Oleh: Dr Ali Syafi’udin (Mohammad Ali Syafi’udin)
Fatwapedia.com – Ribuan warga Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, terancam tergusur sebagai buntut rencana pengembangan kawasan Rempang Eco-City yang merupakan salah satu proyek strategis nasional (PSN).
Pengembangan kawasan Eco-City tersebut digarap melalui kerja sama antara BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG) dengan target bisa menarik investasi hingga Rp381 triliun pada 2080.
Sebagai payung hukum telah ditetapkan pada 28 Agustus 2023 Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
Terkesan munculnya payung hukum mendadak dan tergesa-gesa karena sebagai bentuk komitmen dari menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) pada 28 Juli 2023 antara Bahlil Lahadalia, MENTERI Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dengan Xinyi Glass Holdings Limited (Xinyi Group) mengenai kerja sama investasi, yang disaksikan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Chengdu, Tiongkok.
Tujuan dari MoU ini adalah untuk mendukung rencana investasi Xinyi Group senilai US$11,5 miliar atau setara dengan Rp175 triliun di Kawasan Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Investasi tersebut meliputi pengembangan ekosistem rantai pasok industri kaca dan industri kaca panel surya.
Disamping penandatanganan Nota Kesepahaman tersebut, dilaksanakan juga penandatanganan Memorandum of Agreement (MoA) antara Xinyi Group dengan PT Makmur Elok Graha (MEG) dalam hal penyiapan lokasi dan kebutuhan pendukung lainnya di Pulau Rempang. Hal itu karena PT MEG merupakan perusahaan yang mendapatkan hak pengelolaan terhadap 17.600 hektare (ha) lahan di kawasan Rempang sejak 2004 hingga kini. Sekitar 2.000 ha dari lahan itu lalu dijadikan sebagai tempat pembangunan Rempang Eco City
Oleh karena itulah Wali Kota Batam sekaligus Kepala Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), Muhammad Rudi mengatakan bahwa harus segera membebaskan lahan 2.000 hektare dari total 17.600 hektare di Rempang. Lahan tersebut mencakup 3 kampung yang akan digunakan PT Makmur Elok Graha (MEG) membangun pabrik kaca dan solar panel hasil investasi Xinyi Group, di mana ada 700 kepala keluarga (KK) terdampak.
Akhirnya Proyek Strategis Nasional Rampang Eco City di Pulau Rampang, Kepulauan Riau berbuah bentrok antara warga dengan aparat. Warga lokal tak sepakat dengan pembangunan proyek tersebut dan menghalangi pematokan tanah.
Mengapa Warga Tidak Sepakat dengan Pembangunan Proyek tersebut?
Hal itu wajar karena pertama secara historis warga Rempang termasuk orang Melayu yang berwatak keras dan masih memegang adat resam. “Penduduk asli Rempang, Galang dan Bulang (kini masuk wilayah Kota Batam) adalah keturunan para prajurit Kesultanan Riau-Lingga yang sudah eksis sejak 1720 masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I. Berdasarkan catatan sejarah, pasukan Belanda dan Inggris saja tidak berani memasuki wilayah Kesultanan Riau-Lingga. Anak-cucu merekalah sekarang yang mendiami Rempang-Galang secara turun-temurun.
Jadi jika mereka sudah lama menempati pulau Rempang bahkan sebelum Indonesia ada, kemudian sekarang tiba-tiba mereka digusur dan diusir dari tempat tinggal maka sudah sewajarnya mereka akan mempertahankan diri sebagaimana karakter mereka sebagai keturunan para prajurit kesultanan Riau-Lingga.
Kedua Lahan mereka yang ditempati dirampas dadakan tanpa ada kejelasan ganti rugi dan kompensasi yang layak. Bagaimana dengan mata pencaharian mereka, bagaimana cara mereka melanjutkan hidup, penuhi kebutuhan tiap hari. Dipaksa tinggal menumpuk di Rusun tanpa ada alternatif penguatan ekonomi.
