Fatwapedia.com – Macam-macam nikah yang dengan tegas dilarang oleh syara’ ada empat, yaitu: nikah pertukaran (asy-syighar), nikah mut’ah, dan nikah muhallil. Berikut uraian dari macam-macam pernikahan diatas serta status hukumnya dalam islam.
A. Nikah Sighar
Dari Nafi’ bin Amr, berkata, Rasulullah bersabda:
وعن نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما قال نهي رسول الله ص م عن الشغار, والشغار ان يزوج الرجل ابنته, علي ان يزوجه الاخر ابنته ليس بينهما صداق (متفق عليه)
Nafi meriwayatkan dari Ibnu Umar Ra: bahwa Rasulullah Saw melarang nikah syighar, yakni seorang (ayah) menikahkan putrinya dengan orang lain, lalu orang lain tersebut menikahkan putrinya dengan (ayah dari calon isterinya tersebut), sementara di antara keduanya tidak ada mahar (H.R. Muttafaqu alaih)
Mufradat (kosa-kata hadits)
Asy-Syighar. Secara bahas berarti ar-raf’u (mengangkat), seperti syaghara al kalbu rijlahu li yabuula (seekor anjing mengangkat kakinya untuk kencing). Adapun syighar menurut syara’seseorang yang menikahkan putrinya dengan orang lain, lalu orang lain tersebut menikahkan putrinya dengan tuan dari calon isteri putrinya itu, sementara di antara keduanya tidak ada mahar, atau ada mahar tapi semata-mata untuk tipu daya.
Nikah Syighar ialah seorang laki-laki mengawinkan puterinya, atau saudara perempuannya, atau selain keduanya yang termasuk di dalam kawasan perwaliannya dengan orang lain dengan syarat orang lain termasuk atau puterinya, atau putera saudaranya menikahkan dia (laki-laki pertama) dengan puterinya, atau saudara perempuannya, atau puteri saudara perempuannya, atau dengan yang semisal dengan mereka.
Fuqaha sependapat bahwa nikah sighar ialah apabila seorang lelaki mengawinkan orang perempuan yang di bawah kekuasaannya dengan orang lelaki lain bersyaratkan bahwa lelaki lain ini juga mengawinkan orang perempuan yang dibawah kekuasaannya dengan lelaki pertama tanpa ada maskawin pada kedua perkawinan tersebut.
Akad nikah semacam ini, fasid (batal) baik disebutkan maharnya atau pun tidak. Sebab Rasulullah saw sudah mencegah kita darinya dan sudah (mengingatkan) mewanti-wanti agar kita waspada terhadapnya. Allah SWT berfirman, ”Dan, apa saja yang Rasulullah saw bawa kepada kalian, maka ambillah dan apa saja yang Beliau cegah kalian darinya, maka jauhilah.” (Al-Hasr:7).
Dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan dari Ibnu Umar r.a. bahwa Nabi saw. pernah melarang kawin Syghar.” (Muttafaqun ’alaih: Mukhtashar Muslim no:8089 fathul Bari IX:162 no:5112, Muslim II : 1034 no:1415,dan Nasa’i VI:112).
Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan:
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah mencegah (kita) dan kawin syighar. Nikah syghar itu adalah seorang laki-laki mengatakan kepada laki- laki lain, “Nikahkan aku dengan puterimu, maka aku akan menikahkanmu dengan puteriku.” Atau “Nikahkan Aku dengan saudara perempuanmu, maka aku mengawinkan dengan saudara perempuanku.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no:808 dan Muslim II:1035 no:1416).
Dengan demikian, hadits-hadits yang shahih ini dengan tegas menunjukkan tahrim (pengharaman) dan rusaknya nikah syghar dan ia menyelisihi syari’at Allah Ta’ala dan Nabi saw. tidak pernah membedakan antara nikah syighar yang maharnya disebutkan dengan yang tidak disebutkan maharnya sedikitpun.
