Al Quran Ungkap Fakta Meteor adalah Bintang Pelempar Syaitan


Oleh: Nur Fajri Romadhon 

Fatwapedia.com – Bintang meteor adalah fenomena langit yang terjadi ketika meteoroid (partikel kecil seperti debu atau batu-batuan yang mengorbit Matahari di tata surya kita) memasuki atmosfer Bumi dan memancarkan cahaya terang saat terbakar akibat gesekan dengan atmosfer. Cahaya yang dipancarkan oleh meteor biasanya terlihat seperti bintang jatuh atau streak of light di langit malam.

Pertanyaan: Di dalam Al-Qur’an, di surat Al-Mulk, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاۤءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيْحَ وَجَعَلْنٰهَا رُجُوْمًا لِّلشَّيٰطِيْنِ وَاَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيْرِ

“Dan sungguh, telah Kami hiasi langit yang dekat, dengan lampu-lampu penerang (mashaabiih) dan Kami jadikan ia (lampu-lampu penerang itu) sebagai alat-alat pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka azab neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al-Mulk: 5)

Di sini Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan bintang dijadikan alat pelempar setan. Bagaimana bisa bintang menjadi alat pelempar setan sementara ukuran bintang sangatlah besar? Bagaimana bisa sementara jumlah bintang tak berkurang? Apalagi konon meteor (baik meteor shower maupun random meteor) itulah peristiwa pelemparan setan yang dimaksud. Bagaimana demikian sementara meteor  bahkan bukanlah bintang dan bukan pula berasal dari serpihan bintang?

Jawaban:

Adalah benar bahwa Allah berfirman demikian. Tak hanya di ayat tersebut, Dia subhanahu wa ta’ala juga berfirman di sejumlah ayat lainnya semisal:

… وَزَيَّنَّا السَّمَاۤءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيْحَۖ وَحِفْظًا ۗذٰلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِ


“… Kami hiasi dengan lampu-lampu (mashaabiih), dan (Kami ciptakan itu) untuk memelihara. Demikianlah ketentuan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui.”
(QS. Fushshilat: 12)

Di lain ayat Allah subhanahu wa ta’ala pun berfirman:

اِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاۤءَ الدُّنْيَا بِزِيْنَةِ ِۨالْكَوَاكِبِۙ * وَحِفْظًا مِّنْ كُلِّ شَيْطٰنٍ مَّارِدٍۚ * لَا يَسَّمَّعُوْنَ اِلَى الْمَلَاِ الْاَعْلٰى وَيُقْذَفُوْنَ مِنْ كُلِّ جَانِبٍۖ * دُحُوْرًا وَّلَهُمْ عَذَابٌ وَّاصِبٌ * اِلَّا مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَاَتْبَعَهٗ شِهَابٌ ثَاقِبٌ *

“Sesungguhnya Kami telah menghias langit dunia (yang terdekat), dengan hiasan kawkab-kawkab (planet/bintang). Dan (Kami) telah menjaganya dari setiap setan yang durhaka, mereka (setan-setan itu) tidak dapat mendengar (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru, untuk mengusir mereka dan mereka akan mendapat azab yang kekal, kecuali (setan) yang mencuri (pembicaraan); maka ia dikejar oleh bintang yang menyala.” (QS. Ash-Shaaffaat: 6-10)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ جَعَلْنَا فِى السَّمَاۤءِ بُرُوْجًا وَّزَيَّنّٰهَا لِلنّٰظِرِيْنَۙ * وَحَفِظْنٰهَا مِنْ كُلِّ شَيْطٰنٍ رَّجِيْمٍۙ * اِلَّا مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ فَاَتْبَعَهٗ شِهَابٌ مُّبِيْنٌ *

“Dan sungguh, Kami telah menciptakan gugusan bintang di langit dan men-jadikannya terasa indah bagi orang yang memandang(nya), dan Kami menjaganya dari setiap (gangguan) setan yang terkutuk, kecuali (setan) yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dikejar oleh semburan api yang terang.” (QS. Al-Hijr: 16-18)

