Apakah Cukup Memahami Sifat Allah dengan Makna Dzahirnya Saja?

Apakah Cukup Memahami Sifat Allah dengan Maknanya Saja?
Oleh : Muhammad Atim
Fatwapedia.com – Merupakan bagian dari iman kepada Allah adalah menerima dan meyakini setiap apapun yang Allah jelaskan tentang diri-Nya. Meskipun suatu sifat atau perbuatan tersebut secara lafazh ada kemiripan dengan yang ada pada makhluk, seperti mendengar, melihat, berbicara, memiliki wajah, tangan, dst, tapi Allah telah menegaskan bahwa Dia berbeda dengan makhluk-Nya, tak ada satupun yang menyamai-Nya. Oleh karena itu, kita dilarang untuk tamtsil/tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Kalau bagi makhluk, wajah dan tangan adalah organ tubuh (jarihah), sedangkan bagi Allah tentu bukan, karena Dia berbeda dengan makhluk-Nya, akal kita tidak mampu menggambarkannya, bahkan dilarang menggambarkannya (takyif). Hanya Allah yang tahu hakikat sebenarnya.
Pertanyaannya, apakah sifat dan perbuatan yang Allah sebutkan tentang diri-Nya itu, kita bisa memahami maknanya ataukah tidak memahami sama sekali?
Yang tepat adalah, kita memahami maknanya (mafhumul ma’na), tapi tidak mengetahui gambaran hakikatnya (majhulul kaifiyyah). Karena gambarannya tidak bisa diketahui, maka memahami maknanya pun sangat terbatas dan sederhana, sebatas memahami petunjuk makna dari lafazhnya dan dapat membedakannya antara satu sama lain. Tidak mengetahuinya secara rinci.
Inilah keadaan yang ada pada Salafush Shaleh kita. Mereka menetapkan nash-nash tentang sifat Allah apa adanya dengan lafazh dan maknanya, tanpa memikirkan dan mendalami kaifiyyatnya, dan tanpa menyelewengkan kepada makna-makna yang jauh dan tidak dikandung oleh nash-nash tersebut.
Kita bisa mengetahui keadaan Salafush Shaleh itu, baik zaman sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, paling tidak melalui perkataan para tokoh yang mewakilinya, yaitu Ummu Salamah, Rabi’atur Ro’yi (guru imam Malik), dan imam Malik. Berikut ini perkataan mereka yang masyhur :
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ فِي قَوْلِهِ {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه: ٥] قَالَتْ:  الْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُولٍ وَالِاسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوَلٍ وَالْإِقْرَارُ بِهِ إِيمَانٌ وِالْجُحُودُ بِهِ كُفْرٌ
“Dari Ummu Salamah tentang firman-Nya, “Allah Ar-Rahman bersemayam di atas ‘Arsy” (QS. Thaha : 5). Ia berkata, “Kaif (bagaimananya) tidak masuk akal, istiwanya tidak majhul (diketahui), mengakuinya adalah keimanan, dan menentangnya adalah kekufuran.”
عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ، قَالَ: سُئِلَ رَبِيعَةُ عَنْ قَوْلِهِ {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه: ٥] كَيْفَ اسْتَوَى؟ قَالَ:  الِاسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوَلٍ وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُولٍ , وَمِنَ اللَّهِ الرِّسَالَةُ وَعَلَى الرَّسُولِ الْبَلَاغُ، وَعَلَيْنَا التَّصْدِيقُ
“Dari Ibnu Uyainah, ia berkata, Rabi’ah ditanya tentang firman-Nya, “Allah Ar-Rahman bersemayam di atas ‘Arsy” (QS. Thaha : 5), bagaimanakah istiwa itu? Ia berkata, “istiwa tidak majhul, kaifiyyahnya tidak masuk akal, dari Allah risalah itu, kewajiban rasul menyampaikan, dan kewajiban kita membenarkan.”
