Fatwapedia.com – Sebagian Ustâdz dalam ceramah-ceramah mereka cukup sering mengungkapkan bahwa Al-Qurân tidak memiliki variasi sama sekali. Kita mungkin sering mendengar sebagian Ustâdz mengatakan bahwa tidak ada perbedaan satu huruf pun di dalam Al-Qurân, bahkan sampai titik koma nya pun tidak berbeda.
Pernyataan seperti itu, benar apabila dilihat dari satu sisi, namun akan menimbulkan kontradiksi apabila dilihat dari sisi yang lain. Tentu saja, kebanyakan pernyataan seperti itu atau yang serupa dengannya lahir dari ketidaktahuan. Karena bagi orang yang sudah mengetahui variasi bacaan Al-Qurân, tidak akan memutlakkan pernyataan demikian.
Benarnya pernyataan tersebut apabila dilihat dan ditimbang dari salah satu riwâyah. Maksudnya setiap Al-Quran dalam satu riwâyah yang sama, maka tidak akan ditemukan perbedaan lafazh dan cara bacanya, kecuali sebagian masalah tajwid saja. Misalnya riwâyah Hafsh, maka di seluruh dunia, tidak akan ditemukan perbedaan satu huruf pun untuk Al-Qurân yang diriwayatkan oleh Hafsh.
Namun demikian, yang penting untuk kita pahami adalah bahwa Al-Qurân yang sampai kepada kita tidak hanya diriwayatkan oleh satu orang Al-Imâm Hafsh semata. Bahkan, apabila kita menarik garis lebih jauh lagi pada masa turunnya Al-Qurân, maka telah shahih riwâyah yang menyebutkan bahwa Al-Qurân diturunkan dengan 7 huruf. Misalnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imâm Al-Bukhâriy, setelah menceritakan perselisihan antara ‘Umar dan Hisyam, maka di akhir haditsnya Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Sesungguhnya Al-Qurân ini diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang mudah darinya.”
Artinya sejak awal diturunkan, Al-Qurân sudah memiliki 7 variasi berbeda. Para ulama memang memiliki tafsir yang berbeda atas makna hakiki dari 7 huruf. Namun, seluruh ulama kaum muslimin sepakat bahwa variasi bacaan, lafazh, dialek, atau rasm (penulisan), merupakan bagian dari 7 huruf yang diturunkan oleh Allâh ﷻ.
Pada masa Kekhalifahan ‘Utsmân bin ‘Affân, terjadi perselisihan sebagian kaum muslimin akibat perbedaan cara membaca dan sebagian lafazh Al-Qurân, kemudian para sahabat Nabi memutuskan dan sepakat untuk menyeragamkan bacaan kaum muslimin, dalam artian setiap wilayah kaum muslimin diajarkan satu jenis bacaan yang disepakati keshahihannya.
Oleh karena itu, Sayyidinâ ‘Utsmân kemudian mengutus Zayd bin Tsâbit untuk menyeleksi bacaan yang shahîh, sambil didampingi oleh para ahli qiraat di kalangan sahabat. Bacaan yang disepakati keshahihannya maka ia diterima dan boleh diamalkan dalam bacaan sehari-hari. Adapun bacaan yang tidak disepakati keshahihannya maka bacaan tersebut tidak boleh diamalkan dalam bacaan sehari-hari.
Pada saat itu, terkumpul setidaknya 7 variasi bacaan yang disebar ke 7 wilayah kaum muslimin. Setiap wilayah dikirimkan mushaf yang akan menjadi pegangan masyarakatnya dalam membaca Al-Qurân, dan beriringan dengan itu, juga diutus ulama yang akan membimbing masyarakatnya berdasarkan versi bacaan tersebut sambil menjelaskan bahwa Al-Qurân diturunkan dengan 7 huruf dan apa yang dipelajari masyarakat tersebut hanya salah satunya saja, sehingga mereka memahami bahwa di luar sana ada bacaan lain yang dipelajari dan diamalkan.
Adapun menurut sebagian ulama yang lain, bacaan yang terseleksi kemudian hanya terkumpul pada 6 mushaf saja, sebagai berikut:
- Mushaf Makkiy (Mekkah), qâri-nya Abdullâh bin As-Sâ`ib (w. 70 H)
- Mushaf Syâmiy (Syâm), qâri-nya Al-Mughîrah bin Abi Syihâb (w. 91 H)
- Mushaf Bashriy (Bashrah), qâri-nya ‘Amr bin ‘Abdil Qays (w. 60 H)
- Mushaf Kufiy (Kufah), qâri-nya Abû Abdirrahmân As-Sulamiy (w. 74 H)
- Mushaf Madaniy (Madinah), qâri-nya Zayd bin Tsâbit (w. 42 H)
- Mushaf Imâm (Madinah), qâri-nya ‘Utsmân bin ‘Affân (w. 35 H)
Sedangkan mushaf lainnya yang para ulama berbeda pendapat adalah mushaf yang dikirimkan ke Yaman dan mushaf yang dikirimkan ke Bahrain.
Pada perkembangan berikutnya, terdapat sekelompok tâbi’în (murid-murid para sahabat) yang tekun dalam mempelajari variasi bacaan Al-Qurân yang ada. Mereka tidak mencukupkan diri pada versi bacaan yang dipelajari dan diamalkan di wilayahnya semata. Mereka pun mempelajari versi bacaan lain sehingga mereka menguasai beberapa versi bacaan sekaligus. Jumlah mereka pun sangat banyak. Sampai-sampai dalam kitab Al-Kâmil disebutkan pada masa tersebut dan juga pada masa setelahnya terdapat kurang lebih 50 ahli qiraat yang menjadi rujukan kaum muslimin.
