Oleh: Abu Sa’id ath-Thighali
Duduk Istirahat dalam sholat didefinisikan oleh asy-Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah dalam kitabnya “Fiqhus Sunnah” sebagai berikut :
هي جلسة خفيفة يجلسها المصلي بعد الفراغ من السجدة الثانية من الركعة الاولى، قبل النهوض إلى الركعة الثانية، وبعد الفراغ من السجدة الثانية، من الركعة الثالثة، قبل النهوض إلى الركعة الرابعة
“Yaitu duduk ringan, yang dilakukan setelah selesai dari sujud kedua pada rakaat pertama sebelum bangkit berdiri menuju rakaat kedua, dan juga setelah selesai dari sujud kedua pada rakaat ketiga sebelum bangkit berdiri menuju rakaat keempat”. -selesai-.
Hukum melakukan duduk istirahat ini, para ulama berselisih pendapat. Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam “Zaadul Ma’ad” sebagaimana dinukil oleh asy-Syaikh Sayyid Sabiq berkata tentang permasalahan ini dan diakhir perkataannya beliau merajihkan tidak disyariatkannya duduk istirahat ini, kata beliau rahimahulloh :
“Para Fuqaha berselisih pendapat berkaitan dengan duduk istirahat, apakah ia termasuk SUNNAH sholat, sehingga disukai bagi setiap orang untuk mengerjakannya atau bukan termasuk sunah sholat, hanyalah dilakukan ketika ada keperluan?.
Terdapat 2 pendapat yang keduanya diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah. Imam Al Kholaal berkata : ‘Imam Ahmad merujuk kepada hadits Malik ibnul Huwairits radhiyallahu anhu tentang duduk istirahat, beliau berkata, “telah memberitahuku Yusuf bin Musa bahwa Abu Umamah ditanya tentang bangkit berdiri (pada sholat)? Maka jawabnya :
“bangkit dengan ujung kedua telapak kakinya berdasarkan hadits Rifaa’ah’.
Dalam hadits Ibnu ‘Ajlaan menunjukkan bahwa Nabi ﷺ bangkit berdiri bertumpu dengan ujung kedua telapak kakinya.
Telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi radhiyallahu anhu dan seluruh sahabat yang menceritakan sifat sholat Nabi ﷺ tidak menyebutkan duduk istirahat ini, masalah duduk ini hanya disebutkan dalam hadits Abu Humaid dan Malik Ibnul Huwairits radhiyallahu anhumâ. Sekiranya hal ini adalah petunjuk Nabi ﷺ, niscaya Beliau ﷺ akan senantiasa mengerjakannya, sehingga akan disebutkan oleh orang-orang yang meriwayatkan sifat sholat Nabi ﷺ. Dan sekedar Nabi ﷺ melakukannya, tidak menunjukkan bahwa hal tersebut adalah termasuk sunah sholat, kecuali jika diketahui bahwa Nabi ﷺ mengerjakannya sebagai sunnah yang diikuti. Adapun sekedar Nabi ﷺ mengerjakannya karena ada keperluan tidak menunjukkan bahwa hal itu adalah sunnah dari sunnah-sunnah sholat. Ini adalah tahqiq yang kuat terhadap masalah ini”. -selesai-.
Dari pemaparan yang diberikan oleh Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim diatas, maka kita bisa simpulkan ulama yang berpendapat tidak disyariatkannya duduk istirahat, diantara alasannya sebagai berikut :
1. Terdapat hadits dari sahabat lainnya yang bertentangan dengan riwayat duduk istirahatnya Nabi ﷺ, dimana dalam hadits Shahabat lain tersebut, disifatkan bahwa ketika Nabi ﷺ bangkit berdiri langsung dengan kedua ujung jari kakinya, tanpa didahului dengan duduk istirahat terlebih dahulu.
2. Telah diriwayatkan dari sejumlah Shahabat lainnya tentang sifat sholat Nabi ﷺ, namun tidak disebutkan didalamnya duduk istirahat. Logikannya kalau hal tersebut adalah sunah sholat, niscaya Nabi ﷺ akan mendawamkannya yang otomatis seharusnya dinukil oleh sejumlah sahabat yang sedang menceritakan sifat sholat Nabi, namun kenyataannya mereka tidak menukilkannya kepada kita yang berarti duduk istirahatnya Nabi ﷺ dalam sholat bukan merupakan sunnah sholat.
