yang miring. Bangunan ini terbuat dari batuan tanah liat. Mastaba menandai situs pemakaman banyak tokoh Mesir Kuno terkenal. Wikipedia
Para Dewa-dewa.
Dari Periode sebelum kemunculan Dinasti (sekitar 6.000 – 3.150 SM) kepercayaan pada para dewa mendefinisikan budaya Mesir. Sebuah mitos penciptaan Mesir awal bercerita tentang Dewa Atum yang berdiri di tengah-tengah kekacauan yang berputar-putar sebelum munculnya waktu dan mengucapkan mantra penciptaan menjadi ada. Atum disertai oleh kekuatan abadi Heka (keajaiban), dipersonifikasikan dalam diri Dewa Heka dan oleh kekuatan spiritual lainnya yang akan menghidupkan dunia. Hekawas kekuatan purba yang merasuki alam semesta, menyebabkan semua hal bergerak seperti yang mereka kehendaki; yang juga menghadirkan nilai sentral Budaya Mesir, yaitu : Ma’at, harmoni, dan keseimbangan.
Semua dewa dan keseluruhan tanggung jawab mereka dikembalikan kepada Ma’at dan Heka. Matahari terbit dan terbenam sebagaimana mestinya dan bulan melakukan perjalanannya melintasi langit, musim datang dan pergi sesuai dengan keseimbangan dan keteraturan yang dimungkinkan karena kedua perantara ini. Ma’at juga dipersonifikasikan sebagai dewa, dewi bulu burung unta, yang atas namanya setiap raja menjanjikan (bersumpah) kemampuan dan pengabdian penuh pada rakyatnya. Raja dikaitkan dengan Dewa Horus dalam hal kehidupan dan Osiris dalam hal kematian berdasarkan mitos yang menjadi paling populer dalam sejarah Mesir.
Osiris dan saudara perempuannya, Isis, adalah raja asli yang memerintah dunia dan memberikan manusia hadiah peradaban. Saudara laki-laki Osiris, yaitu Seth, menjadi iri padanya dan membunuhnya namun ia dihidupkan kembali oleh Isis yang kemudian melahirkan putranya Horus. Namun, tugas Osiris belumlah lengkap, dan ia pun turun ke bawah memerintah dunia bawah sedangkan Horus, begitu ia beranjak dewasa, membalaskan dendam ayahnya dan mengalahkan Seth. Mitos ini menggambarkan bagaimana sebenarnya ketertiban (perdamaian) menang atas kekacauan dan akan menjadi motif utama yang bertahan dalam ritual rumah pemakaman, teks-teks dan seni keagamaan. Tidak ada periode di mana para dewa yang tidak memainkan peran integral dalam kehidupan sehari-hari orang Mesir dan ini jelas terlihat dari masa-masa awal dalam sejarah negara itu.
Kerajaan Lama.
Selama periode yang dikenal sebagai Kerajaan Lama (sekitar 2613-2181 SM), sejumlah pembangunan arsitektur yang menghormati para dewa berkembang dengan kemajuan yang meningkat dan beberapa monumen paling terkenal di Mesir, seperti Piramid dan Sphinx Agung di Giza. Raja Djoser, yang memerintah sekitar 2.670 SM, membangun Piramid bertingkat pertama di Saqqara sekitar 2.670, dirancang oleh kepala arsitek dan dokternya Imhotep (sekitar 2.667-2.600 SM) yang juga menulis salah satu teks medis pertama yang menjelaskan perawatan lebih dari 200 penyakit yang berbeda dan dengan alasan penyebab penyakit adalah alamiah, bukan kehendak dari dewa-dewa. Piramid Agung Khufu (bangunan terakhir dari tujuh keajaiban dunia kuno) dibangun pada masa pemerintahannya (2.589-2.566 SM) dengan Piramid Khafre (2.558-2.532 SM) dan Menkaure
(2.532-2.503 SM) selanjutnya.