 عَنْ جَعْفَرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ، فَقَالَ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه: ٥] كَيْفَ اسْتَوَى قَالَ: فَمَا رَأَيْتُ مَالِكًا وَجَدَ مِنْ شَيْءٍ كَمَوْجِدَتِهِ مِنْ مَقَالَتِهِ، وَعَلَاهُ الرُّحَضَاءُ، يَعْنِي الْعَرَقَ قَالَ: وَأَطْرَقَ الْقَوْمُ، وَجَعَلُوا يَنْتَظِرُونَ مَا يَأْتِي مِنْهُ فِيهِ، قَالَ: فَسُرِّيَ عَنْ مَالِكٍ، فَقَالَ: الْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُولٍ وَالِاسْتِوَاءُ مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوَلٍ وَالْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ، فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُونَ ضَالًّا، وَأَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ
Dari Ja’far bin Abdillah, ia berkata, telah datang seorang laki-laki kepada Malik bin Anas lalu berkata, “Wahai Abu Abdillah, “Allah Ar-Rahman bersemayam di atas arsy” (QS. Thaha : 5), bagaimanakah ia beristiwa? Ia (Ja’far bin Abdillah) berkata, “Aku tidak melihat Malik marah seperti marahnya terhadap perkataannya tersebut, ia dipenuhi keringat. Ia (Ja’far bin Abdillah) berkata, orang-orang pun diam, mereka menunggu apa yang akan dilakukan olehnya terhadap orang tersebut. Lalu keadaan Malik kembali normal, lalu berkata, “Bagaimananya tidak dapat dinalar, istiwanya sendiri tidak majhul, mengimaninya wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Sungguh aku khawatir engkau adalah orang yang sesat.” Lalu beliau memerintahkan untuk mengeluarkan orang tersebut dari majelisnya.”
(Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Al-Lalikai, hal. 327-238, Aqidatus Salaf wa Ashabil Hadits, Abu Utsman Ismail Ash-Shabuni, hal. 182-183, Al-Asma wash Sifat, Al-Baihaqi dengan jalur lain, hal. 1029-1030).
Dalam satu manuskrip dari kitab Aqidatus Salaf wa Ashabil Hadits (hal. 183) perkataan imam Malik tersebut dengan redaksi,
الكَيْفُ غَيْرُ مَعْلُوْمٍ
“Kaifnya tidak diketahui.”
Kedua redaksi tersebut tidaklah bertentangan, maknanya sama saja. Yaitu tidak masuk akal artinya tidak diketahui. Bukan tidak ada kaifnya, ada tapi tidak diketahui.
Oleh karena itu banyak para ulama menukil perkataannya dengan redaksi,
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ والكَيْفُ مَجْهُوْلٌ
Atau
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ والكَيْفِيَّةُ مَجْهُوْلَةٌ
Seperti dikatakan oleh Ibnu Abdil Bar, Abu Bakar Ibnul Arabi, Al-Qurthubi, Al-Juwaini, Al-Ghazali, Adz-Dzahabi, Asy-Syathibi, dll. (Lihat Al-Istidzkar, 2/529, ‘Aridhatul Ahwadzi, 3/166, Tafsir Al-Qurthubi, 7/219-220, Al-‘Aqidah An-Nizhamiyyah, hal 23, Faishalut Tafriqah bainal Kufri waz Zindiqah, hal. 88, Al-Uluw li ‘Alayyi Al-Ghaffar, hal, 254, Al-I’tisham, hal. 229).
Maka yang lebih tepat dan kuat, keadaan Salafush Shaleh itu memahami maknanya dan tidak mengetahui kaifiyyahnya atau mentafwid (menyerahkan) kaifiyyatnya, dengan kata lain mereka mengitsbat makna zahirnya. Dengan beberapa alasan sebagai berikut :
Pertama, perkataan “istiwa itu tidak majhul/ma’lum (diketahui), jelas menunjukkan maknanya diketahui. Kalaulah maknanya tidak diketahui, maka tidak ada faidahnya menyebutkan “kaifnya tidak diketahui atau tidak masuk akal”. Sia-sia kalau ada orang menanyakan “Apakah kamu tahu singa?” Lalu dijawab, “saya tidah tahu”, lalu bertanya lagi, “Bagaimana bentuknya?”. Bertanya, “bagaimana bentuknya?” itu kalau ia menjawab “saya tahu singa”. Yang ditanyakan orang tersebut kepada imam Malik adalah “bagaimana beristiwa” bukan “apa makna istiwa”. Karena makna istiwa sudah maklum.
