Apakah Larangan Shalat Sunnah Bagi Musafir Bersifat Mutlak?

Apakah Larang Shalat Sunnah Bagi Musafir Bersifat Mutlak?


Fikroh.com – Apa Hukum Shalat sunnah Untuk Orang Musafir? Saat safar adalah kondisi seseorang mengalami kesulitan karenanya islam memberikan rukhsah (keringanan) dalam beberapa kewajiban. Lalu bagaimana dengan shalat sunnah apakah mendapatkan keringanan untuk meninggalkannya dan apa hukum shalat sunnah untuk musafir?

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini, dikarenakan perbedaan zahir Atsar-atsar yang diriwayatkan tentang perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat bepergian. [Lihat kitab Fathul-Bari (2/674), Nailul-Authar (3/261), Zaadul-Ma’ad (4738) dan Al-Furu’ karangan Ibnu Muflih (2/59)] Di sini terdapat lima pendapat: 

Pertama: Dilarang secara mutlak mengerjakan shalat nafilah dalam safar.

Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma :

صَحِبْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ أَرَهُ يُسَبِّحُ فِي السَّفَرِ وَقَالَ اللَّهُ -جَلَّ ذِكْرُهُ- [لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ إِسْوَةٌ حَسَنَة]

“Aku menemani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku tidak pernah melihat beliau mengerjakan shalat nafilah dalam safar. Sementara Allah Subhanahu wata’ala berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian.” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1101), dan Muslim (689)]

Dan juga berdasarkan perkataan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ketika melihat orang-orang mengerjakan shalat nafilah pada saat safar,

لَوْ كُنْتُ مُسَبِّحًا لأَتْمَمْتُ

“Seandainya aku mengerjakan shalat nafilah, niscaya aku akan menyempurnakan shalat (tidak mengqashar” [Hadits Riwayat: Muslim (689), dan At-Tirmidzi (544)]

Kedua: Dibolehkan secara mutlak 

Ini adalah pendapat Jumhur. Mereka berdalil dengan hadits umum yang berisikan anjuran untuk mengerjakan shalat nafilah secara mutlak dan anjuran mengerjakan shalat rawatib. Juga berdasarkan shalat Dhuha yang dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari Penaklukan Makkah (fathu makkah), serta dua rakaat Fajar yang beliau kerjakan ketika beliau tertidur hingga terbit matahari.

Ketiga: Dibolehkan secara mutlak shalat nafilah dan dilarang mengerjakan shalat-shalat sunnah rawatib. 

Ini adalah pendapat Syaikhul-Islam dan muridnya, Ibnu al-Qayyim. Ini juga madzhab Ibnu Umar. Mereka menafsirkan “penafian shalat sunnah” yang dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau safar “shalat sunnah rawatib”, dan bukan shalat sunnah yang lain, kecuali shalat dua rakaat Fajar. Karena diriwayatkan dengan shahih dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- كَانَ يُسَبِّحُ عَلَى ظَهْرِ رَاحِلَتِهِ حَيْثُ كَانَ وَجْهُهُ يُومِئُ بِرَأْسِهِ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَفْعَلُه

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan beliau ke mana arah kendaraan (hewan tunggangan) tersebut menghadap, dan beliau mengisyaratkan dengan kepalanya. Ibnu Umar juga melakukannya.” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1105), dan Muslim (700) dengan hadits serupa]

Keempat: Larangan mengerjakan shalat sunnah pada siang hari bukan pada malam hari. 

Mereka berdalil dengan hadits Abdullah bin Amir radhiallahu ‘anhuma, ayahnya menceritakan,

أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- صَلَّى السُّبْحَةَ بِاللَّيْلِ فِي السَّفَرِ عَلَى ظَهْرِ رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ

“Bahwasanya ia melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat sunnah pada malam hari ketika safar di atas kendaraannya, dengan mengikuti ke mana arah kendaraannya menghadap.” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1104), dan Muslim (689) dengan hadits serupa]

Dan juga berdasarkan perbuatan Nabi yang rutin mengerjakan shalat Witir, baik pada saat mukim maupun safar.

Penulis Berkata: Tetapi pendapat ini bertentangan dengan shalat Dhuha yang dikerjakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat hari Penaklukan Makkah.

Kelima: Dilarang mengerjakan shalat sunnah setelah mengerjakan shalat fardhu dan boleh mengerjakan sebelumnya, serta boleh mengerjakan shalat sunnah mutlak. 

Ini adalah madzhab Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya. Pendapat ini didukung oleh Hafidz Ibnu Hajar, yang mengatakan, “Perbedaan antara shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat fardhu adalah;

bahwa shalat sunnah sebelumnya tidak akan disangka bahwa itu termasuk shalat fardhu, karena terpisah dengan iqamah, menunggu imam seperti biasanya, dan sejenisnya. Berbeda dengan shalat sunnah sesudahnya, karena pada umumnya bersambung dengan shalat fardhu, dan bisa dikira bahwa itu termasuk shalat fardhu.”

Penulis berkata: Dasar mengenai hal ini adalah keshahihan dalil yang menyebutkan bahwa Nabi mengerjakan dua rakaat sunnah Fajar saat safar. Wallahu a’lam.

Leave a Comment