Apakah Air Musta’mal dapat Mensucikan?


Fatwapedia.comMusta’mal artinya sesuatu yang dipakai. Air mus’tamal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci. Atau gampangnya kita sebut air musta’mal dengan air bekas wudhu. Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah mengatakan:
وهو المنفصل من أعضاء المتوضئ والمغتسل
“Air musta’mal adalah air yang jatuh dari anggota badan orang yang berwudhu atau mandi.” (Fiqhus Sunnah, 1/18).
Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah air musta’mal dapat mensucikan? Jumhur ulama dari Syafi’iyyah, Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa air musta’mal itu suci namun tidak mensucikan. Mereka berdalil dengan hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا يغتسِلُ أحدُكم في الماءِ الدَّائم ِوهو جنُبٌ . فقالَ : كيفَ يفعَلُ يا أبا هُرَيرةَ ؟ قال : يتناولُها تناوُلًا
“Janganlah salah seorang dari kalian mandi di air yang tidak mengalir, sedangkan ia sedang junub”. Perawi bertanya kepada Abu Hurairah: “lalu seharusnya bagaimana wahai Abu Hurairah?”. Abu Hurairah menjawab: “seharusnya ia menciduknya.” 
(HR. Bukhari no. 239, Muslim no. 283).
Al Hafidz Al Iraqi mengatakan: 
“Syafi’iyyah dan jumhur ulama berpendapat bahwa air musta’mal telah hilang sifat thahuriyah-nya (mensucikannya). Maka tidak bisa digunakan untuk bersuci lagi. Karena andai mandi di air yang tidak mengalir tidak menghilangkan keabsahannya untuk mandi di situ sekali lagi, tentu tidak akan Nabi larang.” (Tharhu At Tatsrib min Syarhi At Taqrib, 2/34, dinukil dari Fatawa Islam As Sual wal Jawab no. 224255).
Namun pendalilan ini bukanlah pendalilan yang sharih pelarangan menggunakan air musta’mal untuk bersuci lagi. Oleh karena itu Imam An Nawawi mengatakan: 
“Pendalilan ini perlu dikritisi, karena pendapat yang terpilih dan pendapat yang lebih tepat adalah bahwa maksud hadits ini yaitu larangan mandi pada air yang tidak mengalir walaupun jumlah airnya banyak karena khawatir ia akan menjadi kotor, dan jika dilakukan berulang-ulang akan mengubah sifat air tersebut.” (Al Majmu 1/154, dinukil dari Fatawa Islam As Sual wal Jawab no. 224255).
Maka pendapat yang lebih tepat, air musta’mal itu suci dan mensucikan, selama ia tidak keluar dari nama air muthlaq atau tidak menjadi najis disebabkan tercampur dengan sesuatu yang najis sehingga merubah bau, rasa atau warnanya. Inilah pendapat yang dianut oleh ‘Ali bin Abi Tholib, Ibnu ‘Umar, Abu Umamah, sekelompok ulama salaf, pendapat yang masyhur dari Malikiyah, merupakan salah satu pendapat dari Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad, pendapat Ibnu Hazm, Ibnul Mundzir dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
(Shahih Fiqh Sunnah, 1/104)
Berikut dalil-dalil yang menguatkan pendapat bahwa air musta’mal masih termasuk air yang suci dan menyucikan :
Pertama :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَفْنَةٍ فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَوَضَّأَ مِنْهُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ جُنُبًا فَقَالَ إِنَّ الْمَاءَ لَا يُجْنِبُ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَمَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Al Ahwash dari Simak bin Harb dari Ikrimah dari  Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, ia berkata: 
“Sebagian istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mandi dalam satu bejana. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam datang untuk berwudhu -atau mandi- dari air bak tersebut. Maka diantara istri Nabi ada yang berkata: “Wahai Rasulullah, saya tadi mandi junub di situ”. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “sesungguhnya air itu tidak membuat junub (tidak najis).” 
Abu Isa berkata; “Hadits ini derajatnya hasan shahih, dan hadits ini dipegang oleh Sufyan Ats Tsauri, Malik dan Syafi’i.” (HR. Tirmidzi no. 65).