Sebelum penjelasan berlanjut, ada hal penting terkait memahami istilah di ayat-ayat tadi. Berbeda dengan bahasa Arab modern di bidang astronomi hari ini yang merinci sebutan najm (نَجْمٌ) untuk bintang, kawkab (كَوْكَبٌ) untuk planet, nayzak (نَيْزَكٌ) untuk meteor, dan mudzannab (مُذَنَّبٌ) untuk komet, dalam bahasa Arab terfasih yang Al-Qur’an diturunkan dengannya bintang, planet, meteor, komet, dan objek langit lainnya di langit, baik yang merupakan sumber cahaya atau pun yang bukan, disebut dengan najm dan kawkab. Perhatikanlah bagaimana Al-Imam Sa’id bin Jubair (w. 714 M), salah seorang tabi’in terkemuka, pernah bertanya pada murid-murid beliau:

أَيُّكُمْ رَأَى الْكَوْكَبَ الَّذِي انْقَضَّ الْبَارِحَةَ؟

“Siapakah di antara kalian yang melihat “kawkab” (meteor) yang jatuh dengan cepat semalam?” (HR. Muslim no. 374)[1]

Al-Imam Al-Khalil bin Ahmad Farahidi (w. 791 M), penulis kamus bahasa Arab paling pertama, mengatakan:

وَكُلُّ مَنْزِلٍ مِنْ مَنَازِلِ الْقَمَرِ سُمِّيَ نَجْمًا. وَكُلُّ كَوْكَبٍ مِنْ أَعْلَامِ الْكَوَاكِبِ يُسَمَّى نَجْمًا

“Semua rasi bintang disebut najm dan semua planet disebut dengan najm.”[2]

Al-Imam Az-Zabidi (w. 1790 M), penulis kamus bahasa Arab paling tebal, mengatakan:

الْكَوْكَبُ: (النَّجْمُ) … كُلٌّ مِنْهُمَا يُطْلَقُ عَلَى الْآخَرِ

“Kaukab adalah najm, masing-masing istilah ini saling menggantikan dalam penggunaan.”[3]

Penggunaan istilah najm/kawkab dalam bahasa Arab seperti ini diakui juga oleh sejumlah peneliti modern yang mengatakan: “Besides planets and stars, both words (najm & kawkab) were also used to identify strange celestial bodies such as comets and meteors.”[4]

Memang demikianlah akar kata najm (ن-ج-م) digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang muncul/nampak, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Faris (w. 1004 M)ː

النُّوْنُ وَالْجِيْمُ وَالْمِيْمُ أَصْلٌ صَحِيْحٌ يَدُلُّ عَلَى طُلُوْعٍ وَظُهُوْرٍ

“menunjukkan makna ‘muncul dan nampak’”[5]

Dari sinilah, tumbuhan pun ada yang diistilahkan sebagai “najm” sebagaimana di surat Ar-Rahman ayat ketujuh[6].

Konsep meteor menurut Al-Qur’an tidaklah bertentangan dengan konsep sains sebagaimana dijelaskan oleh  Jabir bin Hayyan (w. 815 M), saintis besar dari kalangan tabi’ut tabi’in:

عُكِسَتْ الرُّطٌوْبَةُ رَاجِعَةً، فَانْقَدَحَ بِالْهَوَاءِ اشْتِعَالًا بَيْنَ الْحَرَارَةِ وَالْهَوَاءِ نَارًا آكِلَةً لِتِلْكَ الرُّطُوْبَةِ الَّتِيْ فِيْهِ فَكَانَ يُسَمَّى انْقِضَاضَ الْكَوَاكِبِ

“Batu dingin nan lembab terbakar di atmosfer sehingga memunculkan kobaran api yang menghabiskan batu tersebut, karenanya disebut jatuhnya kawkab.”[7]