Kemegahan Piramid di dataran tinggi Giza, seperti yang awalnya muncul, dilapisi batu kapur putih yang berkilau, adalah bukti kekuatan dan kekayaan para penguasa selama periode ini. Banyak teori mengemuka mengenai bagaimana sebenarnya monumen dan makam ini dibangun namun para arsitek dan sarjana modern masih jauh dari kata sepakat. Mempertimbangkan kemampuan teknologi saat itu, beberapa kalangan berpendapat, sebuah monumen seperti halnya
Piramid Agung Giza seharusnya tidak pernah ada. Namun, yang lain mengklaim bahwa keberadaan bangunan dan makam tersebut menunjukkan kemampuan teknologi superior yang telah hilang ditelan waktu.
Sama sekali tidak ada bukti monumen di dataran tinggi Giza – atau lainnya di Mesir – dibangun oleh tenaga kerja budak, demikian juga tidak ada bukti, yang mendukung pembacaan sejarah Kitab Eksodus (Keluaran). Kebanyakan sarjana terkemuka hari ini menolak klaim bahwa Piramid dan monumen lainnya dibangun oleh para buruh budak meskipun budak dari berbagai negara tentu saja ada di Mesir dan dipekerjakan secara teratur di tambang. Monumen Mesir dianggap sebagai pekerjaan umum yang dibuat untuk kepentingan negara yang menggunakan pekerja Mesir yang terampil maupun tidak terampil dalam proses konstruksi, yang semuanya dibayar untuk pekerjaan mereka. Para pekerja di situs Giza, sebagai contoh diantaranya, diberi jatah bir tiga kali sehari dan perumahan, peralatan, dan bahkan tingkat perawatan kesehatan mereka semuanya telah diatur dengan jelas.
Periode Menengah Pertama dan Kemunculan Bangsa Hyksos.
Era yang dikenal sebagai Periode Menengah Pertama (2.181-2.040 SM) terjadi penurunan kekuasaan pemerintah pusat setelah keruntuhannya. Sebagian besar distrik independen dengan gubernur mereka masing-masing dikembangkan di diseantero Mesir hingga akhirnya dua pusat kekuasaan besar muncul, yaitu :
Hierakonpolis di Mesir Hilir (bawah) dan Thebes di Mesir Hulu (atas).
Pusat-pusat kekuasaan ini mendirikan dinasti mereka sendiri yang memerintah daerah mereka secara independen dan sesekali bertempur satu sama lain untuk memperebutkan dominasi tertinggi hingga sekitar 2.040 SM ketika Raja Thebes Mentuhotep II (sekitar 2.061-2.010 SM) mengalahkan pasukan Hierakonpolis dan menyatukan Mesir di bawah kekuasaan Thebes.
Stabilitas politik yang diberikan oleh Pemerintahan Thebes memungkinkan berkembangnya Kerajaan Tengah (2.040-1.782 SM). Kerajaan Tengah dianggap sebagai “Jaman Klasik-nya” Mesir ketika seni dan budaya mencapai puncaknya dan Thebes menjadi kota paling penting dan terkaya di negara itu. Menurut sejarawan Oakes dan Gahlin,
“Raja-raja Dinasti ke-12 adalah penguasa kuat yang tidak hanya mengendalikan seluruh Mesir tetapi juga atas Nubia di wilayah selatan, di mana beberapa benteng dibangun untuk melindungi kepentingan perdagangan Mesir” [11].
Pasukan pertama yang berdiri, diciptakan selama Kerajaan Tengah oleh raja Amenemhat I (sekitar 1.991-1.962 SM), Kuil Karnak dimulai di bawah Senruset I (sekitar 1.971-1.926 SM), dan beberapa seni dan sastra terbesar peradaban ini dihasilkan. Namun Kekuasaan Dinasti ke-13 lebih lemah daripada Dinasti ke-12 dan terganggu oleh masalah internal yang membuat bangsa asing yang dikenal sebagai Bangsa Hyksos mendapatkan kekuasaan di Mesir Hilir (bawah) sekitar Wilayah Delta Sungai Nil.
Bangsa Hyksos adalah orang-orang yang misterius, kemungkinan besar berasal dari wilayah Syria / Palestina, yang pertama kali muncul di Mesir sekitar 1.800 SM dan menetap di Kota Avaris. Sedangkan nama-nama Raja Hyksos berasal dari Bahasa Semit, namun etnisnya tidak dapat dipastikan. Dinasti Hyksos tumbuh berkuasa hingga mampu mengendalikan sebagian besar Mesir Hilir (bawah) sekitar 1.720 SM, menjadikan Dinasti Thebes dari Mesir Hulu (atas) hampir tidak menjadi vassal (negara bawahan).