Ketiga Alasan penolakan penting lainnya adalah eksitensi budaya dan ajaran melayu Islam yang ratusan tahun berjalan akan lenyap seketika. Digantikan budaya modern ala China yg sekuler dan anti Islam. Lihatlah development plan PT MEP yang bekerjasama dengan China. Orientasinya meliputi pengembangan gelanggang bola ketangkasan dan gelanggan permainan mekanik/elektronik. Termasuk lokasi aneka hiburan modern, arena ketangkasan kaliber dunia, mengimbangi pusat “judi” di Sentosa Island dan Kawasan Marina Bay Singapura.
Mengapa Pemerintah Menggusur Rakyatnya Sendiri?
Hal ini merupakan amanat dari UU Cipta Kerja yang mana dalam pasalnya bertujuan untuk melindungi dan melayani kebutuhan investor. Penyederhanaan proses perizinan mengakibatkan mempermudah pencaplokan wilayah adat untuk alasan investasi.
Anggapan jika UU Cipta Kerja akan memperluas lapangan pekerjaan juga keliru. Sebab, dengan penyederhanaan izin operasi perusahaan, hal itu justru akan mematikan lapangan kerja yang sudah ada. Padahal dari lapangan pekerjaan itulah masyarakat bertahan hidup.
Sementara jika dijadikan alasan penggusuran karena mereka tidak memiliki sertifikat sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Hadi Tjahjanto maka Ini sebenarnya hanya masalah tehnis, seharusnya negara memudahkan rakyat untuk memudahkan rakyat untuk memiliki sertifikat lahan dan melindungi hak milik mereka bukan menjadikan alasan menggusur rakyat dengan menerapkan praktik negaraisasi tanah.
Jadi telah nampak pada penggusuran paksa bahwa negara mempertontonkan keberpihakan nyata kepada investor yang bernafsu menguasai Pulau Rempang untuk kepentingan bisnis mereka berupa Proyek Eco-city.
Kepemilikan dalam Pandangan Islam itu Bersifat Tetap
Kepemilikan adalah izin As-Syari’ (Allah SWT) untuk memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut hanya ditentukan berdasarkan ketetapan dari As-Syari’ (Allah SWT) terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab pemilikannya. Jika demikian, maka pemilikan atas suatu zat tertentu, tentu bukan semata berasal dari zat itu sendiri, ataupun dari karakter dasarnya yang memberikan manfaat atau tidak. Akan tetapi kepemilikan tersebut berasal dari adanya izin yang diberikan Allah SWT untuk memiliki zat tersebut, sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya pemilikan atas zat tersebut menjadi sah menurut hukum Islam.
Konsep kepemilikan harta menurut sistem ekonomi Islam sangat berbeda dengan sistem ekonomi lainnya baik kapitalisme maupun sosialisme. Kepemilikan harta, baik barang maupun jasa, dalam sistem ekonomi Sosialis dibatasi dari segi jumlah (kuantitas), namun dibebaskan dari segi cara memperoleh harta yang dimiliki. Sedangkan menurut pandangan Sistem Ekonomi Kapitalis jumlah (kuantitas) kepemilikan harta individu berikut cara memperolehnya tidak dibatasi, yakni dibolehkan dengan cara apapun selama tidak mengganggu kebebasan orang lain. Sedangkan menurut sistem ekonomi Islam kepemilikan harta dari segi jumlah (kuantitas) tidak dibatasi namun dibatasi dengan mekanisme tertentu atau cara tertentu dalam memperoleh harta yakni dengan aturan halal dan haram.
Demikian juga pandangan tentang jenis kepemilikan harta.Di dalam sistem ekonomi sosialis tidak dikenal kepemilikan individu (private property). Yang ada hanya kepemilikan negara (state property) yang dibagikan secara merata kepada seluruh individu masyarakat. Kepemilikan negara selamanya tidak bisa diubah menjadi kepemilikan individu.
Sementara dalam Sistem Ekonomi Kapitalis perhatiannya terhadap kepemilikan individu jauh lebih besar dibandingkan dengan kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Tidak jarang kepemilikan umum dan kepemilikan negara diubah menjadi kepemilikan individu dengan jalan privatisasi. Akhirnya banyak kekayaan alam suatu negara dikuasai oleh individu melalui privatisasi dan investasi. Bahkan negara juga bisa melakukan negaraisasi tanah, yang telah lama dimiliki dan didiami rakyat, dengan alasan untuk meningkatkan investasi atau diberikan kepada pihak yang memegang hak kelola tanah. Begitu juga sebaliknya akibat buruknya dari praktek privatisasi maka negara melakukan praktek tambal sulam yaitu menasionalisasi kepemilikan individu menjadi milik negara.
