Fatwapedia.com – Orang-orang Yahudi adalah yang pertama kali menebarkan racun di dalam agama Islam untuk memalingkan putra-putra Islam dari agama dan akidah yang lurus.
Dan adalah Abdullah bin Saba’ seorang Yahudi gembong munafik yang menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keislaman. Dia geram melihat Islam tersiar dan tersebar di jazirah Arab, di Imperium Romawi, negeri-negeri Persia sampai ke Afrika dan masuk jauh di Asia, bahkan sampai berkibar di perbatasan-perbatasan Eropa.
Ibnu Saba’ ingin menghadang langkah Islam supaya tidak mendunia. Karenanya, ia merencanakan makar bersama Yahudi San’a (Yaman) untuk mengacaukan Islam dan ummatnya. Mereka menyebarkan orang-orangnya termasuk Ibnu Saba’ sendiri ke berbagai wilayah Islam, termasuk ibukota Khalifah, Madinah. Mereka mulai menyulut fitnah dengan memprovokasi orang-orang lugu dan berhati sakit untuk menentang Khalifah Utsman Bin A’ffan. Pada waktu itu juga mereka memperlihatkan rasa cinta kepada Ali bin Abi Thalib .
Mereka mengaku sebagai pendukung kelompok Ali, padahal Ali tidak ada sangkut pautnya dengan mereka.
Fitnah ini terus menggelinding.
Mereka mencampur pemikiran mereka dengan akidah-akidah yang rusak. Dan mereka menyebut diri sebagai “Syiah Ali” (pendukung Ali), padahal Ali membenci mereka bahkan Ali sendiri telah menghukum mereka dengan siksaan yang pedih. Begitu pula putra-putra dari keturunan Ali membenci dan melaknat mereka. Tapi, kenyataan ini ditutup-tutupi serta kemudian diganti secara licik dan keji.
Pengakuan Tokoh-tokoh Besar Syiah
Seorang ‘Ulama Syiah pada abad ke-3 Hijriyah, Abu Muhammad Al-Hasan bin Musa An-Nubakhti mengatakan dalam kitabnya, “Abdullah bin Saba’ adalah orang yang menampakkan cacian kepada Abu Bakar, ‘Umar dan Utsman serta para sahabat, ia berlepas diri dari mereka dan mengatakan bahwa Ali telah memerintahkannya berbuat demikian. Maka Ali menangkapnya dan menanyakan tentang ucapannya itu. Ternyata ia mengakuinya, maka Ali memerintahkan untuk membunuhnya.
Orang-orang berteriak kepada Ali, “Wahai Amirul mukminin! Apakah Anda akan membunuh seorang yang mengajak untuk mencintai Anda, ahlul bait, keluarga Anda dan mengajak untuk membenci musuh-musuh Anda?” Maka Ali mengusirnya ke Madain (ibukota Iran waktu itu).
Dan sekelompok ahli ilmu dari sahabat Ali mengisahkan bahwa Ibnu Saba’ adalah seorang Yahudi lalu masuk Islam dan menyatakan setia kepada Ali. Ketika masih Yahudi ia berkata bahwa Yusa’ bin Nun adalah washi (penerima wasiat) dari Nabi Musa secara berlebihan.
Kemudian ketika Islamnya, setelah wafatnya Rasulullah, ia mengatakan tentang Ali sebagai penerima wasiat dari Rasulullah (sebagaimana Musa kepada Yusa’ bin Nun).
Dia adalah orang pertama yang menyebarkan faham tentang Imamah Ali, menampakkan permusuhan terhadap musuh-musuh Ali (yang tidak lain adalah para sahabat yang dicintai Ali) dan mengungkap para lawannya. Dari sanalah orang-orang di luar Syiah mengatakan bahwa akar masalah “Rafdh” (menolak selain Khalifah Ali) diambil dari Yahudi.
Ketika kabar kematian Ali sampai ke telinga Ibnu Saba’ di Madain dia berkata kepada yang membawa berita duka, “Kamu berdusta, seandainya engkau datang kepada kami dengan membawa (bukti) otaknya yang diletakkan dalam 70 kantong dan saksi sebanyak 70 orang yang adil, kami tetap meyakini bahwa dia (Ali) belum mati dan tidak terbunuh. Dia tidak mati sebelum mengisi bumi dengan keadilan.” Demikianlah ucapan orang yang dipercaya oleh semua orang Syiah dalam bukunya “Firaq Asy-Syiah” (hal. 43-44. Cet Al-Haidariyah, Najef 1379 H).
Kini setelah lebih dari seribu tahun sebagian pemimpin ulama Syiah mengingkari keberadaan sosok Ibnu Saba’ dengan tujuan supaya tidak terbongkar kebusukan mereka. Namun di sisi lain, banyak kitab-kitab Syiah yang mengukuhkan tentang keberadaan Ibnu Saba’ sebagai peletak batu pertama Syiah. Sebagian ulama Syiah kontemporer telah mengubah pola mereka dan mulai mengakui adanya tokoh Ibnu Saba’, setelah bukti tampak di depan mata mereka dan tidak bisa lagi mengelak. Mengelak harganya sangat mahal bagi mereka sebab konsekuensinya adalah menganggap cacat sumber-sumber agama mereka. Karena itu, Muhammad Husain Az-Zen seorang Syiah kontemporer mengatakan, “Bagaimanapun juga Ibnu Saba’ memang ada dan dia telah menampakkan sikap ghuluw (melampaui batas), sekalipun ada yang meragukannya dan menjadikannya tokoh dalam khayalan. Adapun kami sesuai dengan penelitian terakhir maka kami tidak meragukan keberadaannya dan ghuluwnya.” (Asy-Syiah wa At-Tarikh, hal. 213).