Apa Itu Sunnah-sunnah Fithrah?

Apa Itu Sunnah-sunnah Fithrah?

Fatwapedia.com – Allah telah memilihkan untuk Nabi-nabi a.s. itu sunnah-sunnah, dan menitahkan kita buat mengikuti mereka dalam hal-hal tersebut, yang dijadikan-Nya sebagai syiar atau perlambang dan sebagai ciri yang banyak dilakukan, untuk mengenal para pengikut masing-masing dan memisahkan mereka dari golongan lain.

Ketentuan-ketentuan ini dinamakan sunnah-sunnah fithrah, dan penjelasannya adalah sebagai berikut:
 
1. Berkhitan: yaitu memotong kulit yang menutupi ujung kemaluan untuk menjaga agar di sana tidak berkumpul kotoran, juga agar dapat menahan kencing dan supaya
tidak mengurangi kenikmatan dalam bersanggama.
 
Itu terhadap laki-laki, adapun perempuan maka yang dipotong itu adalah bagian atas dari kemaluan, yakni dilihat dari kemaluan itu. [1]
 
Berkhitan ini adalah sunnah yang telah berlaku sejak lama sekali. Maka dan Abu Hurairah r.a.:
   
Artinya: Telah bersabda Rasulullah saw.: Ibrahim al-Khalil itu berkhitan setelah mencapai usia 80 tahun, dan ia berkhitan itu dengan atau di Alqadum. [2] (H.R. Bukhari)
 
Madzhab jumhur mengatakan hukumnya wajib, sedang imam Syafi‘i memandangnya sunat pada hari ketujuh. Berkata Syaukani: Tidak ada diterima waktu penentuan begitupun dalil yang menyatakan bahwa ia wajib.

2. dan 3. Mencukur bulu kemaluan dan mencabut bulu ketiak.

Kedua-duanya merupakan sunnah yang dapat dilakukan dengan menggunting atau memotong, mencabut atau mencukur.
 
4. dan 5. Memotong kuku, memendekkan kumis atau memanjangkannya. Kedua-
duanya sama-sama berdasarkan riwayat yang sah, umpamanya dalam hadits Ibnu Umar ada tersebut sebagai berikut:
 
Artinya: Bahwa Nabi saw. telah bersabda: selisihilah kaum Musyrikin: lebatkanlah jenggot dan potonglah kumis. (HR. Bukhari dan Muslim).
 
Sementara dalam hadits Abu Hurairah r.a. dikatakan:
 
Artinya: Telah bersabda Nabi saw.: Lima perkara berupa fithrah, yaitu: memotong bulu kemaluan, berkhitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak dan memotong kuku.(H.R. Jama‘ah).
 
Jadi tiada terdapat ketentuan, dan mana di antara keduanya yang patut disebut sunnah.
 
Tetapi prinsipnya ialah agar kumis itu tiada terlalu panjang hingga menyangkut makanan dan minuman, dan supaya kotoran tidak bertumpuk di sana.
 
Dan dari Zaid bin Arqani r.a.:
 
Artinya: Bahwa Nabi saw. bersabda: Barang siapa yang tidak memotong kumisnya,
tidaklah termasuk golongan kami. (H.R. Ahmad, Nasa‘i dan Tunmudzi yang menyatakan sahnya).
 
Menggunting bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku memotong atau
memanjangkan kumis itu, disunatkan tiap minggu demi menjaga: menyempurnakan
kebersihan dan menyenangkan hati karena terdapatnya rambut di badan menyebabkan
kejengkelan dan kegelisahan.
 
Membiarkan semua ini diberi kesempatan selama 40 hari tak ada alasan untuk memperpanjangnya lagi setelah itu. Dasarnya hadits Anas r.a.:
 
Artinya: Kami diberi tempo oleh Nabi saw. dalam memotong kumis, memotong kuku,
mencabut bulu ketiak, menggunting bulu kemaluan agar tidak dibiarkan lebih dan 40
malam. (H.R. Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain).
 