Kedua, kalaulah makna dari sifat-sifat tersebut tidak diketahui, atau secara zahirnya menunjukkan keserupaan dengan makhluk artinya menjadi isykal/kerancuan, niscaya sejak dahulu para sahabat akan bertanya kepada Rasulullah ﷺ. Namun faktanya, mereka tidak mempertanyakannya. Bahkan, orang-orang kafir Quraisy semisal Abu Jahal tidak menjadikannya poin untuk menyerang aqidah Islam, padahal mereka selalu mencari-cari kesalahan dan celah untuk menyerang. Jadi, makna zahir yang dipahami oleh Salafush Shaleh terdahulu tidaklah menunjukkan keserupaan dengan makhluk.
Syekh Muhammad Salim ‘Adud mengatakan dalam nazhamnya,
يُمَرُّ مَا فِي وَصْفِهِ جَاءَ مِنَ الْـــــ ۞ ـــــوَحْيِ كَمَا يَفْهَمُ مَنْ فِيْهِمْ نَزَلَ
“Dibiarkan apa yang -tentang penyifatan-Nya- datang dari wahyu
Sebagaimana dipahami oleh orang-orang yang kepada mereka ia turun
Dalam nazham lainnya beliau mengatakan,
الظَّاهِرُ الَّذِي عَلَيْهِ نُبْـــــــــــقِي ۞ مُوْهِمُ تَشْبِيْهٍ لِرَبِّ الْخَلْـــــــقِ
هُوَ الَّذِي أَهْلُ اللِّسَانِ فَهِمُــــوا ۞ إِذْ نَزَلَ الْوَحْيُ بِهِ عَلَيْهِــــــــــمُ
فَلَا أَبُوبَكْرٍ لِخَيْرِ الرُّسُـــــــــــــــلِ ۞ يَقُوْلُ أَشْكَلَ عَلَيَّ اِشْرَحْهُ لِي
وَلَا أَبُو جَهْلٍ يَقُوْلُ اِخْتَلَـــــــــــفَا ۞ أَثْبَتَ مَا مِنَ التَّمَاثُلِ نَفَــــــــى
“Zahir yang kita tetapkan, yang menimbulkan anggapan keserupaan, bagi Rab (pengurus) makhluk itu
Dialah yang ahli bahasa memahaminya, dimana wahyu turun terhadap mereka
Tidaklah Abu Bakar kepada sebaik-baik rasul, berkata: “ia rancu bagiku, jelaskanlah ia untukku”
Tidak pula Abu Jahal berkata: “telah terjadi kontradiksi”, ia menetapkan apa yang ia nafikan dari keserupaan”
Jadi, nash-nash sifat Allah, secara zahirnya menurut ahli bahasa yang murni (saliqah), tidaklah menunjukkan keserupaan dengan makhluk. Hanya orang-orang belakangan (khalaf) yang kemudian memahami makna zahirnya serupa dengan makhluk. Sebagaimana yang akan saya nukilkan dari penjelasan Adz-Dzahabi.
Ketiga, banyak sekali perkataan Salaf baik sahabat maupun yang lainnya yang menunjukkan mereka memahami maknanya dan mereka masukkan dalam perkataan mereka dengan perubahan dari lafazh aslinya yang ada dalam nash, dan tentu memberikan pengaruh ke dalam diri-diri mereka. Misalnya perkataan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu :
 مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللهَ فَإِنَّ اللهَ فَوْقَ سَمَاوَاتِهِ حَيٌّ لَا يَمُوْتُ
“Siapa yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya Muhammad sungguh telah mati, dan siapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah di atas langit-langitnya, hidup, tidak mati.” (Asalnya ada dalam Shahih Bukhari, 1/167, lihat Ar-Rad ‘alal Jahmiyyah, hal. 274, At-Tarikh Al-Kabir Al-Bukhari, 1/202).
Perkataannya, “Allah di atas langit-langit-Nya”, menunjukkan ia memahami maknanya.
Perkataan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu :
هَذِهِ اِمْرَأَةٌ سَمِعَ اللهُ شَكْوَاهَا مِنْ فَوْقِ سَبْعِ سَمَاوَاتٍ
“Perempuan ini Allah mendengar keluhannya dari atas tujuh langit.” (Al-Isti’ab, 4/283, Tafsir Ibnu Katsir, 4/318, Ar-Rod ‘alal Jahmiyyah Ad-Darimi, hal. 274).
Dan masih banyak lagi, tidak mungkin saya tuangkan semuanya di sini.