Era ini dikenal sebagai Periode Menengah Kedua (sekitar 1.782-1.570 SM). Sedangkan Hyksos (yang namanya berarti “penguasa asing”) dibenci oleh kebanyakan Orang Mesir, mereka memperkenalkan banyak sekali perbaikan pada Budaya Mesir seperti busur komposit (material campuran), kuda, dan kereta bersamaan dengan pola rotasi penanaman dan perkembangan karya perunggu serta keramik . Pada saat yang sama Hyksos mengendalikan pelabuhan-pelabuhan Mesir Hilir,
pada 1.700 SM Kerajaan Kush bangkit bergerak ke selatan Thebes di Nubia dan menguasai perbatasan itu. Orang-orang Mesir melakukan sejumlah kampanye militer mengusir Hyksos dan menaklukkan Orang-orang Nubia namun semua gagal sampai akhirnya pangeran Ahmose I dari Thebes (sekitar 1.570-1.544 SM) berhasil menaklukkan dan menyatukan negara di bawah pemerintahan Thebes.
Kerajaan Baru dan Periode Amarna.
Ahmose I memprakarsai Periode Kerajaan Baru (sekitar 1.570-1.069 SM) yang sekali lagi terjadi kemakmuran besar-besaran di tanah Mesir di bawah pemerintahan pusat yang kuat. Gelar penguasa Mesir, Fir’aun berasal dari Periode Kerajaan Baru; gelar raja sebelumnya hanya dikenal sebagai raja saja. Banyak penguasa Mesir yang terkenal saat ini memerintah selama periode ini dan sebagian besar struktur kuno seperti Ramesseum, Abu Simbel, Kuil Karnak dan Luxor, dan Makam Lembah Para Raja dan Lembah Para Ratu dibuat atau setidaknya begitu diintensifkan selama periode ini.
Antara 1.504-1.492 SM, Fir’aun Tuthmosis I mengkonsolidasikan kekuasaannya dan memperluas perbatasan Mesir ke arah Sungai Eufrat di sebelah utara, Suriah dan Palestina di sebelah barat, dan Nubia di sebelah selatan. Pemerintahannya dilanjutkan oleh Ratu Hatshepsut (1.479-1.458 SM) yang begitu giat memperluas perdagangan dengan negara-negara lain, terutama Tanah Punt. Pemerintahannya selama 22 tahun adalah masa perdamaian dan kemakmuran bagi Mesir.
Penerusnya, Tuthmosis III, menjalankan kebijakannya (meskipun ia mencoba untuk menghapus semua kenangannya [Hatshepsut] sebagai ratu, diperkirakan, ia tidak ingin wanita itu menjadi panutan bagi wanita lain karena hanya laki-lakilah yang dianggap layak untuk memerintah) dan, pada saat kematiannya pada 1.425 SM, Mesir adalah negara yang besar dan kuat.
Dampak Kemakmuran, antara lain, peningkatan pembuatan bir dalam berbagai varietas dan lebih banyak waktu luang untuk olahraga. Kemajuan dalam bidang pengobatan menyebabkan peningkatan kesehatan.
Budaya Mandi telah lama menjadi bagian penting dari gaya hidup sehari-hari Bangsa Mesir karena didorong oleh agama mereka dan dicontohkan oleh para pendeta mereka. Akan tetapi, pada saat periode ini, lebih banyak pemandian yang rumit, mungkin lebih untuk bersantai-santai saja daripada sekadar kebersihan belaka. Papirus Ginekologi Kahun, mengenai kesehatan dan kontrasepsi wanita, telah ditulis sekitar 1.800 SM dan, selama periode ini, tampaknya telah digunakan secara luas oleh dokter. Pembedahan dan kedokteran gigi dilakukan secara luas dan dengan keahlian yang mumpuni, dan bir diresepkan oleh para dokter untuk mengurangi gejala lebih dari 200 penyakit yang berbeda.