6. Membiarkan jenggot dan memangkasnya tidak sampai jadi lebat, hingga seseorang tampak berwibawa. Jadi jangan dipendekkan seakan-akan dicukur, tapi jangan pula dibiarkan demikian rupa hingga kelihatan tidak terurus, hanya hendaklah
diambil jalan tengah karena demikian itu, dalam hal apa. juga adalah baik.
 
Disamping itu jenggot yang lebat menunjukkan kejantanan atau kelaki-lakian yang sempurna dan matang. Diterima dari Ibnu Umar r.a.: Artinya: Telah bersabda Rasulullah saw.: Lainilah orang-orang Musyrik: lebatkan jenggot dan pendekkan kumis [3]. (Disepakati oleh ahli-ahli hadits sementara Bukhari menambahkan: Bila Ibnu Umar naik haji atau Umrah, dipegangnya jenggotnya, dan mana-mana yang berlebih dipotong.)
 
7. Merapikan rambut yang lebat dan panjang dengan meminyaki dan menyisirnya, berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a.:
 
Artinya: Bahwa Nabi saw. bersabda: Siapa yang empunya rambut, hendaklah dirapikannya. (H.R. Abu Daud)
 
Dan diterima dan Atha‘ bin Yasan r.a. katanya: Artinya: Seorang laki-laki yang berambut dan berjenggot kusut-masai datang mendapatkan Nabi saw. Rasulullah saw. pun membeni isyarat kepadanya, seolah-olah menyuruhnya membereskan  rambut dan jenggotnya. Laki-laki itu pergi melakukannya, kemudian kembali. Maka sabda Rasulullah saw. Nah, tidakkah ini lebih baik, daripada seseorang datang dengan kepala kusut tak obah bagai setan? (H.R. Malik).
 
Pula diterima dan Abu Qatadah r.a :
 
Artinya: Bahwa ia mempunyai rambut lebat terurai sampai ke bahu, maka ditanyakannya hal itu kepada Nabi saw. Nabi pun menyuruh agar membereskan dan menyisirnya saban hari. (H.R. Nasa‘i).

 Sementara Imam Malik dalam bukunya Al-Muwattha‘ meriwayatkan dengan kalimat-kalimat berikut: Kataku: Ya RasuluIlah, saya mempunyai rambut terumbai, apakah perlu disisir? Benar ujar Nabi dan rapikanlah!
 
Maka Abu Qatadah kadang-kadang meminyaki rambutnya dua kali sehari, disebabkan perintah Nabi dan rapikanlah“ itu.
 
Memotong rambut kepala diperbolehkan, begitupun memanjangkannya dengan syarat
dirawat dengan baik, berdasarkan hadits Ibnu Umar r.a.:
 
Artinya: Bahwa Nabi saw. bersabda: Cukurlah semuanya, atau biarkan semuanya! (H.R Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Nasa‘i).

Adapun mencukur sebagian dan meninggalkan sebagian, maka hukumnya makruh, berdasarkan hadits Nafi‘ dan Ibnu Umar r.a.:
 
Artinya: Rasulullah saw. telah melarang qaza‘. Lalu ditanyakan orang kepada Nafi‘: Apa yang dimaksud dengan qaza‘? Ujarnya: Mencukur sebagian kepala anak, dan meninggalkan sebagiannya lagi. (Disepakati oleh ahli-ahli hadits).
 
Juga berdasarkan hadits Ibnu Umar yang tersebut dulu.
 
8. Membiarkan uban dan tidak mencabutnya, biar di jenggot
atau di kepala. Dalam hal ini tidak ada bedanya perempuan dan laki-laki, berdasarkan hadits Amar bin Syua‘ib r.a. yang diterimanya dan bapaknya seterusnya dan kakeknya:

Artinya: Bahwa Nabi saw. telah bersabda: Janganlah kau cabut uban itu karena ia merupakan cahaya bagi Muslim. Tak seorang Muslim pun yang beroleh selembar uban dalam menegakkan Islam, kecuali Allah akan mencatatkan untuknya satu kebaikan, meninggikan derajatnya satu tingkat dan menghapus dari padanya satu kesalahan. (H.R. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Nasa‘i dan Ibnu majah).
 
Dan dan Anas r.a., katanya:
 
Artinya: Kami tidak menyukai bila seorang laki-laki itu mencabut rambut putih dari kepala dan jenggotnya. (R. Muslim).
 