3. Sekedar Nabi ﷺ mengerjakan duduk istirahat dalam sholat tidak otomatis menunjukkan bahwa hal tersebut adalah amalan sunnah sholat, bisa jadi Nabi ﷺ melakukannya karena ada keperluan tertentu.
4. Nabi ﷺ melakukan duduk tersebut karena adanya suatu keperluan diluar gerakan sholat.
Para ulama yang berpendapat atas sunnahnya duduk istirahat, sebagaimana yang kita bahas ini, diantaranya berdalil dengan 2 hadis berikut :
1. Dari Shahabi Jalîl Malik Ibnul Huwairits radhiyallahu :
أَنَّهُ رَأَى النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى ، فَإِذَا كَانَ فِى وِتْرٍ مِنْ صَلاَتِهِ لَمْ يَنْهَضْ حَتَّى يَسْتَوِىَ قَاعِدًا
“bahwa beliau melihat Nabi ﷺ melaksanakan salat, jika sampai pada rakaat yang ganjil, maka beliau tidak bangkit berdiri hingga duduk sejenak.” (HR. Bukhari no. 780 via EH)
Dalam lafadz lain masih di Shahih Bukhari no. 781 (via EH) bunyinya :
وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ عَنِ السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ جَلَسَ وَاعْتَمَدَ عَلَى الأَرْضِ ، ثُمَّ قَامَ
“Dan jika mengangkat kepalanya dari sujud yang kedua dia duduk kemudian bertumpu di atas tanah, kemudian baru berdiri.”
2. Dari shahabi jalîl Abu Humaid radhiyallahu anhu beliau menceritakan sifat sholat Nabi ﷺ didalamnya disebutkan :
ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ وَقَعَدَ وَاعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِى مَوْضِعِهِ ثُمَّ نَهَضَ
“lalu melipat kaki kirinya dan duduk dengan seimbang hingga setiap tulang kembali ke tempatnya. Setelah itu beliau bangkit (menuju rakaat berikutnya-pent.).” (HR. Tirmidzi no. 280 (via EH) dishahihkan oleh al-Albani).
Komite Tetap Fatwa Arab Saudi yang pada waktu itu diketuai oleh al-Imam bin Baz rahimahullah, pernah berfatwa ketika ditanya apakah duduk istirahat ini wajib atau sunnah muakkadah, maka komisi Fatwa Ulama Saudi Arabia berfatwa :
اتفق العلماء على أن جلوس المصلي بعد رفعه من السجدة الثانية من الركعة الأولى والثالثة وقبل نهوضه إلى الثانية والرابعة ليس من واجبات الصلاة ولا من سننها المؤكدة، ثم اختلفوا بعد ذلك هل هو سنة فقط أو ليس من هيئات الصلاة أصلا، أو يفعلها من احتاج إليها لضعف من كبر سن أو مرض أو ثقل بدن، فقال الشافعي وجماعة من أهل الحديث: إنها سنة، وهي إحدى الروايتين عن الإمام أحمد ؛ لما رواه البخاري وغيره
“Para ulama bersepakat bahwa duduknya orang yang salat setelah bangun dari sujud kedua pada rak kat pertama dan ketiga, sebelum bangkit menuju rakaat kedua dan keempat, BUKANLAH termasuk KEWAJIBAN sholat dan BUKAN juga termasuk SUNNAH MUAKKAD.
Kemudian para ulama berbeda pandangan apakah itu adalah sunnah semata atau bukan termasuk gerakan sholat pada asalnya atau hal ini dilakukan karena ada kebutuhan, semisal sudah lemah karena usia yang sudah senja atau karena sakit atau badannya yang berat.
Al-Imam Syafi’i dan sekelompok ahli hadis berpendapat bahwa itu sunnah dan salah satu riwayat dari al-Imam Ahmad, berdasarkan riwayat Bukhari dan selainnya…..”. -selesai-.
Kami condong kepada pendapat yang mengatakan disyariatkannya duduk istirahat, berpegang dengan dua hadis yang telah kami bawakan sebelumnya.