Hal ini bukan karena Allah tidak tahu bedanya planet, bintang, dan peristiwa/objek langit lainnya secara mendetail, tetapi demikianlah secara bahasa, orang Arab menyebutnya sama, maka Allah yang menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab yang mubiin (nyata/jelas) menggunakan istilah yang sama. Hal ini berlaku dalam banyak istilah dan penamaan dalam Al-Qur’an. Meski cukup sering pula Allah menambahkan isyarat informasi tentang hakikat benda tersebut. Semisal di kasus meteor ini Allah tambahkan informasi bahwa ia merupakan batu (dengan ungkapan rujuuman) dan penjelasan salah satu fungsinya (pelempar setan) yang tak identik dengan bayangan sederhana bangsa Arab saat itu.

Kembali ke ayat-ayat tadi, kesemuanya ternyata sudah ditafsirkan di antaranya dengan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (w. 632 M):

إِذَا قَضَى اللَّهُ الأَمْرَ فِي السَّمَاءِ، ضَرَبَتِ المَلاَئِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ، كَأَنَّهُ سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ، فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا: مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا لِلَّذِي قَالَ: الحَقَّ، وَهُوَ العَلِيُّ الكَبِيرُ، فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُ السَّمْعِ، وَمُسْتَرِقُ السَّمْعِ هَكَذَا بَعْضُهُ فَوْقَ بَعْضٍ – وَوَصَفَ سُفْيَانُ بِكَفِّهِ فَحَرَفَهَا، وَبَدَّدَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ – فَيَسْمَعُ الكَلِمَةَ فَيُلْقِيهَا إِلَى مَنْ تَحْتَهُ، ثُمَّ يُلْقِيهَا الآخَرُ إِلَى مَنْ تَحْتَهُ، حَتَّى يُلْقِيَهَا عَلَى لِسَانِ السَّاحِرِ أَوِ الكَاهِنِ، فَرُبَّمَا أَدْرَكَ الشِّهَابُ قَبْلَ أَنْ يُلْقِيَهَا، وَرُبَّمَا أَلْقَاهَا قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُ، فَيَكْذِبُ مَعَهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ، فَيُقَالُ: أَلَيْسَ قَدْ قَالَ لَنَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا: كَذَا وَكَذَا، فَيُصَدَّقُ بِتِلْكَ الكَلِمَةِ الَّتِي سَمِعَ مِنَ السَّمَاءِ

“Saat Allah memutuskan suatu perkara di langit, malaikat pun merendahkan sayapnya karena tunduk pada perintah Allah. Firman Allah yang mereka dengarkan itu seolah-olah seperti suara gemerincing rantai di atas batu halus. Suara ini memekakkan mereka. Hingga apabila rasa takut telah dihilangkan dari hati mereka, mereka mengucapkan, ‘Apa gerangan yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?’ Mereka menjawab, ‘Firman yang benar, sedang Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.’

Sementara itu setan-setan (istilah setan paling sering dimaksudkan untuk jin jahat) penyadap berita itu pun mendengarkan berita itu. Para penyadap berita itu posisinya saling tindih-menindih (Sufyan bin ‘Uyainah (w. 814 M), salah satu periwayat, menggambarkannya dengan memiringkan telapak tangannya dan merenggangkan jari-jemarinya). Jika setan yang di atas mendengar berita itu, maka segera disampaikan kepada setan yang berada di bawahnya. Kemudian yang lain juga menyampaikan kepada setan yang berada di bawahnya hingga sampai kepada tukang sihir dan dukun.”