Keempat, menjadi poin untuk membantah kesesatan jahmiyyah. Kalaulah mereka tidak memahami maknanya, apa yang mereka pertahankan, dengan hujjah apa mereka membantah? Cukup banyak kitab-kitab yang ditulis oleh Salafush Shaleh dalam hal ini, yaitu misalnya Ar-Rad ‘alaz Zanadiqah wal Jahmiyyah imam Ahmad bin Hanbal, Ar-Rad ‘alal Jahmiyyah Utsman Ad-Darimi, Ar-Rad ‘alal Jahmiyyah Ibnu Qutaibah, Ar-Rad ‘ala Jahmiyyah Ibnu Mandah, Khalqu Af’alil ‘Ibad imam Bukhari, At-Tauhid Ibnu Khuzaimah, dsb.
Itulah di antaranya empat hujjah yang bisa menjadi pegangan untuk membuktikan bahwa Salafush Shaleh itu berpemahaman mengetahui maknanya dan tidak mengetahui atau mentafwidh kaifiyyahnya, atau mengitsbat makna zahirnya.
Lalu, pertanyaan yang kemudian sering dimunculkan, kalau memang maknanya diketahui, apa maknanya, bahkan mereka meminta untuk mendefinisikannya.
Makna yang diketahui itu, karena gambaran hakikat (kaifiyyat)nya tidak diketahui, adalah makna yang global saja, bukan makna yang dapat diperinci. Seperti yang dikatakan oleh Adz-Dzahabi (w.748 H) rahumahullah berikut ini :
فَإِنَّنَا عَلَى أَصْلٍ صَحِيْحٍ وَعِقْدٍ مَتِيْنٍ مِنْ أَنَّ اللهَ تَقَدَّسَ اسْمُهُ لَا مِثْلَ لَهُ، وَأَنَّ إِيْمَانَنَا بِمَا ثَبَتَ مِنْ نُعُوْتِهِ كَإِيْمَانِنَا بِذَاتِهِ الْمُقَدَّسَةِ؛ إِذِ الصِّفَاتُ تَابِعَةٌ لِلْمَوْصُوْفِ، فَنَعْقِلُ وُجُوْدَ الْبَارِي وَنُمَيِّزُ ذَاتَهُ الْمُقَدَّسَةَ عَنِ الْأَشْبَاهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ نَتَعَقَّلَ الْمَاهِيَةَ، فَكَذَلِكَ الْقَوْلُ فِي صِفَاتِهِ، نُؤْمِنُ بِهَا، وَنَعْقِلُ وُجُوْدَهَا، وَنَعْلَمُهَا فِي الْجُمْلَةِ مِنْ غَيْرِ أَنْ نَتَعَقَّلَهَا أَوْ نُشَبِّهَهَا أَوْ نُكَيِّفَهَا أَوْ نُمَثِّلَهَا بِصِفَاتِ خَلْقِهِ. تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوًّا كَبِيْرًا.
“Sesungguhnya kami di atas landasan yang benar dan akidah yang kokoh bahwa Allah suci nama-Nya, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Bahwa iman kita terhadap apa yang ditetapkan dari sifat-Nya seperti iman kita kepada zat-Nya yang suci, karena sifat itu mengikuti kepada yang disifati (maushuf). Kita memahami keberadaan Allah Al-Bari dan membedakan zat-Nya yang suci dari keserupaan tanpa memikirkan hakikatnya. Begitu pula berbicara tentang sifat-sifat-Nya, kita mengimaninya, memahami keberadaannya, dan memahaminya SECARA GLOBAL (fil jumlah) tanpa memikirkannya, menyerupakannya atau membayangkan bagaimananya, atau menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Allah maha tinggi dari hal itu dengan ketinggian yang besar.” (Al-‘Uluw lil ‘Ali Al-Ghaffar, hal. 13).
