Fatwapedia.com – Diantara adab islam yang wajib diketahui dan diamalkan seorang muslim adalah adab mengantar jenazah ke pemakaman. Berikut ini adab-adab mengantar mayit berdasarkan dalil-dalil yang shahih.
1. Ketika mengiring jenazah tidak membawa dupa atau api
Para ahli fikih sepakat bahwa tidak boleh membawa api, baik dengan dupa
maupun lilin, kecuali jika dibutuhkan untuk penerangan. Diriwayatkan dari
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
لَا تُتْبَعُ الْجَنَازَةُ بِصَوْتٍ، وَلَا نَارٍ [1]
“Janganlah mengiringi jenazah dengan suara dan api”.
Di dalam sanadnya ada komentar. Namun dalil ini diperkuat, yang
dishahihkan oleh Amr bin Ash beliau berkata dalam wasiatnya :
فَإِذَا أَنَا مُتُّ فَلَا تَصْحَبْنِي نَائِحَةٌ، وَلَا نَارٌ [2]
“Ketika aku mati nanti janganlah disertai dengan wanita yang meratap
atau api.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia berkata ketika
menjelang kematiannya:
لَا تَضْرِبُوا عَلَيَّ فُسْطَاطًا، وَلَا تَتْبَعُونِي
بِمِجْمَرٍ(وفى رواية :بنار) [3]
“Janganlah kalian buatkan aku tenda di atas jenazahku, dan janganlah
mengiringi dengan membawa dupa (pada riwayat lain: api).
Diriwayatkan dari Abu Musa radhiallahu ‘anhu ia berwasiat ketika ajal
mendekatinya, berkata:
إِذَا انْطَلَقْتُمْ بِجِنَازَتِي فَأَسْرِعُوا الْمَشْيَ، وَلَا
يَتَّبِعُنِي مُجَمَّرٌ[4]
“Apabila kalian membawa jenazahku
maka percepatlah langkah kalian dan janganlah mengiringiku dengan membawa
dupa”.
2. Diam ketika mengiringi
jenazah
Tidak dibolehkan mengeraskan suara ketika membawa jenazah baik dzikir
maupun yang lain. Diriwayatkan dari Qais bin Ubad, ia berkata:
كَانَ أَصْحَاب رَسُول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ
يكْرهُونَ رفع الصَّوْت عِنْد الْجَنَائِز[5]
“Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka
mengeraskan suara ketika mengiring jenazah”.
Hal tersebut menyerupai kaum nashrani, karena mereka meninggikan
suaranya dalam puji-pujian dan menyanyikannya dalam ayat injil mereka.
Imam an-Nawawi berkata dalam al-Adzkar (hal. 203),
“Ketahuilah sebenarnya, yang dipilih oleh para salaf adalah diam ketika mereka
berjalan mengiringi jenazah, tidak ada suara keras dengan membaca al-Qur`an
ataupun Dzikir dan sebagainya. Hikmahnya adalah menenangkan pikiran dan agar
semuanya fokus terhadap jenazah, inilah yang di tuntut dan benar dalam perkara
tersebut. Jangan tertipu dengan banyaknya orang yang menyelisihi hal
ini.
Penulis berkata: Kebiasaan orang pada zaman sekarang mereka berdzikir di
depan jenazah dan salah satu dari mereka berkata, wahhidu, bagi yang
mengiringi jenazah dengan berjalan kaki, atau berkata, Isyhadu lahu
(lihatlah jenazah ini). Para fuqaha menetapkan ini adalah bid’ah[6]
Syeikh al-Albani Rahimahullah berkata,[7] “Suatu
perbuatan buruk bagi orang yang berjalan mengiringi jenazah dengan menggunakan
alat-alat musik di depan jenazah dengan nada kesedihan, seperti yang dilakukan
pada sebagian Negara Islam, mereka meniru perbuatan orang-orang
kafir”. Wallahu a’lam.
3. Pengiring jenazah tidak
boleh duduk sebelum jenazah diletakkan.
Diriwayatkan dari Abu Said radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُ الجَنَازَةَ، فَقُومُوا، فَمَنْ تَبِعَهَا فَلاَ
يَقْعُدْ حَتَّى تُوضَعَ[8]
“Apabila kalian melihat jenazah maka berdirilah, siapa yang
mengiringinya maka janganlah ia duduk hingga jenazah diletakan”.