Adapun apa yang terdapat dalam hadits riwayat Ibnu Umar (Mukhtashar Muslim no:808, Fathul Bari IX:162 no:5112, Muslim II:1034 no:1415 dan Nasa’i VI: 112) tentang penafsiran nikah syighar, yaitu seorang laki-laki menikahkan puterinya dengan dia dan kedua perkawinannya ini tidak memakai mahar. Penafsiran ini telah dijelaskan oleh ahli Ilmu bahwa perkataan tersebut berasal dari perkataan Nafi’ yang meriwayatkan dari Ibnu Umar. Bukan berasal dari sabda Nabi saw. Nabi saw. sendiri telah menjelaskan pengertian nikah syighar dalam hadits Abu Hurairah sebagaimana yang telah disebutkan diatas yakni seorang laki-laki menikahkan puterinya, atau saudaranya dengan orang lain dengan catatan orang tersebut mengawinkan dia dengan puterinya, atau saudara perempuannya dan beliau tidak mengatakan, dalam perkawinan ini tidak ada mahar. Maka yang demikian itu menunjukkan bahwa ditentukan hukum nikah syighar itu. Sesungguhnya yang mengakibatkan fasad rusaknya perkawinan syighar ini adanya syarat mubadalah (tukar menukar), dan dalam praktik nikah (yang bathil ini) terdapat kerusakan yang besar karena perkawinan semacam ini mengakibatkan pemaksaan terhadap para wanita menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya, untuk mengutamakan kepentingan para wali dan mengabaikan kemashlahatan kaum perempuan. Yang demikian itu adalah perbuatan mungkar dan tindak kedhaliman terhadap para wanita dan hal itu juga mengakibatkan terhalangnya kaum wanita untuk mendapatkan terjadi di tengah-tengah masyarakat yang mempraktikkan akad yang mungkar lagi keji ini. Sebagaimana hal itu pula sering kali mengakibatkan perselisihan dan permusuhan setelah perkawinan. Dan ini adalah bagian dari sanksi yang diberikan Allah dengan cepat bagi orang-orang yang menyelisihi syari’at.
Nikah sighar termasuk bentuk nikah yang disertai dengan syarat yang tidak sah. Yang dimaksud dengan nikah syighar yaitu seorang wali mengawinkan putrinya dengan seorang laki-laki dengan syarat agar laki-laki tersebut mengawinkan putrinya kepadanya dengan tanpa bayar mahar . Dari hadis ini terdapat suatu larangan nikah syighar, suatu larangan menuntut kerusakan, sehingga yang seperti ini tidak dibenarkan.
Rasulullah Saw dalam hadis riwayat Muslim dari Ibnu Umar dan Ibnu Majah dan Anas Ibnu Malik mielarang nikah sighar ini. Sabda Rasul Saw :
عن ابن عمر , ان النبي ص م قال : لا شغار في الاسلام (رواه مسلم)
“Dari Ibnu Umar, bahwasanya Nabi Saw bersabda :Tidak ada syighar dalam Islam”
Berdasarkan dua hadis ini jumhur ulama berpendapat bahwa kawin sighar itu pada pokoknya tidak diakui, karena itu hukumnya batal. Dalam pada itu imam Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah syighar itu hukumnya sah, hanya saja tiap-tiap anak wanita yang bersangkutan masih berhak mendapatkan mahar sepadan dari masing-masing suaminya, karena kedua laki-laki yang menjadikan pertukaran anak perempuannya sebagai mahar tidak tepat sebab wanita itu bukan sebagai barang yang dapat dipertukarkan sesama mereka. Dalam nikah yang seperti ini yang batal adalah maharnya, bukan akad nikahnya.
Fuqaha telah sependapat pula bahwa pernikahan tersebut tidak diperbolehkan, karena larangan yang berkenaan dengan pernikahan tersebut diriwayatkan dalam hadis shahih. Kemudian fuqaha berbeda pendapat apabila terjadi perkawinan seperti itu, apakah pernikahan tersebut dapat disahkan dengan memberikan mahar mitsil atau tidak?
Malik berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak dapat disahkan selamanya, dan harus dibatalkan, baik sesudah atau sebelum terjadi pergaulan. Ini juga dikemukakan oleh Syafi’i. Abu hanifah berpendapat bahwa nikah syighar itu sah dengan memberikan maskawin mitsil. Pendapat ini juga dikemukakan oleh al-Laits, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan ath-Thabari.
Bentuk nikah sighar itu ada dua macam : pertama, adalah yang disebut di dalam hadis-hadis di atas, yaitu di antara keduanya tidak ada mahar. Kedua, masing-masing mensyaratkan untuk menikahkan dengan wanita yang dibawah perwaliannya. Di antara ulama ada yang hanya, menganggap jenis pertama saja sebagai nikah syighar, itulah yang dilarang, namun jenis kedua tidak. Ibnu Abdil Barr mengatakan, ulama telah sepakat, bahwa nikah sighar tidak diperbolehkan, namun mereka berbeda pendapat mengenai sah atau tidaknya pernikahan tersebut. Jumhur berpendapat bahwa pernikahan tersebut batal, sementara pendapat yang diriwayatkan dari Malik menyebutkan bahwa mereka harus dipisahkan sebelum bercampur, bukan setelahnya. Sedangkan golongan Hanafi berpendapat sah dan wajib diberikan mahar.