Makna zahirnya itu dipahami oleh orang yang mengerti bahasa Arab baik secara murni-alami (saliqah) maupun melalui belajar. Ia akan mengerti makna as-sam’u, al-bahsar, al-kalam, begitu pula ia mengerti makna al-wajh, al-yad, al-‘ain, dst. Lafazh-lafazh tersebut digunakan untuk makhluk, yang bagi mereka tidak terlepas dari sifat kejisiman (fisik) dan organ tubuh. Dan digunakan pula untuk Allah, karena Allah telah menetapkannya untuk diri-Nya di dalam nash, namun bagi Allah tidaklah menunjukkan jisim dan organ tubuh, karena Allah berbeda dengan makhluk-Nya. Kalau orang yang belum paham bahasa Arab ingin mengetahuinya, tinggal dialihkan saja ke bahasanya atau diterjemahkan, dengan mencari padanannya yang tepat. Yaitu maknanya adalah melihat, mendengar, berbicara, wajah, tangan, mata, dst. Dan itu semua bagi Allah tidaklah menunjukkan kejisiman dan organ tubuh. Kalau ada disebutkan bahwa Salaf tidak menafsirkannya, hal itu karena maknanya jelas tidak butuh kepada penafsiran. Kalaupun ada yang ditafsirkan, itu dengan lafazh-lafazh lain yang sepadan (murodif/sinonim). Dalam menentukan lafazh-lafazh penafsirannya itu, kita juga harus berpaku kepada penafsiran Salafush Shaleh, karena mereka lebih tahu penafsirannya dan lebih mengerti dengan bahasa Arab yang murni. Bukan dengan penafsiran yang jauh dari yang ditunjuki oleh maknanya dalam bahasa, baik dari segi mufrodat (satuan kata)nya, maupun dari segi siyaqul kalam (alur pembicaraan)nya. Pengalihan kepada makna yang jauh, atau menghindari makna zahirnya ini kemudian disebut dengan istilah ta’wil. Pengalihan kepada makna ta’wil ini karena menganggap makna zahirnya menunjukkan keserupaan dengan makhluk. Ini adalah pemahaman yang muncul belakangan, sedangkan Salafush Shaleh tidaklah memahami makna zahir itu sebagai keserupaan dengan makhluk.
Adz-Dzahabi menerangkan,
الْمُتَأَخِّرُوْنَ مِنْ أَهْلِ النَّظَرِ قَالُوا مَقَالَةً مُوَلَّدَةً مَا عَلِمْتُ أَحَدًا سَبَقَهُمْ بِهَا، قَالُوا : هَذِهِ الصِّفَاتُ تُمَرُّ كَمَا جَاءَتْ، وَلَا تُأَوَّلُ مَعَ اعْتِقَادِ أَنَّ ظَاهِرَهَا غَيْرُ مُرَادٍ، فَتَفَرَّعَ مِنْ هَذَا أَنَّ الظَّاهِرَ يَعْنِي بِهِ أَمْرَانِ :
أَحَدُهُمَا : أَنَّهُ لَا تَأْوِيْلَ لَهَا غَيْرُ دِلَالَةِ الْخِطَابِ، كَمَا قَالَ السَّلَفُ : الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ، وَكَمَا قَالَ سُفْيَانُ وَغَيْرُهُ قِرَاءَتُهَا تَفْسِيْرُهَا، يَعْنِي أَنَّهَا بَيِّنَةٌ وَاضِحَةٌ فِي اللُّغَةِ لَا يُبْتَغَى بِهَا مَضِائِقُ التَّأْوِيْلِ وَالتَّحْرِيْفِ، وَهَذَا هُوَ مَذْهَبُ السَّلَفِ، مَعَ اتِّفَاقِهِمْ أَيْضًا أَنَّهَا لَا تُشْبِهُ صِفَاتَ الْبَشَرِ بِوَجْهٍ، إِذِ الْبَارِي لَا مِثْلَ لَهُ لَا فِي ذَاتِهِ وَلَا فِي صِفَاتِهِ.
الثَّانِي: أَنَّ ظَاهِرَهَا هُوَ الَّذِي يَتَشَكَّلُ فِي الْخَيَالِ مِنَ الصِّفَةِ كَمَا يَتَشَكَّلُ فِي الذِّهْنِ مِنْ وَصْفِ الْبَشَرِ فَهَذَا غَيْرُ مُرَادٍ
“Kalangan muta’akhkhirin dari ahli kalam mengatakan suatu perkataan baru yang aku tidak mengetahui ada seorang pun yang mendahului mereka dengan perkataan tersebut. Mereka berkata; “Sifat-sifat ini dibiarkan sebagaimana datangnya dan tidak dita’wil dengan meyakini bahwa zhahirnya bukanlah yang dimaksud. Maka dari hal ini melahirkan cabang, yaitu bahwa zahir itu menjadi dua perkara :
Pertama; yang tidak ada takwilnya selain petunjuk makna dari khithabnya sebagaimana yang dikatakan salaf: “istiwa itu maklum” dan sebagaimana dikatakan Sufyan dan selainnya bahwa “Bacaannya adalah tafsirannya” Yaitu sifat-sifat ini terang dan jelas pada lughah dan tidak perlu dicari kesempitan takwil dan tahrifnya, dan ini adalah mazhab salaf, dengan kesepakatan mereka juga tidak mentasybih Allah dengan sifat manusia pada satu sisi pun, kerana Allah tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya, tidak pada dzat-Nya dan tidak pula pada sifat-Nya.