“Kadangkala setan penyadap berita itu terkena sambaran suluh api sebelum sempat menyampaikan berita itu. Terkadang pula setan itu bisa menyampaikan berita itu sebelum terkena sambaran suluh api. Lalu dengan berita yang didengarnya itulah tukang sihir atau dukun membuat 100 kedustaan. Karenanya, orang-orang yang mendatangi tukang sihir atau dukun pun kelak akan mengatakan, “Bukankah pada hari ini dan itu, dia telah mengabarkan kepada kita bahwa akan terjadi demikian dan demikian?” Akibatnya, tukang sihir dan dukun itu pun dipercaya hanya karena satu kalimat tadi yang telah didengarnya dari langit.” (HR. Al-Bukhari no. 4800)[8]

Dalam riwayat lain, ada tambahan kisah di awalnya sebelum Rasulullah bersabda demikian. Ibnu ‘Abbas (w. 687 M) radhiyallahu ‘anhuma menghikayatkan:

بَيْنَمَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ فِي نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ إِذْ رُمِيَ بِنَجْمٍ فَاسْتَنَارَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ لِمِثْلِ هَذَا فِي الجَاهِلِيَّةِ إِذَا رَأَيْتُمُوهُ؟ قَالُوا: كُنَّا نَقُولُ: يَمُوتُ عَظِيمٌ أَوْ يُولَدُ عَظِيمٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَإِنَّهُ لاَ يُرْمَى بِهِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ رَبَّنَا عَزَّ وَجَلَّ إِذَا قَضَى أَمْرًا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika duduk bersama sekelompok Shahabat beliau. Tetiba nampak ada najm (serpihan planet) yang besar dilempar (nampak meteor besar) hingga bercahaya terang. Rasulullah lalu bersabda: “Apa yang dahulu biasa kalian katakan jika terjadi semisal peristiwa ini di masa Jahiliyyah?”

Berkata salah satu Shahabat: Kami dahulu mengatakan ‘Seorang yang besar sedang dilahirkan atau wafat.’

Rasulullah menimpali: “Sungguh ia tidaklah terjadi karena wafat atau lahirnya seseorang, akan tetapi Rabb kita …dst (sebagaimana dalam riwayat Al-Bukhari di atas).” (HR. At-Tirmidzi no. 3224)[9]

Di dua hadis ini, jelas Rasulullah menafsirkan beberapa hal:

1. Apa yang dimaksud dengan setan pencuri berita

2. Bagaimana mekanisme penyadapan berita langit itu

3. Bagaimana Allah menjaga berita langit dari penyadapan

4. Apa yang menyambar para setan tersebut

5. Bagaimana ia menyambar

6. Kelirunya mitos kaum Jahiliyyah (bahkan termasuk peradaban non-Arab pra-Islam) terkait hujan meteor

Jelaslah bahwa bukanlah yang Allah dan Rasul-Nya maksud bahwa planet sebesar itu digunakan untuk melempar para jin penyadap berita langit. Akan tetapi meteorid yang utamanya merupakan serpihan asteroid (yang merupakan serpihan planet atau sisa-sisa bahan pembentukan planet)[10] dan juga terkadang berasal dari serpihan planet, satelit, dan komet[11].

Al-Hafidzh Ibnu Katsir (w. 1373 M) mengatakan:

لَا يُرْمَى بِالْكَوَاكِبِ الَّتِيْ فِيْ السَّمَاءِ، بَلْ بِشُهُبٍ مِنْ دُوْنِهَا، وَقَدْ تَكُوْنُ مُسْتَمَدَّةُ مِنْهَا

“Bukanlah maksudnya planet-planet di langit yang digunakan melempar setan,akan tetapi semburan-semburan api selain bintanglah yang dilempar. Boleh jadi sambaran-sambaran suluh api itu berasal dari planet.”[12]

Al-Imam Al-Khazin (w. 1341 M) mengatakan:

لَيْسَ الْمُرَادُ أَنَّهُمْ يُرْمَوْنَ بِأَجْرَامِ الْكَوَاكِبِ بَلْ يَجُوْزُ أَنْ تَنْفَصِلَ مِنَ الْكَوَاكِبِ شُعْلَةٌ وَتُرْمَى الشَّيَاطِيْنُ بِتِلْكَ الشُّعْلَةُ وَهِيَ الشُّهُبُ