Dalam pandangan Islam jenis kepemilikan itu ada tiga macam; pertama kepemilikan individu, kedua kepemilikan umum yang meliputi: benda-benda yang merupakan fasilitas umum, bahan tambang yang jumlahnya sangat besar dan benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah dimiliki oleh pribadi, dan ketiga kepemilikan negara.
Kepemilikan dalam pandangan Islam itu bersifat tetap bukan mengikuti keinginan negara atau siapapun. Karena itu tidak ada satupun orang atau badan atau negara yang bisa mengubah status kepemilikan ini.
Jadi kepemilikan umum tidak boleh diubah menjadi kepemilikan negara atau kepemilikan individu. Begitu juga kepemilikan individu tidak boleh diubah menjadi kepemilikan negara atau kepemilikan umum.
Yang dimaksud dengan kepemilikan individu itu adalah wujudnya otoritas pada seseorang atas kekayaan yang dimilikinya dengan menggunakan mekanisme tertentu yang telah ditetapkan oleh syariat sehingga kepemilikan tersebut menjadi hak individu tersebut.
Syariah Islam telah menjadikan perlindungan hak milik individu tersebut sebagai kewajiban negara. Negara wajib melindungi hak milik rakyat, negara tidak boleh melakukan nasionalisasi kepemilikan individu menjadi milik negara dan negara juga tidak boleh melakukan negaraisasi kepemilikan individu menjadi milik negara dengan alasan apapun selama kepemilikan individu tersebut tetap demikian keadaannya, meskipun negara membelinya dengan harga yang mahal. Sebab kepemilikan individu itu dihormati dan dilindungi oleh syariah, tidak boleh dilanggar oleh siapapun bahkan oleh negara sekalipun. Setiap pelanggaran atas kepemilikan individu dipandang sebagai tindakan dzalim yang bisa diajukan pemiliknya kepada mahkamah madzalim jika yang melakukan kedzaliman adalah pejabat.
Syariat Islam juga telah menjadikan penghormatan dan pemeliharaan hak milik individu yang tidak boleh dicederai sebagai perkara yang pasti. Karena itulah sejumlah sanksi hukum yang bersifat preventif dibuat bagi siapa saja yang menciderai hak tersebut baik dengan cara mencuri, merampas, merampok atau dengan cara-cara lain yang tidak dibenarkan oleh syariat.
Sebagai contoh perlindungan negara terhadap hak milik rakyat adalah kisah seorang sahabat Rasul, Umar bin Khattab, ketika beliau menjabat sebagai khalifah, Umar didatangi seorang Yahudi yang terkena penggusuran oleh seorang Gubernur Mesir, Amr bin ‘Ash, yang bermaksud memperluas bangunan sebuah masjid. Meski mendapatkan ganti rugi yang pantas, sang Yahudi menolak penggusuran tersebut. Ia datang ke Madinah untuk mengadu kan permasalahan tersebut pada Khalifah Umar.
Seusai mendengar ceritanya, Umar mengambil sebuah tulang unta dan menorehkan dua garis yang berpotongan: satu garis horizontal dan satu garis lainnya vertikal. Umar lalu menyerahkan tulang itu pada sang Yahudi dan memintanya untuk memberikannya pada Amr bin ‘Ash. “Bawalah tulang ini dan berikan kepada gubernurmu. Katakan bahwa aku yang mengirimnya untuknya.”
Meski tidak memahami maksud Umar, sang Yahudi menyampaikan tulang tersebut Amr sesuai pesan Umar. Wajah Amr pucat pasi saat menerima kiriman yang tak di duga nya itu. Saat itu pula, ia me ngembalikan rumah Yahudi yang di gusurnya.
