Apakah Orang Pingsan Wajib Qadha Shalat?

Fatwapedia.com – Apakah orang pingsan harus mengqadha shalatnya? Ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum bagi orang yang pingsan, berkaitan dengan kewajiban mengqadha shalatnya, Berikut ini kutipan pendapat para Ulama yang bisa kita simak.

Pendapat pertama: Tidak wajib qadha secara umum berapapun jeda waktunya.

Ini adalah pendapat madzhab Syafi’iyyah dan Malikiyyah serta didukung oleh Ibnu Hazm. Juga merupakan salah satu qaul dalam madzhab Hanbali.[1] Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam kitabnya Syarh Al-Mumti’ (jilid 2, hal. 17, cetakan Dar Ibnu Al-Jauzi tahun 1428 H).
Dalilnya adalah keumuman hadits dari ‘Aisyah.
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Qalam (catatan amal) itu diangkat dari tiga orang: orang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampai dia mimpi dewasa dan orang gila sampai dia sadar.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa`iy dan Ibnu Majah)
Hadits ini juga diriwayatkan dari ‘Ali dengan redaksi senada, meski para ulama seperti An-Nasa`iy dan Ad-Daraquthni menyatakannya mauquf kepada ‘Ali.[2]
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Hujjah Malik dan yang sependapat dengannya serta madzhab Ibnu Umar dalam masalah ini adalah karena Al-Qalam (pena) itu telah diangkat dari orang yang pingsan berdasarkan qiyas dari orang gila yang telah disepakati tidak wajib mengqadha shalat. Sebab, tidak ada yang serupa dengan orang pingsan (dalam hadits di atas –penerj) kecuali dua point asal yaitu orang gila yang hilang akal dan point orang tidur.”[3]
Juga berdasarkan hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi :
أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرَّجُلِ يُغْمَى عَلَيْهِ فَيَتْرُكَ الصَّلَاةَ فَقَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيْسَ بِشَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ قَضَاءٌ إِلَّا أَنْ يُغْمَى عَلَيْهِ فِي وَقْتِ صَلَاةٍ، فَيَفِيقُ وَهُوَ فِي وَقْتِهَا فَيُصَلِّيهَا»
“‘Aisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang yang pingsan dan terluput shalat karenanya. ‘Aisyah mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada qadha untuk itu sedikitpun, kecuali kalau dia sadar di waktu shalat maka hendaklah dia melaksanakan shalat itu.”[4]
Tapi hadits ‘Aisyah ini sangat lemah bahkan bisa jadi palsu karena melalui jalur Hakam bin ‘Abdullah bin Sa’d Al-Ayli, Yahya bin Ma’in mengatakannya ”tidak tsiqah dan tidak amanah”, An-Nasa`iy mengatakannya matruk, Al-Bukhari mengatakan, ”Mereka meninggalkannya” sehingga Ibnu ’Adi berkesimpulan, ”Kelemahan jelas pada hadits-haditsnya.”[5] Abu Hatim mengatakannya, ”Matrukul hadits, tidak boleh ditulis haditsnya, biasa berdusta.” Abu Zur’ah juga membuang haditsnya dan mengatakan, ”Dia dhaif, jangan meriwayatkan hadits darinya.”[6]
Imam Ahmad berdasarkan nukilan Abu Zur’ah mengatakan hadits-haditsnya palsu.[7]
Ibnu Hibban juga mengatakannya biasa meriwayatkan hadits-hadits palsu dari orang-orang yang terpercaya.[8]
Aroma kepalsuan jelas dalam riwayat ini, sebab kalau riwayat ini benar ada maka para sahabat tidak akan berijtihad sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
Dalil lain adalah qiyas dengan wanita haidh sebagaimana pengqiyasan madzhab Maliki atau diqiyaskan dengan orang gila sebagaimana pengqiyasan madzhab Asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm.
Pendapat ini juga didasarkan pada beberapa atsar dari sahabat :
Pertama, Atsar Ibnu Umar sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dalam sunannya (no. 1861, 1862 dan 1863) dan juga diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwaththa` no. 33 dimana Ibnu Umar pernah pingsan dan tidak mengganti shalat yang ia tinggalkan saat pingsannya itu. Akan tetapi dalam beberapa riwayat lain dinyatakan pula bahwa Ibnu Umar mengganti shalatnya dalam ukuran satu hari satu malam pingsan, sehingga riwayat dari Ibnu Umar ini belum sempurna bila dijadikan dalil bagi madzhab di atas.
Kedua, Atsar Anas bin Malik sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Al-Mundzir dalam kitab Al-Awsath: Katsir bin Syihab menceritakan kepada kami di Baghdad, Muhammad bin Sa’id bin Sabiq menceritakan kepada kami, Amr yakni Ibnu Abi Qais menceritakan kepada kami, dari ’Ashim yang berkata, ”Anas bin Malik pernah pingsan dan dia tidak mengganti (mengqadha`) shalatnya.”
Tapi Atsar ini masih perlu ditinjau ulang karena belum jelas siapa ’Ashim dalam yang meriwayatkan dari Anas di sini. Bila dia ’Ashim bin Abi Nujud atau ’Ashim bin Bahdalah maka sanad ini lemah karena dia tak pernah bertemu dengan Anas bin Malik sehingga statusnya munqathi’ (terputus), tapi bila dia adalah ’Ashim Al-Ahwal maka sanadnya bagus karena dia memang mendengar dari Anas. Sedangkan Amr bin Abi Qais biasa meriwayatkan dari mereka berdua.