Hadits ini adalah dalil tegas bahwa air musta’mal bisa digunakan untuk bersuci.
Kedua:
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ وَغَيْرُ وَاحِدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ الْوَلِيدِ بْنِ كَثِيرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُلْقَى فِيهَا الْحِيَضُ وَلُحُومُ الْكِلَابِ وَالنَّتْنُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَقَدْ جَوَّدَ أَبُو أُسَامَةَ هَذَا الْحَدِيثَ فَلَمْ يَرْوِ أَحَدٌ حَدِيثَ أَبِي سَعِيدٍ فِي بِئْرِ بُضَاعَةَ أَحْسَنَ مِمَّا رَوَى أَبُو أُسَامَةَ وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَائِشَةَ
Telah menceritakan kepada kami Hannad dan Al Hasan bin Ali Al khallal dan yang lainnya, mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Al Walid bin Katsir dari Muhammad bin Ka’ab dari Ubaidullah bin Abdullah bin Rafi’ bin Khadij dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, ia berkata: ada yang bertanya; 
“Wahai Rasulullah, apakah kami boleh berwudlu dari air sumur Budla’ah yang dibuang ke dalamnya terdapat kain bekas pembalut haid, daging anjing dan bangkai?” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Sungguh air itu Mensucikan dan tidak ada sesuatu yang membuatnya najis.” 
Abu Isa berkata; “Hadits ini hasan, Abu Usamah telah menyatakan bahwa dia adalah hadits yang baik, dan tidak ada seorangpun yang meriwayatkan hadits Abu Sa’id tentang sumur Budla’ah yang lebih baik dari apa yang diriwayatkan oleh Abu Usamah. Dan hadits ini telah diriwayatkan dari beberapa jalur dari Abu Sa’id. Juga dalam bab ini ada hadits dari Ibnu Abbas dan Aisyah.”
(HR. Tirmidzi no. 66)
Dalam hadits ini Nabi menggunakan kata طهور (mensucikan) yang terkait dengan sifat thahuriyyah (keabsahan untuk bersuci). Maka jika bangkai anjing, kain pembalut wanita dan kotoran tidak membuat air kehilangan sifat thahuriyyah-nya, terlebih lagi air yang digunakan untuk basuhan kulit manusia ketika bersuci dari hadats.
Ketiga :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ
كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمِيعًا
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi’ dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa ia berkata, 
“Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, laki-laki dan perempuan berwudhu secara bersamaan.”
(HR. Bukhari no. 193)
Keempat :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ النُّفَيْلِيُّ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ خَرَّبُوذَ عَنْ أُمِّ صُبَيَّةَ الْجُهَنِيَّةِ قَالَتْ
اخْتَلَفَتْ يَدِي وَيَدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْوُضُوءِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad An Nufaili telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Usamah bin Zaid dari Ibnu Kharrabudz dari Ummu Shubayyah Al Juhaniyyah dia berkata;
 
“Tanganku dan tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saling bergantian ketika berwudhu dari satu bejana.” (HR. Abu Daud no. 78)
Imam Abu Daud mencantumkan hadits ini pada Bab : Wudhu dengan air sisa wudhu wanita.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ حَدَّثَنَا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ النُّعْمَانِ وَهُوَ ابْنُ سَرْحٍ عَنْ أُمِّ صُبَيَّةَ الْجُهَنِيَّةِ قَالَتْ
رُبَّمَا اخْتَلَفَتْ يَدِي وَيَدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْوُضُوءِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ
قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ بْن مَاجَةَ سَمِعْتُ مُحَمَّدًا يَقُولُ أُمُّ صُبَيَّةَ هِيَ خَوْلَةُ بِنْتُ قَيْسٍ فَذَكَرْتُ لِأَبِي زُرْعَةَ فَقَالَ صَدَقَ
Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ibrahim Ad Dimasyqi berkata, telah menceritakan kepada kami Anas bin ‘Iyadl berkata, telah menceritakan kepada kami Usamah bin Zaid dari Salim bin Nu’man -yaitu Ibnu Sarh- dari Ummu Shubaiyyah Al Juhaniyyah ia berkata; 
“Kadang-kadang tanganku dan tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saling beradu saat wudlu dalam satu bejana.” 