Terheran-heran, sang Yahudi ber tanya pada Amr bin ‘Ash yang terlihat begitu mudah mengembalikan rumah nya setelah menerima tulang yang dikirim oleh Umar. Amr menjawab, “Ini adalah peringatan dari Umar bin Khattab agar aku selalu berlaku lurus (adil) seperti garis vertikal pada tulang ini. Jika aku tidak bertindak lurus maka Umar akan memenggal leherku sebagaimana garis horizontal di tulang ini.”
Hukum Mengambil Hak Milik Orang Lain adalah Haram
Banyak nas-nas yang menjelaskan tentang larangan mengambil hak orang lain dan sekaligus memberikan perlindungan terhadap hak milik individu.
Rasulullah ﷺ bersabda.
لَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَأْخُذَ عَصَا أَخِيهِ بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسِهِ وَذَلِكَ لِشِدَّةِ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَالِ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ
“Tidak halal bagi seseorang mengambil tongkat saudaranya tanpa kerelaan dari dirinya karena Rasulullah ﷺ sangat mengharamkan harta seorang muslim atas muslim lain.” (HR. Ahmad: 22500)
مَنْ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ اللَّهُ لَهُ النَّارَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ
“Barangsiapa mengambil hak seorang muslim dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan neraka untuknya, dan mengharamkan surga atasnya.” Maka seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah, meskipun itu sesuatu yang sepele?” Beliau menjawab, “Meskipun itu hanya kayu siwak.” (HR. Muslim: 196)
Jika mengambil tongkat atau kayu syiwak orang lain saja tidak boleh, maka mafhum muwafaqah-nya, lebih-lebih yang lebih berharga daripada tongkat atau kayu syiwak
Merampas Tanah orang lain hukumnya haram
Dari Sa’id bin Zaid Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengarkannya Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ ظَلَمَ مِنَ اْلأَرْضِ شَيْئًا طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ.
“Barangsiapa mengambil sedikit tanah dengan cara yang zhalim, maka (Allah) akan mengalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi.’ [Muttafaq ‘alaih)
Dari Salim dari ayahnya Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ أَخَذَ مِنَ اْلأَرْضِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ خُسِفَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى سَبْعِ أَرَضِيْنَ.
“Barangsiapa yang mengambil tanah sedikit saja dengan cara yang tidak dibenarkan, maka ia dibenamkan ke dalam tanah tersebut pada hari Kiamat hingga tujuh lapis bumi.’ (HR al-Bukhari)
Barangsiapa yang merampas tanah lalu ia menanaminya atau membangun di atasnya, maka Ia diharuskan mencabut tanamannya Dan menghancurkan bangunannya.
Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ
وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ.
“Tidak ada hak bagi keringat orang yang zhalim.” (HR abu Dawud dan Sunan at-Tirmidzi)
Apabila ia mengolahnya, maka ia boleh mengambil nafkahnya (biaya yang dikeluarkan) tetapi tanamannya bagi orang yang memiliki tanah:
Dari Rafi’ bin Khudaij bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ زَرَعَ فِي أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَيْءٌ وَلَهُ نَفَقَتُهُ.
“Barangsiapa menanam di atas tanah suatu kaum tanpa seizin mereka, maka ia tidak memiliki apa pun dari tanaman itu, namun ia mendapatkan nafkahnya (pembiayaannya) (HR at-Tirmidzi dan Sunan Ibni Majah)
Diakhirat nanti bagi pelaku kedzaliman yang mengambil hak orang lain apalagi ia tidak meminta maaf dan mengembalikan haknya maka amalan shalih mereka akan diberikan kepada orang yang didzalimi.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْئٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْتَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلِمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ.
“Barangsiapa berbuat zhalim kepada saudaranya dalam kehormatannya atau sesuatu yang lain, maka hendaklah ia meminta kehalalannya pada hari ini (di dunia) sebelum (datang hari) yang tidak ada Dinar tidak pula Dirham. Apabila ia mempunyai amalan shalih, maka akan diambil darinya sekadar kezhalimannya dan apabila ia tidak mempunyai kebaikan, maka akan diambil dari kejelekan orang yang dizhalimi kemudian ditimpakan kepadanya. (HR al-Bukhari dan Sunan at-Tirmidzi),
Demikianlah syariat Islam dalam menjaga dan melindungi hak milik individu. Wallahu a’lam.