Dan yang kedua adalah: “Bahwa zhahirnya adalah yang terbayang dalam imajinasi sebagaimana terbayang pada fikiran berupa sifat manusia. Maka ini bukanlah makna yang dimaksud”. (Al-‘Uluw lil ‘Ali Al-Ghaffar, hal. 251).
Adz-Dzahabi lebih jauh menerangkan tentang perkataan imam Malik tentang istiwa,
هَذَا ثَابِتٌ عَنْ مَالِكٍ، وَتَقَدَّمَ نَحْوُهُ عَنْ رَبِيْعَةَ شَيْخِ مَالِكٍ، وَهُوَ قَوْلُ أَهْلِ السُّنَّةِ قَاطَبَةً أَنَّ كَيْفِيَّةَ الاِسْتِوَاءِ لَا نَعْقِلُهَا، بَلْ نَجْهَلُهَا، وَأَنَّ اِسْتِوَاءَهُ مَعْلُوْمٌ كَمَا أَخْبَرَ فِي كِتَابِهِ، وَأَنَّهُ كَمَا يَلِيْقُ بِهِ، لَا نُعَمِّقُ وَلَا نَتَحَذْلَقُ، وَلَا نَخُوْضُ فِي لَوَازِمِ ذَلِكَ نَفْيًا وَلَا إِثْبَاتًا، بَلْ نَسْكُتُ وَنَقِفُ كَمَا وَقَفَ السَّلَفُ، وَنَعْلَمُ أَنَّهُ لَوْ كَانَ لَهُ تَأْوِيْلٌ لَبَادَرَ إِلَى بَيَانِهِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُوْنَ وَلَمَا وَسَعَهُمْ إِقْرَارُهُ وَإِمْرَارُهُ وَالسُّكُوْتُ عَنْهُ، وَنَعْلَمُ يَقِيْنًا مَعَ ذَلِكَ أَنَّ اللهَ جَلَّ جَلَالُهُ لَا مِثْلَ لَهُ فِي صِفَاتِهِ وَلَا فِي اسْتِوَائِهِ وَلَا فِي نُزُوْلِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يَقُوْلُ الظَّالِمُوْنَ عُلُوًّا كَبِيْرًا
“Ini shahih dari imam Malik, dan telah terdahulu yang semisalnya dari Rabi’ah, guru Malik. Dan dia adalah perkataan Ahlus Sunnah semuanya, bahwa kaifiyyat istiwa itu kita tidak dapat memahaminya, tidak mengetahuinya, dan bahwa istiwanya itu diketahui sebagaimana Allah beritahukan dalam kitab-Nya, dan bahwa ia sebagaimana yang layak dengan-Nya, kita tidak memperdalamnya dan tidak sok tahu, tidak mendalami kelaziman-kelazimannya baik dalam bentuk penafian maupun penetapan, tapi kita diam dan menangguhkan sebagaimana menangguhkannya Salaf. Kita tahu bahwa kalaulah ia memiliki ta’wil, niscara sahabat dan tabi’in akan segera menjelaskannya, dan tidak cukup menyatakan, membiarkan dan diam darinya. Dan kita tahu secara yakin bersamaan dengan hal itu bahwa Allah tidak ada tandingan bagi-Nya, baik dalam sifat-Nya, dalam istiwanya, dan tidak pula dalam turun-Nya, Dia maha suci dan maha tinggi dari apa yang diucapkan oleh orang-orang yang zalim, dengan ketinggian yang besar.” (Al-‘Uluw lil ‘Ali Al-Ghaffar, hal. 139).