Adapun hujjah pihak yang mengatakan tidak sunnahnya duduk istirahat, sebagaimana pada pembahasan sebelumnya, maka kami dapat diskusikan sebagai berikut :
1. Hadits yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ langsung berdiri tanpa duduk istirahat, TIDAK BERTENTANGAN dengan hadits yang mensifatkan bahwa Nabi ﷺ duduk istirahat sejenak, karena hal ini menunjukkan bahwa duduk istirahat adalah SUNNAH bukan KEWAJIBAN dalam shlat, sehingga barangsiapa yang meninggalkan duduk istirahat dalam shalat, maka shalatnya tetap sah.
Imam Shon’aniy dalam “Subulus Salam” (2/152-153 berkata :
“Dijawab semuanya bahwa hal ini tidak bertentangan, yang mana jika seorang mengerjakan duduk istirahat maka itu adalah sunnah dan barangsiapa yang meninggalkannya juga demikian, sekalipun penyebutannya dalam hadits orang yang salah shalatnya mengisyaratkan akan kewajibannya, namun tidak seorang ulama pun yang berpendapat demikian sepanjang yang aku ketahui”. -selesai-
Maksud Imam Shon’ani di akhir pernyataannya adalah bahwa telah datang lafaz lain pada hadis orang yang salah shalatnya, dimana amalan-amalan yang disebutkan dalam hadits yang diistilahkan oleh para ulama dengan hadits “orang yang salah shalatnya” dibawa kepada amalan-amalan yang disebutkan disitu adalah kewajiban-kewajiban shalat. barangkali beliau melihat kepada penjelasan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam “Fathul Bari” (5/59) sebagai berikut :
“Lafadz ini telah diperselisihkan oleh para ulama dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sebagian rawi menyebutkan perintah untuk duduk setelah dua sujud dan sebagian lainnya menyebutkan perintah untuk berdiri setelah dua sujud. Ini adalah kekeliruan, karena hadits ini tidak disebutkan satupun bahwa Nabi ﷺ mengajarkan kepada orang yang salah shalatnya, amalan-amalan sunah shalat yang telah disepakati (bahwa itu adalah sunah hukumnya), maka bagaimana mungkin Nabi ﷺ memerintahkan duduk istirahat? Ini adalah sesuatu yang sangat jauh sekali”. -selesai-.
2. Alasan yang kedua dari mereka yang menganggap duduk istirahat bukan sunah shalat, bahwa sejumlah sahabat tidak meriwayatkan sifat shalat ini, maka jawabannya hampir mirip dengan jawaban pada point pertama, karena terkadang sunah-sunah shalat tidak diriwayatkan oleh salah seorang Sahabat, namun diriwayatkan oleh Sahabat lainnya, atau bisa jadi mereka yang meriwayatkan sifat shalat Nabi tidak melihat Nabi ﷺ duduk istirahat pada akhir rakaat ganjil, namun Sahabat lainnya ternyata melihat Nabi ﷺ duduk istirahat, sehingga yang mengetahui hujjah atas orang yang tidak mengetahui dan disini terdapat ilmu tambahan yang tidak diketahui oleh Sahabat lainnya. Imam Syaukani dalam “Nailul Author” (4/4-5) berkata :
وَمَا رَوَى ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ أَبِي عَيَّاشٍ قَالَ : أَدْرَكْتُ غَيْرَ وَاحِدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ إذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السَّجْدَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَفِي الثَّالِثَةِ قَامَ كَمَا هُوَ وَلَمْ يَجْلِسْ ، وَذَلِكَ لَا يُنَافِي الْقَوْلَ بِأَنَّهَا سُنَّةٌ لِأَنَّ التَّرْكَ لَهَا مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ الْحَالَاتِ إنَّمَا يُنَافِي وُجُوبَهَا فَقَطْ وَكَذَلِكَ تَرْكُ بَعْضِ الصَّحَابَةِ لَهَا لَا يَقْدَحُ فِي سُنِّيَّتِهَا لِأَنَّ تَرْكَ مَا لَيْسَ بِوَاجِبٍ جَائِزٌ
“Apa yang diriwayatkan Ibnul Mundzir dari An-Nu’maan bin Abi ‘Ayyaasy bahwa ia berkata :
أَدْرَكْتُ غَيْرَ وَاحِدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ إذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السَّجْدَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَفِي الثَّالِثَةِ قَامَ كَمَا هُوَ وَلَمْ يَجْلِسْ
“aku bertemu dengan lebih dari satu Sahabat Nabi, mereka jika bangkit dari sujud (kedua) pada rakaat pertama dan ketiga (langsung) berdiri dan tidak duduk (istirahat terlebih dahulu-pent.)”.
