Apa Hukumnya Shalat Dengan Mengenakan Pakaian Hasil Curian Atau Pakaian Haram, Dan Shalat Di Atas Tanah Rampasan?
Dalam masalah ini –dan masalah semisalnya– terdapat dua pendapat ulama yang berbeda:
Pertama: Shalat tersebut tidak sah. Ini merupakan pendapat masyhur dalam madzhab Imam Ahmad, juga madzhab Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[Al-Inshaf (1/194), al-Muhalla (4/33), Majmu’ al-Fatawa (21/89)] Dalil mereka adalah:
Hadits Marfu’ dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma.
من اشترى ثوبا بعشرة دراهم ، وفيه درهم حرام ، لم تقبل له صلاة ما دام عليه
“Siapa yang membeli pakaian dengan harga sepuluh dirham yang di dalamnya terdapat satu dirham haram, maka shalatnya tidak diterima selama ia mengenakan pakaian tersebut.” (Hadits Riwayat: Ahmad (2/98) dengan sanad yang dhaif)
Bahwa pakaian itu terkait erat dengan rukun dan syarat suatu ibadah, karena dapat mempengaruhi ibadah tersebut. Berbeda halnya dengan sesuatu yang tidak ada keterikatan dengan ibadah, maka ia tidak dapat menimbulkan dampak terhadap ibadah tersebut. Seperti orang yang wudhu’ dari bejana emas misalkan, tempat yang menampung air (bejana emas) tersebut tidak memiliki keterikatan dengan ibadah, sehingga tidak dapat mempengaruhi ibadah.
Kedua: Shalat tersebut hukumnya sah, meskipun ia mendapatkan dosa karena mengenakan pakaian rampasan tersebut. Ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i [Al-Majmu’ (3/180), al-Mabsuth (1/206), Nailul Authar (2/92)]. dan pendapat inilah yang lebih kuat. Karena syariat tidak menyebutkan larangan untuk shalat di tanah rampasan, juga shalat dalam kondisi memakai pakaian rampasan atau pakaian yang haram. Namun syariat secara global telah melarang perbuatan merampas dan mengenakan pakaian hasil rampasan. Sehingga shalat dalam keadaan seperti ini; sah hukumnya, walaupun tetap berdosa bagi pelakunya –karena telah merampas–. Inilah yang disebut sebagai “Kaidah pemisahan antara sudut berbeda dalam suatu kasus tunggal”. [Qawaid Ibnu Rajab (hal. 11,12)]
Selain itu, hadits yang digunakan landasan dalil oleh madzhab pertama tidaklah tepat, karena “tidak diterima” tidaklah menjadikan sesuatu itu “tidak sah” atau batal.
Penulis berkata: Memperkuat pendapat kedua ini, dengan hadits ‘Uqbah bin Amir,
أُهْدِىَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَرُّوجُ حَرِيرٍ فَلَبِسَهُ ، ثُمَّ صَلَّى فِيهِ ، ثُمَّ انْصَرَفَ فَنَزَعَهُ نَزْعًا شَدِيدًا كَالْكَارِهِ لَهُ ثُمَّ قَالَ : لاَ يَنْبَغِى هَذَا لِلْمُتَّقِينَ
“Aku menghadiahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Farruj –semacam baju luar yang terdapat belahan di belakangnya– yang terbuat dari kain sutera, lalu Rasulullah pun memakainya. Lalu beliau shalat mengenakan pakaian tersebut, kemudian pergi dan melepas farruj tersebut dengan kuatnya seolah-olah beliau tidak suka dengan farruj tersebut. Setelah itu Rasulullah pun bersabda, “Pakaian –sutera– ini tidaklah layak untuk orang-orang yang bertakwa.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (375) dan Muslim (2075)
Saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenakan sutera sebelum turunnya larangan –bagi lelaki– untuk memakai kain sutera hingga datangnya malaikat Jibril mengabarkan keharaman kain tersebut –sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim dari Jabir– baik ketika shalat maupun di luar shalat. Namun pada kasus di atas, Rasulullah pun tidak mengulangi shalat lagi –yang menunjukkan bahwa shalat tersebut hukumnya sah–.
Syarat Shalat, Menutup Aurat –Semampu Mungkin–
Para ulama telah sepakat –kecuali sebagian kecil saja– bahwa menutup aurat merupakan syarat sahnya shalat bagi yang sanggup memenuhinya. Hal tersebut dengan landasan dalil sebagai berikut:
Firman Allah Subhanahu wata’ala:
خُذُواْ زِ ينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Pakailah pakaianmu yang indah di setiap –memasuki– masjid” (Al-Qur`an Surat: al-A’raf : 31)
Maksudnya, tutuplah auratmu ketika hendak menunaikan shalat. Karena kaum Arab pada saat itu melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah) dalam keadaan telanjang, lalu turunlah ayat ini memerintahkan –bagi yang ingin melakukan shalat atau thawaf– agar menutup aurat mereka –sebagaimana hadits dalam Shahih Muslim–.