Dalam kitab lainnya beliau juga menjelaskan,
وَقَدْ تَقَدَّمَ نَحْوُهُ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، وَوَهْبِ بْنِ مُنَبِّهٍ، وَرَبِيْعَةَ الرَّأْيِ. فَانْظُرْ إِلَيْهِمْ كَيْفَ أَثْبَتُوا الْاِسْتِوَاءَ لِلَّهِ، وَأَخْبَرُوا أَنَّهُ مَعْلُوْمٌ لَا يَحْتَاجُ لَفْظُهُ إِلَى تَفْسِيْرٍ، وَنَفَوا الْكَيْفِيَّةَ عَنْهُ، وَأَخْبَرُوا أَنَّهَا مَجْهُوْلَةٌ
“Dan telah terdahulu yang semisalnya dari Ummu Salamah, Wahb bin Munabbih dan Rabi’atur Ra’yi. Lihatlah kepada mereka, bagaimana mereka menetapkan istiwa untuk Allah, dan mereka memberitahukan bahwa istiwa itu diketahui, lafazhnya tidak membutuhkan kepada tafsir, dan mereka menafikan kaifiyyah darinya, dan mereka memberitahukan bahwa kaifiyyahnya itu tidak diketahui.” (Al-‘Arsy, 2/234).
Beliau juga menjelaskan bahwa makna zahirnya itu jelas, tidak ada yang tersembunyi darinya. Setelah menyebutkan perkataan Abu Bakar Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah (w. 463 H) yang menyebutkan bahwa Salaf menetapkan nash-nash sifat dan membiarkannya di atas zahirnya, dan bahwa berbicara dalam sifat-Nya sama dengan berbicara dalam zat-Nya, ia mengatakan,
وَقَالَ نَحْوَ هَذَا الْقَوْلِ قَبْلَ الْخَطِيْبِ الخَطَّابِي أَحَدُ الْأَعْلَامِ وَهَذَا الَّذِي عَلِمْتُ مِنْ مَذْهَبِ السَّلَفِ. وَالْمُرَادُ بِظَاهِرِهَا أَيْ لَا بَاطِنَ لِأَلْفَاظِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ غَيْرُ مَا وُضِعَتْ لَهُ كَمَا قَالَ مَالِكٌ وَغَيْرُهُ الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ. وَكَذَلِكَ القَوْلُ فِي السَّمْعِ وَالْبَصَرِ وَالْعِلْمِ وَالْكَلَامِ وَالْإِرَادَةِ وَالْوَجْهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ هَذِهِ الْأَشْيَاءُ مَعْلُوْمَةٌ فَلَا تَحْتَاجُ إِلَى بَيَانٍ وَتَفْسِيْرٍ، لَكِنِ الْكَيْفُ فِي جَمِيْعِهَا مَجْهُوْلٌ عَنْدَنَا. وَاللهُ أَعْلَمُ
“Dan berkata semisal dengan perkataan ini sebelum Al-Khatib, yaitu Al-Khattabi, salah satu toko ulama. Dan inilah yang aku ketahui dari madzhab Salaf. Yang dimaksud dengan zahirnya adalah TIDAK ADA YANG TERSEMBUNYI bagi lafazh-lafazh Al-Qur’an dan Sunnah selain apa yang diletakkan baginya (dalam bahasa), sebagaimana Malik dan selainnya mengatakan, “Istiwa itu ma’lum”. Begitu pula berbicara dalam as-sam’u, al-bashar, al-‘ilmu, al-kalam, al-irodah, al-wajhu, dan yang semisalnya. Perkara-perkara ini diketahui, tidak butuh kepada penjelasan dan tafsir. Tetapi kaif (bagaimananya) pada semuanya itu tidak diketahui oleh kita.” (Al-‘Uluw lil ‘Ali Al-Ghaffar, hal. 254).
