Fatwapedia.com – Sebagaimana maklum bahwa salah satu syarat nikah adalah membayar mahar. Namun apa saja yang layak dan boleh menjadi mahar? Mahar pernikahan tidaklah sulit dan memberatkan untuk mendapatkannya. Karena ada banyak jenis barang atau jasa yang bisa dijadikan mahar pernikahan. Berikut ini penjelasan lengkap tentang apa saja yang boleh dijadikan mahar pernikahan.
1. Yang Bernilai Dengan Harga Tertentu Dalam Jual Beli
Yaitu hendaknya mahar berupa sesuatu yang dimiliki sebagai harta, suci, halal dan bermanfaat, serta bisa diserahkan (kepada pihak lain), seperti harta benda, barang berharga dan semisalnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَن تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُم
“Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian itu, (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu.” (Surat an-Nisa’: 24)
2. Jasa
Semua pekerjaan yang boleh diberi upah, maka boleh menjadi mahar, seperti mengajarkan al-Qur’an, keahlian, pelayanan, dan semisalnya. Ini adalah pendapat asy-Syafi‘i dan Ahmad, sedangkan Abu Hanifah melarangnya, sementara Malik memakruhkannya. (Bidayah al-Mujtahid (II/47)
Pendapat yang benar adalah boleh menikah dengan mahar berupa jasa. Allah Subhanahu wata’ala telah mengisahkan kepada kita di dalam kitab-Nya bahwa seorang bapak tua yang saleh menikahkan Musa ‘alaihi as-salam dengan salah seorang anak perempuannya dan menjadikan maharnya berupa jasa bekerja untuknya selama delapan tahun. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ ۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَ ۖ
“Berkatalah dia, ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu.” (Surat al-Qashash: 27)
Pendapat ini berdasarkan pada pendapat bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat yang berlaku pula pada kita sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa syariat itu telah dihapus. Dan ini pendapat yang benar.
Sebelum itu, telah berlalu hadits tentang perempuan yang menghibahkan dirinya untuk diperistri oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di mana disebutkan di dalamnya sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada laki-laki yang ingin memperistri perempuan tersebut:
اذْهَبْ فَقَدْ أَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
“Pergilah. Aku telah menikahkanmu dengan perempuan itu dengan mahar berupa hafalan al-Qur’anmu.”
Ini berdasarkan pada penafsiran bahwa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam maksudkan adalah dia mengajarkan kepada istrinya itu satu surat atau lebih dari al-Qur’an.
3. Memerdekakan Budak Perempuan.
Dari Anas radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerdekakan Shafiyah dan menjadikan pemerdekaannya itu sebagai mahar. (Hadits Riwayat: al-Bukhari)
Asy-Syafi‘i, Ahmad, dan Daud membolehkan memerdekakan budak menjadi mahar, sedangkan para ahli fiqih yang lain melarang dengan alasan bahwa hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat, yaitu bahwa di satu sisi memerdekakan budak itu hakikatnya adalah menghilangkan hak kepemilikan (atas sesuatu), namun di sisi yang lain menghilangkan kepemilikan itu tidak berarti membuat sesuatu itu jadi mubah. Jika seorang budak perempuan telah dimerdekakan, maka dia telah memiliki hak atas dirinya sendiri, lantas bagaimana bisa (dengan sebab itu) dia terikat pernikahan (dengan bekas majikannya)? Adapun mengenai hadits pernikahan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Shafiyah, maka mereka menjawabnya dengan menyatakan bahwa ada kemungkinan itu adalah kekhususan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam karena begitu banyaknya kekhususan beliau dalam masalah pernikahan. (Bidayah al-Mujtahid (II/47)
Penulis berkata: Pendapat yang kuat adalah bolehnya pemerdekaan budak menjadi mahar berdasarkan hadits tadi, dan hukum asal dari perbuatan-perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah untuk diikuti dan diteladani kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan itu termasuk kekhususan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti bolehnya beliau menikahi perempuan yang menghibahkan dirinya kepada beliau dan bolehnya beliau memiliki istri lebih dari empat. Adapun pernyataan sejumlah ahli fiqih bahwa hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat, maka hadits ini sama sekali tidak bertentangan dengannya. Wallahu a‘lam.