Hadits dari Salamah bin al-Akwa’ radhiallahu ‘anhu berkata, aku bertanya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّا نَكُونُ فِي الصَّيْدِ ، أَفَيُصَلِّي أَحَدُنَا فِي الْقَمِيصِ الْوَاحِدِ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، وَلْيَزُرَّهُ وَلَوْ لَمْ يَجِدْ إِلا أَنْ يَخُلَّهُ بِشَوْكَةٍ
“Wahai Rasulullah, suatu saat kita sedang berburu, apa boleh shalat dengan satu baju?[Maksud dari “baju” adalah pakaian bagian atas, apakah boleh shalat dengan satu baju, atau pakaian bagian atas saja dalam keadaan tidak ada pakaian bagian bawah? –pent–] Rasulullah kemudian bersabda, “Ya, dan kancingkanlah –bajumu agar tidak terbuka auratmu– meskipun dengan duri.”[“Kancinglah bajumu meskipun dengan duri” maksudnya adalah baju yang lebar, jika dipakai ketika sujud, atau ruku’, maka akan menampakkan aurat, oleh karenanya harus dikencangkan, dengan cara mengancingkan baju meskipun dengan duri, peniti, jarum atau sebagainya. Satu baju yang digunakan untuk shalat tersebut haruslah menutup aurat, sedangkan aurat lelaki yaitu di antara pusar dan lutut. –pent]
Sanadnya Layyin (di bawah derajat hadits maqbul). Imam Al-Bukhari mengomentarinya dengan pernyataan “shighah tamridh” (1/554). Imam Al-Bukhari berkata “sanadnya masih perlu diteliti ulang”. Penulis juga menyetujui pendapat tersebut, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (1/555). Hadits ini juga telah Abu Daud (632) dan An-Nasa`i (2/70) dengan kisaran sanadnya dari perawi yang Layyin, bahkan Al-Albani juga menyatakan demikian dalam al-Misykat (760). Namun Imam Nawawi dalam al-Majmu’ telah menerimanya sebagai hadits Hasan.
Hadits
لاَ يَقْبَلُ اَللَّهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ
“Allah tidak menerima shalat seorang wanita baligh –yang telah haid– kecuali ia mengenakan jilbab.” (Hadits Dhaif menurut pendapat yang rajih. Abu Daud (641), At-Tirmidzi (377), dan ahli hadits lainnya. Terdapat ‘illah dalam hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh banyak ulama, namun Al-Albani telah menyatakannya sebagai hadits Hasan dalam kitabnya al-Irwa’ (1/215)
Hadits Jabir yang shalat di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan saat itu Jabir mengenakan satu pakaian dalam keadaan aurat tertutup. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda:
فَإِنْ كَانَ وَاسِعًا فَالْتَحِفْ بِهِ وَإِنْ كَانَ ضَيِّقًا فَاتَّزِرْ بِهِ
“Jika bajumu luas maka lipatlah, namun jika sempit, maka jadikanlah untuk sarung (pakaian bawah).” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (361) dan Muslim (3010)
Maksudnya dilipat: jika baju tersebut lebar dan luas, maka gunakanlah baju tersebut untuk menutupi bagian bawah, lalu bagian sisa baju tersebut dilipat dan digunakan untuk menutup tubuh bagian atas. Ini jika baju tersebut lebar dan mecukupi, namun jika sempit dan kecil, maka digunakan untuk menutupi bagian bawah saja. –pent–
Dari hadits ini diketahui bahwa batas minimum kewajiban seorang –lelaki– menutup aurat dalam shalat adalah dengan mengenakan pakaian bagian bawah. Dan perintah ini menunjukkan larangan kepada hal yang berlawanan darinya (tidak menutup aurat) karena itu dapat menyebabkan rusaknya shalat. Jumhur ulama menyatakan bahwa menutup aurat merupakan syarat sahnya shalat.
Dalil dari Ijma’. Sebagaimana yang dinukil Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Taimiyah bahwa terdapat kesepakatan ulama (ijma’) yang menyatakan batalnya shalat dalam keadaan telanjang (tidak menutup aurat) sedangkan ia mampu untuk menutup aurat. Meskipun sebagian ulama madzhab Malikiyah menyatakan bahwa shalat tanpa menutup aurat tidaklah batal hukumnya. Juga apa yang dipilih oleh Imam Syaukani bahwa menutup aurat adalah wajib namun bukanlah syarat sahnya shalat, sebagaimana kaidah yang digunakan dalam permasalahan wajib sucinya pakaian, badan dan tempat ketika shalat. [Al-Tamhid, Majmu al-Fatawa (22/117), al-Fath (1/555), Bidayatul Mujtahid (1/156), Sail al-Jarrar (1/158)]. Walaupun penulis berpendapat, jika orang yang meneliti secara seksama permasalahan ini, maka akan menemukan perbedaan antara masalah menutup aurat dengan masalah sebelumnya.
Dalil keenam, bahwa menutup aurat ketika shalat merupakan bentuk dari penghormatan – dan mengagungkan Allah Subhanahu watalaa. [Al-Bada’i (1/116), ad-Dasuqi (1/211), Mughni al-Muhtaj (1/184), Kasyaf al-Qanna` (1/263)]