Pendapat para tabi’in:

1. Atsar dari Thawus yang mengatakan, ”Apabila seorang yang sakit itu pingsan lalu dia sadar maka dia tak perlu mengulang shalatnya.”[9]
2. Atsar Ibnu Sirin yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Husyaim menceritakan kepada kami, Yunus bin Ubaid mengabarkan kepada kami, dari Ibnu Sirin bahwa dia pernah pingsan beberapa hari dan tidak mengqadha (shalat) sedikitpun.”[10]
3. Atsar dari Adh-Dhahhak bin Muzahim bahwa dia pernah pingsan dan disampaikan kepadanya bahwa dia belum shalat ini dan itu tapi dia malah menjawab, ”Tidak ada yang luput dariku” dan dia tidak mengganti shalat-shalat tersebut.[11]
4. Pendapat Hasan Al-Bashri yang mengatakan, ”Orang yang pingsan wajib mengganti puasa tapi tidak perlu mengganti shalat sebagaimana wanita haidh yang wajib mengganti puasa tapi tidak mengganti shalat.”[12]
5. Pendapat ’Amir Asy-Sya’bi yang mengatakan, ”Orang yang pingsan tidak mengganti shalat, bercontoh kepada para ummahatul mukminin dimana ketika mereka haidh maka mereka tidak mengganti (shalat) mereka.”[13]
6. Fatwa Az-Zuhri bahwa orang yang pingsan tidak mengganti shalat sebagaimana ditanyakan kepadanya oleh Ma’mar.[14]

Pendapat kedua: Wajib Qadha baik sebentar maupun lama. Ini adalah pendapat madzhab Hanbali.

Ini termasuk pendapat menyendiri madzhab Hanbali dibanding madzhab lainnya [15]  sebagaimana diungkapkan oleh Al-Mardawi dalam kitab Al-Inshaf.[16]
Dalilnya adalah qiyas dan atsar sahabat. Qiyasnya adalah mengqiyaskan orang pingsan dengan orang tidur dimana yang tidur tetap wajib mengqadha shalat yang dia tinggalkan. Juga orang yang pingsan atau koma tetap wajib mengqadha puasa yang dia tinggalkan.[17]

Pendapat ini dibantah oleh Syaikh Al-Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumti’:

”Jika kita melihat segi alasan maka kita dapati bahwa yang kuat adalah pendapat yang mengatakan tidak perlu mengqadha sama sekali. Karena, mengqiyaskan orang pingsan dengan orang tidur tidak benar. Orang tidur bisa bangun sendiri atau dibangunkan, sedangkan orang pingsan sama sekali tidak merasa. Lagi pula, tidur itu sering terjadi dan hal biasa, sehingga kalau kita katakan dia tidak perlu mengqadha maka akan banyak kewajiban yang akan gugur darinya. Beda halnya dengan pingsan yang ada orang tak pernah mengalaminya seumur hidup. Kadang ada orang jatuh dari ketinggian hingga pingsan atau terkena penyakit yang membuatnya koma.”[18]
Sedangkan atsar setidaknya diriwayatkan dari tiga orang sahabat, yaitu Samurah bin Jundab, ’Imran bin Hushain dan Ammar bin Yasir.
Atsar Samurah dan ‘Imran ada dalam satu paket riwayat :
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Al-Mushannaf,
حَدَّثنا حَفْصٌ، عَن التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ، قَالَ: قيلَ لِعِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ: إِنَّ سَمُرَةَ بْنَ جُنْدُبٍ يَقُولُ في الْمُغْمَى عَلَيْهِ: يَقْضِي مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ مِثْلَهَا، فَقَالَ عِمْرَانُ: لَيْسَ كَمَا قَالَ، يَقْضِيهِنَّ جَمِيعًا.
Hafsh menceritakan kepada kami, dari At-Taimi, dari Abu Mijlaz, Dia berkata, 
”Disampaikan kepada ‘Imran bin Hushain bahwa Samurah bin Jundab mengatakan orang yang pingsan itu kalau ingin mengqadha shalat maka dia mengqadhanya bersama shalat yang sama. Maka ‘Imran berkata, ”Tidak begitu, tapi dia harus mengqadhanya sekaligus.”
Juga diriwayatkan oleh Ibnu Al-Mundzir dalam Al-Awsath melalui jalur Zuhair dari Sulaiman At-Taimi pula. Di sini baik Samurah maupun ‘Imran sama-sama memandang orang pingsan wajib mengqadha shalatnya, hanya saja menurut Samurah qadhanya dilakukan sesuai waktu shalat yang ada. Misalnya kalau dia ketinggalan shalat Zhuhur maka dia mengqadhanya nanti bersama shalat Zhuhur yang wajib untuknya. Sedangkan ‘Imran memandang bahwa dia harus mengerjakan semua shalat yang ketinggalan itu sekaligus tanpa menunggu kehadiran waktu shalat itu berikutnya. Wallahu a’lam.
Sanad ini bermasalah karena menurut para Ibnu Al-Madini Abu Mijlaz yang bernama asli Lahiq bin Humaid ini tidak pernah bertemu dengan Samurah bin Jundab maupun dengan ‘Imran bin Hushain, demikian kata ‘Ali bin Al-Madini berdasarkan riwayat Ibnu ’Asakir dalam Tarikh Ad-Dimasyq jilid 64 hal. 28 dan juga disebut oleh Ibnu Hajar dalam Tahdzib At-Tahdzib (11/172). Dengan demikian sanad ini lemah.
Sementara riwayat Ammar bin Yasir yang mendukung pendapat ini sebagaimana disinggung oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni dari riwayat Al-Atsram. Berhubung Sunan Al-Atsram tidak sampai kepada kita tapi riwayat ini dari jalur Al-Atsram masih bisa ditemukan dalam kitab Al-Ausath Ibnu Al-Mundzir. Ibnu Al-Mundzir mengatakan[19],
حَدَّثَنَا مُوسَى، ثنا أَبُو بَكْرٍ الْأَثْرَمُ، ثنا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللهِ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ وَهُوَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ أَبِي الْحَسَنِ الْمَخْزُومِيُّ قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ الْحَارِثِ الْأَنْصَارِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُمِّ سَعِيدٍ، مَوْلَاةِ عَمَّارٍ وَكَانَتْ جَارِيَةَ عَمَّارٍ: ” أَنَّهُ غُشِيَ عَلَيْهِ ثَلَاثًا لَا يُصَلِّي، ثُمَّ اسْتَفَاقَ بَعْدَ ثَلَاثٍ فَقَالَ: هَلْ صَلَّيْتُ ؟ فَقَالُوا: مَا صَلَّيْتَ مُنْذُ ثَلَاثٍ، فَقَالَ: أَعْطُونِي وُضُوءًا فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى تِلْكَ الثَّلَاثَ “
Musa menceritakan kepada kami, Abu Bakar bin Atsram menceritakan kepada kami, Harun bin ‘Abdullah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Hasan yaitu Muhammad bin Hasan bin Abi Hasan Al-Makhzumi menceritakan kepada kami, dia berkata, Abdullah bin Harits Al-Anshari menceritakan kepadaku, dari Ayahnya, dari Ummu Sa’id maulah Ammar dan dia dulunya adalah budak Ammar, 
“Bahwa dia (Ammar) pernah pingsan selama tiga hari tidak melakukan shalat. Kemudian dia bangun setelah tiga hari itu dan bertanya, “Apakah aku telah shalat?” Mereka menjawab, “Anda tidak shalat sejak tiga hari yang lalu.” Diapun berkata, “Berikan aku air wudhu.” Lalu dia berwudhu dan melaksanakan semua shalat di tiga hari tersebut.”
Dalam riwayat sebelumnya berbunyi,
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ هَارُونَ، ثنا أَبُو مُوسَى الْأَنْصَارِيُّ، ثنا مَعْنُ بْنُ عِيسَى، ثنا عَبْدُ اللهِ بْنُ الْحَارِثِ بْنِ فُضَيْلٍ الْخَطْمِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ لُؤْلُؤَةَ، مَوْلَاةِ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ: ” أَنَّهُ أُغْمِيَ عَلَيْهِ ثَلَاثًا فَتَرَكَ الصَّلَاةَ ثُمَّ أَفَاقَ فَدَعَا بِوُضُوءٍ فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ ابْتَدَأَ صَلَوَاتِ الثَّلَاثِ حَتَّى فَرَغَ مِنْهَا “
Musa bin Harun menceritakan kepada kami, Abu Musa Al-Anshari menceritakan kepada kami, Ma’n bin Isa menceritakan kepada kami, Abdullah bin Harits bin Fudhail Al-Khathmi menceritakan kepada kami, dari Ayahnya, dari Lu`lu`ah maula Ammar bin Yasir, 
“Bahwa Ammar pernah pingsan selama tiga hari dan terluput shalat selama itu, kemudian dia sadar lalu meminta air wudhu kemudian dia memulai shalatnya di ketiga hari yang ketinggalan tadi sampai selesai semua.”
         
