Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ditanya: Apakah khamr dan parfum (cologne) itu najis?
Beliau menjawab :
Masalah najisnya khamr, jika yang diinginkan dengan ‘najis’ adalah najis maknawiyah, maka para ulama telah sepakat atas hal itu, bahwa khamr itu najis (maknawi) dan buruk serta termasuk perbuatan setan.
Jika yang dimaksud dengan istilah najis adalah najis hissiyah (benda najis), maka keempat madzhab dan kebanyakan orang sepakat, bahwa khamr itu najis, wajib menyucikan diri darinya dan wajib mencuci pakaian atau badan yang terkena khamr. Sementara sebagian ahlul ilmi berpendapat, bahwa khamr itu tidak najis hissiyah (benda), tetapi ia najis secara maknawiyah amaliyah.
Ulama yang mengatakan bahwa khamr itu najis hissiyah dan maknawiyah, berhujjah dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala :
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuaan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).”
(QS. Al-Maidah : 90-91)
Dan kata rijsun (kotor atau keji) adalah najis, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala :
Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor.”
(QS. Al An’am : 145)
Juga berdasarkan hadits Anas, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Thalhah agar menyampaikan bahwa Allah dan Rasul-Nya telah melarang memakan daging khimar (keledai) piaraan. Sesungguhnya daging khimar piaraan itu adalah rijsun (kotor dan keji).
Kata rijsun yang terdapat dalam ayat dan hadits di atas, maknanya adalah najis secara hissiyah (bendanya najis- pent.). Begitu pula pada ayat tentang khamr, rijsun maknanya najis secara bendanya.
Sedangkan ulama yang berpendapat khamr itu suci, maksudnya bendanya suci. Dengan kata lain, khamr itu najis secara maknawi bukan hissyah (bendanya). Mereka mengatakan, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Al Maidah mengaitkan kata-kata rijsun dengan firman-Nya :
“…adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan…” (QS. Al Maidah : 90)
Jadi khamr itu rijsun secara amaliyah (perbuatan yang keji), bukan benda atau zatnya yang najis. Dalilnya ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah.” (QS. Al-Maidah : 90)
Dan kita tahu, bahwa judi, berhala serta anak panah, tidaklah najis. Maka penyatuan empat perkara ini, yaitu khamr, judi, berhala dan anak panah dalam satu lingkup sifat, berarti keempatnya memiliki sifat yang sama. Jika yang tiga (judi, berhala, dan panah, Pent.) najisnya secara maknawi; maka begitu juga dengan khamr, najisnya bersifat maknawi, karena juga termasuk perbuatan setan.
Mereka (yang berpendapat khamr itu najis secara maknawi, red.) juga mengatakan, bahwa dalam riwayat yang shahih, ketika ayat tentang haramnya khamr itu diturunkan, kaum muslimin menumpahkan khamr-khamr mereka di pasar-pasar. Seandainya khamr itu najis, tentu tidak boleh menumpahkannya di pasar-pasar, karena tidak boleh mengotori pasar dengan benda najis.
Mereka juga mengatakan, ketika khamr diharamkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kaum muslimin agar mencuci bejana bekas khamr. Kalau seandainya, khamr itu najis, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan agar mencuci bejana-bejananya, sebagaimana Beliau memerintahkan agar mencuci bekas wadah daging khimar piaraan, ketika daging itu diharamkan.
Mereka juga mengatakan, terdapat hadits shahih dalam Shahih Muslim, bahwa seseorang datang membawa satu rawiyah (nama wadah tempat minum) khamr, lalu ia berikan khamr itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidakkah engkau tahu, bahwa khamr itu telah diharamkan?” Kemudian seseorang membisiki lelaki itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada pembisik, “Apa yang engkau katakan?” Orang itu menjawab, “Aku katakan, juallah khamr itu!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنْ الله إِذَاحَرَّمَ شَيْنًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu (berarti) Allah juga mengharamkan hasil penjualannya.”
Lalu lelaki itu menarik mulut wadah tersebut dan menumpahkan khamr itu. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan orang itu agar mencuci wadah tersebut, dan juga tidak melarangnya menumpahkan khamr di tempat itu.
Ulama yang berpendapat bahwa khamr itu tidak najis mengatakan, ini adalah bukti bahwa zat khamr itu tidak najis. Kalau seandainya najis, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan orang itu agar mencucinya dan melarang menumpahkannya di tempat itu.
Mereka juga mengatakan, hukum asal pada segala sesuatu adalah suci sampai ditemukan dalil yang jelas, yang menunjukkan bahwa itu najis. Karena tidak ditemukan dalil yang jelas atas kenajisannya, maka khamr itu suci. Namun khamr itu kotor atau keji dari segi amaliahnya. Sesuatu yang diharamkan, tidak mesti hal itu najis. Tidakkah kalian perhatikan, racun itu haram namun tidak najis.
Jadi semua najis itu haram, tetapi tidak semua yang haram itu najis.