Namun demikian, dari 50 ahli qiraat tersebut, tidak seluruhnya disepakati sebagai orang yang tsiqah (terpercaya secara hakiki), sebagian di antara qari tersebut dinilai memiliki kelemahan, baik dari sisi hapalan, kekuatan bahasa, ataupun kemampuan dalam memilah lafazh, sehingga tidak menutup kemungkinan terdapat kekeliruan dalam sebagian pelafalan, dialek, atau lafazh yang mereka riwayatkan. Padahal Al-Qurân sejatinya tidak boleh terjadi perubahan sedikitpun, baik perubahan pelafalan, dialek, apalagi perubahan lafazh.
Oleh karena itu, para ulama peneliti mulai kembali menyeleksi variasi bacaan tersebut. Dari 50 ahli qiraat yang masyhur (terkenal), ternyata hanya didapati 7 orang saja yang disepakati memenuhi syarat-syarat periwayatan Al-Qurân. Di antara poin yang menjadi timbangan dalam seleksi tersebut adalah:
- Kehshahihan riwâyah,
- Kesesuaian dengan rasm (tulisan) pada mushaf yang disebarkan oleh Sayyidinâ ‘Utsmân, dan
- Kesesuaian dengan kaidah nahwu (gramatika bahasa Arab).
Ketujuh ahli qiraat tersebut merupakan 7 imam yang bacaannya dikenal dengan qiraat as-sab’ (qiraat 7). Namun, pada masa berikutnya, kembali dilakukan seleksi yang dilakukan oleh para ulama, di antaranya adalah oleh ahli qiraat pada abad ke-8 Hijriyyah, yakni Al-Imâm Muhammad Ibn Al-Jazariy. Beliau berhasil menemukan 3 ahli qiraat yang bacaannya ternyata memenuhi kriteria bacaan yang diterima, sehingga beliau pun menetapkan bahwa bacaan 3 imam ini sama kedudukannya dengan imam yang 7. Bacaan yang diamalkan dan diajarkan sepuluh imam tersebut dikenal dengan istilah qiraat al-‘asyr (qiraat 10). Mereka adalah:
1. Al-Imâm Nâfi’ (Madinah),
2. Al-Imâm Ibn Katsîr (Mekkah),
3. Al-Imâm Abû ‘Amr (Bashrah),
4. Al-Imâm Ibn ‘Âmir (Syâm),
5. Al-Imâm ‘Âshim (Kufah),
6. Al-Imâm Hamzah (Kufah),
7. Al-Imâm Al-Kisâ’iy (Kufah),
8. Al-Imâm Abû Ja’far (Madinah),
9. Al-Imâm Ya’qub (Bashrah), dan
10. Al-Imâm Khalaf (Kufah).
Kesepuluh imam qiraat tersebut menguasai ragam variasi bacaan dan lafazh-lafazhnya yang shahîh, yang berasal dari 7 huruf yang diturunkan Allâh ﷻ. Mereka memilah dan memilih dari 7 huruf yang diajarkan kepada mereka, mana yang paling fasih dan dinilai paling sesuai dengan gramatika bahasa Arab, sehingga mereka memiliki kekhasan sendiri, sehingga di antara mereka terdapat perbedaan pelafalan, dialek, hingga lafazhnya. Namun, karena kesepuluh imam ini telah disepakati keshahihannya maka siapapun kaum muslimin yang membaca Al-Qurân dengan cara baca salah satu dari imam tersebut, maka boleh dan sah, para ulama telah sepakat akan hal ini.
Hanya saja, dalam perkembangan berikutnya, kaum muslimin kebanyakan mengamalkan bacaan Al-Qurân yang diamalkan salah satu imam tersebut, yakni bacaan Al-Imâm ‘Âshim yang diajarkan kepada salah satu muridnya dan juga anak tiru beliau, Al-Imâm Hafsh. Sedangkan di belahan dunia yang lain, misalnya di Maroko, mereka mengamalkan bacaan Al-Imâm Nâfi’, yang diajarkan kepada dua murid terbaik beliau, Al-Imâm Warsy dan Al-Imâm Qâlûn. Sebagian lagi ada juga yang mengamalkan bacaan Al-Imâm Abû ‘Amr yang diajarkan kepada salah satu murid terbaik beliau, Al-Imâm Ad-Dûriy. Adapun bacaan-bacaan yang lain memang tidak terlalu intens diamalkan dalam bacaan sehari-hari kecuali oleh para penuntut ilmu dan ulama ahli qiraat saja.
Dengan penjelasan ini, semoga kita bisa memahami bahwa bacaan Al-Qurân tidak hanya memiliki satu variasi bacaan saja, melainkan memiliki beberapa versi yang berbeda, dan apabila kita menemukan mushaf atau mendengar seseorang membaca Al-Qurân dengan pelafalan yang tidak sama dengan apa biasa kita amalkan, jangan tergesa-gesa untuk memvonisnya keliru atau sesat. Karena sangat mungkin bacaan tersebut adalah bacaan yang shahîh dari para ulama ahli qiraat yang sepuluh. Seluruh variasi bacaan yang berasal dari qiraat 10 telah terbukti keshahihannya dan boleh diamalkan dalam bacaan sehari-hari, di dalam ataupun di luar shalat. Yang terpenting sebelum kita mengamalkannya, kita mempelajari terlebih dahulu kaidah-kaidahnya yang telah tercatat dalam kitab-kitab ilmu qiraat. Wallâhu a’lam.