Lu’lu`ah dan Ummu Sa’id maulah Ammar kemungkinan adalah dua orang yang sama karena sumber hadits ini bermuara pada Abdullah bin Harits bin Fudhail Al-Khathmi Al-Anshari, dan saya belum menemukan biografinya. Memang ada nama Lu`lu`ah maulah Ummu Hakam puteri Ammar bin Yasir yang disebutkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mutadrak, tapi belum ditemukan jarh maupun ta’dil terhadapnya.
Sedangkan Harits bin Fudhail sendiri meski dianggap tsiqah oleh mayoritas ulama jarh dan merupakan perawi dalam Shahih Muslim, tapi Imam Ahmad mengatakannya, “Haditsnya tidak terjaga, dalam riwayat lain dia katakan, haditsnya tidak terpuji.”[20]
Lagi pula riwayat ini berlawanan dengan riwayat-riwayat lain dari Ammar yang mengatakan dia pingsan hanya sehari semalam sebagaimana yang akan disebutkan nanti di pendapat ketiga.
Tokoh tabi’in yang mendukung pendapat ini adalah ‘Atha`, Thawus dan Mujahid, dimana mereka mengatakan, orang yang pingsan harus mengganti shalatnya sebagaimana dia mengganti puasa Ramadhan.[21]

Pendapat ketiga: Bila pingsannya hanya satu hari satu malam atau meninggalkan lima kali shalat maka wajib qadha, tapi bila lebih dari itu maka tidak wajib mengqadha. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi[22].

Dalil pendapat ini adalah istihsan dan menggabung atsar-atsar yang teriwayatkan dari para sahabat.
Istihsan yang dipakai adalah bila pingsan itu sebentar maka dia diqiyaskan dengan tidur dan tidak memberatkan bila harus diqadha, sementara bila pingsan atau koma itu lama maka akan memberatkan dan dia dianalogikan dengan gila yang biasanya berlangsung lama. Orang tidur wajib qadha shalat sementara orang gila tidak wajib qadha shalat yang ditinggalkannya selama kegilaannya.
Mereka menetapkan ukuran satu hari satu malam atau lima kali shalat (ada perbedaan sedikit antara Abu Hanifah dengan Muhammad bin Hasan) berdasarkan atsar beberapa sahabat sebagai berikut:

a. Atsar Ammar bin Yasir

‘Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ats-Tsauri, dari As-Suddi, Yazid menceritakan kepadaku, bahwa Ammar bin Yasir pernah kena lemparan sehingga dia pingsan dan luput shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya. Kemudian dia sadar di tengah malam lalu dia shalat Zhuhur, kemudian Ashar, kemudian Maghrib kemudian Isya.[23]
Tapi sanad ini bermasalah karena Yazid yang dalam satu riwayat disebut sebagai maula Ammar itu majhul, atas dasar inilah Asy-Syafi’i melemahkan riwayat Ammar ini sebagaimana disebutkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab Ma’rifatu As-Sunan wal Atsar jilid 2, hal. 221.
Dengan demikian tidak ada yang tsabit riwayat dari Ammar cerita tentang kepingsanannya tersebut baik riwayat Lu`lu`ah ataupun Ummu Sa’id maupun riwayat Yazid ini.