Berdasarkan uraian di atas, kami berpendapat tentang parfum dan yang sejenisnya bahwa parfum tidak najis. Karena zat khamr tidak najis berdasarkan pendapat yang telah kami paparkan dalilnya. Sehingga parfum (cologne) dan yang sejenisnya tidak najis juga. Karena tidak najis, maka tidak wajib mencuci pakaian yang terkena.
Permasalahan lain, apakah diharamkan menggunakan parfum sebagai minyak wangi ataukah tidak?
Mari kita perhatikan, Allah berfirman tentang khamr “Maka jauhilah!” Perintah menjauhi ini bersifat mutlak. Allah tidak mengatakan “hindarilah meminum” atau “memakai” atau yang semisalnya. Allah memerintahkan agar menjauhi secara mutlak. Apakah perintah ini mencakup kalau dipakai manusia sebagai minyak wangi ataukah perintah menjauhi yang ada itu berkaitan dengan alasan hukum pelarangannya, yaitu menghindari minum khamr, berdasarkan firman Allah. (artinya), “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al Maidah : 91)
Dan illah (penyebab) hukum ini hilang, jika orang memanfaatkannya tanpa meminumnya. Akan tetapi, untuk lebih berhati-hati, kami katakan, hendaklah menghindarinya. Meskipun untuk minyak wangi, hendaknya menjauhkan diri darinya. Ini langkah yang lebih berhati-hati dan lebih terjaga. Namun kami ulangi sekali lagi, masalah minyak wangi, apakah prosentasenya bisa mengakibatkan mabuk atau prosentasenya kecil sehingga tidak mengakibatkan mabuk? Karena khamr, jika dicampurkan dengan sesuatu lalu tidak nampak pengaruhnya meskipun diminum oleh orang dalam jumlah yang banyak, maka khamr tidak mengakibatkan campuran ini menjadi haram. Karena, ketika tidak nampak pengaruhnya, maka hukumnya menjadi hilang.
Illah (sebab) hukum merupakan penyebab adanya hukum. Jika illah (sebab) ini tidak ada, maka hukumnya juga tidak ada.
Jika suatu campuran tidak memiliki pengaruh pada benda yang dicampuri, maka campuran ini tidak memiliki pengaruh hukum dan campuran ini hukumnya mubah. Jadi prosentase yang kecil pada parfum atau yang lainnya, jika tidak memabukkan meskipun diminum orang dalam jumlah yang banyak, maka ia bukanlah khamr. Dan hukum khamr tidak berlaku pada campuran ini. Sebagaimana misalnya, ada setetes kencing jatuh di air, lalu air itu tidak berubah, maka air itu tetap suci. Begitu juga misalnya, setetes khamr jatuh pada sesuatu dan tidak terpengaruh karenanya, maka tidak (lantas) menjadi khamr. Para ahlul ilmi sudah menyatakan hal itu pada pembahasan tentang sesuatu yang memabukkan.
Di sini, saya ingin mengingatkan satu masalah yang kadang masih kabur bagi sebagian penuntut ilmu, yaitu makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Sesuatu yang memabukkan dalam jumlah banyak, maka sedikitnya (juga) haram.”
Mereka mengira, makna hadits ini ialah jika ada sedikit khamr yang bercampur dengan selain khamr dalam jumlah yang banyak, maka campuran ini menjadi haram. Makna hadits ini tidak seperti itu. Namun maknanya, sesuatu yang tidak memabukkan kecuali dalam jumlah banyak, maka sedikitnya yang tidak memabukkan itu, hukumnya haram. Misalnya, ada satu minuman, jika diminum 10 gelas akan mengakibatkan mabuk, jika hanya segelas tidak memabukkan. Maka satu gelas yang tidak memabukkan ini hukumnya haram juga. Inilah makna hadits “Sesuatu yang memabukkan dalam jumlah banyak, maka sedikitnya (juga) haram.” Bukan, sesuatu yang tercampuri benda memabukkan menjadi haram. Karena sesuatu yang memabukkan, jika bercampur dengan zat lain dan tidak nampak pengaruhnya, maka yang tercampuri ini tetap halal, sebab illah hukumnya yang merupakan penyebab hukum tidak ada. Hendaknya ini menjadi perhatian.
Meskipun demikian, saya tidak memakai minyak wangi parfum dan tidak melarang. Namun, jika saya terluka atau mengalami hal yang sejenisnya dan saya membutuhkannya, maka saya akan memakainya, karena kesamaran hukum suatu zat akan hilang hukum samarnya ketika zat itu dibutuhkan. Karena, kebutuhan itu mendesak kita agar berbuat, sementara syubhat (kesamaran hukum) menuntut kita untuk meninggalkan yang syubhat demi kehati-hatian. Dan mestinya, seseorang tidak mengharamkan sesuatu yang dibutuhkan atas dirinya, sementara dia belum tahu pasti tentang haramnya. Para ulama telah menyebutkan kaidah “Sesuatu yang syubhat, jika dibutuhkan, akan hilang hukum syubhatnya” ini. Wallahu a’lam
(Majmu’ Fatawa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, jilid 11, hlm. 250-260)