Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Negara
Fatwapedia.com – Dalam Shahih Muslim (no. 1770), ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
نَادَى فِينَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ انْصَرَفَ عَنِ الْأَحْزَابِ «أَنْ لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الظُّهْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ»، فَتَخَوَّفَ نَاسٌ فَوْتَ الْوَقْتِ، فَصَلَّوْا دُونَ بَنِي قُرَيْظَةَ، وَقَالَ آخَرُونَ: لَا نُصَلِّي إِلَّا حَيْثُ أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِنْ فَاتَنَا الْوَقْتُ، قَالَ: فَمَا عَنَّفَ وَاحِدًا مِنَ الْفَرِيقَيْنِ
Artinya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari sepulangnya dari Perang Ahzab menyeru kami, “Jangan ada satu orang yang shalat zhuhur kecuali di pemukiman Bani Quraizhah (salah satu kabilah Yahudi)”, kemudian di perjalanan orang-orang khawatir terlewat shalat pada waktunya, sehingga mereka shalat dulu meskipun belum sampai di pemukiman Bani Quraizhah. Sedangkan sebagian yang lain berkata: Kita tidak akan shalat kecuali sesuai dengan yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun itu membuat waktu shalat terlewat. Beliau kemudian berkata: Rasul tidak mencela satu pun dari dua kelompok ini.”
Imam An-Nawawi dalam “Syarh Shahih Muslim” (Juz 12, Hlm. 140, Muassasah Qurthubah, Mesir) mengomentari Hadits ini:
وقد يستدل به على أن كل مجتهد مصيب، وللقائل الآخر أن يقول: لم يصرح بإصابة الطائفتين، بل ترك تعنيفهم، ولا خلاف في ترك تعنيف المجتهد، وإن أخطأ إذا بذل وسعه في الاجتهاد
Artinya: “Hadits ini dijadikan dalil bahwa seluruh mujtahid itu benar. Sedangkan bagi yang berpendapat beda, dia berargumen: Nabi tidak secara sharih menyatakan bahwa dua kelompok itu sama-sama benar, beliau cuma tidak mencela mereka, dan tidak ada perbedaan pendapat bahwa mujtahid tidak dicela meskipun keliru, jika dia sudah mengupayakan segenap kemampuan intelektualnya dalam ijtihad.”
Dalam ushul fiqih ada bahasan, jika terdapat perbedaan pendapat ulama berdasarkan hasil ijtihad mereka, apakah seluruh pendapat mujtahid tersebut benar, dalam arti Allah ta’ala tidak menetapkan satu pendapat yang benar sejak awal dan kebenaran itu diserahkan pada hasil penelitian masing-masing mujtahid, atau yang benar hanya satu, dan itu yang sesuai dengan kebenaran di sisi Allah ta’ala, sedangkan pendapat lainnya keliru. Para ulama terbagi menjadi dua pandangan besar dalam hal ini, yaitu pandangan mushawwibah dan mukhaththiah. Mushawwibah adalah kalangan ulama yang berpendapat seluruh mujtahid itu benar dalam ijtihadnya, meskipun hasil ijtihadnya berbeda-beda, sedangkan mukhaththiah adalah kalangan ulama yang berpendapat kebenaran hanya satu, sedangkan selainnya keliru.
Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam “Ushul Al-Fiqh Al-Islami” (Juz 2, Hlm. 380-388, Dar Al-Fikr, Suriah) mengulas hal ini panjang lebar, beserta dalil dan argumentasi dari masing-masing kelompok. Dan di akhir, Az-Zuhaili menguatkan pendapat kalangan mukhaththiah, yang merupakan pendapat mayoritas ulama. Beliau menyatakan, “Saya memilih pandangan mukhaththiah yang mengatakan bahwa Allah menetapkan hukum tertentu untuk setiap perkara yang berlaku sebelum ada ijtihad dari ulama, dan hukum tertentu tersebut memiliki ‘amarah’ (tanda-tanda yang bisa mengarahkan pada hukum tersebut secara zhanni), dan mujtahid diberi taklif untuk sampai kepada hukum yang benar tersebut. Jika dia sampai kepada hukum yang benar tersebut, berarti ijtihadnya benar dan berhak mendapatkan dua pahala, sedangkan jika dia tidak sampai pada hukum yang benar tersebut setelah mengerahkan segenap kemampuan intelektualnya, berarti dia keliru, namun dia tidak berdosa, bahkan mendapatkan satu pahala karena upayanya dalam berijtihad.”