9. Mencelup membiarkan uban dengan inai, dengan wanna merah, kuning dan
sebagainya, berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a.:
 
Artinya: Telah bersabda Rasulullah saw.: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak mencat rambut. Dari itu lainilah orang-orang itu!  (H.r. Jama‘ah).
 
Juga berdasarkan hadits Abu Dzar r.a. :
 
Artinya: Telah bersabda Rasulullah saw.: Sebaik-baik bahan untuk mencelup uban ini ialah inai dan katam[4]. (H.R. riwayat yang Berlima).
 
Disamping itu ada pula hadits yang menyatakan makruhnya mencelup uban. Rupanya dalam pensoalan ini ada perbedaan, melihat keadaan usia, kebiasaan dan adat. Dan sebagian sahabat diriwayatkan bahwa lebih utama tidak mencat, sedang dan sebagian lagi lebih afdhal mencatnya.

Sebagian mereka ada yang mencatnya dengan warna kuning, sebagian lagi dengan
inai dan katam, ada yang dengan kunyit dan segolongan lagi dengan warna hitam.
Dalam AlFat-h, disebutkan oleh Hafidh bahwa dari Ibnu Syihab az-Zukhri ada
diberitakan ceriteranya.

Bila wajah masih penuh, kami mencelup dengan warna hitam, tetapi setelah wajah
kempes dan gigi-gigi bertanggalan, kami tidak memakai itu lagi.
 
Adapun hadits Jabir r.a.: Artinya: Abu Quhafah yakni Bapak Abu Bakar pada hari penaklukan Mekah dibawa kepada Rasulullah saw. sedang kepalanya tak ubah bagai kapas. Maka bersabdalah Rasulullah saw.: Bawalah kepada salah seorang isterinya, agar dicelupnya rambutnya dengan sesuatu bahan, tetapi jangan dengan yang hitam. (H.R. Jamaah kecuali Bukhani dan Tunmudzi), maka demikian itu merupakan peristiwa khusus, sedang peristiwa Seperti itu tak dapat dipukul ratakan.
 
Kemudian, tidaklah sepantasnya bagi seorang seperti Abu Quhafah yang rambutnya telah putih seperti kapas itu akan memakai celup berwarna hitam.
 
Hal itu tidak layak baginya.
 
10. Berharum-haruman dengan kesturi dan minyak wangi lainnya yang menyenangkan hati, melegakan dada dan menyegarkan jiwa, serta membangkitkan tenaga dan kegairahan bekerja, berdasarkan hadits Anas r.a.:   
 
Artinya: Telah bersabda Rasulullah saw.: Di antara kesenangan-kesenangan dunia yang saya sukai ialah wanita dan wangi-wangian, sedang biji mataku ialah mengerjakan shalat. (H.R. Ahmad dan Nasa‘i).
 
Juga hadits Abu Hurairah r.a
 
Artinya: Siapa yang diberi wangi-wangian janganlah menolak, karena ía mudah dibawa dan semerbak harumnya. (H.R. Muslim, Nasa‘i dan Abu Daud).
 
Artinya: Bahwa Nabi saw. bersabda mengenai kesturi: ía adalah Wangi-wangian yang terbaik. (H.R. Jama‘ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah).
 
Dan dari Nafi‘, katanya: Artinya: Adakalanya Ibnu Umar membakar uluwah tanpa campuran, dan adakalanya dengan kapur barus yang dicampurnya bersama uluwah seraya katanya: Beginilah Rasulullah saw.
mengasapi dirinya. (H.R Muslim dan Nasa‘i).

Catatan kaki:

1) Hadits-hadits yang memerintahkan mengkhitan perempuan, semuanya dha‘if, tidak satu pun yang sah
2) Mungkin arti qadum itu kampak mungkin pula yang dimaksud suatu negeri di Syam
3) Para ahli fikih menganggap perintah ini sebagai perintah wajib, dan berdasarkan itu mereka mengharamkan mencukur jenggot.
4)  Sebangsa tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan celup hitam kemerah merahan (pirang)
5) Sebangsa kayu yang harum.

Leave a Comment