Selain Adz-Dzahabi, banyak ulama lainnya yang menjelaskan dengan penjelasan yang serupa. Diantaranya, Imamul Mufassirin Ibnu Jarir Al-Thabari (w. 310 H) rahimahullah. Beliau berkata :
فَإِنْ قَالَ لَنَا مِنْهُمْ قَائِلٌ : فَمَا أَنْتَ قَائِلٌ فِي مَعْنَى ذَلِكَ؟ قِيْلَ لَهُ : مَعْنَى ذَلِكَ مَا دَلَّ عَلَيْهِ ظَاهِرُ الْخَبَرِ، وَلَيْسَ عِنْدَنَا لِلْخَبَرِ إِلَّا التَّسْلِيْمُ وَالْإِيْمَانُ بِهِ
“Jadi jika seseorang dari mereka berkata kepada kami, “Apa pendapatmu mengenai maknanya (dari sifat tersebut) ?” Maka dijawab kepadanya, “Maknanya adalah apa yang ditunjukkan oleh zhahirnya khabar tersebut. Tidak ada (kewajiban) bagi kami terhadap khabar tersebut kecuali menerima dan mengimaninya.” (Al-Tabshîr fi Ma’ālim Al-Dîn, hal. 147].
Al-Imam Abu Ishak Asy-Syakila (w. 369 H) rahimahullah berkata :
هَذِهِ الْأَحَادِيْثُ تَلَقَّاهَا الْعُلَمَاءُ بِالْقَبُوْلِ فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَمْنَعَهَا وَلَا يَتَأَوَّلَهَا وَلَا يُسْقِطَهَا لِأَنَّ الرَّسُوْلَ ﷺ لَوْ كَانَ لَهَا مَعْنًى عِنْدَهُ غَيْرُ ظَاهِرِهَا لَبَيَّنَهُ
“Hadits-hadits ini diterima dan diridhai oleh para ulama. Tidak ada seorang pun yang dapat menolaknya, mentakwilnya dan melemahkannya. Seandainya di sisi Rasulullah -shallallāhu ‘alaihi wasallam- terdapat makna lain selain makna zhahirnya, pastilah beliau akan menjelaskannya.” (Thabaqat Al-Hanabilah, 2/135).
Al-Imam Abul Qasim Ismail Al-Asfahani Asy-Syafi’i (w. 535 H) rahimahullah  berkata,
مَذْهَبُ مَالِكٍ، وَالثَّوْرِي، وَالْأَوْزَاعِي، وَالشَّافِعِي، وَحَمَّادِ ابْنِ سَلَمَةَ، وَحَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ، وَأَحْمَدَ، وَيَحْيَى بْنِ سَعِيْدٍ القَطَّانِ، وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَهْدِي، وَإِسْحَاقَ بْنِ رَاهَوَيْهٍ، أَنَّ صِفَاتِ اللهِ الَّتِي وَصَفَ بِهَا نَفْسَهُ، وَوَصَفَهُ بِهَا رَسُوْلُهُ، مِنَ السَّمْعِ، وَالْبَصَرِ، وَالْوَجْهِ، وَالْيَدَيْنِ، وَسَائِرِ أَوْصَافِهِ، إِنَّمَا هِيَ عَلَى ظَاهِرِهَا الْمَعْرُوْفِ الْمَشْهُوْرِ، مِنْ غَيْرِ كَيْفٍ يُتَوَهَّمُ فِيْهَا، وَلَا تَشْبِيْهٍ وَلَا تَأْوِيْلٍ
“Madzhab Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Hammad bin Salamah, Hammad bin Zaid, Ahmad, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, ‘Abdurrahman bin Mahdi dan Ishaq bin Rahawaih adalah bahwa sifat-sifat Allah yang Dia menyifati diri-Nya dengannya, yang dengannya pula Rasul-Nya (shallallāhu ‘alaihi wasallam) menyifati-Nya berupa sifat as-sam’u, al-bashar, al-wajh, al-yadain dan yang lainnya maka sifat-sifat tersebut adalah berdasarkan zhahirnya yang ma’ruf (dikenal/diketahui) lagi masyhur (populer) tanpa kaif dengan membayangkan-Nya, tanpa tasybih dan tanpa pula takwil.” (Dinukil oleh Al-Dzahabi dalam Al-‘Uluww, hal. 263]
Jadi, kalau ditanyakan tentang definisinya, maka sebatas dapat disebutkan padanan katanya saja, baik dengan terjemahan maupun dengan lafazh-lafazh lain sesuai dengan penafsiran Salafush Shaleh, tapi kalau ditanyakan definisi secara rincinya, maka itu telah masuk pada menanyakan kaifiyyatnya yang dilarang oleh Salafush Shaleh. Wallahu A’lam.
t.me/butirpencerahan
t.me/maisy_institute

Leave a Comment