(Lanjut Imam Syaukani), “hal ini tidak bertentangan dengan pendapat bahwa duduk istirahat adalah sunnah, karena Nabi ﷺ meninggalkannya pada sebagian shalatnya hanyalah menafikan bahwa hal tersebut wajib, demikian juga sebagian Sahabat meninggalkan mengamalkan duduk istirahat tidak merusak bahwa hal tersebut adalah sunah, karena meninggalkan sesuatu yang tidak wajib diperbolehkan’”. -selesai-.
3. Alasan mereka bahwa sekedar hal tersebut adalah perbuatan Nabi ﷺ tidak menunjukkan itu adalah sunnah yang DIIKUTI, menurut kami kurang tepat. Karena yang meriwayatkan hadits ini yakni Malik Ibnul Huwairits radhiyallahu anhu adalah orang yang meriwayatkan sabda Nabi ﷺ :
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari).
Dan yang membuktikan bahwa perbuatan Nabi ﷺ adalah contoh yang diikuti, terutama dalam shalat sebagaimana keumuman hadits ini, adalah tindakan Sahabat yang ikut melepas sandalnya demi melihat Nabi ﷺ melepas sandal ditengah-tengah shalat. Padahal perbuatan melepas sandal sekarang kita ketahui bukan merupakan bagian ritual dari shalat, namun pada waktu itu ketika Nabi ﷺ melepas sandal dalam shalat, tentu dengan rasa semangat yang tinggi untuk mengikuti Nabi ﷺ, semua Sahabat yang bermakmum kepada Beliau kompak melepas sandalnya, seandainya tidak ada konfirmasi dari Nabi ﷺ setelah selesai shalat, tentu mereka akan menjadikan melepas sandal dalam shalat adalah suatu amalan yang disyariatkan dalam shalat. kisah ini masyhur ditulis oleh Imam Abu Dawud dalam “Sunannya” dan dishahihkan oleh Imam Al Albani dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu anhu bahwa ia berkata :
بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلاَتَهُ قَالَ « مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَائِكُمْ نِعَالَكُمْ ». قَالُوا رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ جِبْرِيلَ -صلى الله عليه وسلم- أَتَانِى فَأَخْبَرَنِى أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا »
“Ketika Rasulullah ﷺ shalat bersama dengan sahabatnya, tiba-tiba ditengah shalat, Nabi ﷺ melepas kedua sandalnya, lalu diletakkan disebelah kirinya, maka ketika para jamaah melihat hal tersebut, mereka pun ikut melepaskan sandalnya. Ketika selesai sholat Rasulullah ﷺ bersabda : “Apa yang kalian lakukan terhadap sandal kalian?”.
Mereka menjawab : ‘kami melihat engkau melepas sandalmu, maka kami pun ikut melepas sandal kami’.
Nabi ﷺ berkata : “Sesungguhnya Jibril alaihis salaam mendatangiku dan memberitahuku bahwa di sandalku terdapat kotoran”.
4. Alasan bahwa Nabi ﷺ melakukannya karena sudah tua atau karena Beliau ﷺ pada akhir usianya bertambah berat badannya sehingga perlu duduk terlebih dahulu sebelum bangkit ke rakaat berikutnya agar lebih ringan, sehingga duduk istirahat hanya hukumnya mubah saja bagi orang yang kondisinya sepeti itu, menurut kami kurang tepat. Karena ini adalah asumsi yang dibangun oleh sebagian ulama tanpa ada dalil khusus yang jelas dan terang yang menunjukkan bahwa duduk istirahatnya Nabi ﷺ karena alasan tersebut.
Kesimpulannya, bahwa duduk istirahat dalam shalat pada rakaat ganjil adalah sunah dari sunah-sunah shalat, yang Insya Allah orang yang melakukannya akan mendapatkan ganjaran pahala dari Rabbuna. Wallahu A’lam.