Pada tahun 1.353 SM, Fir’aun Amenhotep IV berhasil naik takhta dan, tak lama kemudian, mengubah namanya menjadi Akhenaten (“Roh hidup Sang Aten”) mencerminkan kepercayaannya pada satu dewa saja, yaitu Aten. Orang-orang Mesir, seperti disebutkan di atas, secara tradisional percaya pada banyak dewa yang kepentingannya memengaruhi setiap aspek kehidupan sehari-hari mereka. Di antara yang paling populer dari para dewa ini adalah Amun, Osiris, Isis, dan Hathor. Kultus Amun, pada saat ini, telah tumbuh sangat kaya sehingga para imam hampir sama kuatnya dengan Fir’aun. Akhenaten dan Ratunya, Nefertiti, meninggalkan kepercayaan agama tradisional dan adat istiadat Mesir dan melembagakan agama baru berdasarkan pengakuan satu tuhan.
Reformasi keagamaannya secara efektif memotong kekuasaan para Pendeta (pengikut) Amun dan menempatkannya hanya di tangannya. Dia memindahkan ibukota dari Thebes ke Amarna untuk menjauhkan kekuasaannya dari para pendahulunya. Ini dikenal sebagai Periode Amarna (1.353-1.336 SM) di mana Amarna tumbuh sebagai ibukota negara dan kebiasaan Agama Politeistis dilarang.
Di antara banyak capaian prestasinya, Akhenaten adalah penguasa pertama yang mengeluarkan keputusan patung dan kuil untuk menghormati ratunya, bukan hanya untuk dirinya sendiri atau para dewa dan penggunaan uang amal yang pernah disumbangkan ke kuil untuk pekerjaan umum dan taman. Kekuasaan para pendeta menurun tajam ketika pemerintah pusat berkembang, yang nampaknya memang menjadi tujuan Akhenaten, tetapi ia gagal menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan terbaik rakyatnya. Berdasarkan berita dari Surat-surat Amarna memperjelas dia lebih peduli dengan reformasi agamanya daripada kebijakan luar negeri ataupun kebutuhan rakyat Mesir.
Pemerintahannya diwariskan kepada putranya, penguasa Mesir yang paling populer di jaman modern, yaitu Tut-Ankh-Amun (Tutankhamun), yang memerintah dari sekitar Tahun 1.336-1.327 SM. Dia awalnya bernama “Tutankhaten” karena mencerminkan kepercayaan agama ayahnya, namun, dengan mempertimbangkan tahta, mengubah namanya menjadi “Tutankhamun” karena menghormati dewa kuno Amun.
Dia merestorasi kuil kuno, menghapus semua yang berkaitan dengan dewa tunggal ayahnya, dan mengembalikan ibukotanya ke Thebes. Pemerintahannya dipersingkat karena kematiannya (wafat pada usia 19 tahun) dan, hari ini, ia paling populer karena keagungan makamnya yang ditemukan masih utuh, ditemukan pada Tahun 1922 M oleh Howard Carter, yang menjadi sensasi internasional pada saat itu.
Akan tetapi, penguasa terbesar Kerajaan Baru adalah Ramses II (juga dikenal sebagai Ramses Agung, berkuasa 1.279-1.213 SM) yang memulai proyek pembangunan paling rumit diantara penguasa Mesir mana pun dan memerintah dengan sangat efisien sehingga ia memiliki sarana untuk mewujudkannya. Meskipun Pertempuran Kadesh yang terkenal Tahun 1.274 (antara Ramses II dari Mesir berhadapan dengan Muwatalli II dari Hitti) hari ini dianggap sebagai hasil yang imbang, Ramses menganggapnya sebagai kemenangan besar Mesir dan merayakan dirinya sebagai pemenang-nya rakyat, dan akhirnya dianggap sebagai dewa, dalam banyak karya publiknya.
Kuilnya Abu Simbel (dibangun untuk Ratunya Nefertari) menggambarkan pertempuran Kadesh serta kuil yang lebih kecil di situs itu, mengikuti contoh dari Akhenaten, Kuil ini didedikasikan untuk ratu kesayangan Ramses yaitu Nefertari. Di bawah pemerintahan Ramses II perjanjian damai pertama di dunia (Perjanjian Kadesh) ditandatangani pada Tahun 1.258 SM dan Mesir menikmati kemewahan yang hampir belum pernah terjadi sebelumnya, yang dibuktikan dengan jumlah monumen yang dibangun maupun direstorasi pada masa pemerintahannya.