“Tidaklah dimaksudkan bahwa para jin tersebut dilempar dengan planet-planet secara utuh, tetapi mungkin saja terserpih dari planet-planet tersebut suatu kobaran api yang melempar para jin dengannya dan inilah yang disebut dengan syihab (semburan api).”[13]

Menariknya, Al-Qur’an menyebut peristiwa ini sebagai rajam (pelemparan batu), bukan pembakaran, meski memang pada akhirnya batu ini berubah menjadi sambaran suluh api. Ini sebagaimana kenyataan sains hari ini, terbukti meteorid merupakan batu. Al-Imam Asy-Syaukani (w. 1839 M) menjelaskan:

وَالرَّجْمُ فِي اللُّغَةِ هُوَ الرَّمْيُ بِالْحِجَارَةِ

“Rajam (rujuuman) secara bahasa artinya lemparan dengan batu.”[14]

Penting diingat bahwa dalam bahasa Arab, adalah normal menyebutkan sesuatu secara keseluruhan padahal yang dimaksud hanyalah sebagian (majaz mursal ‘alaaqatuhu kulliyyah), termasuk dalam kasus planet ini, maksudnya asteroid (serpihan planet), sebagaimana dibahas khusus oleh Al-Jahidzh (w. 869 M), seorang saintis era Abbasiyah, kala mengatakan:

قَدْ يُحَرِّكُ الْإِنْسَانُ يَدَهُ أَوْ حَاجِبَهُ أَوْ إِصْبِعَهُ، فَتُضَافُ تِلْكَ الْحَرَكَةُ إِلَى كُلِّهِ. فَلَا يَشُكُّوْنَ أَنَّ الْكُلَّ هُوَ الْعَامِلُ لِتِلْكَ الْحَرَكَةِ. وَمَتَى فُصِلَ شِهَابٌ مِنْ كَوْكَبٍ، فَأَحْرَقَ وَأَضَاءَ فِيْ جَمِيْعِ الْبِلَادِ، فَقَدْ حَكَمَ كُلُّ إِنْسَانٍ بِإِضَافَةِ ذَلِكَ الْإِحْرَاقِ إِلَى الْكَوْكَبِ… وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ: إِنَّهُ يَجِبُ فِيْ قَوْلِهِ: وَجَعَلْنَاهَا رُجُوْماً لِلشَّيَاطِيْنِ أَنَّهُ يَعْنِيْ الْجَمِيْعَ.

“Seseorang boleh saja menggerakkan tangannya, bulu matanya, atau jarinya, lantas gerakan itu disandarkan kepada dirinya secara utuh. Padahal tidak ada seorang pun ragu bahwa seluruh dirilah yang menggerakkan gerakan tersebut. Begitu pula manakala sambaran suluh api terserpih dari planet, lalu membakar dan menerangi suatu tempat, maka seluruh manusia akan menyandarkan pembakaran tadi kepada planet secara utuh. … Tidak ada seorang pun mengatakan bahwa haruslah firman Allah ‘Dan kami jadikan ia pelempar setan’ bahwa harus satu planet secara utuh yang dilempar.” [Al-Jahidzh, Al-Hayawan (VI/585-586). Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, 2003.]

Penjelasan bahwa tidak semua najm/kawkab yang disebut mashaabiih (lampu-lampu penerang) itu tidak terbatas pada planet/bintang, bahkan istilah ini juga berlaku untuk meteor juga dipaparkan oleh Al-Imam Ar-Razi (w. 1210 M), salah seorang penafsir yang paling perhatian terhadap ilmu alam, kala beliau mengatakan:

كُلُّ نَيِّرٍ يَحْصُلُ فِي الْجَوِّ الْعَالِي فَهُوَ مَصَابِيحُ لِأَهْلِ الْأَرْضِ إِلَّا أَنَّ تِلْكَ الْمَصَابِيحَ مِنْهَا بَاقِيَةٌ عَلَى وَجْهِ الدَّهْرِ آمِنَةٌ مِنَ التَّغَيُّرِ وَالْفَسَادِ، وَمِنْهَا مَا لَا يَكُونُ كَذَلِكَ، وَهِيَ هَذِهِ الشُّهُبُ الَّتِي يُحْدِثُهَا اللَّهُ تَعَالَى وَيَجْعَلُهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ

“Setiap objek langit yang bercahaya (baik dari dirinya maupun memantulkan) disebut mashaabiih (lampu-lampu penerang) bagi penduduk Bumi. Hanya saja mashaabiih tersebut ada yang memiliki orbit tetap sepanjang masa tak berubah dan ada pula yang tak demikian. Yang terakhir inilah kondisi untuk sambaran suluh-suluh api yang Allah ciptakan dan jadikan ia pelempar setan.” [Ar-Razi, At-Tafsir Al-Kabir (XXVI/319). Beirut: Dar Ihya Turats ‘Arabi, 1999]

Barangkali muncul pertanyaan, bukankah lemparan-lemparan di langit terhadap jin/setan tersebut baru terjadi selepas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus? Allah subhanahu wa ta’ala sendiri berfirman:

وَّاَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاۤءَ فَوَجَدْنٰهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيْدًا وَّشُهُبًاۖ * وَّاَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِۗ فَمَنْ يَّسْتَمِعِ الْاٰنَ يَجِدْ لَهٗ شِهَابًا رَّصَدًاۖ

“Dan sesungguhnya kami (jin) telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api, dan sesungguhnya kami (jin) dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mencuri dengar (berita-beritanya). Tetapi sekarang siapa (mencoba) mencuri dengar (seperti itu) pasti akan menjumpai panah-panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” (QS. Al-Jinn: 8-9)

Benar bahwa hujan meteor sudah terjadi sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadis riwayat At-Tirmidzi tadi pun mengisyaratkannya. Malahan benar apa yang dikatakan Shahabat terkait keyakinan jahiliyyah soalan meteor. Di tahun 44 SM kejadian mirip hujan meteor terjadi dan dikaitkan oleh orang-orang zaman itu dengan meninggal dunianya Kaisar Julius. Begitu pula hal serupa tahun 30 SM, kejadian mirip hujan meteor dikaitkan dengan meninggal dunianya Cleopatra [Lihat: Barrett, A (1978). Observations of Comets in Greek and Roman Sources Before AD 410. Journal of the Royal Astronomical Society of Canada, 72, 81-106.]. Kejadian serupa terjadi tahun 258 M yang lalu diasosiasikan dengan meninggal dunianya Saint Lawrence.

Cara memahami kedua fakta dia atas adalah sebagaimana ditanyakan kepada Al-Imam Az-Zuhri (w. 742 M), salah seorang tabi’in terkemuka:

أَكَانَ يُرْمَى بِهَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ؟
قَالَ: نَعَمْ، وَلَكِنْ غُلِّظَتْ حِينَ بُعِثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Apakah juga ada hujan meteor di zaman Jahiliyyah (sementara yang dipahami adalah bahwa setan barulah dilempar setelah Rasulullah diutus)?”

Al-Imam Az-Zuhri menjawab: “Iya, hanya saja dibuat keras ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah diutus.” (HR. Ahmad no. 1882) [Ahmad, Al-Musnad (III/372-373). Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2001]

Menarik sekali untuk menanti penelitian apakah ada peningkatan frekuensi hujan meteor sebelum tahun 609 Masehi (tahun Rasulullah diutus) dan setelahnya ataukah ada perbedaan apa. Yang penulis temukan saat ini adalah bahwa hujan meteor terjadi di malam hari lahirnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam (4 Maret 571 M) dan malam hari diutusnya beliau (29 Desember 609 M) [Lihat: Rada, W. & Stephenson, F. (1992). A Catalogue of Meteor Showers in Mediaeval Arab Chronicles. Quarterly Journal of the Royal Astronomical Society, 33, 6]. Hal itu persis yang dituliskan sejarawan muslim, Al-Ya’qubi (w. 898 M), bahwa hujan meteor terjadi pada kedua waktu tersebut [Lihat: Al-Ya’qubi, At-Tarikh (I/327). Beirut: Syarikatul A’lami, 2010]. Beliau bahkan meriwayatkan:

وَلَمَّا بُعِثَ، رُمِيَتِ الشَّيَاطِيْنُ بِشُهُبٍ مِنَ السَّمَاءِ وَمُنِعَتْ مِنْ أَنْ تَسْتَرِقَ السَّمْعَ. فَقَالَ إِبْلِيْسُ: مَا هَذَا إِلَّا لِأَمْرٍ قَدْ حَدَثَ وَنَبِيٍّ قَدْ بُعِثَ.

“Tatkala beliau diutus, setan-setan dilempari meteor dan dicegah dari mencuri-curi dengar berita langit. Maka Iblis pun berkata: ‘Tidaklah ini terjadi melainkan karena suatu perkara besar telah terjadi dan seorang nabi agung telah diutus.” [Al-Ya’qubi, At-Tarikh (I/343)]

Akan tetapi apapun hasil penelitian itu, kita yang penuh keterbatasan ilmu secanggih apapun perkembangan sains dapatlah berasumsi: andai pun tak ada perbedaan secara kasat mata, pastilah ada perbedaan, mungkin pemberian efek mempengaruhi hal gaib dan perbedaan  fungsi hujan meteor berubah. Yang tadinya tak berfungsi sebagai pelempar setan, kemudian ditambahkan kemampuan untuk melukai makhluk gaib semisal setan.

Dalam Islam, memang demikianlah pergerakan objek langit, memiliki banyak fungsi, bahkan juga termasuk dimensi yang tak kasat mata bagi kita, semisal matahari yang sebagai objek langit juga bersujud serta alam semesta yang bertasbih hanya saja kita belum memahami detail bagaimana ekspresi sujud/tasbih mereka. Nashrun minallahi wafathun qarib wabasysyiril mu’minin. Wallahu a’lam.

Footnote:
[1] Muslim, Ash-Shahih (I/199). Beirut: Dar Ihya Turats ‘Arabi, 1991.
[2] Al-Farahidi, Al-‘Ain (VI/154). Beirut: Maktabah Al-Hilal, 1988.
[3] Az-Zabidi, Tajul ‘Arus (IV/157). Al-Kuwait: Darul Hidayah, 1965.
[4] Rada, W. & Stephenson, F. (1992). A Catalogue of Meteor Showers in Mediaeval Arab Chronicles. Quarterly Journal of the Royal Astronomical Society, 33, 7.
[5] Ibnu Faris, Maqayisul Lughah (V/396). Beirut: Darul Fikr, 1979.
[6] Lihat: Ath-Thabari, Jami’ul Bayan (XXII/173). Kairo: Markaz Hajar, 2001.
[7] Jabir bin Hayyan, Mukhtar Ar-Rasail (hlm. 23). Kairo: Maktabah Al-Khaniji, 1935.
[8] Al-Bukhari, Ash-Shahih (VI/122). Kairo: Dar Thauq An-Najah, 2001.
[9] At-Tirmidzi, As-Sunan (V/215). Beirut: Darul Gharbil Islami, 1998.
[10] Lihat: Hawkes, R., et.al. Modern Meteor Science (hlm. 34). Dordrecht: Springer, 2005.
[11] Lihat: Newton, A (1887). The Meteorites, the Meteors and the Shooting Stars. Sidereal Messenger, 6, 65-72 dan Williams, I (2011). The Origin and Evolution of Meteor Showers and Meteroid Streams. Journal of Royal Astronomical Society (Astronomy & Geophysics), 52, 2, 20-26.
[12] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzhim (VIII/177). Riyadh: Dar Thaybah, 1999.
[13] Al-Khazin, Lubabut Ta’wil (IV/319). Beirut, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, 1995.
[14] Asy-Syaukani, Fathul Qadir (III/151). Beirut: Dar Ibn Katsir, 1994.

Leave a Comment