Yang dimaksud dengan meletakkan adalah keranda diletakkan ke tanah, ada
yang mengatakan, hingga diletakkan ke liang lahad.
Disunnahkan berdiri hingga jenazah diletakkan. Pendapat ini menurut
kebanyakan para sahabat dan tabiin, seperti yang dinukil oleh Ibnu al-Mundzir
dan sependapat dengan perkataan Imam Auza’i, Ahmad, Ishaq dan Muhammad bin
Hasan dan pendapat ini dipilih oleh Imam Syafi’i[9]
Apakah berdiri ketika ada jenazah yang lewat:
Diriwayatkan dari Amir bin Rabiah, nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُ الجَنَازَةَ، فَقُومُوا حَتَّى تُخَلِّفَكُمْ (أَوْ
تُوضَعَ) [10]
“Apabila kalian melihat jenazah maka bedirilah hingga melewati
kalian (atau diletakan)”
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma ia berkata:
مَرَّ بِنَا جَنَازَةٌ، فَقَامَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقُمْنَا بِهِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا
جِنَازَةُ يَهُودِيٍّ، قَالَ: «إِذَا رَأَيْتُمُ الجِنَازَةَ، فَقُومُوا[11]
“Ada jenazah melintas di depan kami, kemudian Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam berdiri dan kami juga ikut berdiri, kemudian kami bertanya,
“Ya Rasulullah ini adalah jenazah yahudi”, kemudian Rasulullah menjawab,
“Apabila kalian melihat jenazah maka berdirilah”.”
Lafadz dari Sahal bin Hunaif dan Qais bin Said, “Bukankah ia juga
manusia?” [12]
Namun Mayoritas ulama dari empat imam mazhab dan
lainnya mengatakan bahwa hadits yang menerangkan tentang berdiri
untuk menghormati jenazah telah di mansukh dengan hadits yang diriwayatkan dari
Ali bin Abu Thalib ia berkata :
قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِجِنَازَةٍ
فَقُمْنَا، حَتَّى جَلَسَ فَجَلَسْنَا[13]
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bediri ketika ada
jenazah, kami pun berdiri, kemudian Rasulullah duduk, kami pun duduk”.
ثم جلس بعد ذلك و أمرنا بالجلوس [14]
Dalam redaksi lain: “kemudian beliau duduk setelah itu dan
memerintahkan kami duduk”
Ibnu Hazm, Ibnu Habib, Ibnu al-Majisun dari golongan Malikiyah, sebagian
Madzhab Syafiiyah dan Imam an-Nawawi berpendapat bahwa duduknya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam setelah memerintahkan berdiri adalah menjelaskan
hal tersebut boleh, anjuran. Nasakh tidak dilakukan kecuali jika tidak bisa
digabungkan, dan hal ini memungkinkan.
[1] Hadits
Riwayat: Abu Daud (3171), Ahmad (2/427), Ahkaml Janaiz (hal 91). Albani
menguatkan dalil itu
[2] Hadits Riwayat: Muslim (121), Ahmad
(4/199)
[3] Hadits Riwayat: Ahmad (2/292). Sanadnya
shahih
[4] Hadits Riwayat: Ibnu Majah (1487)
Ahmad (4/397), Al-Baihaqi (3/395). Sanadnya Hasan
[5] Hadits
Riwayat: Al-Baihaqi (4/74), Ibnu Mubarak dalam bab Zuhud (83). Perawinya
terpercaya
[6] Ibnu
Abidin (1/607), Syarh Shaghir (1/229), Mughnil Muhtaj (1/247).
[7] Ahkamul
Janaiz (hal: 92), Maarif (1412 H- 1992 M)
[8] Hadits
Riwayat: Al-Bukhari (1310) , Muslim (959)
[9] Fathul
Bari (3/213), Al-Majmu’ (5/280), Al-I’tibar lil Hazimi (hal: 138)
[10] Hadits
Riwayat: Al-Bukhari (1307), Muslim (958)
[11] Hadits
Riwayat: Al-Bukhari (1311), Muslim (960)
[12] Hadits
Riwayat: Al-Bukhari (1312), Muslim (961)
[13] Hadits
Riwayat: Muslim (926) Ibnu Majah (1544), Ahmad (1/13)
[14] Hadits
Riwayat: Ahmad (1/82), Attahawi (1/282), liat bab Ahmaul Janaiz (hal : 101).
Albani menilainya baik.