Apakah Menjamak dan Qashar Shalat Itu Termasuk ‘Azimah atau Rukhshoh?


Fatwapedia.com – Sebelum memulai pembahasan, kami akan mengetengahkan dasar dalam permasalahan seperti ini yaitu yang berkaitan dengan hukum ‘Wadh’I’ yang dibahas dalam disiplin ilmu Ushul Fiqih Yaitu, masalah ‘Azimah dan Rukhshoh.

Prof. Abdul Wahhab Kholaf dalam buku Ushul Fiqihnya mendefinisikan Azimah dengan: “Hukum umum yang disyariatkan sejak semula oleh Allah, yang tiidak tertentu pada satu keadaan bukan keadaan lainnya, bukan pula khusus seorang Mukallaf dan tidak Mukallaf lainnya”. Kaitannya dengan pembahasan kita maka Azimah adalah Sholat pada waktunya dan dikerjakan dengan sempurna untuk sholat-sholat yang rakaatnya berjumlah empat yaitu, Dhuhur, Ashar dan Isya.

Kemudian Prof. menyebutkan definisi Rukhshoh adalah: “sesuatu yang disyariatkan oleh Allah dari berbagai hukum untuk tujuan memberikan keringanan kepada Mukallaf dalam kondisi khusus yang menghendaki keringanan tersebut”. Misalnya, menjamak dua sholat dalam salah satu waktu sholat tersebut, yaitu jamak Taqdim (dikerjakan pada waktu sholat yang pertama) dan Jamak Ta’khir (dikerjakan pada waktu sholat yang kedua).
Ketika seseorang meniatkan safar maka ketika masih di kampung halamannya hanya diperbolehkan menjamak sholat tanpa qoshor, sedangkan apabila ia telah melakukan perjalan dengan jarak yang diperbolehkan qoshor, maka boleh baginya menjamak sholat baik taqdim maupun takhir atau mengqoshor sholatnya  yang berjumlah 4 rakaat menjadi 2 rakaat.
Kemudian permasalahan berikutnya adalah mana yang lebih utama mengerjakan azimah atau rukhshoh. Dalam hal ini ada 3 pendapat ulama:

1. Lebih utama mengambil azimah, dalil mereka yang terpenting adalah:

A. Azimah adalah hukum asal yang telah tetap dan telah disepakati kebenaran pelaksanaannya. Sedangkan Rukhshoh sekalipun pemberian hukumnya pasti, namun dalam penerapannya bersifat Dzanni (dugaan kuat). Karena rukhshoh berdasarkan Masyaqoh (kesulitan) sedangkan kesulitan dapat berbeda-beda tergantung situasi dan kondisinya. Sehingga dari sisi ini, Azimah lebih kuat (rojih) dibanding Rukhshoh.

B. Azimah diterapkan berdasarkan keumuman dan kemutlakannya kepada semua Mukallaf (manusia). Sedangkan Rukhshoh bersifat parsial, dimana hanya berlaku kepada Mukallaf yang mempunyai udzur tertentu. Sedangkan dalam kaidah jika terjadi pertentangan antara sesuatu yang umum dengan yang parsial, maka lebih dimenangkan sesuatu yang bersifat umum dalam hal ini adalah Azimah.

 
C. Mengambil Azimah akan membiasakan manusia untuk kuat dan bersabar dalam beribadah. Jika seseorang terbiasa mengambil rukhshoh, maka akan berat baginya untuk melaksanakan Azimah, sehingga menyebabkannya berusaha untuk keluar dari Azimah.

 
2. Lebih utama mengambil rukhshoh, dalil mereka yang terpenting adalah:

A. Hukum Rukhshoh sebenarnya juga pasti, barangsiapa yang berdzan (kuat sangka) adanya sebab hukum, dalam hal ini adanya Masyaqoh, maka berlaku secara pasti hukum rukhshoh kepadanya. 

B. Rukhshoh walaupun dalam penerapannya merupakan hukum parsial, namun ditinjau dari Azimah, maka ia sebagai Takhsis (pengkhususan) dari Azimah atau ia adalah Taqyid (pengikat) dari kemutlakan Azimah. Sehingga sesuai dengan kaedah yang berbunyi : “jika terdapat dalil khusus dengan umum atau dalil Muqoyyad dengan Mutlak, maka dimenangkan dalil yang khusus dan Muqoyyad”.

C. Meninggalkan rukhshoh padahal terdapat sebab yang membolehkannya, terkadang membuat seseorang berhenti beramal, bosan atau jemu, bahkan dapat mencapai taraf membenci amalan tersebut. 