b. Atsar Ibnu Umar

Bila Asy-Syafi’i dan Malik berpedoman pada atsar Ibnu Umar yang mengatakan dia tidak sama sekali mengqadha shalat saat dia pingsan maka Hanafiyyah menyebutkan riwayat dari Ibnu Umar yang muqayyad atau merinci bahwa Ibnu Umar bila pingsan selama satu hari maka dia mengqadha sedangkan kalau lebih dari itu maka dia mengqadha pada hari dia sadar saja sedangkan yang sebelumnya tidak lagi diqadha.
Berikut beberapa teks riwayat atsar Ibnu Umar yang dijadikan dalil oleh madzhab Hanafi:
– Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ats-Tsauri, dari Ibnu Abi Laila, dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar pernah pingsan selama sebulan dan dia tidak mengganti shalat-shalat yang telah dia tinggalkan tapi hanya mengganti di hari yang dia sadar.[24]
– Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, Husyaim menceritakan kepada kami, dari Asy’ats dan Ibnu Abi Laila dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar pernah pingsan beberapa hari lalu dia sadar kemudian mengganti shalat di hari dia sadar itu dan tidak mengganti yang sebelumnya.[25]
– Muhammad bin Hasan meriwayatkan dalam kitab Al-Atsar, Abu Hanifah menceritakan kepada kami, dari Hammad, dari Ibrahim, dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhu tentang orang yang pingsan selama sehari semalam maka dia mengatakan, “Dia harus mengqadha (Shalat selama itu)”.
Ibnu Abi Laila dhaif[26], tapi dia dikuatkan oleh Asy’ats bin Sawwar[27] yang juga dhaif, dengan demikian riwayat mereka bisa naik menjadi hasan li ghairih. Tapi sayang dalam riwayat ini mereka menyalahi riwayat orang yang tsiqah yaitu Ayyub dan Ubaidullah dari Nafi’ yang menyatakan Ibnu Umar pingsan sehari dan semalam dan tidak mengqadha.
Ad-Daraquthni meriwayatkan,
حَدَّثَنَا دَعْلَجٌ , ثنا الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانَ , ثنا حَبَّانُ , ثنا ابْنُ الْمُبَارَكِ , عَنْ سُفْيَانَ , عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ , عَنْ نَافِعٍ , عَنِ ابْنِ عُمَرَ , «أَنَّهُ أُغْمِيَ عَلَيْهِ يَوْمًا وَلَيْلَةً فَلَمْ يَقْضِ» وَعَنْ سُفْيَانَ , عَنْ أَيُّوبَ , عَنْ نَافِعٍ , عَنِ ابْنِ عُمَرَ «أَنَّهُ أُغْمِيَ عَلَيْهِ يَوْمًا وَلَيْلَةً فَلَمْ يَقْضِ»
Da’laj menceritakan kepada kami, Hasan bin Sufyan menceritakan kepada kami, Habban menceritakan kepada kami, Ibnu Al-Mubarak menceritakan kepada kami, dari Sufyan, dari Ubaidullah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, 
“Bahwa dia pernah pingsan selama sehari semalam tapi tidak mengqadha shalat.”
Dari Sufyan, dari Ayyub, dari Nafi’, dari Ibnu Umar,
“Bahwa dia pernah pingsan sehari semalam dan tidak mengqadha.”[28]
Selain itu Ad-Daraquthni juga meriwayatkan dari jalur Ayyub bahwa Ibnu Umar pingsan selama dua dan tiga hari tanpa mengqadha shalat yang dia tinggalkan selama itu.
Ibrahim Al-Harbi meriwayatkan dalam Gharib Al-Hadits :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ , حَدَّثَنَا زَائِدَةُ , عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ , عَنْ نَافِعٍ: «أُغْمِيَ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ يَوْمًا وَلَيْلَةً , فَأَفَاقَ , فَلَمْ يَقْضِ مَا فَاتَهُ , وَاسْتَقْبَلَ»
Ahmad bin Yunus menceritakan kepada kami, Za`idah menceritakan kepada kami, dari Ubaidullah, dari Nafi’,
“Bahwa ‘Abdullah (Ibnu ‘Umar) pernah pingsan selama sehari semalam lalu ketika dia sadar dia tidak mengqadha shalat yang ketinggalan dan hanya melaksanakan yang di berikutnya.”
Juga ada riwayat Abdurrazzaq dari Abdullah bin Umar Al-Umari, dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar pingsan selama sehari semalam dan tidak mengqadha shalat yang ketinggalan.
Riwayat dari Ubaidullah, Ayyub dan Abdullah Al-Umari menyelisihi riwayat Ibnu Abi Laila dan Asy’ats. Ubaidullah di sini adalah Ubaidullah bin Umar bin Hafsh bin ‘Ashim bin Umar bin Khaththab Al-Umari tsiqah bahkan paling tsabat (terkuat) bila meriwayatkan dari Nafi’, sedangkan saudaranya yaitu Abdullah dhaif, lalu Ayyub di sini adalah As-Sikhtiyani tsiqah hafizh.
Dengan demikian menunjukkan kelemahan dalil yang digunakan oleh madzhab Hanafi bahwa Ibnu Umar mengqadha shalat bila pingsan satu hari satu malam.
Sedangkan riwayat Ibrahim An-Nakha’i dari Ibnu Umar jelas dhaif karena terputus dimana Ibrahim tidak pernah bertemu Ibnu Umar, ditambah lagi persoalan kredibilitas Abu Hanifah yang di mata para ulama jarh wa ta’dil dianggap dhaif haditsnya.
Tabi’in yang mendukung pendapat ini adalah Ibrahim An-Nakha’i dan Al-Hakam bin Abi Utaibah sebagaimana disebutkan dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.