4. Bolehkah Keislaman Menjadi Mahar?
Dari Anas radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim, sementara mahar yang disepakati di antara mereka adalah keislaman Abu Thalhah. Ummu Sulaim lebih dahulu masuk Islam daripada Abu Thalhah. Saat Abu Thalhah melamarnya, Ummu Sulaim berkata, ‘Sesungguhnya aku telah masuk Islam. Jika kamu mau masuk Islam, maka aku menikah denganmu.’ Abu Thalhah pun masuk Islam, dan itu menjadi mahar pernikahan yang disepakati di antara mereka berdua.” (Shahih. Hadits Riwayat: an-Nasa’i (VI/114)
Dalam hadits ini terdapat argumen untuk pihak yang berpendapat bolehnya keislaman seorang laki-laki menjadi mahar. Hanya saja Abu Muhammad Ibnu Hazm mencela pendalilan tersebut dengan dua alasan berikut.
a. Bahwa peristiwa tersebut terjadi beberapa waktu sebelum hijrah, karena Abu Thalhah termasuk orang yang terdahulu masuk Islam; dia termasuk orang Anshar yang paling awal masuk Islam, sementara saat itu kewajiban membayar mahar belum lagi berlaku.
b. Dalam hadits tersebut tidak disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui hal itu. (Al-Muhalla (IX/499-500)
Batas Maksimal Dan Minimal Jumlah Mahar
1. Tidak Ada Batas Maksimal Jumlah Mahar. Ulama telah sepakat –tanpa ada perbedaan pendapat apapun– bahwa tidak ada batas maksimal bagi mahar yang harus dibayar seorang suami kepada istrinya. (Al-Istidzkar karya Ibnu Abdilbarr (XVI/65)
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Orang yang memiliki kelapangan harta dan ingin memberi mahar yang banyak kepada istrinya, maka tidak masalah baginya melakukan itu berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا ۚ
‘… sedang kalian telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka (istri-istri itu) harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali darinya barang sedikit pun.’ (Surat an-Nisa’: 20)
Adapun orang yang tidak ingin membayar maharnya, atau tidak mampu memenuhinya, maka makruh.” (Majmu‘ al-Fatawa (XXXII/195)
2. Tidak Ada Pula Batas Minimal Jumlah Mahar Menurut Pendapat Yang Rajih.Mahar sah dibayarkan dengan apa saja yang dinamakan harta atau dihargai dengan harta, asalkan tercapai kesepakatan dan kerelaan di antara suami dan istri. Ini adalah pendapat asy-Syafi‘i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, al-Auza‘i, al-Laits, Ibnu al-Musayyab, dan selain mereka. Sedangkan Ibnu Hazm membolehkan sebagai mahar apa saja yang memiliki nilai setengah meskipun itu biji gandum.[1] Di antara bukti yang menguatkan tidak adanya batas minimal jumlah mahar adalah:
a. Keumuman firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَن تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ
“Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian itu, (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina.” (Surat an-Nisa’: 24)
Ini mencakup baik harta yang sedikit atau pun banyak.
b. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada laki-laki yang ingin menikahi perempuan yang menghibahkan dirinya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam:
هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟
“Apakah kamu memiliki sesuatu (untuk jadi maharmu)?”
Laki-laki itu menjawab, “Tidak ada.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya,
اِذْهَبْ فَاطْلُبْ وَلَوْ خَاتَماً مِنْ حَدِيدٍ … الحديث
“Pergilah cari sesuatu meskipun itu suatu cincin dari besi.”
Ini menunjukkan bahwa mahar sah dengan apa saja yang dinamakan harta.
Bahkan Mahar Sah Dengan Apa Saja Yang Memiliki Nilai Baik Secara Riil Maupun Abstrak. “Inilah pendapat yang didukung oleh dalil-dalil dan yang bersesuaian dengan tujuan sebenarnya dari disyariatkannya mahar. Sebab, tujuan dari mahar adalah bukan semata-mata memberi imbalan harta, tetapi sebagai simbol bagi keinginan menikah dan kesungguhan niat menjalin hubungan yang biasanya diwujudkan dengan harta dan dengan semua yang memiliki nilai materi selama istri rela menerimanya.” (Fiqh az-Zawaj karya as-Sadlan (halaman 26)
Telah shahih berita bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menikahkan seorang laki-laki dengan mahar berupa hafalan al-Qur’an yang dimilikinya, bahwa Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar berupa keislamannya, dan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri menjadikan pemerdekaan Shafiyah sebagai mahar pernikahan beliau dengannya. Apapun yang didapatkan istri (dari suami), baik berupa manfaat dari al-Qur’an, ilmu dan keislaman suami, atau pun manfaat dari kemerdekaan diri dari perbudakan, bisa menjadi mahar baginya jika dia rela menerimanya. Sebab, pada asalnya mahar adalah hak istri yang dengannya dia mendapatkan manfaat. (Lihat: Zad al-Ma‘ad karya Ibnu al-Qayyim (V/178-179) terbitan ar-Risalah)
Demikian artikel tentang penjelasan syarat-syarat mahar pernikahan dan kriterianya yang harus terpenuhi. Semoga bermanfaat.