B. Nikah Mut’ah
Dari Ali rodhiyallahu anh, berkata:
عن علي ر ضي الله عنهم قال : نهي رسول الله ص م عن المتعة عام خيبرز(متفق عليه)
“Diriwayatkan dari Ali ra, ia berkata, Rasulullah Saw telah melarang mut’ah pada tahun Khaibar”
Lafazh mut’ah diambil dari at-tamattu’ bi asy-sya’i. Dinamakan demikian karena tujuannya adalah seorang laki-laki bermut’ah (bersenang-senang) dengan seorang wanita dengan jangka yang telah disepakati dalam akad. Defenisi akad mut’ah adalah laki-laki menikahi wanita sampai masa tertentu atau tidak diketahui masanya
Nikah mut’ah ini juga disebut dengan nikah sementara atau nikah terputus oleh karena laki-laki yang menikahi wanita itu untuk sehari atau seminggu atau sebulan saja. Nikah mut’ah ini dinamakan demikian karena artinya bersenang-senang sementara waktu saja. Menurut Mahmud Syaltut nikah semacam ini tujuannya hanyalah memenuhi kebutuhan, berakhir tidak melalui perceraian, tetapi dengan berlalunya satuan waktu yang disepakati, atau dengan perpisahan apabila tidak ditentukan batasan waktunya.
Para ulama mazhab sepakat mengatakan bahwa hukum nikah mut’ah ini adalah haram, dan oleh karena itu nikahnya batal. Alasan mereka bahwa hukumnya batal adalah sebagai berikut :
• Nikah seperti ini tidak sesuai dengan nikah yang dimaksud oleh Al-Qur’an, juga tidak sesuai dengan adanya masalah talak, iddah dan masalah warisan. Jika nikah seperti ini batal sebagaimana bentuk pernikahan lain juga dibatalkan oleh Islam. Banyak hadis yang dengan tegas menyebutkan hukumnya haram, umpamanya hadis yang diriwayatkan dari Saburah Al-Jahmi mengatakan bahwa ia pernah menyertai Rasulullah dalam perang menaklukkan Mekkah, dimana Rasulullah mengizinkan mereka kawin mut’ah. Kata Saburah ia tidak meninggalkan kawin mut’ah ini sampai diharamkan Rasulullah. Dalam suatu lafaz yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah telah mengharamkan kawin mut’ah dengan sabda beliau :
ياايها الناس اني كنت اذ نت لكم في الاستمتاع الا و ان الله قد حرمها الي يوم القيامة
“Wahai manusia, saya telah pernah mengizinkan kamu kawin mut’ah, tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkan sampai hari kiamat”.
• Ibnu Al-Munzir mengatakan, orang-orang dulu pernah memberikan rukhsah untuk mut’ah. Namun kini tidak seorang pun yang membolehkannya selain golongan Rafidhah. Tidak ada artinya perkataan yang bertolak belakang dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya,”Alkhitabi , pengharaman mut’ah telah disepakati oleh semua ulama kecuali sebagaian kalangan Syi’ah. Dan tidaklah benar pendirian mereka itu dirujukan kepada Ali, karena telah diriwayatkan secara shahih dari Ali, bahwa Mut’ah telah dihapus.
Mut’ah pernah diperbolehkan pada masa tertentu karena unsur darurat, kemudian diharamkan untuk selamanya. Dispensasi yang sementara ini menurut sebagian orang dianggap sebagai syubhat, mereka memberikan keringanan mengenai mut’ah pada saat darurat kemudian menarik kembali keringanan tersebut. Di antara yang mengatakan demikian adalah Ibnu Abbas, ia menarik dipensasi mut’ah dan mengatakannya haram. Ijma’ ulama juga mengatakan hal yang sama, mengharamkan mut’ah selama-lamanya dan bersifat mutlak.
C. Nikah Tahlil
Dari Ibnu Mas’ud berkata, Rasulullah bersabda:
عن ابن مسعود رضي الله عنه قال لعن رسول الله ص م المحلل و المحلل له (رواه اجمد, و النسائي)
“Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, Rasulullah Saw melaknat muhallil (orang yang menikahi wanita yang ditalak tiga untuk menghalalkan suaminya yang pertama) dan muhallil lahu (bekas suami yang menyuruh orang lain menjadi muhallil.( H.R. Ahmad, An-Nasa’i)
Al-Muhallil : dinamakan atau disebut muhallil karena tujuannya adalah kehalalan pada suatu tempat atau objek yang awalnya tidak halal.
Al Muhallal Lahu : yakni bekas suami yang menyuruh orang lain menjadi muhallil demi kemaslahatannya.
Yang dimaksud dengan nikah tahlil adalah nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan bekas isteri yang telah ditalak tiga kali, isteri yang ditalaq tiga tidak boleh dinikahi lagi sebelum ada orang lain menikah dengannya dan dijimai .