Putra keempat Ramesses II, Khaemweset (sekitar 1.281-1.225 SM), dikenal sebagai “Egyptologis Pertama” karena upayanya melestarikan dan mencatat monumen tua, kuil, dan nama pemilik sebenarnya. Sebagian besar berkat inisiatif Khaemweset sehingga Nama Ramesses II begitu menonjol di kebanyakan situs kuno Mesir. Khaemweset meninggalkan catatan pencapaiannya sendiri, sebagai pembangun sebenarnya / pemilik monumen atau kuil, demikian juga nama ayahnya.
Ramesses II oleh generasi selanjutnya dikenal sebagai “Leluhur Agung” dan memerintah begitu panjang sehingga ia menghabiskan sebagian besar waktunya dengan anak-anak dan istri-istrinya. Belakangan, semua rakyatnya terlahir hanya mengetahui Ramses II sebagai penguasa mereka dan tidak memiliki kenangan yang lain. Dia menikmati kehidupan yang sangat panjang selama 96 tahun, usianya lebih dari dua kali lipat rata-rata harapan hidup Orang Mesir kuno. Setelah kematiannya, tercatat banyak yang takut akhir dunia telah datang karena mereka tidak mengenal Fir’aun lain selainnya dan tidak ada Mesir lain selain masa itu.
Kemunduran Mesir dan Kedatangan Alexander Agung.
Salah satu penerusnya, yaitu Ramesses III (1.186-1.155 SM), mengikuti kebijakannya namun, pada saat ini, kekayaan berlimpah Mesir telah menarik perhatian Masyarakat Maritim yang mulai melakukan serangan berkala di sepanjang pantai. Masyarakat Maritim, seperti halnya Bangsa Hyksos, juga tidak diketahui asal usulnya namun diduga mereka berasal dari daerah Aegea selatan. Antara 1.276-1.178 SM, Masyarakat Maritim adalah ancaman serius bagi keamanan Mesir. Ramesses II telah mengalahkan mereka dalam pertempuran laut di awal pemerintahannya seperti halnya penggantinya Merenptah (1.213-1.203 SM). Namun, setelah kematian Merenptah, mereka meningkatkan aksi militer, menaklukkan Kadesh, yang saat itu berada di bawah kendali Mesir, dan memporak-porandakan pantai. Antara 1.180-1.178 SM Ramses III melawan mereka, akhirnya mengalahkan mereka dalam Pertempuran Xois pada Tahun 1.178 SM.
Meneruskan masa pemerintahan
Ramses III, penggantinya berusaha mempertahankan kebijakannya namun semakin mendapat perlawanan dari rakyat Mesir, yang berada di wilayah taklukan, dan, khususnya, kelas imam.
Pada tahun-tahun setelah Tutankhamun mengembalikan Agama Amun yang lama, terutama selama masa kemakmuran yang berlimpah di bawah Pemerintahan
Ramses II, para Imam Amun telah memperoleh keistimewaan sebidang tanah yang luas dan mengumpulkan kekayaan berlimpah yang akhirnya mengancam pemerintah pusat dan mengganggu persatuan Mesir. Pada masa Ramses XI (1.107-1.077 SM), adalah akhir dari Dinasti ke-20, pemerintah telah menjadi begitu lemah karena kekuasaan dan korupsi para pendeta sehingga negara itu kembali retak dan administrasi pemerintahan pusat runtuh, yang kemudian memasuki Periode Menengah Ketiga sekitar 1.069-525 SM.