Dari pernyataan An-Nawawi dan Az-Zuhaili di atas, kita bisa menyimpulkan beberapa hal:
1. Pandangan mushawwibah dan mukhaththiah adalah dua pandangan yang mu’tabar di kalangan ulama. Masing-masing punya dalil dan argumentasi untuk menguatkan pandangannya, dan keduanya pun sama-sama berdalil dengan Hadits tentang shalat di pemukiman Bani Quraizhah di atas.
2. Pandangan jumhur ulama, sebagaimana dikatakan oleh Az-Zuhaili, adalah pandangan mukhaththiah, yang berarti kebenaran pada setiap perkara yang diperselisihkan ulama itu hanya satu, sedangkan sisanya adalah pendapat yang salah atau keliru. Jadi, jika kita mengikuti pandangan ini, maka pernyataan semisal, “Semua pendapat ulama itu benar” kurang tepat.
3. Kita bisa katakan, “Pendapat masing-masing ulama itu benar menurut mereka masing-masing”. Kebenaran yang dimaksud di poin ini adalah kebenaran nisbi, kebenaran menurut hasil ijtihad masing-masing ulama, karena tidak mungkin seorang ulama mu’tabar mengemukakan satu pendapat jika pendapat itu sendiri dia anggap lemah dan keliru. Setiap pendapat ulama itu adalah pendapat yang benar dan rajih menurut mereka. Pendapat Asy-Syafi’i itu benar menurut Asy-Syafi’i meskipun keliru menurut Abu Hanifah, dan pendapat Abu Hanifah itu benar menurut beliau sendiri meskipun tidak tepat menurut Asy-Syafi’i.
4. Salah satu dalil yang menguatkan pendapat mukhaththiah adalah Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ، فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ، فَلَهُ أَجْرٌ
Artinya: “Jika seorang hakim ingin menetapkan hukum, lalu dia berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, dia mendapatkan dua pahala. Dan jika dia ingin menetapkan hukum, lalu berijtihad, kemudian ijtihadnya keliru, dia mendapatkan satu pahala.” (HR. Al-Bukhari no. 7352 dan Muslim no. 1716, dari ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu)
Pada Hadits di atas disebutkan bahwa ijtihad sang hakim mungkin benar, mungkin juga salah. Az-Zuhaili saat mengomentari Hadits ini menyatakan, “Hadits ini secara jelas membagi ijtihad menjadi salah dan benar. Seandainya kebenaran itu berbilang (pada semua hasil ijtihad), maka berarti semua mujtahid itu benar, dan hal tersebut menyelisihi zhahir dari Hadits ini.”
5. Kebenaran di sisi Allah ta’ala memiliki ‘amarah’ yang menunjukkan pada kebenaran tersebut, dan seorang mujtahid dituntut untuk sampai pada kebenaran tersebut mengikuti ‘amarah’ yang ditunjukkan oleh Allah ta’ala. Namun kebenaran yang ditunjukkan oleh ‘amarah’ ini, di sisi seorang mujtahid, hanya sampai pada tingkat zhanni saja. Karena ia zhanni, maka terbuka peluang terjadi perbedaan pendapat di kalangan mujtahid dalam menemukan kebenaran tersebut. Karena ia zhanni juga, seorang mujtahid yang keliru dalam ijtihadnya tidak mendapatkan dosa, malah mendapatkan pahala. Dia tidak berdosa, karena kekeliruannya itu tidak dilakukannya secara sengaja untuk menyelisihi hukum dan syariat Allah ta’ala. Wallahu a’lam.
* * *
Kami memberikan kesempatan kepada siapa saja yang mau beramal shalih, yaitu dengan menginfaqkan sebagian hartanya di jalan Allah, untuk operasional kegiatan Ma’had Al-Mubarak Banjarmasin agar kami terus bisa berkhidmat kepada kaum muslimin dengan ilmu.
Donasi bisa disalurkan ke nomor rekening: Bank Syariah Indonesia no. rek. 710.002.0135 atau no 670.000.7767 a.n. Yayasan Al-Mubarak Banjarmasin. Silahkan konfirmasi transfer ke nomor WA: 0888-466-1216 (Rahmi Hidayat).