Didalam ketentuan hukum islam, bila seorang suami telah menthalak istrinya tiga kali, maka tidak halal bagi suami tadi untuk merujuk atau kawin kepada istri yang telah di thalaknya. Sisuami dapat nikah kepada istrinya ini manakala, siistri tersebut telah kawin dengan laki-laki lain dan telah bergaul sebagai suami istri. Perkawinan yang kedua ini dilaksanakan secara wajar dan tidak ada niat untuk manghalalkan bagi suami yang pertama. Jelasnya adalah pernikahan ini dilakukan secara wajar dengan iktikad baik untuk membentuk rumah tangga yang bahagia sebagaiman di syari’atkan dalam agama islam.
Ada beberapa kelompok ulama yang menetapkan hukum nikah tahlil ini :
1. pendapat umar bin khatab, utsman bin afan, abdullah ibnu umar menyatakan bahwa nikah tahlil ini hukumnya adalah tidak sah dan termasuk perbuatan dosa besar dan munkar serta diharamkan oleh allah.
Berdasarkan pendapat ini, kepada berapa hadis sebagai berikut.
Sabda Rasulallah SAW
لعن رسول الله ص م المحلل و المحلل له (رواه اجمد, و النسائي)
Artinya” allah melaknati muhallil yang kawin tahlil dan si muhallilnya bekas suami yang menyuruh orang menjadi muhallil” ( HR. Ahmad dan sanadnya hasan)
Sabda Rasul SAW
عن عبد الله بن مسعود قال لعن رسول الله ص م المحلل و المحلل له (رواه الترمذي)
Artinya : dari abdullah bin mas’ud berkta dia: rosulallah melaknat si muhallil dan si muhallalah” (HR. Tarmidzi)
Pendapat yang pertama ini sesuai dengan pendapat imam malik yang menyatakan nikah tahlil ini adalah batal.
2. Pendapat imam Syafi’i yang mengatakan nikah ini syah kalau tidak di syaratkan didalam akad nikahnya itu bahwa nikah tersebut adalah agar suaminya yang pertama dapat kembali kepada wanita itu. Untuk lebih jelasnya Abdurrahman Aljaziri menjelaskan ke empat pendapat imam mazhab sebagai berikut:
a. Mazhab syafi’iah mengatakan bahwa apabila seorang laki-laki kawin denga seorang wanita yang telah di thalak tiga oleh suaminya yang pertama dengan niat agar wanita itu halal kembali bagi suaminya yang pertama, maka nikahnya sah dengan syarat akad nikahnya dilakukan sebagaimana akad nikah biasa yang sah, tidak menyebutkan dalam akad nikah, nikah tahlil. Telah melaksanakan persetubuhan secara wajar.
b. Mazhab hanafiyah mengatakan bahwa apabila seorang laki-laki kawin denga seorang wanita yang telah di thalak tiga oleh suaminya yang pertama dengan niat agar wanita itu halal kembali bagi suaminya yang pertama, maka nikahnya sah dengan syarat akad nikahnya dilakukan sebagaimana akad nukah biasa yang sah, dia telah dhukhul dengan istrinya sebagaimana mestinya atau dhukhul yang sempurna, telah dicerai dan telah habis pula masa iddahnya.
c. Mazhab Malikiyah mengatakan bahwa apabila seorang laki-laki kawin denga seorang wanita yang telah di thalak tiga oleh suaminya yang pertama dengan niat agar wanita itu halal kembali bagi suaminya yang pertama, maka akad nikahnya fasik dan tidak boleh dhukhul, tetapi nikah itu sendiri jadi batal seluruhnya.
d. Mazhab Hanabilah mengatakan apabila seorang laki-laki kawin dengan seorang wanita yang sudah di thalak tiga oleh suaminya yang pertama, dengan maksud agar dia dapat kembali kepada istri yang pertama atau ditegaskannya betul syatar itu dalam akad nikah dan telah disepakati maka batallah akad nikah tersebut.
Kesimpulan
Macam-macam nikah yang dengan tegas dilarang oleh syara’ ada empat, yaitu :nikah pertukaran (asy-syighar), nikah mut’ah, dan nikah muhallil.
Fuqaha sependapat bahwa nikah sighar ialah apabila seorang lelaki mengawinkan orang perempuan yang di bawah kekuasaannya dengan orang lelaki lain bersyaratkan bahwa lelaki lain ini juga mengawinkan orang perempuan yang dibawah kekuasaannya dengan lelaki pertama tanpa ada maskawin pada kedua perkawinan tersebut.
Nikah mut’ah ini juga disebut dengan nikah sementara atau nikah terputus oleh karena laki-laki yang menikahi wanita itu untuk sehari atau seminggu atau sebulan saja. Nikah mut’ah ini dinamakan demikian karena artinya bersenang-senang sementara waktu saja.
Yang dimaksud dengan nikah tahlil adalah nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan bekas isteri yang telah ditalak tiga kali, isteri yang ditalaq tiga tidak boleh dinikahi lagi sebelum ada orang lain menikah dengannya dan dijimai.