3. Pendapat yang Rajih

Syaikh Al Khudhari berkata: “Setiap Mukallaf sesungguhnya adalah orang yang Faqih untuk dirinya dalam menentukan pengambilan (Azimah atau Rukhshoh), selama ia tidak menemukan batasan Syariat yang harus diikuti dalam masalah tersebut. Penjelasannya yaitu bahwa sebab rukhshoh adalah kesulitan dan ia berbeda-beda sesuai dengan kuat dan lemahnya Azimah dan sesuai dengan perbuatan itu sendiri. Tidak semua manusia sama dalam menanggung sebuah kesulitan. Kalau masalahnya seperti itu, maka tidak ada ketentuan yang khusus dan tidak ada batasan dalam kesulitan yang dapat diterapkan kepada semua manusia. Untuk itu, Allah  telah menetapkan sebagiannya dengan berdasarkan Dzhan sebagai kebijaksanaanNya. Maka ditentukanlah safar sebagai sebab terkuat terjadinya kesulitan dan membiarkan kondisi lain kepada Ijtihad (setiap orang), seperti saat mengukur kadar sakit yang diderita”. (Ushul Fiqih hal. 70).
 
II. Apakah Qosor dalam Sholat, Azimah atau Rukhshoh?
 
Qoshor secara bahasa adalah “pendek” lawan dari kata Ath-Thul yang berarti “panjang”. (Muhkhtar Ash-Shihah h. 537 oleh Imam Ar-Razi). Sedangkan secara istilah adalah : “meringkas sholat wajib yang empat rakaat menjadi dua rakaat dalam suatu perjalanan yang bersifat khusus”. (Al Kafi 1/196 oleh Imam Ibnu Qudamah). Yang dimaksud dengan perjalanan khusus adalah syarat-syarat perjalanan yang diperbolehkan untuk mengqoshor sholat. Yaitu:

1. Perjalanannya menempuh jarak tertentu yang diperbolehkan baginya mengqoshor. Berapa minimal jaraknya? Ini adalah inti dari pembahasan kita yang Insya Allah  akan dibahas berikutnya.
2. Beniat untuk menjadi Musafir, berapa hari lamanya seorang dianggap Musafir? Pembahasan ini juga akan datang Insya Allah.
3. Apakah disyaratkan perjalannya Mubah?  
Para ulama berbeda pendapat tentang perjalanan haram seperti untuk merampok, lari dari hutang atau untuk melakukan kejahatan lainnya, apakah diperbolehkan baginya melakukan rukhshoh? Menjadi dua pendapat, yaitu:

Pendapat jumhur ulama diantaranya Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah, bahwa ia tidak diperbolehkan mengambil rukhshoh, alasan mereka karena rukhshoh tidak diterapkan untuk maksiat.

 Pendapatnya Hanafiyah dan Zhahiriyah serta didukung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, bahwa diperbolehkan bagi orang yang melakukan perjalanan untuk maksiat untuk melaksanakan qoshor dalam perjalanannya. Dalil mereka adalah keumuman ayat Al Qur’an dan Hadits yang memutlakkan kata “Safar” (perjalanan) tanpa membatasinya dengan perjalanan yang bukan maksiat.

 
Pendapat yang Rajih adalah pendapat yang kedua, karena keumuman dan kemutlakkan kata “Safar”.

 
Kembali kepada pertanyaan dalam sub judul, para ulama berbeda pendapat apakah Qoshor itu merupakan Azimah atau Rukhshoh:

1. Pendapat yang mengatakan bahwa Qoshor adalah Azimah. ini diungkapkan oleh Hanafiyah dan Zhahiriyah serta didukung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Dalil-dalil mereka diantaranya adalah :

A. Hadits Aisyah Ummul Mukminin  bahwa beliau berkata:

 “Diwajibkan Sholat (pada mulanya) dua rakaat – dua rakaat pada waktu mukim dan safar, kemudian ditetapkan hal tersebut untuk safar dan ditambahkan (dua rakaat lagi) bagi orang yang mukim”. (HR. Bukhori dengan maknanya no. 3935, HR. Muslim no. 1602, HR. Abu Dawud no. 1200 dan HR. Nasa’I no. 4570) 

Sisi pendalilan: dalam hadits ini Aisyah  mengungkapkan bahwa sholat pada awalnya adalah dua rakaat baik bagi yang sedang dalam perjalanan atau yang mukim, kemudian shalat dua rakaat tersebut tetap diberlakukan kepada Musafir, sedangkan bagi yang mukim ditambahkan dua rakaat lagi sehingga genap menjadi empat rakaat. Hal ini menunjukkan bahwa Azimah (hukum asal) shalat adalah dua rakaat (untuk dhuhur, Ashar dan Isya) dan hal ini terus berlaku bagi Musafir. 

B. Hadits Amirul Mukminin Umar
 
“Sholat Jum’at itu dua rakaat, sholat Idhul Fitri juga dua rakaat, sholat Idhul Adha dua rakaat, sholat pada waktu perjalanan dua rakaat sempurna tanpa diqoshor melalui lisan Nabi”. (HR. Nasa’I no. 1451, dishahihkan oleh Imam Al Albani)
Sisi pendalilan : perkataan Amirul Mukminin Umar ibnul Khothob  yang menyandarkan kepada sabda Nabi  bahwa sholat Musafir adalah dua rakaat itu sempurna tanpa diqoshor, menunjukkan bahwa ini adalah Azimah sejak dahulu sebagaimana beliau  menyamakannya dengan sholat dua hari raya dan Jum’at yang juga azimahnya adalah dua rakaat. 