Di bawah Raja Kush, yaitu Piye
(752-722 SM), Mesir kembali bersatu dan kebudayaan berkembang, namun memasuki Tahun 671 SM, Orang-orang Assyria di bawah Kekuasaan Esarhaddon memulai invasi ke Mesir, menaklukkannya pada Tahun 666 SM di bawah penggantinya Ashurbanipal. Karena tidak membuat rencana jangka panjang mengendalikan negara itu (Mesir), Orang-orang Assyria meninggalkannya porak poranda di tangan penguasa setempat, meninggalkan Mesir dengan takdirnya. Akan tetapi, Mesir dibangun kembali dan dibentengi kembali, dan ini adalah keadaan negara itu sewaktu Cambyses II dari Persia menyerang Kota Pelusium pada Tahun 525 SM. Mengetahui tradisi dan adat istiadat penghormatan Orang Mesir terhadap kucing (yang dianggap perwujudan hidup Dewi Bastet yang populer) Cambyses II memerintahkan anak buahnya melukis kucing di atas perisai mereka, menjinakkan kucing, dan hewan lain yang disucikan dihadapan tentara Mesir, menuju Pelusium. Pasukan Mesir menyerah dan negara itu jatuh ke tangan Persia. Mesir tetap di bawah pendudukan Persia hingga kedatangan Alexander Agung pada Tahun 332 SM.
Alexander Agung disambut sebagai pahlawan pembebas dan menaklukkan Mesir tanpa perlawanan. Dia mendirikan Kota Alexandria dan bergerak menaklukkan Fenisia dan sisa Kekaisaran Persia. Setelah kematiannya pada Tahun 323 SM, jendralnya, Ptolemeus, membawa jenazahnya (Alexander Agung) kembali ke Kota Aleksandria dan mendirikan Dinasti Ptolemeus (323-30 SM). Penguasa terakhir dari Dinasti Ptolemeus adalah Cleopatra VII yang bunuh diri pada 30 SM setelah kekalahan pasukannya (dan para pengikut kekasihnya, yaitu Mark Antony) oleh orang-orang Romawi di bawah komando Octavianus Caesar pada Pertempuran Actium (31 SM). Mesir kemudian menjadi provinsi Roma (30 SM-476 M) kemudian tunduk pada Kekaisaran Bizantium (sekitar 527-646 M) hingga akhirnya ditaklukkan oleh Arab Muslim di bawah Khalifah Umar bin Khattab pada Tahun 646 M dan jatuh di bawah Pemerintahan Islam. Namun, kejayaan masa lalu Mesir ditemukan kembali pada abad ke-18 dan ke-19 Masehi dan telah berdampak besar pada pemahaman sejarah kuno dan dunia di masa kini. Sejarawan Will Durant mengungkapkan perasaan yang dirasakan oleh banyak kalangan :
“Dampak atau kenangan apapun yang dicapai Bangsa Mesir pada awal sejarah memiliki pengaruh di setiap bangsa dan jaman.” “Bahkan mungkin”, seperti yang dikatakan Faure,
“Mesir, dengan semangat solidaritas, persatuan, dan beragam karya artistiknya, sepanjang rentang waktu yang sangat panjang dan kekuasaan yang berkelanjutan, berkat kerja kerasnya, mempersembahkan tontonan terbesar peradaban yang belum pernah muncul di bumi.”
“Kami akan berusaha keras menyamainya.” [217]
Kebudayaan dan sejarah Mesir telah lama memancing daya tarik universal bagi setiap kalangan; baik itu melalui karya arkeolog awal di abad ke-19 M (seperti Champollion yang memecahkan Aksara Prasasti Rosetta Tahun 1822 M) ataupun penemuan Makam Tutankhamun yang terkenal oleh Howard Carter pada Tahun 1922 M. Kepercayaan Mesir kuno terkait kehidupan sebagai sebuah perjalanan abadi, diciptakan dan diatur oleh keajaiban ilahi, mengilhami kebudayaan dan keyakinan agama selanjutnya. Banyak ikonografi dan kepercayaan Agama Mesir menemukan jalannya pada agama baru Kristen dan banyak simbol mereka dikenali hari ini dengan sebagian besar makna yang sama. Ini adalah kesaksian penting bagi kekuatan peradaban Mesir sehingga begitu banyak karya imajinasi, dari film hingga buku, bahkan kepercayaan agama, telah dan terus diilhami oleh visinya yang luas dan mendalam mengenai alam semesta dan rumah umat manusia di dalamnya.
Profil Penulis.
Joshua J. Mark
Seorang penulis lepas dan mantan profesor paruh waktu Filsafat di Marist College, New York, Joshua J. Mark telah tinggal di Yunani dan Jerman dan melakukan perjalanan menjelajahi Mesir. Dia telah mengajar sejarah, penulisan, sastra, dan filsafat di tingkat perguruan tinggi.