Abu Abdullah Ibnu Majah berkata; Aku mendengar Muhammad berkata; “Ummu Shubaiyyah adalah Khaulah binti Qais.” Lalu hal itu aku tanyakan kepada Abu Zur’ah, maka ia menjawab; “Benar.” (HR. Ibnu Majah no. 382)
Imam Ibnu Majah mencantumkan hadits ini pada Bab : Pria dan wanita berwudhu dengan satu bejana.
Kelima : 
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ حَدَّثَنِي مَنْصُورٌ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَنَحْنُ جُنُبَانِ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya dari Sufyan telah menceritakan kepadaku Manshur dari Ibrahim dari Al Aswad dari Aisyah dia berkata;
“Saya pernah mandi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari satu bejana dan kami dalam keadaan junub.” (HR. Abu Daud no. 77)
Imam Abu Daud mencantumkan hadits ini pada Bab : Wudhu dengan air sisa wudhu wanita.
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي الشَّعْثَاءِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ حَدَّثَتْنِي مَيْمُونَةُ قَالَتْ
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ الْجَنَابَةِ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَهُوَ قَوْلُ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ أَنْ لَا بَأْسَ أَنْ يَغْتَسِلَ الرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَلِيٍّ وَعَائِشَةَ وَأَنَسٍ وَأُمِّ هَانِئٍ وَأُمِّ صُبَيَّةَ الْجُهَنِيَّةِ وَأُمِّ سَلَمَةَ وَابْنِ عُمَرَ قَالَ أَبُو عِيسَى وَأَبُو الشَّعْثَاءِ اسْمُهُ جَابِرُ بْنُ زَيْدٍ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari ‘Amru bin Dinar dari Abu Sya’tsa` dari Ibnu Abbas berkata; Maimunah berkata kepadaku, 
“Aku pernah mandi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan satu bejana ketika junub.” 
Abu Isa berkata; “Ini adalah hadits hasan shahih, dan ini adalah pendapat kebanyakan fuqaha, bahwa seorang laki-laki boleh mandi dengan seorang wanita dalam satu bejana.” Dalam bab ini juga ada riwayat dari Ali, Aisyah, Anas, Ummu Hani`, Ummu Shubayyah Al Juhanniah, Ummu Salamah, dan Ibnu Umar.” Abu Isa berkata; “Dan Abu Asy Sya’tsa` namanya adalah Jabir bin Zaid.” (HR. Tirmidzi no. 62)
Imam At Tirmidzi mencantumkan hadits ini pada Bab : Suami istri berwudhu dengan satu bejana.
Ibnul Mundzir mengatakan, 
“Berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama, air yang tersisa pada anggota badan orang yang berwudhu dan orang yang mandi atau yang melekat pada bajunya adalah air yang suci. Oleh karenanya, hal ini menunjukkan bahwa air musta’mal adalah air yang suci. Jika air tersebut adalah air yang suci, maka tidak ada alasan untuk melarang menggunakan air tersebut untuk berwudhu tanpa ada alasan yang menyelisihinya.” (Al Awsath, Ibnul Mundzir, 1/254, Mawqi’ Jaami’ Al Hadits)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: 
“Semua yang disebut dengan sebutan ‘air’ maka ia suci dan mensucikan. Baik ia musta’mal (telah digunakan) untuk bersuci yang wajib atau bersuci yang sunnah, atau bersuci yang tidak sunnah (mubah).” 
(Majmu’ Al Fatawa 19/236, dinukil dari Fatawa As Sual wal Jawab no. 224255).