C. Hadits penerjemah Al Qur’an, Ibnu Abbas   
“Diwajibkan Sholat melalui lisan Nabi  untuk orang yang mukim empat rakaat, untuk musafir dua rakaat dan pada waktu dalam keadaan ketakutan satu rakaat”. (HR. Nasa’I no. 460, dishahihkan oleh Imam Al Albani)

Sisi pendalilan: dalam hadits ini Ibnu Abbas  memarfukan ucapannya kepada Nabi  bahwa Beliau  mewajibkan sholat bagi Musafir dua rakaat, yang berarti menunjukkan shalat dua rakaat bagi Musafir adalah memang hukum asal (Azimah) yang telah tetap baginya.

 
2. Syafi’iyah, Hanabilah dan yang terkenal dari Malikiyah bahwa qoshor adalah rukhshoh. Dalil mereka diantaranya : 

A. Firman Allah :

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar sholat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (QS. An Nisaa’ (4) : 101).

 
Sisi pendalilan : ayat ini menunjukkan qoshor adalah rukhshoh dari dua sisi, pertama perkaataan-Nya  “Kamu men-qashar sholat”, mengisyaratkan bahwa sebelumnya seorang hamba ketika mukim wajib baginya sholat dengan 4 rakaat, namun ketika safar ia diperbolehkan untuk men-qashar sholat. Berarti disini ada pengurangan dari 4 rakaat menjadi 2 rakaat yang hal ini merupakan salah satu jenis rukhshoh yaitu pengurangan hukum. Yang kedua adalah Firman-Nya: “..Tidaklah mengapa..”, biasanya digunakan dalam hal yang mubah dan yang dirukhshohkan, bukan digunakan untuk hal-hal yang wajib.
 
B. Hadits dari Ya’la bin Umayyah, ia berkata:

“aku bertanya kepada Umar tentang ayat berikut: “Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar sholat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir”. Bukankah kita sekarang dalam keadaan aman? Umar  menjawab: ‘aku pun pernah heran sepertimu, lalu aku tanyakan kepada Beliau  tentang hal tersebut, kemudian Beliau  bersabda: “itu adalah sedekah yang Allah  menyedekahkannya kepada kalian, maka terimalah sedekah-Nya”. (HR. Muslim no. 1605) 

Sisi pendalilan: dalam hadits ini sikap heran kedua ulama besar sahabat diatas menunjukkan bahwa asal pada kondisi safar dan aman tidak mewajibkan qoshor sebagaimana yang tersirat dalam pemahaman ayat ini. Yang kedua penetapan dari Rosulullah  tentang adanya Qoshor dalam keadaan bepergian yang aman dan mengungkapkannya dengan sedekah dari Allah sedangkan sedekah adalah rukhshoh, bukan kewajiban dari Allah.

Dampak dari perbedaan ini adalah ketika para ulama kita memberikan hukum terhadap shalat qoshar yaitu dari dua segi: 

1. Mengenai keharusan atau tidaknya men-qoshar.

Hanafiyah dan para ulama yang sependapat dengannya berpendapat Qashar adalah wajib. Sehingga menurut mereka seorang yang mengadakan perjalan yang dibolehkan qoshar adalah wajib baginya qashar, jika seorang memilih untuk menyempurnakan sholatnya, maka keempat rakaat tersebut tidak semuanya wajib, namun yang wajib hanyalah dua rokaat dan dua rakaat lainnya adalah sunnah dengan syarat pada akhir rakaat kedua harus duduk sesuai kadar tasyahud.

Imam Malik bependapat, dia harus mengulanginya kalau masih dalam waktu sholat.

Zhahiriyah berpendapat, sholat musafir yang sempurna adalah batal, jika dia mengetahui itu. Dan jika lupa maka dia harus sujud sahwi setelah salam.
Sedangkan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa musafir memiliki pilihan apakah ia melakukan sholat secara sempurna (4 rakaat) atau men-qashar-nya (2 rakaat), walaupun yang paling utama menurut mereka adalah men-qashar. 

2. Mengenai niat qashar

Hanafiyah dan para ulama yang sependapat dengannya mengatakan bahwa qashar tidak perlu niat. 

Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa niat adalah syarat, karena qashar adalah rukhshoh dan menyempurnakan shalat adalah hukum asal dan Azimah.
Kembali kepada pendapat tentang Qashar apakah rukhshoh atau Azimah maka yang rojih adalah Qashar merupakan Rukhshoh.  
Dalil yang memenangkannya yaitu:

1. Shalat dengan jumlah empat rakaat (Dhuhur, Ashar dan Isya) telah disyariatkan pada malam Isra’ Miraj di Mekkah. Sedangkan Qashar disyariatkan di Madinah, sehingga yang terakhir dapat dikatakan sebagai Nasikh (pembatal) hukum sebelumnya.
2. Dalil-dalil yang dibawa oleh Syafi’iyah lebih teliti.
3. Qashar secara bahasa adalah “pendek” lawan dari “panjang”, yang mengisyaratkan bahwa hal ini adalah rukhshoh.

Leave a Comment