Tarjih

Melihat dalil-dalil yang dikemukakan maka atsar yang shahih dari para sahabat Nabi hanyalah atsar Abdullah bin Umar yang justru mendukung pendapat Syafi’iyyah dan Malikiyyah dimana Ibnu Umar tidak mengqadha shalat yang ditinggalkannya karena pingsan.
Imam Ibnu Abdil Bar rahimahullah (w. 463 H) mengatakan,
ولا يقضي المغمى شيئا من الصلوات لأنه ذاهب العقل ومن ذهب عقله عليه في وقت صلاة يدرك منها ركعة لزمه فليس بمخاطب فإن افاق المغمى عليه في وقت صلاة يدرك منها ركعه لزمه قضاءها
“Orang yang pingsan, tidak wajib mengqadha shalatnya. Karena dia hilang akal. Orang yang hilang akal, selama rentang waktu shalat, berarti dia tidak terkena kewajiban shalat. Jika orang yang pingsan sadar, bisa menyusul satu rakaat sebelum waktu shalat berakhir, dia wajib mengqadhanya.”
[Al-Kafi fi Fiqh Ahli Al-Madinah, 1/237]
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan,
من زال عقله بسبب غير محرم كمن جن أو أغمى عليه أو زال عقله بمرض أو بشرب دواء لحاجة أو اكره علي شرب مسكر فزال عقله فلا صلاة عليه وإذا أفاق فلا قضاء عليه بلا خلاف للحديث سواء قل زمن الجنون والاغماء ام كثر هذا مذهبنا
“Orang yang kehilangan akal dengan sebab yang tidak terlarang, seperti orang yang pingsan atau tidak sadar, baik disebabkan sakit atau karena minum obat yang dibutuhkan, atau dipaksa minum khamr, hingga mabuk, maka tidak ada kewajiban shalat baginya. Jika dia sadar, tidak ada kewajiban qadha tanpa ada perbedaan pendapat – di kalangan ulama madzhab – berdasarkan hadits (Aisyah) di atas. Baik pingsannya itu sebentar maupun lama. Inilah madzhab kami (Syafiiyah).”
[Al-Majmu’, 3/6]
Inilah yang kami anggap lebih kuat dan peng-qiyas-an orang pingsan dengan orang gila lebih dekat daripada meng-qiyas-kannya dengan orang tidur. Bahkan tidaklah aneh bila meng-qiyas-kannya dengan wanita haidh yang juga tidak wajib qadha shalat, karena baik yang pingsan maupun haidh, sama-sama berada di luar kekuasaannya. 