Ibnu Hazm (w. 456 H) menuliskan di dalam kitabnya Al-Muhalla bil Atsar sebagai berikut :
والوضوء بالماء المستعمل جائز وكذلك الغسل به للجنابة وسواء وجد ماء آخر غيره أو لم يوجد وهو الماء الذي توضأ به بعينه لفريضة أو نافلة أو اغتسل به بعينه لجنابة أو غيرها وسواء كان المتوضىء به رجلا أو امرأة
“Berwudhu dengan air musta’mal dibolehkan begitupula dengan mandi junub. Baik ditemukan ada air selainnya (air muthlak) ataupun tidak ditemukan. Air musta’mal adalah air yang sudah digunakan untuk berwudhu baik itu untuk digunakan untuk fardhu wudhu ataupun sunnah wudhu begitupula jika telah digunakan untuk mandi janabah. Sama saja jika yang berwudhu itu laki-laki ataupun perempuan.”
(Al-Muhalla bil Atsar, jilid 1 hal. 183)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di merinci hukum air musta’mal menjadi enam rincian:
Pertama: air musta’mal yang sudah dipakai untuk menghilangkan najis. Jika berubah salah satu sifatnya, maka ia najis. Jika terkena najis namun tidak berubah sifat-sifatnya, maka ia suci dan mensucikan, baik jumlah airnya banyak maupun sedikit.
Kedua: air musta’mal yang sudah digunakan untuk menghilangkan hadats (yang diwajibkan atau disyaratkan, pent). Maka ia tetap suci dan mensucikan karena tidak adanya dalil yang memalingkan statusnya dari “suci dan mensucikan” yang merupakan status asalnya, kepada status yang lain.
Ketiga: air musta’mal yang sudah digunakan untuk thaharah yang disyariatkan (namun tidak diwajibkan atau disyaratkan, pent.), seperti memperbaharui wudhu. Maka ia juga statusnya tetap suci dan mensucikan karena tidak adanya dalil yang memalingkan statusnya dari “suci dan mensucikan” yang merupakan status asalnya, kepada status yang lain.
Keempat: air musta’mal yang sudah digunakan untuk thaharah yang tidak disyariatkan, yaitu yang hukum asalnya mubah, seperti mandi rutin, cuci tangan sebelum makan, mencuci muka, dll. Maka ia suci dan mensucikan.
Kelima: air musta’mal yang sudah digunakan untuk mandi junubnya wanita. Maka ia suci dan mensucikan berdasarkan hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
إِنَّ الماء لا يُجْنِب
“Sesungguhnya air itu tidak membuat junub”.
Adapun pendapat yang melarangnya adalah pendapat yang lemah dan tidak dilandasi dalil.
Keenam: air musta’mal yang sudah digunakan untuk mencuci tangan orang yang bangun tidur.
(Diringkas dari Irsyad Ulil Bashair li Nailil Fiqhi, 1/18).
Catatan : Ada beberapa hadits yang melarang menggunakan air bekas bersucinya wanita semisal hadits dari Al Hakam bin ‘Amr. Beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُورِ الْمَرْأَةِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang berwudhu dari air bekas bersucinya wanita.”
(HR. Abu Daud no. 82. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Agar hadits ini tidak bertentangan dengan hadits, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dari bekas mandinya Maimunah” atau hadits, “Dulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam laki-laki dan perempuan, mereka semua pernah menggunakan bekas wudhu mereka satu sama lain”, maka kita bisa melalui jalan KOMPROMI (menjamak). 
Kita katakan bahwa larangan dalam hadits Al Hakam bin ‘Amr yang dimaksud adalah larangan tanzih (makruh) dan tidak sampai diharamkan. Jadi menggunakan air bekas bersucinya wanita dihukumi MAKRUH dan bukan haram. Wallahu a’lam.
(Penulis Shahih Fiqh Sunnah -Syaikh Sayid Sabiq-. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/107, Al Maktabah At Taufiqiyah)
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ قَالَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ عَنْ أَبِي حَاجِبٍ عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي غِفَارٍ قَالَ
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ فَضْلِ طَهُورِ الْمَرْأَةِ
قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَرْجِسَ قَالَ أَبُو عِيسَى وَكَرِهَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ الْوُضُوءَ بِفَضْلِ طَهُورِ الْمَرْأَةِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ كَرِهَا فَضْلَ طَهُورِهَا وَلَمْ يَرَيَا بِفَضْلِ سُؤْرِهَا بَأْسًا
Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan berkata; telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Sufyan dari Sulaiman At Taimi dari Abu Hajib dari Seorang laki-laki dari bani Ghifar, ia berkata; 
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dari air sisa mandi seorang wanita.” 