Kesimpulan
Orang yang pingsan atau koma tidak perlu mengqadha shalat yang dia tinggalkan selama pingsannya dan hanya melaksanakan shalat ketika dia sadar. 

Catatan:

Qadha (mengganti) shalat bagi orang yang sebelumnya pingsan dibedakan menjadi dua keadaan :
1. Jika pingsannya dengan tidak disengaja karena sakit atau kecelakaan, maka ia tidak perlu mengqadha shalat karena keadaannya tidak seperti orang ketiduran dan tidak bisa dibangunkan saat itu juga. Jadi beda dengan orang yang tertidur. Sehingga kondisi orang yang pingsan adalah antara hilang akal (gila) dan kondisi tidur. Di sini baik ia meninggalkan shalat tadi dalam waktu lama atau hanya sebentar, tidak ada qadha’.
2. Jika tak sadarkan diri karena pengaruh obat bius -artinya atas pilihan sendiri-, lalu baru tersadar setelah 2 atau 3 hari, maka ia punya kewajiban mengqadha’ shalat. Kondisi kedua ini dikenai kewajiban qadha’ karena ia pingsan atas pilihannya sendiri. 
[Lihat fatwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin di fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 151203]
Kaedah penting yang diberikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah dimana beliau berkata, 
“Jika seseorang hilang kesadaran atas pilihannya sendiri, maka ada kewajiban qadha’. Jika hilang kesadaran bukan atas pilihan sendiri, maka tidak ada qadha’.” 
[Syarhul Mumthi’, 2/19]
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. 
Allahu a’lam
Footnote :
[1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah 5/268.
[2] Lihat Al-Ilal oleh Ad-Daraquthni 3/72-73, no. 291.
[3] Al-Istidzkaar 1/288.
[4] Sunan Ad-Daraquthni no. 1860, Al-Baihaqi dalam Al-Kubra no. 1820.
[5] Al-Kamil oleh Ibnu ‘Adi, 2/478-483.
[6] Al-Jarh wa At-Ta’dil oleh Ibnu Abi Hatim 3/121.
[7] Mausu’atu Aqwal Ahmad bin Hanbal fii Ar-Rijaal 1/284.
[8] Al-Majruuhiin 1/284.
[9] Mushannaf Abdurrazzaq 2/479, no. 4154.
[10] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, no. 6657.
[11] Ibid, no. 6658.
[12] Ibid, no. 6659.
[13] Ibid, no. 6660.
[14] Ibid, no. 6663, Mushannaf Abdurrazzaq, no. 4154.
[15] Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyyah, op.cit.
[16] Al-Inshaf fii Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaaf 1/390.
[17] Lihat Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 1/240 (kitab Ash-Shalaah, bab: Al-Mawaqiit, mas`alah: Al-Mughma ‘alaih yaqdhii jamii’as shalawaat….)
[18] Asy-Syarh Al-Mumti’ jilid 2 hal. 17.
[19] Al-Awsath 4/391-392, no. 234 dan 235.
[20] Mausu’at Aqwaal Ahmad bin Hanbal fir Rijaal 1/215, no. 432.
[21] Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 4/435, no. 6650.
[22] Lihat Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyyah. Op.cit. Lihat pula buku pedoman madzhab Hanafi seperti Bidayatul Mubtadi beserta syarhnya Al-Hidayah oleh Al-Marghinani 1/76, Tabyin Al-Haqa`iq syarh Kanz Ad-Daqa`iq oleh Az-Zaila’i 1/203-204.
[23] Mushannaf Abdurrazzaq no. 4156. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Waki’ dari Sufyan.
[24] Mushannaf Abdurrazzaq no. 4153.
[25] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah,  no. 6648.
[26] Dia adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, Al-Hafizh mengatakannya, “shaduq, hafalannya sangat buruk.” (At-Taqrib 2/70, no. 6744).
[27] Asy’ats bin Sawwar Al-Kindi, kata Al-Hafizh, “dha’if” (At-Taqrib, 1/77, no. 599).
[28] Sunan Ad-Daraquthni, no. 1837, terbitan Darul Kutub Al-Ilmiyyah.

Leave a Comment