Dan dalam bab ini ada juga riwayat dari Abdullah bin Sarjis. Abu Isa berkata; 
“Sebagian fuqaha memakruhkan berwudlu dari air sisa mandi seorang wanita. Dan ini adalah perkataan Ahmad dan Ishaq, mereka memakruhkan air sisa bersucinya mereka, bukan sisa air yang masih dalam bejananya.” 
(HR. Tirmidzi no. 63)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ عَاصِمٍ قَال سَمِعْتُ أَبَا حَاجِبٍ يُحَدِّثُ عَنْ الْحَكَمِ بْنِ عَمْرٍو الْغِفَارِيِّ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُورِ الْمَرْأَةِ أَوْ قَالَ بِسُؤْرِهَا
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَأَبُو حَاجِبٍ اسْمُهُ سَوَادَةُ بْنُ عَاصِمٍ و قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ فِي حَدِيثِهِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُورِ الْمَرْأَةِ وَلَمْ يَشُكَّ فِيهِ مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar dan Muhammad bin Ghailan mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Dawud dari Syu’bah dari ‘Ashim berkata; Aku mendengar Abu Hajib menceritakan dari Al Hakam bin ‘Amru Al Ghifari, 
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seorang laki-laki berwudlu dengan air sisa bersucinya wanita, atau ia mengatakan; “Air sisa yang masih di dalam bejananya.” 
Abu Isa berkata; “Ini adalah hadits hasan. Dan Abu Hajib namanya adalah Sawadah bin ‘Ashim.” Muhammad bin Basysyar menyebutkan dalam haditsnya; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seorang laki-laki berwudlu dengan air sisa bersucinya seorang wanita,” dan Muhammad bin Basysyar tidak ragu di dalamnya.
(HR. Tirmidzi no. 64)
Imam At Tirmidzi mencantumkan hadits ini pada Bab : Dimakruhkan wudhu dengan sisa air wanita.
Penutup
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan: 
“Jika air dalam jumlah banyak digunakan orang untuk berwudhu, lalu air tersebut tersisa di sana, maka boleh digunakan untuk berwudhu oleh orang yang kedua. Pendapat yang tepat hal tersebut tidak mengapa, tidak membuat air tersebut menjadi najis, dan tidak menghilangkan thahuriyyah-nya (keabsahan untuk mensucikan).
Sebagian ulama mengatakan bahwa ia suci namun tidak mensucikan dan tidak bisa mewujudkan kesucian. Pendapat ini tidak berlandaskan dalil. Yang benar, ia dapat mensucikan. Jika seseorang bersuci dengannya dari sebuah bejana, atau bejana besar, lalu airnya terciprat ke bejana yang lain lalu digunakan oleh orang lain untuk berwudhu, maka ini tidak mengapa selama tidak ada najis di sana. Karena orang yang pertama tersebut mencuci wajahnya, lengannya, dan membasuh kepalanya dan telinganya, tentu ini tidak membuat airnya menjadi najis dan menghilangkan thahuriyyah-nya, berdasarkan pendapat yang rajih. 
NAMUN MENINGGALKANNYA itu LEBIH BAIK, dalam rangka meninggalkan yang MERAGUKAN dan beralih kepada yang tidak MERAGUKAN.” 
(Fatawa Nurun ‘alad Darbi, juz 5 halaman 272, versi web: http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?View=Page&PageID=805&PageNo=1&BookID=5).
Kesimpulan :
Air musta’mal suci dan mensucikan selama tidak berubah warna, bau atau rasanya. Jika masih meragukan apakah air musta’mal mensucikan atau tidak? maka lebih baik meninggalkannya.
Demikian, semoga bermanfaat, semoga Allah Ta’ala memberi taufik kepada kita untuk beragama dan beribadah kepada-Nya dengan benar. 
Wallahu waliyyu dzalika wa qaadiru ‘alaihi.

Leave a Comment